Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson adalah jenis penyakit neurodegeneratif pada sistem saraf
(neurodegenerative) yang bersifat progressive, ditandai dengan ketidakteraturan pergerakan
(movement disorder), tremor pada saat istirahat, kesulitan pada saat memulai pergerakan, dan
kekakuan otot yang paling sering ditemukan di dunia, dengan kurang lebih 1% dari seseorang
berusia diatas 55 tahun mengalaminya. Kemunculan parkinson terjadi paling sering di sekitar
awal usia 60 tahun dan merupakan penyebab tersering gejala parkinsonisme pada seseorang
(75%). Penyakit Parkinson yang diketahui menurun melalui genetik secara autosomal resesif
maupun dominan berjumlah sekitar 5% dari seluruh kasusnya. Pada kasus genetik seperti itu,
umumnya onsetnya akan lebih awal (sebelum 45 tahun) dan lebih lama durasinya
dibandingkan

penyakit

Parkinson

yang

sporadik

pada

umumnya. 1

http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/neurosains/penyakitparkinson/
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat interaksi kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan dalam kemunculan penyakit ini. Di Amerika Serikat, ada sekitar
500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang,
diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun
dengan rentang usia sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di
Sumatera dan Jawa adalah 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri
maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan
alasan yang belum diketahui. Medicinesia
Parkinson Disease (PD) dikarakterisasi secara klinis oleh parkinsonisme (resting
tremor, bradikinesia, rigiditas, dan ketidakstabilan postural). PD pertama kali dideskripsikan
dan dipublikasikan secara resmi dalam An Essay on the Shaking Palsy yang diterbitkan
pada tahun 1817 oleh seorang klinisi dari London bernama James Parkinson (1755-1824).
Pada tahun 1861, Jean-Martin Charcot (1825-1893) bersama Alfred Vulpian (1826-1887)
menambahkan bradikinesia dan rigiditas dalam gejala klinis Parkinson dan pada tahun 1960
pertama kalinya etiologi Parkinson dapat diidentifikasi. 4Windri
Penyakit Parkinson sering merusak kemampuan motorik penderita seperti
keterampilan, ucapan, dan fungsi lainnya (gejala motorik). Gejala lainnya termasuk gangguan
suasana hati, perilaku, berpikir, dan sensasi (gejala non motorik). Gejala-gejala penyakit
Parkinson disebabkan aktivitas yang sangat berkurang dari neurotransmiter dopamine,
terutama di daerah pars compacta dari substantia nigra. Parkinson Disease tidak dianggap

sebagai penyakit yang fatal, namun dengan sendirinya akan berkembang atau bertambah
berat seiring perjalanan waktu. penyakitparkinsonold

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Penyakit Parkinson termasuk dalam kelainan gangguan gerak. Hal ini ditandai

dengan kekakuan otot, tremor, perlambatan gerakan fisik (bradykinesia) dan dalam kasus
yang ekstrim, hilangnya gerakan fisik (akinesia). Gejala utama muncul sebagai hasil dari
stimulasi penurunan korteks motorik di ganglia basal, biasanya disebabkan oleh
kurangnya pembentukan dan aksi dopamin, yang dihasilkan dalam neuron dopaminergik
dari otak. Gejala sekunder dapat mencakup disfungsi kognitif dan masalah bahasa.
Penyakit parkinson idsebut juga sebagai penyakit neurodegeneratif dari sistem
ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis ditandai
oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta (SNC)
yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). 1,7 windri,
penyparkinsonold
PD bersifat kronis progresif. PD juga disebut "parkinson primer" atau "PD
idiopatik" (tidak diketahui penyebabnya meskipun istilah ini tidak sepenuhnya benar
karena kebanyakan mutasi genetik dapat ditemukan). Sementara banyak bentuk parkinson
adalah "sekunder", dimana kasus mungkin terjadi sebagai hasil dari keracunan terutama
obat-obatan, trauma kepala, atau gangguan kesehatan lainnya. Penyparkinsonold
II.

Faktor Risiko 3,4windri

Penuaan
Peran yang memungkinkan dari penuaan pada patogenesis penyakit parkinson
diduga dari kejadian penyakit parkinson yang pada umumnya pada usia lanjut dan
prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Kontribusi usia terhadap
munculnya penyakit ini lebih jauh didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan
menurunnya dopamin striatal dan sel-sel penghasil dopamin di dalam substansia nigra.
Faktor Lingkungan
Penyebab spesifik Penyakit Parkinson belum diketahui secara pasti. Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terjadinya
Penyakit Parkinson. Pertimbangan peran faktor lingkungan sebagai penyebab PD
terutama didukung dengan penemuan pada tahun 1983 bahwa paparan MPTP (1-methyl4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine) mampu mencetuskan parkinsonisme pada manusia.

Peran faktor lingkungan juga diperkuat dengan hasil dari studi ganda seperti dibahas di
bawah ini, yang awalnya muncul untuk menyingkirkan peran penting faktor genetik.
Kemungkinan peran faktor lingkungan telah ditunjukkan oleh beberapa studi
epidemiologi yang telah diteliti dengan baik. Banyak penelitian ini telah menunjukkan
hubungan antara masyarakat pedesaan, minum air sumur, atau paparan herbisida /
pestisida meningkatkan risiko PD. Namun, bagaimana peran zat-zat tersebut secara tepat
masih sulit dipahami. Beberapa bahan toxin eksogen telah dihubungkan dengan kejadian
parkinson, termasuk di sini bahan-bahan logam, sianida, bahan pelarut organik,
karbonmonoksida, dan karbondioksida.
Faktor Genetik
Selama bertahun-tahun, faktor genetik dianggap tidak mungkin untuk memainkan
peran penting dalam patogenesis PD. Konsep ini terutama didasarkan pada studi yang
dilakukan di awal tahun 1980-an yang menunjukkan sangat rendahnya kejadian penyakit
parkinson di antara kembar identik. Namun demikian, banyak peneliti yang menyebutkan
PD kadang ditemukan dalam satu keluarga. Kemajuan yang paling penting dalam
penelitian PD beberapa tahun terakhir juga telah mengidentifikasi penyakit spesifik yang
menyebabkan mutasi, sehingga memungkinkan untuk mulai mengeksplorasi patogenesis
pada tingkat molekuler.
Anatomi
Anatomi Gaglia Basalis

III.

Ganglia basalis terdiri dari striatum, globus palidus dan nucleus subthalamicus.
Disebut ganglia basalis karena hampir seluruhnya terletak di basal dari hemisfer serebri.
Striatum merupakan target dari input korteks menuju ke ganglia basalis. Striatum
dibentuk oleh nucleus caudatus dan putamen. Globus palidus merupakan sumber output
terhadap thalamus dan dibagi menjadi segmen interna dan segmen eksterna.
Ganglia basalis menerima input dari korteks serebri di striatum, kemudian input
diteruskan ke globus pallidus dan kemudian menuju substansia nigra. Kemudian sinyal
diteruskan kembali ke korteks cerebri melalui thalamus. Fungsi ganglia basalis
mempertahankan tonus otot yang diperlukan untuk menstabilkan posisi sendi. Adanya
kerusakan pada struktur ganglia basalis menyebabkan gerakan yang tidak terkontrol
seperti tremor. Berkurangnya dopaminergik (neurotransmitter dopamin) dari substansia
nigra ke striatum terjadi pada penyakit Parkinson. Ganglia basalis mendapat masukan
saraf aferen dari korteks serebri dan thalamus. Pintu masuk saraf aferen ke basal ganglia

adalah putamen (striatum), sedangkan pintu keluarnya adalah globus pallidus. Saraf
aferen dari ganglia basalis ini selanjutnya menuju ke thalamus dan korteks motorik
(serebri).7windri

IV.

Patofisiologi dan Patogenesis medicinesia


Pemeriksaan makroskopik pada otak seseorang yang mengalami penyakit

parkinson memperlihatkan adanya atrofi ringan di daerah frontal dengan hilangnya


pigmen melanin di daerah midbrain saat ditilik secara mikroskopik. Secara mikroskopik
juga ditemukan adanya degenerasi sel dopaminergik dan keberadaan badan Lewy (Lewy
bodies/LB) pada neuron-neuron yang tersisa, prosesus substansia nigra pars compacta
(SNpc), nukleus lain di batang otak, serta region-region lain seperti otak bagian medial
temporal, kortikal, dan sistem limbik. Badan Lewy memiliki konsentrasi alfa-synuclein

dan merupakan penanda patologik utama dari penyakit ini. Mutasi pada gen alfasynuclein dapat menyebabkan penyakit Parkinson familial dengan cara mempromosi
formasi alfa-synuclein-positive filaments yang akan beragregasi menjadi badan Lewy dan
neurit Lewy. Hal ini akan pertama terjadi di nukleus olfaktorius anterior dan daerah
bawah batang otak (tepatnya di nukleus glossofaringeal dan vagal), dan juga berkaitan
dengan lokus seruleus, n. gigantocellularis, dan nukelus raphe. Kemudian formasi badan
Lewy tersebut akan menyebar ke nukleus magnoseluler di daerah basal forebrain, nukelus
sentralis amigdala, dan SNpc tadi. Apabila sudah semakin lanjut maka dapat menyebar
sampai ke thalamus dan korteks serebri. Keterlibatan daerah ekstranigral inilah yang
menyebabkan terjadinya gejala klinis non-motorik dan aspek motorik non-responsif
terkait levodopa pada penyakit parkinson. Kehilangan sel dopaminergik di SNpc dapat
menyebabkan denervasi striatum, yang dapat menyebabkan simptom motorik di penyakit
parkinson. Biasanya simptom ini muncul setelah terjadi kehilangan dopamin sebesar 5070% dari normal.

Semakin banyak bukti bermunculan bahwa penyakit parkinson dipengaruhi secara


kuat oleh faktor genetik. Terdapat 8 gen yang telah diidentifikasi mempengaruhi penyakit
Parkinson (tabel 1). Gen di lokus PARK 1, PARK 4, dan PARK 5 menyebabkan penurunan
autosomal dominan, kemunculan gejala yang dini dan progresi gejala yang cepat. Mutasi
gen PARK 1 menyebabkan agregasi abnormal alfa-synculein. Sementara itu, PARK 2 dan
PARK 7 menyebabkan penurunan autosomal resesif dan onset penyakit saat remaja. PARK
2 mengkodekan parkin, sebuah elemen dari ubiquitin, yang berfungsi dalam sistem
proteasomal sebagai penanda awal protein sebelum didegradasi di sistem proteasomal.
PARK 5 pun mengkode komponen ubiquitin lain, yaitu ubiquitin carboxy-terminal
hydroxylase L1 (UCH-L1). Kelainan pada sistem proteasomal tersebut akan menyebabkan

terjadinya penumpukan protein abnormal dan berkontribusi pada pathogenesis penyakit


Parkinson.

Sebagai kesimpulan, kematian sel dopaminergik adalah vulnerabilitas genetik,


stress oksidatif, disfungsi proteasomal, aktivitas kinase abnormal, dan faktor lingkungan
yang masih belum teridentifikasi. Stres oksidatif berperan dalam pathogenesis penyakit
Parkinson, dimana kerusakan yang diinduksi oleh radikal bebas menyebabkan apoptosis
sel dini dan kegagalan pembentukan energy. Salah satu penyebab pentingnya adalah
MPTP, derivat dari mepedrin, dan rotenone, insektisida yang sering digunakan. Keduanya
menyebabkan stres oksidatif dengan menginhibisi kompleks I mitokondria. Stress
oksidatif ini juga menyebabkan penumpukan alfa-synuclein dan disfungsi proteasomal.

Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan
kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40
50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewybodies). Lesi primer pada
penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di dalam
batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat
dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung
saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1(eksitatorik) dan reseptor D2(inhibitorik)
yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus
palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk
reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan
indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.

Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra


pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan
terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih
dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang
eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmitter GABA
(inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga

jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada
yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna
berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke
nukleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat
akibat inhibisi.Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik
akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus /substansia nigra. Keadaan
ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output
ganglia basalis menjadi berlebihan kearah talamus. Saraf eferen dari globus palidus
segmen interna ke talamus adalah GABAergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan
dan selanjutnya rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan
menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi
hipokinesia.

.
Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung
Struktur otak yang terlibat pada PD selain substansia nigra adalah area
tegmentum ventral, lokus ceruleus, dan nucleus basalis. Terdapatnya defisit kolinergik
yang berhubungan dengan lesi di nucleus basalis diyakini berperan pada timbulnya gejala
neuropsikiatri dan defisit kognitif pada PD. Gejala tersebut juga dihubungkan dengan

defisit dopaminergik korteks akibat reduksi neuron VTA, defisit serotonin oleh karena
keterlibatan nucleus raphe serta terdapatnya badan Lewy di kortek. Jadi selain defisiensi
dopamine, terjadi pula abnormalitas dari serotonin, norepineprin dan asetilkolin.
Keterangan Singkatan :
D2

: Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik

D1

: Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik

SNc

: Substansia nigra pars compacta

SNr

: Substansia nigra pars retikulata

GPe

: Globus palidus pars eksterna

GPi

: Globus palidus pars interna

STN

: Subthalamic nucleus

VL

: Ventrolateral thalamus = talamus

V.

Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya Parkinson dapat dibagi atas empat bagian besar yaitu : 9windri
1. Primer atau idiopatik
- Penyakit Parkinson
- Juvenile Parkinsonism
2. Sekunder atau simptomatik
- Infeksi dan pasca infeksi misalnya pasca ensefalitis.
- Toksin ; MPTP, CO, Mn, Mg, metanol, etanol, sianida.
- Obat-obatan : Antipsikotik, anti emetik, reserpin, tetrabazine, alfa metil dopa,
lithium.
- Vaskular ; multiinfark serebral
- Trauma Kranioserebral (Pugilistic encephalopahaty)
- Hipotiroid
- Tumor
3. Parkinsonism plus atau paraparkinson
Pada kelompok ini gejala parkinson merupakan sebagian dari gambaran penyakit
secara keseluruhan. Beberapa contohnya adalah ;
- Progresive supranuklear palsy.
- Multisystem atrophy.
- Degenerasi ganglionik kortikobasal
- Sindroma demensia
- Normopressure hidrosefalus.
4. Kelainan heredogeneratif :
- Seroid-lipofusinosis
- Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker
- Penyakit Hallevorden-Spatz
- Penyakit Huntington

VI.

Neuroakantosis dll
Manifestasi Klinis medicinesia

Manifestasi klinis dari penyakit Parkinson dibagi menjadi gejala umum dan khusus, yaitu :

Umum :

Gejala mulai pada satu sisi

Tremor saat istirahat

Tidak didapatkan gejala neurologis lain

Tidak dijumpai kelainan laboratorik dan radiologis

Perkembangan lambat

Respon terhadap levodopa cepat dan dramatis

Gangguan refleks postural tidak dijumpai di awal penyakit

Khusus (gejala motorik pada penyakit Parkinson) :

Tremor, umumnya laten, dan saat istirahat

Rigiditas

Akinesia/bradikinesia, dimana ditemukan mask-like face, berkurangnya kedipan


mata, suara kecil, air liur menetes, gerakan cepat tidak terkontrol (akatasia), tulisan
semakin kecil, berjalan dengan langkah kecil-kecil, dan sulit duduk atau berdiri

Hilangnya refleks postural.


Kriteria penegakan diagnosis penyakit Parkinson secara umum adalah dengan

menemukan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik, yaitu tremor, rigiditas, dan
bradikinesia, atau tiga dari empat tanda motorik, yaitu ketiga tanda diatas ditambah
ketidakstabilan postural. Berdasarkan staging Hoehn dan Yahr, terdapat 5 stadium dalam
penyakit parkinson, yaitu :
1.

Stadium satu.

Gejala dan tanda terdapat pada satu sisi, ringan, terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak
menyebabkan kecacatan. Biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak. Gejala yang
muncul dapat dikenali orang terdekat pasien.2

2.

Stadium dua.

Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, dan sikap/cara berjalan terganggu.2


3.

Stadium tiga.

Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan/berdiri, dan
disfungsi umum sedang.2
4.

Stadium empat.

Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, rigiditas
dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, dan tremor dapat berkurang dibandingkan
stadium sebelumnya.2
5.

Stadium lima.

Stadium kakhetik (cachetic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri sendiri dan berjalan,
dan memerlukan perawatan tetap.2

Tabel. Manifestasi klinis parkinsonism


VII.

DIAGNOSIS 3,4windri
Diagnosis PD berdasarkan klinis dengan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit,

pemeriksaan neurologi, dan respon terhadap terapi pengganti dopamin. Sampai saat ini belum
ada tes laboratorium yang dapat menegakkan diagnosis. Bahkan pemeriksaan neuroimaging
seperti CT scan dan MRI kepala tidak memberikan informasi yang berarti.
Gejala yang menunjang tegaknya diagnosis PD adalah gejala bersifat asimetris pada
saat onset, adanya resting tremor, dan berespon baik terhadap terapi pengganti dopamine.
Kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia adalah :

kriteria Hughes (PERDOSSI, 2013) :


Possible :
Terdapat salah satu gejala utama:
1. Tremor istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan refleks postural

Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) alternatif lain : tremor
istirahat asimetris, rigiditas asimetris atau bradikinesia asimetris sudah cukup
Definite
Bila terdapat koombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang tidak
simetris (tiga tanda cardinal), atau dua dari tiga tanda tersebut, dengan satu dari ketiga tanda pertama
asimetris. Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan beberapa
bulan kemudian.

Untuk kepentingan kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya


penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr (1967) yaitu :

Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat
gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat
tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat

(teman).
Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan

terganggu
Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat

berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang


Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat

berkurang dibandingkan stadium sebelumnya


Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri
dan berjalan walaupun dibantu.7,8

VIII.

Diagnosis Banding

Dibawah adalah diagnosis banding untuk penyakit yang memunculkan gejala parkinsonisme
(gejala mirip penyakit Parkinson) :
Primary Parkinsonism
Genetically based PD

Idiopathic (sporadic) PD (most common form)


Phenotype may be influenced by vulnerability genes and environmental factors
Other neurodegenerative disorders
Disorders associated with -synuclein pathology
Multiple system atrophies (glial and neuronal inclusions)
Striatonigral degeneration
Olivopontocerebellar atrophy
Shy-Drager syndrome
Motor neuron disease with PD features
Dementia with Lewy bodies (cortical and brainstem neuronal inclusions)
Disorders associated with primary tau pathology (tauopathies)
Progressive supranuclear palsy
Corticobasal degeneration
Frontotemporal dementia
Disorders associated with primary amyloid pathology (amyloidopathies)
Alzheimers disease with parkinsonism
Genetically mediated disorders with occasional parkinsonian features
Wilsons disease
Hallervorden-Spatz disease
Chdiak-Hagashi syndrome
SCA-3 spinocerebellar ataxia
X-linked dystonia-parkinsonism (DYT3)
Fragile X premutation associated ataxia-tremor-parkinsonism syndrome
Huntingtons disease (Westphalt variant)
Prion disease
Miscellaneous acquired conditions
Vascular parkinsonism
Normal pressure hydrocephalus
Catatonia
Cerebral palsy
Secondary Parkinsonism
Repeated head trauma (Dementia pugilistica with parkinsonian features)
Infectious and postinfectious diseases
Postencephalitic PD
Neurosyphillis
Metabolic conditions
Hypoparathyroidism or pseudohypoparathyroidism with basal ganglia calcifications
Non-Wilsonian hepatolenticular degeneration
Drugs
Neuroleptics (typical antipsychotics)
Selected atypical antipsychotics (see text)
Antiemetics (e.g., compazine, metoclopramide)
Dopamine-depleting agents (reserpine, tetrabenazine)
-Methyldopa
Lithium carbonate
Valproic acid
Fluoxetine
Toxins
1-Methyl-1,2,4,6 tetrahydropyridine (MPTP)
Manganese

Cyanide
Methanol
Carbon monoxide
Carbon disulfide
Hexane
IX.

Tatalaksana
Tatalaksana pada penyakit Parkinson dapat dibedakan menjadi tiga sifat, yaitu

simptomatik (memperbaiki gejala dan tanda), protektif (mempengaruhi patofisiologi


penyakit), dan restoratif (mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi
sel neuron yang ada). Pendekatan tatalaksana dari penyakit Parkinson meliputi : mediciasana

Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: (1) meningkatkan dopamin di


sinaps (dengan levodopa), (2) memberikan agonis dopamin, (3) meningkatkan
pelepasan dopamin, (4) menghambat re-uptake dopamin, (5) menghambat degradasi
dopamin

Manipulasi neurotransmitter non-dopaminergik dengan obat antikolinergik dan obat


lain yang memodulasi sistem non-dopaminergik

Memberi terapi simptomatik terhadap gejala dan tanda yang muncul

Memberikan obat neuroprotektif terhadap progresi dari penyakit Parkinson

Pembedahan ablasi (tallamotomi/pallidotomi), simulasi otak dalam, atau brain


grafting

Terapi pencegahan berupa penghilangan faktor risiko atau penyebab penyakit


Parkinson

Terapi simptomatik yang digunakan dalam tata laksana penyakit Parkinson terbagi
menjadi terapi medis dan terapi operatif. Terapi medis yang digunakan dapat berupa terapi
farmakologi (obat dopaminergik dan dopamine agonis, obat kolinergik, dan terapi untuk
gejala non motorik) dan terapi non farmakologis (edukasi, self help group, latihan, terapi
wicara). Sedangkan untuk terapi operatif dapat dilakukan ablative/lesioning (Thalamotomy,
pallidectomy) dan Deep Brain Stimulation (Pallidum, nucleus subthalamicum). Tujuan
penatalaksanaan PD adalah mengkontrol tanda dan gejala selama mungkin dengan

meminimalkan efek samping obat. Penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien
menurun secara drastis bila pengobatan tidak segera diberikan segera setelah tegaknya
diagnosis.
Pada saat diambil keputusan untuk memulai terapi parkinson perlu dipertimbangkan
beberapa hal sebagai berikut ; Usia pasien, pekerjaan, tugas dan lingkungan pasien bekerja.
Beratnya gejala yang diderita, biaya pengobatan, kualitas hidup penderita. Tujuan dari terapi
sendiri ialah mengupayakan pasien agar dapat menjalani aktivitas sehari harinya menyerupai
keadaan yang normal tanpa mengalami efek samping yang berarti.
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani parkinson antara lain :
1. Tingkat disabilitas pasien.
Bila pasien mengalami hambatan yang signifikan dalam aktivitas kesehariannya,
atau kemampuan kerjanya terganggu, sehingga membuat pasien kehilangan
pekerjaan maka terapi L-dopa perlu diberikan.
2. Prevensi fluktuasi.
Penggunaan agonis dopamin sebagai obat awal dapat mengurangi risiko timbulnya
diskinesia, wearing off dan on off phenomenon.
3. Usia pasien.
Pasien parkinson dengan usia dibawah 65 tahun umumnya lebih mampu
mentoleransi medikasi dan risiko terjadinya efek samping. Pasien usia lanjut
mengalami kesulitan dengan munculnya gangguan kognitif dan psikiatrik. Pada
kelompok usia lanjut obat antikolinergik dan amantadin digunakan secara hati-hati,
agonis dopamin mungkin juga disertai efek samping yang lebih banyak pada usia
lanjut.
4. Profil efek samping obat.
Efek samping mengantuk mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan
penggunaan agonis dopamin. Edema juga dapat muncul pada pemakaian dopamin
dan amantadin.

Terapi Simtomatik dan Neuroprotektif 5,7,9windri


Terapi farmakologik dari PD dapat dibedakan menjadi terapi simtomatik dan
neuroprotektif.
1. Levodopa kombinasi dengan carbidopa atau benzerazide, suatu peripheral decarboxylase
inhibitor (PDI) cepat diubah mejadi dopamine di luar otak oleh enzim dopa
dekarboksilase, oleh karena itu dikombinasikan dengan carbidopa yang menghambat

enzim tersebut sehingga meningkatkan jumlah levodopa yang sampai ke otak. Levodopa
merupakan gold standar pengobatan simtomatik PD.
Carbidopa menghambat dekarboksilasi levodopa menjadi dopamin dalam sirkulasi

sistemik, menyebabkan distribusi levodopa yang berlebihan menuju sistem saraf pusat.
Levodopa sebagai antiparkinson memberikan keuntungan untuk gejala motorik dengan
efek samping paling kecil dalam waktu pendek, sedangkan pemakaiannya dalam jangka
panjang dihubungkan dengan wearing off dan dyskinesia. Ketika wearing off dan
dyskinesia timbul maka akan menjadi masalah yang sulit diatasi.
Dosis carbidopa/levodopa 10/100 mg, 25/100 mg, 25/250 mg dimulai dengan dosis

rendah, pada stadium awal 10/100 mg 2-3 x per hari dan dinaikkan sampai tercapai
-

respon yang optimal.


Efek sampingnya : nausea, distress gastrointestinal, hipotensi, depresi, aritmia jantung,

diskinesia.
2. Monoamine oxidase (MAO)-B inhibitor dapat dipertimbangkan sebagai terapi awal
pada gejala awal. Obat ini menghambat oksidasi dopamine oleh monoamin oksidase B
sehingga meningkatkan jumlah dopamin dalam otak dan menurut laporan Cochrane
meningkatkan indikator outcome jangka panjang pada kualitas hidup sebesar 20-25%.
Preparat yang digunakan silegiline 10 mg/hari.
- Efek sampingnya : nausea, dizzines, nyeri perut, halusinasi, mulut kering.
3.

Dopamine agonis (ropinirole, pramipexole) bekerja langsung pada Reseptor dopamine,


digunakan sebagai tambahan pada terapi levodopa/carbidopa. Dapat memberikan efek
neuro proteksi pada neuron dopaminergik.
- Contoh preparatnya :
1. Bromocriptin mesylate 4-40 mg/hari, dosis terbagi 4-5 kali/hari
2. Pergolide mesylate 0.75-2.4 mg/hari
3. Pramipexole 1.5-4 mg/hari
- Efek sampingnya : mual, muntah, hipotensi, halusinasi.

4.

Antikolinergik menghambat aktivitas berlebih dari neurotransmiter asetilkolin untuk

menyeimbangkan aktivitas dopamine yang berkurang. Obat ini efektif untuk mengontrol
tremor sebagai terapi tambahan pada pemberian levodopa.
- Preparat yang sering digunakan adalah :
1.
2.
3.
4.

Trihexylphenidil 3-15 mg/hari


Benztropine mesilate 1 mg/hari
Biperiden 3-6 mg/hari
Orphenadrine 150-400 mg/hari

- Efek sampingnya : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin.

5.

COMT inhibitor meningkatkan efek levodopa dengan menghambat enzim catechol O

methyl tranferase yang memetabolisme levodopa sebelum masuk otak. Diberikan entacapone
200 mg/hari, dosis maksimal 1600 mg/hari.
- Efek sampingnya : halusinasi, nausea, gangguan tidur, sakit kepala, diskinesia.
Pada pasien usia muda (<60 tahun), obat yang dapat digunakan antara lain antikolinergik, DA
agonist, amantadine, atau MAOB-I. Keuntungan yang dapat diperoleh yaitu pengendalian
simptomatik ringan selama 6-8 bulan, dan kurang dari L dopa. Komplikasi motorik kurang
dari L dopa sedangkan komplikasi non motorik lebih dari L dopa (halusinasi, somnolen,
hipotensi ortostatik). Sedangkan pada pasien usia lanjut, obat yang dapat digunakan yaitu L
dopa dan dopamine agonis/dopaminergik. Untuk pemilihan obat, keduanya dapat diberikan.
Pada pemberian L dopa dikatakan paling efektif, dengan komplikasi motorik dan non motorik
setelah beberapa tahun(setelah ditambahkan DA agonis). Pada pemberian DA agonis atau
dopaminergik lainnya dikatakan kurang efektif, selanjutnya membutuhkan L dopa, dengan
efek samping halusinasi, somnolen, dan hipotensi ortostatik.
Rekomendasi terapi yang digunakan pada Parkinson stadium awal berdasarkan usia yaitu:
< 40 tahun : dopamine agonist / Dopaminergik lainnya
40-60 tahun : Gray zone, L-Dopa atau Agonis
kelebihan L-Dopa:lebih efektif, lebih murah, pengaturan dosis lebih mudah, respon
lebih cepat pada saat titrasi
>60 tahun:
1.

L-Dopa, kemudian ditambahkan DA agonist/dopaminergic lainnya

2. Dopamine agonis/dopaminergik lainnya, kemudian ditambahL-Dopa.


Pada 25-30% pasien dengan L dopa akan memberikan komplikasi motorik atau pun
non motorik, 50% akan timbul setelah 5 tahun dan 80% akan timbul setelah 10 tahun. Pasien
dengan advanced Parkinson akan memberikan gejala klinis sebagai berikut : hilangnya
respon terhadap dopamine, fluktuasi motorik, diskinesia akibat obat, kelainan psikiatri karena
obat, freezing, gangguan tidur, depresi, gangguan kognitif, patologi akan mengenai bagian
luar ganglia basalis.
Pada penggunaan jangka panjang dari L dopa, dapat terjadi komplikasi yang terbagi
menjadi kompikasi motorik (fluktuasi motorik dan diskinesia) dan komplikasi non motorik
(sensorik, otonomik, dan psikiatrik).
Secara singkat, tatalaksana dari penyakit Parkinson diterangkan pada gambar berikut ini :

X.
1.

Komplikasi
Komplikasi motorik : 5,7,9 windri
Fluktuasi motorik
Terdiri dari wearing off yang merupakan efek L dopa yang singkat(<4jam), di mana

gejala Parkinson muncul kembali. Fenomena on-off, on terjadi gejala diskinesia (chorea,
distonia, tics, mioklonus), off terjadi gejala akinesia. Dalam mencegah dan usaha tata
laksana fluktuasi motorik ini, digunakan beberapa cara antara lain : tunda penggunaan L-dopa
pada pasien berusia muda < 60 tahun, gunakan DA agonis sebagai terapi inisial, obat-obat
baru untuk tatalaksana dan pencegahan, terapi inisial dengan MAOB inhibitor yang baru
(rasagilline). Terapi tradisional yang digunakan pada fluktuasi motorik ditujukan untuk
peningkatan efikasi L dopa dengan pengaturan dosis L-dopa, dilakukan dengan peningkatan
dosis L-dopa, digunakan dosis yang lebih kecil dan sering, serta penggunaan extended
release L-dopa.
Diskinesia
Tipe gerakan yang dapat muncul antara lain chorea, balismus, distonia, myoclonus, dan
tics. Sedangkan pola gerakan yang dapat muncul yaitu peak-dose dyskinesia: choreic,

diphasic dyskinesia: choreic(overdose) or dystonic(underdose), square-wave dyskinesia,


early morning dystonia, off-period dystonia, yo-yoing.
Penatalaksanaan yang dapat digunakan pada pasien dengan dominasi choreiform dan
terkadang dengan distonia yaitu penurunan dosis tiap L-Dopa secara gradual, turunkan dosis
L-Dopa , penambahan DA agonist atau COMT inhibitor, penambahan amantadine, dan
Selective 5-HT1A agonist (Sarizotan) 2-5 mg dua kali sehari. Sedangkan untuk tata laksana
distonia, pada off distonia : peningkatan L-dopa, atau penambahan DA agonist atau COMT
inhibitor. Sedangkan pada peak dose distonia dilakukan kurangi L-dopa, penambahan atau
peningkatan DA agonist.
2.

Komplikasi Non Motorik

Pada penggunaan jangka lama dapat muncul komplikasi non motorik yang dapat berupa :
5,6windri

- Gangguan psikiatrik : kognitif (gangguan memori, confusion, demensia), depresi, psikosis,


gangguan tidur (daytime sleepiness, sleep fragmentation, restless leg),
- Disfungsi otonom (konstipasi, disfungsi sphincter, hipotensi ortostatik, disfungsi seksual)
- Gangguan sensorik : nyeri otot, restless leg, paresthesia, rasa terbakar, baal.
XI.

Prognosis old parkinson


PD tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal tetapi penyakit ini akan berkembang

dengan perjalanan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien PD pada umumnya lebih rendah
daripada orang yang tidak terkena penyakit ini. Pada tahap akhir penyakit, PD dapat
menyebabkan komplikasi yang dapat pula menyebabkan kematian. Perkembangan gejala
pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Pada beberapa orang penyakit ini dapat
berlangsung lebih cepat. Dengan perawatan yang tepat, kebanyakan orang dengan PD dapat
hidup produktif selama bertahun-tahun setelah diagnosis ditegakkan. Pada beberapa
penelitian, telah diamati bahwa mortalitas meningkat secara signifikan, dan umur panjang
mengalami penurunan pada pasien yang tinggal di rumah jompo dibandingkan dengan pasien
yang tinggal dalam komunitas masyarakat yang lebih luas.
ttp://www.neuroanatomy.wisc.edu/virtualbrain/BrainStem/20Substantia.html
anatomi

Anda mungkin juga menyukai