Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Hemiplegia merupakan paralisis salah satu sisi tubuh, merupakan tanda


klasik penyakit neurovaskuler otak. Merupakan salah satu manifestasi penyakit
neurovaskuler, terjadi bersamaan dengan stroke, melibatkan hemisfer serebri atau
batang otak. 1
Proses pemulihan dari stroke biasanya sudah diperkirakan secara relatif,
merupakan serial yang khas pada fase fasenya untuk pasien dengan hemiplegia
yang dicetuskan oleh stroke. Pada awal hemiplegia, lengan lebih terkena
kecacatan daripada tungkai, perbaikan motorik pada tungkai terjadi lebih awal
dan lebih sempurna daripada lengan. Angka pemulihan terbesar terjadi dalam
waktu tiga bulan pertama setelah onset, dan hanya

sedikit pemulihan yang

bertambah setelah enam bulan dari onset. 2


Pemulihan motorik akan tampak jelas dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah terjadi stroke. Banyak pendekatan yang sudah digunakan
untuk memfasilitasi dan mempercepat pemulihan motorik, termasuk pendekatan
tradisional seperti teknik neurodevelopmental yang diperkenalkan oleh Bobath,
merupakan latihan yang berorientasi perbaikan fungsi motorik ( seperti melatih
transfer dan ambulasi awal ), fokus saat ini adalah pada praktek pengulangan
yang berorientasi pada tugas pengulangan. Latihan neurodevelopmental
dimaksudkan untuk menormalkan tonus otot dan mencegah spastisitas yang
berlebihan dengan menggunakan pola penghambatan refleks khusus. 3 Secara
umum konsep Bobath didasarkan pada model kontrol sistem motorik, konsep
plastisitas, prinsip pembelajaran motorik, pengertian dan aplikasi dari pergerakan
manusia yang fungsional. 4

BAB II
HEMIPLEGI DAN SINDROMA UPPER MOTOR NEURON

II.1 Hemiplegia
Hemiplegia adalah paralisis total dari lengan, tungkai dan batang tubuh di
satu sisi tubuh yang merupakan tanda klasik penyakit neurovaskuler otak.
Merupakan salah satu dari berbagai gambaran klinis penyakit neurovaskuler,
hemiplegi terjadi karena stroke yang menyerang hemisfer serebri atau batang
otak. Tiga faktor risiko utama penyakit serebrovaskuler adalah hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit jantung. Yang terutama dari tiga hal ini adalah
hipertensi.1
Klasifikasi Penyakit Serebrovaskuler
Proses patologis yang merupakan hasil dari penyakit serebrovaskuler
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Infark trombotik
Plak arterosklerosis dan hipertensi saling terkait menyebabkan infark
serebri. Plak biasanya terbentuk di depan cabang utama arteri serebri. Lesi ini
dapat terjadi dalam proses 30 tahun atau lebih dan sebelumnya bisa tidak
menimbulkan gejala apapun. Sumbatan yang timbul intermiten dapat
menyebabkan kerusakan permanen nantinya. Proses oklusi oleh trombus di arteri
memerlukan waktu beberapa jam dan ini menjelaskan perbedaan stroke in evolusi
dan stroke komplit. TIA menjelaskan adanya suatu penyakit trombotik dan
merupakan hasil serangan iskemik selintas. Walaupun sebab TIA belum jelas,
diduga faktor penyebabnya adalah karena vasospasme serebri atau hipotensi
selintas arterial sistemik.1

2. Infark emboli

Emboli yang

menyebabkan stroke dapat berasal dari jantung, dari

trombosis arteri karotis interna atau dari plak ateromatosa sinus karotikus. Bisa
tampak sebagai gejala penyakit jantung. Macam infarknya pucat, hemoragik, dan
tipe campuran. Suplai darah kolateral tidak terbentuk jika terjadi infark emboli
karena kecepatan pembentukan sumbatan, maka hanya sedikit jaringan yang
selamat pada area distal infark emboli dari pada infark trombotik.1
3. Perdarahan
Penyebab perdarahan intrakranial yang menyebabkan stroke adalah
karena hipertensi, ruptur aneurisma sakular, dan malformasi arteriovena.
Perdarahan yang banyak sering merupakan hasil dari masalah penyakit jantung
ginjal hipertensi dan menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak. Aneurisma
sakular merupakan defek dari bagian membran media dan membrane elastik yang
sudah terbentuk bertahun - tahun. Defek muskuler dan regangan berlebihan dari
membran elastik internal akibat tekanan darah menyebabkan terbentuknya
aneurisma. Aneurisma sakular ditemukan pada cabang arteri serebri yang besar
khususnya daerah sirkulus Wilisi bagian anterior.1
Gambaran Klinis
Kelainan fokal neurologis yang terjadi akibat stroke merupakan gambaran
dari ukuran dan lokasi lesi serta serta jumlah aliran darah kolateral. Defisit
neurologis unilateral merupakan akibat gangguan pada sistem karotis dan defisit
neurologis bilateral merupakan akibat gangguan pada sistem basiler.1
Gangguan pergerakan merupakan gangguan yang paling jelas terlihat dari
stroke. Ukuran dan letak lesi awal menentukan derajat fungsi motorik.1
Setelah onset penyakit serebrovaskuler dengan hemiplegia, akan terlihat
tonus otot yang rendah ( flasid ). Masa flasid ini dapat berlangsung singkat,
beberapa minggu atau beberapa bulan. Masa ini kemudian diikuti dengan
perkembangan pola fungsi motorik, kompensasi pada kelemahan otot, hilangnya
kontrol motorik, keseimbangan yang

buruk, dan pola kenaikan tonus otot.

Kemunculan pola otot tersebut ditentukan oleh letak dan luas lesi serta fokus

proses rehabilitasi. Pada fase awal kembalinya pergerakan terlihat pada bahu dan
otot elevator sendi pinggul ( otot trapezius atas, levator skapula, kuadratus
lumborum, latisimus dorsi ). Kembalinya pola motorik bagian distal bisa terjadi
pada awal masa pemulihan, dan digunakan oleh pasien untuk memperkuat
bangun otot - otot proksimal yang lemah. Ketika pasien sudah mulai beraktivitas,
karena munculnya kontrol otot yang tidak sempurna, masalah - masalah lain akan
muncul sebagai berikut yaitu pola awal gerakan yang tidak sesuai, hubungan
sendi - sendi yang buruk secara peletakan anatomi dan respon pertahanan
penderita pada tekanan.1
Terjadi pola pergerakan yang khas, sebagai berikut :
1. Penggunaan otot - otot paraservikal unilateral leher, mengakibatkan fleksi
ipsilateral ( telinga sisi sakit akan mendekat ke bahu sakit ), dan rotasi sisi
kontralateral tubuh pasien ( putaran wajah menjauhi sisi sakit ).1
2. Penggunaan otot - otot elevasi bahu pada skapula yang terotasi ke bawah pelan
- pelan akan mengubah posisi skapula sisi sakit terdepresi dari skapula yang
mendepresi toraks menjadi skapula yang mengelevasi toraks yang akhirnya akan
menyebabkan subluksasi sendi bahu.1
3. Penggunaan sendi pinggul untuk memulai fase mengayun jauh pada pola jalan
penderita demi mencegah ayunan keluarnya ekstremitas bawah dan rotasi
pinggang.1

II.2 Gambaran dan Patogenesis Sindroma UMN


Gambaran Sindrom UMN5
Sindroma UMN dapat terjadi mengikuti lesi, mempengaruhi beberapa
atau semua jaras motorik desendens. Gambaran klinis sindroma UMN terbagi
menjadi dua grup besar yaitu fenomena positif dan fenomena negatif.
Fenomena

negatif

sindroma

UMN

dikarakteristikkan

dengan

pengurangan aktivitas motorik. Jelas sekali hal ini dapat menyebabakan


kelemahan, berkurangnya daya tahan otot, dan mudah lelah. Sering terjadi hal
4

tersebut dikaitkan dengan kecacatan yang lebih daripada yang ditimbulkan oleh
fenomena positif. Sayangnya, fenomena negatif sindrom UMN lebih sulit
ditangani untuk dikurangi dengan semua rencana strategi rehabilitasi yang ada.
Fenomena positif sindrom UMN dapat juga membuat pasien cacat tetapi
hal ini lebih mudah ditangani dengan intervensi aktif. Pada tingkat fisiologi
terjadi peningkatan refleks - refleks tendon, sering disertai penyebaran refleks.
Biasanya terdapat tanda Babinski positif dan klonus. Ini mungkin merupakan
tanda diagnostik penting untuk dokter, sayangnya kaitannya hanya sedikit dengan
disabilitas

pasien.

Pengecualian

jika

terjadi

kemunculan

klonus

yang

mengganggu pasien. Hal ini dapat terpicu selama berjalan normal, kadang terjadi
ketika melangkah turun dari tempat tidur, atau bahkan tanpa pemicu apapun ( saat
pasien di tempat tidur ). Pada situasi ini klonus menjadi gangguan disabilitas
yang sangat menonjol dan kadang - kadang memerlukan penanganan untuk
menghilangkannya. Tanda lain sindrom UMN menimbulkan kelainan yang jelas
mengganggu.
Sindrom paresis spastik sentral terdiri dari : 6

Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus


Peningkatan tonus spastik
Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai klonus
Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif ( refleks abdominal,

refleks plantar, dan refleks kremaster )


Refleks patologis ( Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-

Bekhtereuw, serta disinhibisi respons hindar )


Awalnya massa otot tetap baik.

Patogenesis Paresis Spastik Sentral6


Pada fase akut suatu lesi di traktus kortikospinalis, refleks tendon
profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flasid pada otot. Refleks
muncul kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi
hiperaktif, karena spindel otot berespons lebih sensitif

terhadap regangan

dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor ekstremitas atas dan


ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat hilangnya kontrol
inhibisi sentral desendens pada sel - sel fusi motor ( neuron motor gama ) yang
mempersarafi spindel otot. Dengan demikian, serabut - serabut otot intrafusal
teraktivasi secara permanen dan lebih mudah berespons terhadap peregangan otot
lebih lanjut dibandingkan normal. Gangguan sirkuit regulasi panjang otot
mungkin terjadi yaitu berupa pemendekan panjang target secara abnormal pada
fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hasilnya adalah
peningkatan tonus spastik dan hiperefleksia, serta tanda - tanda traktus
piramidalis dan klonus. Diantara tanda - tanda traktus piramidalis tersebut
terdapat tanda - tanda yang sudah dikenal baik pada jari - jari tangan dan kaki,
seperti tanda Babinski ( ekstensi tonik ibu jari kaki sebagai respons terhadap
gesekan di telapak kaki ).
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat ( otak dan atau
medulla spinalis ) dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus
desendens lateral dan medial sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis ).

II.3 Neurofisiologi Spastisitas


Definisi spastisitas pada UMN menurut Lance dikatakan bahwa
spastisitas adalah kelainan motorik yang dikarakteristikkan dengan kecepatan
motorik yang bergantung pada peningkatan refleks regang tonik dengan sentakan
otot yang meningkat karena hipereksitasi refleks regang sebagai satu komponen
sindrom UMN.5

Neurofisiologi Spastisitas
Spastisitas dan gambaran - gambaran lain dari sindrom UMN terjadi
ketika jalur motorik desendens yang mengurus kontrol motorik terganggu. Jalur
ini mengontrol refleks spinalis nosiseptif, proprioseptif, kutaneus yang menjadi
hiperaktif dan berperan untuk sebagian besar fenomena positif sindrom UMN.5

Mayoritas fenomena positif sindrom UMN dikarenakan peningkatan


refleks -refleks spinal. Refleks - refleks ini di bawah kontrol supraspinal juga
dipengaruhi oleh input segmental lain. Neurofisiologis spastisitas dimulai dengan
jaras motorik desendens yang terdiri dari neuron upper motorik yang jika
terganggu menimbulkan gejala UMN. Mengikuti hal ini, refleks - refleks spinalis
yang bertanggung jawab untuk manifestasi klinis UMN sudah jelas.5
Berikut ini mekanisme lain yang dapat mendasari peningkatan refleks
spinal, yaitu : 5
1. Jaras motorik desendens : UMN
Spastisitas dan fenomena lain dari sindrom UMN ( positif dan negatif )
muncul karena jaras desendens tertentu yang bertanggung jawab di kontrol
motorik. Jaras ini mengontrol refleks spinal, proprioseptif, kutaneus, yang
menjadi hiperaktif dan berperan untuk mayoritas fenomena positif

UMN.

Pemetaan dan percobaan bertahun - tahun untuk menemukan area - area telah
ditentukan untuk menentukan area yang bertanggung jawab tersebut, kebanyakan
pada binatang. Serabut piramid berasal dari area presentral dan postsentral dari
area kortikal, mereka mengontrol area motorik dalam medulla spinalis.
Ditemukan bahwa pengontrolan fungsi motorik di dalam medula spinalis berasal
dari korteks frontal presentralis ( mayoritas berasal dari korteks primer,
Broadman area 4 dan korteks premotorik area 6 ). Area postsentralis lebih
berperan untuk fungsi pengaturan sensorik . Area tersebut jika dirusak pada
binatang menimbulkan spastisitas.

2. Batang otak yang mengontrol refleks spinalis5


Dari batang otak ada dua sistem yang mengontrol keseimbangan yaitu
inhibisi dan eksitatori, terpisah secara anatomi dan kontrol. Serabut parapiramidal
dari korteks premotorik merupakan kortikoretikular dan merupakan sistem
inhibitorik pada medula ( dorsal piramid ) dikenal sebagai formatio retikulo

ventromedial. Stimulasi pada area tersebut menghambat refleks patela pada


kucing, menghambat refleks vibrasi tonik, dan refleks fleksor aferen . Terdapat
juga input serebelar.
Pada batang otak bagian atas terdapat area yang memfasilitasi refleks
regang spinalis. Stimulasi pada binatang membuktikan area eksitatori terdapat
pada hipotalamus dan subhipotalamus ( basal diensefalon, berkoneksi eferen
dengan badan abu - abu, tegmentum otak tengah, tegmentum pontin dan formatio
retikular bulbar yang terpisah dari area inhibitorik di atasnya ). Stimulasi pada
monyet di area tersebut memperkuat refleks patela. Nukleus vestibularis lateral
merupakan area lain yang memfasilitasi tonus ekstensor, berada di medulla dekat
dengan pons.5 Walaupun kedua area tersebut dianggap sebagai eksitatori dan
memfasilitasi refleks regang spinalis, mereka berperan juga menghambat refleks
aferen fleksor, yang menimbulkan spasme fleksor. Traktus vestibulospinalis
lateralis juga menginhibisi refleks fleksor.5

Gambar 25 Skema representasi sistem desenden utama yang mempengaruhi kontrol inhibitorik dan
eksitatorik supraspinal melalui aktivitas refleks spinalis. Hubungan anatomi dan keseimbangan kontrol
kortikal diantara kedua sistem tersebut berarti bahwa lesi UMN mempengaruhi keluaran pola klinis yang
terjadi : A. Lesi yang mengenai serabut kortikospinal dan kortikoretikular akan memfasilitasi sistem
inhibitorik, yaitu traktus dorsal retikulospinalis. B. Lesi inkomplet medulla spinalis yang mengenai serabut
kortikospinalis dan traktus dorsal retikulospinalis. C. Lesi komplet medulla spinalis yang mengenai serabut
kortikospinalis, serabut dorsal retikulospinalis dan jalur eksitatorik. ( +) mengindikasikan jalur eksitatorik.
( -) mengindikasikan jalur inhibisi. Jalur eksitatorik juga mempunyai efek inhibitorik pada refleks - refleks
fleksor .

3.Jaras - jaras motor desenden lain dari batang otak yaitu:


a. Traktus rubrospinalis memfasilitasi fleksor dan menginhibisi motor neuron
ekstensor 5
b. Traktus serulospinalis
Lokus coeruleus berada di dorsolateral tegmentum pontin dan berjalan kearah
traktus coerulospinalis, berakhir di area servikal dan lumbal, memfasilitasi
inhibisi presinaps pada refleks aferen fleksor, mengeksitasi alfa motorneuron,
menghambat mekanisme inhibisi rekuren sel Renshaw dan pada akhirnya
meningkatkan refleks regang.5
c. Jalur motorik desenden di medula spinalis
Area inhibisi di formatio retikularis medula menekan aktivitas refleks spinal.
Area inhibisi ini mendapat fasilitasi kortikal dari korteks motorik ( utamanya
premotor ) melewati serabut kortikoretikuler yang terdiri dari bagian suprabulbar
yang merupakan area inhibitor dan bekerja sama dengan area yang memfasilitasi
refleks regang spinalis dan ekstensor yang bekerja secara seimbang dengan area
eksitasi pada nukleus lateral vestibuler. Keduanya berlokasi di korda
ventromedial.5

BAB III
LATIHAN BOBATH PADA HEMIPLEGI DEWASA

III.1 Plastisitas
Plastisitas sel saraf

Plastisitas merupakan kemampuan suatu struktur untuk memodifikasi diri


atau berubah. Pembelajaran motorik merupakan suatu perubahan permanen pada
kemampuan motorik pasien secara individu yang disebabkan oleh latihan.
Struktur - struktur yang selalu berada di dalam modifikasi atau perubahan yang
harus dipertimbangkan selama pembelajaran motorik adalah plastisitas saraf dan
plastisitas muskuler. Modifikasi pada fungsi saraf menuju dewasa tampaknya
bertitik berat utama pada perubahan pengaturan dalam kekuatan sinaps yang
ada.7,8
Perubahan - perubahan neuroplastik yang terjadi setelah lesi di otak yaitu
setiap lesi otak yang didapat mengakibatkan kematian sebagian sel neuronal pada
daerah yang terkena, mengganggu proyeksi akson di daerah tersebut, dan
berpotensi terjadi degenerasi neuron ( diaschesis ). Suatu lesi akan
mempengaruhi kontrol motorik dan fungsi, bergantung pada lokasi dan besar lesi.
Neuroplastisitas menunjukkan bukti bahwa otak akan merespons lesi dengan
melakukan reorganisasi dan adaptasi yang ditujukan untuk memulihkan fungsi.7
Terdapat tiga peristiwa neuroplastik yang terjadi pada sistem saraf yang
mengikuti lesi, yang mana memfasilitasi reorganisasi struktural dan fungsi. Tiga
hal tersebut adalah supersensitivitas denervasi, penyebaran kolateral ( colateral
sprouting ), dan pemunculan sinaps yang sebelumnya laten / tidak aktif (
unmasking silent synapsis ). Supersensitivitas denervasi terjadi ketika input dari
sisi otak yang lain hilang, terjadi pengeluaran zat transmiter yang mengakibatkan
peninggian respons pada rangsangan. Target neuron postsinaps menjadi
hipersensitif pada zat tersebut meningkatkan jumlah reseptor. Gambaran
colateral sprouting tampak di sekeliling lesi, yang mana dendrit kolateral saling
berkorelasi dengan sinaps yang hilang karena nekrosis. Unmasking silent synaps
terjadi ketika neuron - neuron yang sebelumnya tidak berfungsi diakses untuk
membentuk sambungan saraf yang baru. Regenerasi dalam sistem saraf ini dapat
berupa suatu adaptasi adaptif atau maladaptif

yang pada akhirnya dapat

mempercepat atau bisa juga dapat memperburuk pemulihan.7


Plastisitas kortikal

10

Area representasi korteks telah ditemukan dapat termodifikasi oleh input


sensorik, pengalaman, dan pembelajaran, begitu juga dalam respons terhadap lesi
pada perubahan yang mengikuti lesi pada otak berujung pada hilangnya fungsi
sensorimotor spesifik yang diwakili area representasi tersebut, yang berakibat
langsung pada konsekuensi fisik dan fungsi. Walaupun tidak dapat pulih seperti
sedia kala banyak penemuan yang mendemonstrasikan plastisitas kortikal dan
pemetaan ulang area mengikuti lesi kortikal. Ketika suatu area representasi
terkena lesi, jaringan di sekitar lesi akan mengambil alih sebagian, terjadi
komunikasi aksonal / sprouting dengan lesi, dan memfungsikan ulang
sensorimotor. Pada tuna netra yang mempelajari huruf Braille terjadi reorganisasi
pada area visual otak yang terasosiasi dengan area perabaan.7
Aktivitas motorik terampil memerlukan koordinasi dan timing otot dan
sendi dan harus dilatih berkali - kali, harus diterapkan dalam aktivitas sehari hari supaya optimal dilakukan. Bayona et al 2005 menyatakan konsekuensi suatu
sistem motorik adalah

gunakan itu atau akan kehilangan. Pada sistem

somatosensorik otak, konsep ini dapat diubah menjadi rangsanglah atau akan
kehilangan hal tersebut . Kedua konsep ini merupakan pertimbangan penting
pada konsep Bobath.7
Plastisitas otot
Seluruh otot mempunyai potensi untuk berubah dengan rangsangan yang
ada, pada setiap bagiannya seperti bentuk, genetik, distribusi serabut saraf,
jumlah dan distribusi alfa motor unit dan sarkomer, panjang tendon, masa otot,
dan lain - lain ).7
Potensi plastisitas berbeda pada setiap individu, intinya adalah manipulasi
dan restrukturisasi pada sistem saraf pusat yang merupakan kunci terapi yang
sukses, neuroplastisitas merupakan rasionalisasi utama untuk intervensi terapi
dalam konsep Bobath.7
Pembelajaran motorik

11

Prinsip pembelajaran motorik membantu kita cara terbaik memanipulasi


kemampuan penderita, mempengaruhi lingkungan untuk mendukung perubahan
neuroplastik yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan motorik.7
Terdapat beberapa fase yang diperlukan untuk mempelajari suatu
keterampilan baru. Fase - fase tersebut menggambarkan suatu kemajuan melalui
penalaran ke tingkat otomatisasi yang lebih baik, menunjukan keberlanjutan
pembelajaran. Berbagai faktor yang dipertimbangkan sebagai penentu penting
pembelajaran motorik yang telah diteliti pada individu sehat yang mempelajari
keterampilan motorik baru yaitu latihan, ada umpan balik yang diperkuat,
pengulangan pelatihan secara mental, modeling, bimbingan, tujuan yang ingin
dicapai.7

III. 2 Penerapan Klinis Yang Mendasari Konsep Bobath


Kontrol Motorik
Konsep Bobath mencakup kesatuan utuh dari pasien, persepsi, sensorik
dan perilaku adaptasi begitu juga masalah motorik penderita dengan terapi yang
dikhususkan pada setiap terapi individu. Potensi pasien dan terapis dieksplorasi
sebagai proses interaksi. Hal ini dihubungkan dengan spastisitas yang tidak saja
melihat pergerakan bertambah sulit tetapi juga merupakan penyebab otot
terposisikan memendek yang lebih lanjut menyebabkan hipertonisitas dan
adaptasi pemendekan. Hipertonus bervariasi pada setiap individu begitu juga
akibatnya.7
Konsep Bobath berorientasi pada tujuan dan spesifik pada tiap tugasnya,
mencari cara untuk mengubah dan merekonstruksi baik lingkungan internal
( proprioseptif ) dan eksternal ( eksteroseptif ) sistem saraf supaya pasien dapat
berfungsi efisien dan efektif. Terapi merupakan proses interaktif antara pasien
dengan latihan atau tugas - tugas yang diberikan dan lingkungannya.7
Pasien dievaluasi untuk keseluruhan fungsi dalam lingkungan yang
berubah dan proses intervensi yang dilakukan berbeda untuk setiap individu

12

sesuai kebutuhan biopsikososialnya. Terapi ditujukan ke sistem neuromuskuler,


medula spinalis dan pusat saraf yang lebih tinggi untuk mengubah performa
motorik dengan mempertimbangkan dan mengurangi spastisitas dapat mengubah
interaksi sistem saraf dan keluaran pergerakan motorik penderita. Pendekatan
Bobath secara langsung untuk mengatasi kelemahan otot dan penataan ulang
kendali motorik sesudah lesi UMN dengan aktivasi selektif reseptor - reseptor ke
permukaan kulit dan otot. Terapi sedini mungkin akan mengurangi hilangnya
jaringan korteks lebih lanjut ( secara sekunder ) dan akan memaksimalkan
peluang lebih besar untuk pemulihan.7
Terapi ditekankan pada partisipasi pasien pada segi pergerakan otomatis
dan pergerakan sadar dan kombinasi keduanya. Kedua tipe pergerakan ini harus
dimiliki oleh pasien dan harus dilakukan dengan bantuan terapis, yang pada
akhirnya harus mampu dilakukan sendiri tanpa bantuan terapis. Untuk belajar dan
mempelajari kembali dapat terjadi, harus ada kesempatan untuk berlatih. Sebagai
bagian proses rehabilitasi pasien, harus dipikirkan penanganan 24 jam untuk
pasien dan cara hidup sehari - hari pasien. Pasien harus diberikan nasehat dan
tuntunan ulang pada pergerakan dan fungsi selama waktu diantara sesi terapi,
untuk menjamin kesinambungan.7
Terapi ditujukan mencegah munculnya spastisitas dan memaksimalkan
fungsi yang tersisa. Terapis tidak dapat menormalkan tonus seutuhnya, tetapi
dapat mempengaruhi hipertonus pada tingkat non-neural dengan memanipulasi
panjang dan jangkauan otot. Pengurangan tonus didapat dengan banyak cara,
yaitu dengan mobilisasi otot - otot dan sendi - sendi yang kaku, peregangan otot
dengan mempraktekkan pola pergerakan normal pada pasien, dan memberi
pembelajaran pada pasien untuk melakukan gerak yang lebih efisien dengan
usaha pergerakan yang lebih hemat tenaga untuk melakukan kegiatan fungsional.7
Analisa pola postur merupakan hal penting dalam pemeriksaan dengan
metode Bobath, pasien diperiksa postur dan pergerakannya melalui titik - titik
kunci maupun hubungan antara titik kunci tersebut. Terdapat tiga titik kunci,
yaitu distal

( tangan dan kaki ), proksimal ( sendi bahu ), dan sentral ( batang

tubuh atau toraks tengah ). Hubungan suatu titik kunci pada postur disebut set

13

postural. Penilaian set postural ada dua yaitu labil dan dinamis. Set postural yang
diperlukan untuk pergerakan fungsional adalah berbaring, berbaring pada satu
sisi, telungkup, duduk, dan melangkah.8
Sistem Sensorik
Sistem sensorik merupakan pemberi umpan balik penting yang
menyediakan informasi tentang lingkungan eksternal dan internal pasien. Sistem
sensorik mendasari pergerakan yang terlatih didasarkan dan mengoreksi
pergerakan menjadi lebih baik.7
Sistem muskuloskeletal
Otot memerlukan aktivitas yang cukup untuk menggerakkan aksi. Sebagai
bagian dalam terapi yang penting, penting bagi pasien untuk mendapatkan
panjang yang cukup dan kemampuan regang baik untuk otot dan jaringan lunak
agar mempunyai lingkup gerak sendi yang cukup dan gerak yang fungsional.
Juga penting untuk mendapat panjang yang cukup untuk aktivasi otot yang
efisien. Optimalisasi panjang otot merupakan hubungan kompleks komponen
stabilitas dan mobilitas untuk tugas yang dilakukan.7
Penyesuaian Terapi
Konsep Bobath dapat disempurnakan dengan modalitas dan disesuaikan
untuk pasien, hal ini termasuk latihan yang terstruktur, penguatan otot, dan
penggunaan ortotik.7
III. 3 Teknik Terapi Pada Hemiplegia Dewasa Dengan Metode Bobath
Latihan neurodevelopmental mengatakan pola abnormal seperti reaksi
asosiasi otot dan sinergi masa otot abnormal harus dihambat, dan pola normal
otot yang dimunculkan harus digunakan untuk memunculkan pergerakan sadar
dan pergerakan otomatis normal.9
Tujuan terapi adalah untuk meningkatlan kualitas pergerakan sisi yang
lumpuh sehingga kedua sisi pasien dapat bekerja harmonis walaupun sudah
pernah terkena trauma otak. Teknik yang dipilih harus dicoba kepada pasien,

14

dites dalam sesi tertentu, efek dari terapi tersebut akan nampak dalam perubahan
tonus postural pasien, pola motorik dan kegunaan fungsional sebagai respons
terhadap terapi.10
Teknik yang dilakukan bergantung pada tingkat pemulihan pasien yang
sudah dicapai, yaitu fase flasid awal, fase spastik, fase pemulihan relatif.11
Teknik Terapi Pada Fase Flasid Awal
Terapi yang dimulai pada fase ini akan menolong pasien bagaimana
pasien menopang tubuh, menahan jatuh, belajar menyeimbangkan tubuhnya
ketika duduk dan berdiri, terapi ditujikan supaya terjadi kerja sama antara sisi
sakit dan sehat.11
Pada fase ini tonus secara umum tidak ada tetapi ditemukan spastisitas
yang intermiten pada reaksi peregangan otot. Terapi merupakan kerjasama terapis
dengan perawat. Berfokus pada penempatan dan pergerakan pasien di tempat
tidur. Pasien diberi semangat dan dibantu dalam penggunaan lengan lumpuhnya
untuk mendukung sedini mungkin karena pembebanan akan memfasilitasi tonus
ekstensor. Perpindahan posisi pada sisi pasien yang sering secara pasif oleh
perawat dalam usaha mencegah deformitas dan dekubitus harus dilakukan
bertahap seperti orang normal berbalik badan sehingga pasien mendapat input
sensorik yang baik.11

Peletakan Pasien
Pasien harus diberi semangat untuk berbaring pada masing - masing sisi
badan untuk beberapa waktu setiap harinya untuk mendukung tonus ekstensor.
Posisi yang merupakan pilihan utama untuk menghambat munculnya tonus
fleksor bagi anggota gerak atas dan tonus ekstensor anggota gerak bawah yang
merupakan gambaran khas hemiplegi adalah posisi berikut yaitu berbaring pada
sisi sehat dengan kepala terfleksi lateral menjauh dari sisi sakit, fleksor lateral
tubuh yang memanjang, lengan lumpuh diganjal di atas bantal di depan pasien
untuk mengusahakan majunya skapula dari posisinya yang teretraksi. Siku dalam

15

posisi terekstensi. Kaki lumpuh harus terletak pada posisi semi fleksi dan kaki
pasien tidak boleh menyentuh ujung tempat tidur karena hal ini akan
menimbulkan refleks mendukung yang positif. Ketika pasien telentang kepala
harus terfleksi lateral sejauh mungkin dari lengan lumpuh. Hal ini untuk melawan
kecenderungan kepala tertarik ke sisi lumpuh.11
Harus ada sebuah bantal di bawah lengan untuk menarik skapula maju,
satu bantal lagi di bawah lutut untuk mencegah keluarnya pola ekstensi pada
anggota gerak bawah. Jika pasien kekurangan tonus ekstensor atau mempunyai
kecenderungan munculnya spastisitas fleksor di ekstremitas bawah, jangan
menggunakan bantal di bawah lutut. Kontraktur fleksor pinggul, lutut dan telapak
kaki haruslah dihindari.10

Gambar 410 Posisi kepala ke lateral menuju sisi sehat, bahu diarahkan ke depan

Gambar 512 Pengganjalan anggota gerak pasien hemiplegi kanan saat istirahat

16

Gambar 610 Rotasi eksternal lengan pada abduksi horizontal, bahu diletakkan ke depan

Gambar 710 Pelvis diangkat dan sisi lateral paha diganjal dengan bantal, merupakan posisi tungkai yang baik

Pasien harus belajar ulang cara berguling di tempat tidur ke sisi lain
tubuh, Pergerakan ini pertama diusahakan secara aktif jika memungkinkan atau
dibantu, atau dibantu secara pasif pada mulanya jika diperlukan. Pola postural
yang khas dari hemiplegi harus dihindari, semua pergerakan dilakukan untuk
melawan pola ini. Pola yang harus dihindari yaitu skapula yang teretraksi,
terdepresi, bahu teradduksi, terputar ke dalam, siku, pergelangan tangan dan jari
terfleksi, lengan bawah terpronasi, pergelangan terdeviasi ke arah ulnar, jari - jari
teradduksi. Pada kaki terjadi ekstensi simultan di pinggul, lutut, tumit dengan
inversi kaki, rotasi internal pinggul. Otot fleksor lateral pada batang tubuh dan
kepala di sisi lumpuh memendek.11
Pergerakan Di Tempat Tidur
Untuk membalik badan, pasien memadukan kedua tangannya dengan
saling mengaitkan jari - jari kemudian menggerakkan kedua tangan yang terkepal
17

tersebut dengan siku terekstensi ke posisi horizontal atau atas kepala kemudian
menggerakkan lengan dan batang tubuh ke sisi lain yang dikehendaki dan dengan
sedikit bantuan memutar panggul dan memindahkan tungkai yang lumpuh.10

Gambar 8

10

Pasien melipat jari jari tangan , kemudian mengangkat lengannya, sendi bahu digerakkan ke

depan dan ke atas.

Gambar 910 Lengan pasien kemudian berpindah, dengan tangan yang terlipat ke dada.

Gambar 1010 Dengan tangan terlipat pasien berguling ke sisi sehatnya dan menjaga posisi bahu tetap di
depan.

Untuk duduk pada tepi tempat tidur pasien dibantu berbaring ke satu sisi,
lengan saling mengunci dan terkepal seperti posisi tersebut di atas, jika
memungkinkan kemudian mengangkat kepala ke arah vertikal dan secara terus 18

menerus mendorong dengan satu atau dua lengannya agar batang tubuh dapat
tegak, kemudian mendorong tungkai ke tepi tempat tidur. Kemudian pasien
dibantu pada setiap langkah prosedur dengan baik. Bagi pasien untuk duduk
sesudah miring dari sisi sehatnya akan lebih mudah, walaupun secara terapi akan
lebih baik baginya untuk duduk sesudah berbaring dari sisi lumpuhnya.10
Ketika duduk lengan yang sakit harus digunakan untuk menopang berat
badan agar mencapai keseimbangan dan mengurangi rasa takut akan jatuh
sehingga pasien belajar untuk merasa aman ketika menopang berat badan pada
sisi sakitnya. Juga dengan memposisikan lengan pada ekstensi, rotasi eksternal,
abduksi bahu, ekstensi siku, supinasi lengan bawah, spastisitas fleksor dihambat
dan otot - otot ekstensor terfasilitasi pada pola fungsional. Awalnya mungkin
diperlukan lengan bawah diletakkan pada punggung pasien untuk mengusahakan
rotasi eksternal yang maksimal dan mendapatkan inhibisi fleksi yang maksimal.
Berikutnya menopang berat badan pada lengan bawah dapat dilakukan dengan
lengan terletak di sisi pasien, kemudian ke depan pasien. Pada tahap ini pasien
harus sudah mampu menggunakan lengannya yang tidak menopang beban tanpa
menimbulkan fleksi berlebihan dan postur yang tidak baik.10

Gambar 1110 Pasien bangkit duduk dari sisi sehat. Bahu dan lengan hemiplegi harus di depan.

19

Gambar 1210 Sambil mempertahankan kedua lutut tetap bertemu, pasien berguling ke sisi sakit.

Gambar 1310 Bangkit duduk dari sisi sakit.

Gambar 1410 Terapis menggerakkan kepala pasien ke sisi sehat.

20

Gambar 1510 Terapis memindahkan bahu pasien dan mengekstensikan lengan. Pasien menggunakan lengan
sehatnya untuk menopang badan.

Ketika pasien masih terbaring di tempat tidur pada fase awal, pasien harus
sudah diajari pengontrolan lengan berfokus pada gelang bahu. Dalam usaha
memaksimalkan pergerakan bahu dan mencegah nyeri, skapula yang terdepresi
dan teretraksi harus dimobilisasi ke arah protraksi dan rotasi ke depan. Dalam
usaha ini, terapis memobilisasi skapula dengan mendukung lengan pasien dalam
posisi ekstensi siku dan bahu berotasi eksternal. Ketika terapis memegang
sepanjang pinggir lateral dan bawah fosa glenoideus skapula, terapis
menggerakkan skapula ke depan, atas dan bawah tetapi tidak ke arah belakang.
Gerakan ini dilakukan secara ritmik berulang dalam perputaran lambat sampai
mobilisasi pasien dirasa terjadi. Kemudian pemegangan dan penempatan lengan
dapat dimulai. Skapula harus dipegang erat ke depan, lengan terekstensi diangkat
melewati kepala.

Gambar 1610 Pasien posisi miring : gelang bahu digerakkan. Pergerakan dilakukan dalam keadaan lengan
rotasi eksternal, bahu dan skapula digerakkan ke atas dan ke arah depan

21

Gambar1710 Pasien posisi berbaring : Mobilisasi gelang bahu ke depan dan ke arah atas dengan lengan
posisi ekstensi dan supinasi. Gerakan ini diikuti dengan elevasi lengan dan menempatkan telapak tangan
sampai mendorong tembok dan jari pertama tangan diabduksikan.

Pasien didorong untuk mencoba mengontrol lengannya pada posisi


dimana lengan diletakkan. Sebelum pasien dapat bergerak melawan gravitasi,
pasien perlu mampu mengontrol anggota geraknya melawan gravitasi. Lakukan
pengetukan ( tapping ) untuk meningkatkan tonus otot yang masih flasid. Reaksi
asosiasi harus dihindari. Saat pasien telah mampu mempertahankan peletakan
postur lengannya, pasien diminta menurunkan lengannya sedikit dan bertahan
pada posisi tersebut. Kemudian pasien diminta mencoba membalik gerakannya.
Saat pasien sudah dapat mempertahankan posisi yang direndahkan tersebut,
kemudian pasien diminta menaikkannya secara aktif. Jika pasien tidak dapat
mengontrol pergerakan maju dan kebalikannya tersebut lengan digerakkan
kembali ke posisi terakhir dimana pasien masih menguasai gerakannya.10

Teknik Terapi Pada Fase Spastik


Fase ini ditandai dengan hipertonisitas. Spastisitas berkembang perlahan
dengan predileksi otot - otot yang berperan pada postur hemiplegi. Terapi pada
fase ini merupakan kelanjutan terapi fase spastik. Terapi peletakan bahu yang
tepat diteruskan ( dimana pasien dapat menghentikan gerak tangannya secara
sadar dan mampu mengangkat tangannya dari titik tersebut ). Terapi pergerakan
dimulai sejak pasien berbaring telentang

dan terus berlanjut saat duduk ke

berdiri.11

22

Sebagai terapi pada fase ini, sangat berguna buat pasien duduk di posisi
kursi tengah dimana tiga kursi dijajarkan bersebelahan, kemudian pasien dapat
berlatih untuk memindahkan diri dari satu kursi ke kursi yang lain pada sisi
lumpuhnya. Saat ini terapis dapat melakukan latihan penopangan lengan pasien,
belajar kontrol pinggul ( memindahkan diri dan meletakkan pinggul pada tengah
kursi tanpa melihat ), merotasikan batang tubuh, usaha mengekstensikan sisi
sakit. Pasien harus bisa melakukan latihan ini dengan batang tubuh dan lengan
dimajukan, tangan saling menggenggam.10

Gambar 1810 Rangkaian teknik fasilitasi untuk berdiri. Latihan mengontrol berdiri dan memindahkan pelvis
dari satu sisi ke sisi lain tanpa menggunakan lengan dan tangan. Rotasi pelvis melawan gelang bahu dan
pergerakan batang tubuh melawan pelvis.

Mengontrol adduksi dan abduksi saat duduk juga penting untuk


dilakukan. Jika pasien merasa kesulitan beradduksi dengan kaki terfleksi, terapis
dapat merasakan ada tahanan spastik ketika pasien dibantu secara pasif. Bantuan
pasif diberikan dengan melakukan rotasi pelvis ke depan saat pasien
menggerakkan kedua kaki ke sisi sehat dan lutut tetap terkatup. Dapat juga
dengan melakukan pengangkatan kaki sisi sakit dan menyilangkannya di atas sisi
sehat, kemudian pasien duduk dengan tangan saling bertaut di seputar lututnya.10

23

Gambar 1910 Mengangkat tungkai lumpuh, melewati tungkai sehat dan duduk dengan tungkai bersilang
( tungkai spastik di atas tungkai yang sehat )

Pasien merasa susah mengontrol kakinya karena spastisitas otot ekstensor,


kaki dirasakan berat dan kontrol dirasa sulit. Pasien dilatih melawan melebihi
hambatan otot ekstensor yang ada ketika dilatih menaikkan kaki. Pasien
dijelaskan bahwa hal ini bukan karena otot pada pasien yang terlalu lemah, tapi
lebih karena pasien cenderung menekan kakinya ke bawah kaerna spastisitas. Hal
ini dapat dibuktikan dengan memfleksikan tungkai secara pasif sampai
maksimum sampai tidak adanya tahanan pada fleksi penuh dan menurunkan
tungkai pelan -pelan sambil menginstrusikan pasien mengontrol tungkainya
dengan baik saat menyentuh lantai tanpa perlu menekan. Walau saat ini pasien
mampu mengangkat tungkai dengan jauh lebih mudah, terapis harus tetap
mempertahankan tangannya sedikit berjarak di bawah kaki yang terdorsofleksi
supaya dapat memeriksa setiap penekanan ke bawah yang dapat mengganggu
proses mengangkat tungkai pasien secara aktif ini.10
Menekuk lutut dan menggerakkan kaki ke belakang di bawah kursi adalah
latihan yang cenderung sulit juga dilakukan, tapi ini penting dalam usaha
menumpukan berat badan di sisi sakit, dan proses fleksi independen lutut sisi
sakit saat jalan melangkah kelak.10

24

Gambar 2010 Menurunkan tungkai lumpuh yang terfleksi pelan pelan. Pasien mengontrol dan menguasai
setiap urutan gerakan. Menggerakkan kaki dalam posisi dorsofleksi ke arah belakang sebelum berdiri.

Saat berlatih proses duduk ke berdiri, pasien diusahakan mampu menumpukan


berat semaksimal mungkin ke sisi sakit, kedua kaki diletakkan sejajar ( lebih baik
tungkai sisi sehat di depan sisi sakit sebelum pasien berdiri ). Pasien secara
otomatis akan menarik sisi sehat ke belakang tepat sebelum berdiri, maka terapis
harus mencegah dengan mengganjalkan kaki terapis secara ringan pada belakang
kaki sehat pasien dan memberi semangat agar pasien bertumpu maju pada
pinggulnya sehingga pasien mulai dapat mendistribusikan berat badan pada
kedua tungkai tepat saat pasien akan berdiri. Kedua lengan selalu dipertahankan
ke depan dan saling menggenggam, pasien harus memandang lurus ( tidak ke
bawah ). Terapis dapat memberikan sedikir tekanan pada lutut untuk memberikan
rasa menumpu , pada saat yang sama menarik lutut sedikit maju untuk
mencegah hiperekstensi lutut yang mendadak dan menekan mundur pinggul
dengan plantar fleksi kaki. Perhatikan supaya batang tubuh pasien tidak bertumpu
di sisi sehatnya.10

Gambar 2110 Tumpuan berat pada


tungkai yang terfleksi, kaki yang lumpuh terletak sejajar dengan kaki sehat. Memulai berdiri, dengan berat
bertumpu pada tungkai yang lumpuh.

25

Cara lain untuk melatih pasien berdiri dan menyangga beban pada kedua
tungkai adalah meminta pasien meletakkan tungkai sakit di lantai dari dipan
tinggi, ketika duduk di sisi sehat dan pasien dapat menyangga beban tubuh
terbantu tangan yang sehat, kemudian pasien menumpukan kaki sakit sedekat
mungkin dengan dipan tersebut, memajukan sisi sakit ( terutama pinggul ) untuk
melawan spastisitas ekstensor. Terapis meletakkan kaki pasien dalam posisi
dorsofleksi dengan satu tangan dan tangan lain memegang tangan pasien dalam
posisi supinasi, menjaga siku pasien terekstensi sehingga reaksi asosiasi tidak
terjadi. Ketika tumit menapak di tanah pasien diminta mengekstensikan lutut
( atau dibantu jika perlu ) dan mempertahankan posisi lutut tersebut agar pinggul
juga terekstensi, sehingga mampu mengangkat tubuh untuk berdiri. Hal ini juga
melatih otot kuadrisep dan ekstensor pinggul tanpa ada tahanan spastisitas selama
kaki dalam posisi dorsofleksi.10
Saat pasien dapat mempertahankan ekstensi lutut, harus dilatih dahulu
pergerakan - pergerakan kecil fleksi ekstensi lutut berganti - ganti. Ketika pasien
sudah merasa lebih siap dan terlatih pergerakan lututnya ( untuk membebankan
tubuh ), pasien diminta mengangkat tangan sehat dari dipan untuk lebih
merasakan pembebanan pada lutut dan menyadari apakah lutut sudah cukup kuat
untuk menopang. Pasien masih dalam posisi duduk selanjutnya diminta untuk
menapakkan kaki sisi sehatnya ke lantai sejajar dengan tungkai sakit. Awalnya
pasien diperbolehkan menumpukan berat pada pinggir dipan tanpa memegang
pinggir dipan, hal ini dimaksudkan agar dapat merasakan distribusi berat yang
harus merata di kedua kaki. Pemindahan berat badan ke kedua tungkai dimulai
dengan penekanan pada sisi sakit, kemudian diminta mengekstensikan dan
memfleksikan kedua lutut bersamaan kemudian bergantian satu demi satu. Jika
pasien sudah dapat memfleksi dan ekstensi kedua lutut secara mandiri satu demi
satu selanjutnya dilatih memfleksikan satu lutut bersamaan dengan ekstensi lutut
yang lain, hal ini penting untuk proses berjalan.10

26

Gambar 2210 Persiapan untuk berdiri pada tungkai yang lumpuh. Pasien turun dari dipan, menumpukan berat
pada tungkai sakit. Mengekstensikan pinggul dan lutut disertai menapaknya kaki di lantai. Tungkai sehat
difleksikan dan tidak menumpu berat badan.

Gambar 2310 Melakukan fleksi dan ekstensi lutut. Terapis mempertahankan sendi bahu naik dengan lengan
dan tangan ekstensi pada rotasi eksternal untuk menghambat spastisitas fleksor.

Stabilisasi sisi sehat tubuh pasien dipertahankan untuk mencegah


pergerakan kompensatorik pinggul dan lebih baik untuk mengisolasi ekstensor ekstensor pinggul dikombinasikan dengan pengaturan sumbu pinggul secara
selektif saat mengangkat bagian belakang tubuh dari alas. Aktivitas ini
mempunyai komponen yang berkaitan dengan proses duduk ke berdiri termasuk
proses pemindahan berat dari pinggul menuju kaki. Tindakan pasien mendorong
batang tubuh untuk mengangkat pinggul dibantu terapis

yang membatasi

jangkauan gerak batang tubuh untuk memaksimalkan aktivitas spesifik pinggul


sehingga pasien dapat mengangkat batang tubuhnya secara mandiri. Peningkatan
stabilitas panggul memungkinkan pasien memperbaiki kontrol ke arah depan
pada lutut yang merupakan komponen penting pergerakan dari berdiri ke duduk.13

27

Gambar 2413 Stabilisasi batang tubuh akan menciptakan transfer berat selektif dari lutut menuju kaki untuk
ekstensi pinggul yang lebih baik dan menjauhkan pendorongan balik pada batang tubuh atas dan
menghasilkan lordosis lumbal yang berlebihan.

Gambar 2513 Fasilitasi dari penguatan aktif otot kuadriseps distal kanan untuk memindahkan berat ke kaki

Gambar 2613 Pengatupan tungkai, dengan aktivitas otot sisi dalam disertai stabilisasi tambahan pada batang
tubuh diperlukan untuk memberikan pasien awalan aktivitas simetris pada pengangkatan pinggul dari alas

28

Gambar 2713 Kemampuan untuk mengisolasi pengangkatan pinggul dicapai pasien tanpa penyetabilan
tambahan oleh terapis kedua.

Gambar 2813 Aktivitas pengatupan tungkai untuk mengaktifkan titik kunci orientasi titik distal sebagai
persiapan pentransferan berat badan, transfer lutut ke arah depan saat berdiri. 13

Teknik Terapi Pada Fase Pemulihan Relatif


Tidak semua pasien dapat mencapai tahap ini. Pada fase ini spastisitas
yang terjadi akan lebih ringan. Pasien mampu berjalan tanpa bantuan,
menggunakan anggota gerak atas untuk menopang berat badan dan
menggenggam secara kasar. Terapi fase ini ditujukan untuk peningkatan kualitas
berjalan dan penggunaan tangan di sisi sakit. Terapi fase kedua saling bertaut dan
bertumpuk / overlapping dengan fase ketiga.11 Bobath menyatakan rehabilitasi
pasien memerlukan terapi aktif mengusahakan gerak optimal untuk aktivitas
sehari - hari dengan melakukan pengulangan aktif kedua sisi pasien yang
memperkuat, mematangkan pergerakan yang dipelajari. Harus diusahakan pasien
tidak mengalami stres karena hal ini memundurkan gerak pasien ke pola spastik.
Rehabilitasi harus memberi kesempatan pasien bergerak otomatis tanpa perlu
29

banyak berpikir tentang geraknya, seperti postur pasien, pergerakan pasien dalam
ritme yang disertai musik, pergerakan pasien tanpa sadar ketika bicara dan
berhitung. Pergerakan sederhana pasien ditangani sesuai urutan perkembangan
manusia, harus dilatih baik di pasien sebelum dikombinasi dengan penggunaan
tangan sesungguhnya dalam aktivitas kehidupan sehari - hari.13
Penggunaan ekstremitas atas penting untuk melakukan aktivitas
kehidupan sehari - hari, penderita stroke biasanya tidak memprioritaskan
kepentingan meningkatkan kemampuan ekstremitas atas daripada ekstremitas
bawah ( pasien lebih memprioritaskan berjalan daripada peningkatan kemampuan
tangan ). Dengan demikian, banyak kasus menunjukkan peningkatan kemampuan
ekstremitas atas memang lebih sulit daripada peningkatan kemampuan
ekstremitas bawah / berjalan, karena ekstremitas atas yang lumpuh cenderung
kurang berfungsi daripada anggota gerak bawah. Kemampuan aktivitas kegiatan
sehari - hari memerlukan kerja sama yang baik dari kemampuan visual, persepsi,
kognisi / penalaran, dan koordinasi yang menyertai lingkup gerak sendi, kekuatan
dan sensorik.9
Secara keseluruhan sistem neurodevelopmental Bobath merupakan
pendekatan normalisasi tonus, dengan mengeluarkan respons keseimbangan
untuk pertama secara otomatis dan selanjutnya melatih kontrol dan pengulangan
terus - menerus secara sadar pada pasien.13

RINGKASAN

30

Hemiplegi suatu tanda klasik penyakit neurovaskuler otak merupakan


salah satu dari berbagai gejala klinis yang paling banyak dijumpai di klinik dan
dapat mengakibatkan gangguan fungsional individu.

Dimana setelah onset

penyakit serebrovaskuler dengan hemiplegia akan tampak tonus otot yang semula
flasid kemudian dengan berjalannya waktu akan berkembang menjadi spastik
disertai hilangnya kontrol motorik dan keseimbangan yang buruk.
Untuk membantu mengembalikan kemampuan fungsional penderita
dengan hemiplegia dari rehabilitasi medik banyak menggunakan berbagai macam
metode latihan. Salah satunya pendekatan yang digunakan adalah dengan teknik
neurodevelopmental yang diperkenalkan oleh Bobath. Dalam metode Bobath
pemeriksaan postur dan pergerakan melalui titik - titik kunci bagian distal,
proksimal, dan batang tubuh merupakan hal penting yang harus diketahui dan
juga penting untuk dilakukan penilaian set postural, karena nantinya hal tersebut
diperlukan untuk pergerakan fungsional.
Pada latihan dengan metode Bobath orientasi adalah pada perbaikan
fungsi motorik dengan berfokus pada praktek normalisasi tonus, inhibisi
spastisitas,

fasilitasi,

dan

stimulasi

kepada

penderita

dengan

aplikasi

pembelajaran motorik dari pergerakan manusia yang fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

31

1. Ryerson SD. Hemiplegia. In : Umphred DA editor. Neurological


Rehabilitation. 3rd edition. St Louis : Mosby; 1990. p. 682 - 4
2. Zorowit R., Baerga E. Stroke. In : Cucurullo S. editor. Physical
Medicine and Rehabilitation Board Review. New York : Demos; 2004.
p. 25
3. Stein J., Brandstater ME. Stroke Rehabilitation. In : Frontera WR, De
Lisa JA editors. Physical Medicine and Rehabilitation Principles and
Practice. 5th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2010. p. 565
4. Meadows L., Williams J. An Understanding of Functional Movement
As A Basis for Clinical Reasoning. In : Raine S, Meadows L editors.
Bobath Concept Theory and Clinical Practice In Neurological
Rehabilitation. United Kingdom : Wiley-Blackwell; 2009. p. 23, 32
5. Barnes MP. An Overview of The Clinical Management of Spasticity.
In : Barnes MP, Johnson GR editors. Upper Motor Neuron Syndrome
and Spasticity Clinical Management and Neurophysiology. 2 nd edition.
New York : Cambridge University Press; 2008. p. 1 13
6. Baehr M., Frotscher M. Sistem Motorik : Suwono WJ editor.
Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. hlm. 51-5
7. Raine S. The Bobath Concept : Developments and Current Theoretical
Underpinning. In : Raine S, Meadows L editors. Bobath Concept
Theory and Clinical Practice In Neurological Rehabilitation. United
Kingdom : Wiley-Blackwell; 2009. p. 5-15
8. Meadows L., William J. An Understanding Of Functional Movement
As A Basis For Clinical Reasoning. In : Raine S, Meadows L editors.
Bobath Concept Theory and Clinical Practice In Neurological
Rehabilitation. United Kingdom : Wiley-Blackwell; 2009. p. 32
9. Zorowitz R. Neurorehabilitation of The Stroke Survivor. In : Selzer
ME, Clarke S editors. Textbook of Neural and Rehabilitation. New
York : Cambridge University Press; 2006. p. 580-2
10. Bobath B editor. Adult Hemiplegia Evaluation and Treatment. 3rd
edition.

London : Elsevier Health Sciences; 1990. p. 70 117

32

11. Trombly CA. The Bobath Neurodevelopmental Approach. In :


Trombly CA editor. Occupational Therapy for Physical Dysfunction.
2nd edition. London : Williams and Wilkins; 1983. p. 95-7
12. Champion J, Barber C. Recovery of Upper Limb Function. In : Raine
S, Meadows L editors. Bobath Concept Theory and Clinical Practice
In Neurological Rehabilitation. United Kingdom : Wiley-Blackwell;
2009. p. 159
13. Fletcher L, Cornall C. Moving Between Sitting and Standing. In :
Raine S, Meadows L editors. Bobath Concept Theory and Clinical
Practice In Neurological Rehabilitation. United Kingdom : WileyBlackwell; 2009. p. 88 111

active learner, promotes motor learning. This involves creating opportunities for
practice and includes involving all members of the multidisciplinary team when
appropriate.
The goal of NDT is to normalize tone, to inhibit primitive patterns of movement, and to facilitate
automatic, voluntary reactions and subsequent normal movement patterns.
Based on the concept that pathologic movement patterns (limb synergies and primitive

33

reflexes) must not be used for training


Suppress abnormal muscle patterns before normal patterns introduced
because continuous use of the pathologic pathways
may make it too readily available to use at expense of the normal pathways Mass synergies avoided, although they may
strengthen weak, unresponsive muscles,
because these reinforce abnormally increased tonic reflexes, spasticity
. Abnormal patterns modified at proximal key points of control (e.g., shoulder and pelvic girdle cucurulo 27 .
Maintaining the patients awareness of their whole body and orientation to midline
in all activities prevents sensory deprivation and improves the patients body
schema .
. Intensity of therapy input has a positive effect on recovery as does the incorporation

of home programmes to enable the patient to consolidate learning.


Quality of life factors including getting back to work and participation in social
activities are key aims of the Bobath therapist, incorporating an understanding of
effi cient movement into the treatment of the individual

34

Anda mungkin juga menyukai