ABSTRACT
Post-stroke spasticity after a stroke is a complication that can disrupt functional recovery, cause
pain and lead to secondary complications such as joint contractures and pressure ulcers. Various
techniques have been proposed for the treatment of spasticity, including positioning, cryotherapy,
splinting, casting, and electrical stimulation. Medical management through pharmacological
agents, however, have been implemented and more extensively researched, such as through
mechanisms kemodenervasi, neurolisis, oral medications, and intrathecal. Meanwhile surgery can
be performed on SPS are orthopedic surgery and selective dorsal rhizotomi. The purpose is to
review the management of pharmacological and nonpharmacological agents currently used in the
management of post-stroke spasticity.
Kerwords: post-stroke spasticity, physical therapy, chemodenervation, neurolytic
Korespondensi: dinafakhrina@ymail.com
PENDAHULUAN
Spastisitas adalah gangguan motorik
yang ditandai dengan peningkatan refleks
regang tonik (tonus otot) yang terkait dengan
peregangan
dengan
sentakan
tendon
berlebihan, yang dihasilkan dari hiperrangsangan refleks regang, sebagai salah satu
komponen upper motor neuron (UMN)
syndrome.1
Penelitian telah menunjukkan bahwa
spastisitas mempengaruhi antara 37% dan 78%
dari orang dengan multipel sklerosis,2,3 40%
dari mereka dengan spinal cord injury (SCI),4
sekitar 35% dari mereka dengan stroke,5,6 lebih
dari 90% dengan cerebral palsy (CP),7 dan
sekitar 50% dari pasien dengan traumatic
brain injury (TBI), dengan rating yang lebih
tinggi pada pasien dengan lesi otak tengah dan
pons.8
Spastisitas pasca stroke (SPS) adalah
komplikasi setelah stroke yang dapat
mengganggu
pemulihan
fungsional,
menyebabkan rasa sakit, dan mengakibatkan
komplikasi sekunder seperti kontraktur sendi
dan bisul tekanan.9 Walaupun prevalensi yang
tepat dari spastisitas tidak diketahui, ada
kemungkinan bahwa hal itu mempengaruhi
lebih dari setengah juta orang di Amerika
Serikat saja, dan lebih dari 12 juta orang
seluruh dunia. Setelah stroke, sekitar 65%
individu mengalami spastisitas.10 Telah
dilaporkan bahwa pada pasien stroke pertama
kali, spastisitas muncul 19% dan 39% pada 3
dan 12 bulan berturut-turut setelah stroke. 9
Berbagai teknik untuk pengelolaan
spastisitas
telah
diusulkan,
termasuk
positioning, cryotherapy, splinting, casting,
stimulasi listrik, dan edukasi tentang faktor
penyebab, yang sebagian besar memiliki
sedikit bukti untuk mendukung aplikasinya.
Manajemen medis melalui agen farmakologis,
bagaimanapun, telah dilaksanakan dan lebih
1+.
3
4
TATALAKSANA SPASTISITAS
1. Terapi Fisik dan Okupasi
Terapi ini ditargetkan untuk mengurangi
tonus otot; meningkatkan ROM, mobilitas,
kenyamanan,
dan
kekuatan;
serta
meningkatkan kemandirian dan
kinerja
17
aktivitas hidup sehari-hari.
Sebelum
mempertimbangkan
agen
farmakologis, andalan manajemen spastisitas
tergantung pada positioning 24 jam dan
pertimbangan postur badan, kepala dan
tungkai.18
Casting, metode peregangan dengan
imobilisasi anggota tubuh dalam posisi
peregangan, menginduksi peregangan otot
berkepanjangan. Teknik ini bertujuan untuk
meningkatkan panjang otot, meningkatkan
jangkauan gerak sendi dan mengurangi
kontraktur, nyeri dan spastisitas.19
Ortotik
sering
digunakan
dalam
melengkapi sesi fisioterapi. Kelebihan utama
dari ortotik adalah durasi efektivitasnya,
karena dapat diletakkan dan dibiarkan selama
seorang
a)
3. Pengobatan
Medikasi
Oral
dan
Intratekal
Berbagai obat telah tersedia untuk
pengobatan spastisitas. Ketika spastisitasnya
fokal bukan difus, sedasi dan kebingungan
terkait dengan penggunaan obat-obatan oral
dapat membatasi efektivitas mereka.20
Dantrolene
Dantrolene (Dantrium) memiliki
persetujuan FDA untuk digunakan
dalam mengendalikan manifestasi dari
spastisitas kronis sekunder untuk
gangguan neuron motorik atas pada
anak-anak
dan
orang
dewasa.
Mekanisme kerja dari dantrolen adalah
dengan mengurangi pelepasan kalsium
ke dalam retikulum sarkoplasma dari
otot. Obat ini, yang memiliki waktu
paruh 8,7 jam, mempengaruhi serat
dibandingkan
Tizanidine
untuk
37
menyebabkan hipotensi.
d) Baklofen
Baclofen oral (Lioresal) memiliki
persetujuan FDA untuk pengobatan
spastisitas pada anak-anak dan orang
dewasa akibat multiple sclerosis dan
cedera/penyakit saraf tulang belakang
dan secara intrathecal untuk spastisitas
terkait dengan cerebral palsy dan
cedera tulang belakang. Baclofen
adalah analog GABA dan mengikat
reseptor GABA yang ditemukan di
sumsum tulang belakang, menurunkan
refleks regang, tingkat kejang otot dan
klonus, nyeri, dan sesak serta
meningkatkan ROM.20
Dosis awal baklofen oral yang
direkomendasikan untuk pengobatan
spastisitas pada orang dewasa adalah 5
mg 3 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan dengan peningkatan 15mg/hari setiap 3 hari. Meskipun 80 mg
per hari (dibagi dalam 3 atau 4 dosis)
adalah maksimum yang diterima secara
umum, dosis hingga 200 mg per hari
telah digunakan secara aman dan
efektif. 20
Mengingat bahwa keamanan dan
kemanjuran baclofen oral belum
dipastikan pada anak-anak yang lebih
muda dari usia 12 tahun, dosis baclofen
oral awal yang dianjurkan untuk
pengobatan spastisitas pada anak usia
2-7 tahun adalah 10 sampai 15 mg/hari
(2-3 dosis terbagi). Dosis dapat
ditingkatkan dengan 5 sampai 15 mg
bertahap/hari setiap 3 hari dengan dosis
maksimal 40mg/hari (3-4 dosis
terbagi). Untuk anak-anak dari 8 tahun,
dosis awalnya adalah 10 sampai 15
mg/hari secara oral (dalam 2 sampai 3
dosis terbagi). Dosis dapat ditingkatkan
RINGKASAN
Spastisitas pasca stroke adalah
gangguan motorik setelah stroke yang ditandai
dengan peningkatan tonus otot yang terkait
dengan peregangan dengan sentakan tendon
berlebihan,
yang
dihasilkan
dari
hiperrangsangan refleks regang, sebagai salah
satu komponen upper motor neuron (UMN)
syndrome.
Timbulnya
spastisitas
merupakan
akibat
ketidakseimbangan
antara
pusat
fasilitasi dan pusat inhibisi di otak
bagian
tengah
serta
formasio
retikularis batang otak, dengan
konsekuensi
terjadinya
ketidakseimbangan
antara
alfa
dengan gama motor neuron.
Berbagai teknik untuk tatalaksana
spastisitas
telah
diusulkan,
termasuk
positioning, splinting, casting, stimulasi listrik,
dan tatalaksana lainnya berupa kemodenervasi
dan neurolisis serta pengobatan medikasi oral
dan intratekal. Operasi yang biasa dilakukan
untuk SPS adalah operasi ortopedi dan
rhizotomi dorsal selektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lance JW. What is spasticity?
Lancet 1990; 335: 606.
2. Barnes MP, Kent RM, Semlyen JK,
McMullen
KM.
Spasticity
in
9. Dajpratham P, Kuptniratsaikul V,
Kovindha A, et al. Prevalence and
management
of
poststroke
spasticity in Thai stroke patients:
a multicenter study. J Med Assoc
Thai 2009; 92 (10): 2009.
10. Gallichio
JE.
Pharmacologic
Management
of
Spasticity
Following Stroke. PHYS THER.
2004; 84: 973-981.
11. Longstaf A. Motor Disorder in
Neuroscience. New York: BIOS
Scientific Publisher Limited, 2000.
12. Husni A. Mekanisme nyeri
tegang otot. Dalam: H. Soedomo
dkk ed. Nyeri, pengenalan dan
tatalaksana. Semarang: FK Undip;
1996: 21-37.
13. Steven.
Hubungan
Derajat
Spastisitas Maksimal Berdasarkan
Modified Ashworth Scale dengan
Gangguan Fungsi Berjalan pada
Penderita Stroke Iskemik (Tesis).
Semarang: FK UNDIP, 2008.
8. Wedekind C, Lippert-Gruner M.
Long-term outcome in severe
traumatic
brain
injury
is
significantly
influenced
by
brainstem involvement. Brain Inj
2005;19:681-4.
36. Mathew
A,
Mathew
MC,
Thomas M, Antonisamy B. The
efficacy
of
diazepam
in
enhancing motor function in
children with spastic cerebral
palsy. J Trop Pediatr 2005;51:10913.
37. Kamen L, Henney HR, 3rd,
Runyan JD. A practical overview
of tizanidine use for spasticity
secondary to multiple sclerosis,
stroke, and spinal cord injury.
Curr Med Res Opin 2008;24:42539.
38. Woo R. Spasticity: orthopedic
perspective.
J
Child
Neurol
2001;16:47-53.
39. Boop FA, Woo R, Maria BL.
Consensus statement on the
surgical
management
of
spasticity related to cerebral
palsy. J Child Neurol 2001;16:689.