Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial
perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma
paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh
Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling
sering di dunia.1
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang,
dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells
palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi
pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang
yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.2
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika
dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan
kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal
pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi
kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi.
Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi
yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan
menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat
menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.2
Rehabilitasi medik pada penderita Bells palsy diperlukan dengan tujuan
membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan
mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga

penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi


dengan masyarakat.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Bells palsy adalah suatu kelumpuhan unilateral nervus fasialis yang penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik) yang terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri.4
Definisi lain dari Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses nonsupuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari
foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.2

ANATOMI
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor
neuron (LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower motor
neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak
atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya pergi ke otot.
Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri seperti flasid , atoni, atrofi, fasikulasi, reflex
fisiologis menurun namun tidak ditemukan reflex patologis.5
Nervus facialis adalah saraf kranial yang mempunyai serabut-serabut sensorik
berupa somatosensorik dan viserosensorik dan motorik berupa somatomotorik dan
viseromotorik. Saraf

facialis mempunyai dua subdivisi, yaitu nukleus motorik yang

mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, sedangkan subdivisi yang lebih kecil yaitu nervus
intermedius yang membawa aferen somatik dan otonom serta eferen otonom. Nervus
facialis akan berjalan dengan Nervus Vestibulocochlearis akan melalui meatus acusticus
internus. Selanjutnya Nervus facialis akan berjalan dalam canalis facialis. Dalam canalis
facialis, nervus facialis membentuk ganglion geniculatum dan chorda tympani kemudian
keluar melalui foramen Stylomastoideus yang selanjutnya mempersarafi otot-otot wajah.6
1.Nucleus facialis

Merupakan nukleus somatomotorik khusus ( branchiomotorik ) yang terletak


dilateral tegmentum pontis kemudian berjalan mengelilingi bagian kranial nukleus
abdusens yang dikenal sebagai genu nervi facialis. Dari genu tersebut berjalan kearah
ventrolateral untuk keluar pada permukaan batang otak pada tepi kaudal pons. Serat-serat
branchiomotorik ini melayani otot-otot muka ( mm faciales ), Platysma myoides, m
stylohyoideus dan venter

posterior m digastricus dan secara khusus mengurus m

stapedius. Dari gyrus precentralis lobus frontalis cortex cerebri berjalan tractus
corticonuclearis menuju nukleus facialis. Bagian nukleus facialis yang melayani otot-otot
muka bagian atas menerima fibrae corticonuclearis dari kedua belah hemisfer cerebri.
Sedangkan bagian nukleus facialis yang melayani otot-otot muka bagian bawah menerima
fibrae corticonuclearis dari hemisfer cerebri sisi kontralateral.6
2.Nervus intermedius, mengandung nukleus-nukleus sebagai berikut
a.Nucleus Salivatorius Cranialis
Merupakan sekelompok nukleus viseromotorik ( sekretomotorik ). Berasal dari
bagian dorsolateral formatio retikularis berjalan menuju foramen lacerum dan bergabung
dengan N petrosus profundus yang berasal dari plexus sympaticus carotis interna untuk
membentuk N Canalis pterygoideus Vidianus. Saraf ini akan berjalan didalam Canalis
Pterygoideus Vidii dan mencapai ganglion pterygopalatinus, selanjutnya akan mengurus
glandula lacrimalis, glandula nasalis dan glandula palatina. Nucleus Salivatorius Cranialis
juga mempercabangkan serat sekretomotorik yang berjalan dalam chorda tympani menuju
ganglion submandibulare. Selanjutnya akan mengurus glandula submandibulare dan
glandula sublingualis.6
b.Nucleus Solitarius
Merupakan nukleus viserosensorik yang berjalan dalam chorda tympani, yang
mengandung serat-serat gustatorik yang membawa impuls-impuls rasa pengecap dari
daerah dua per tiga anterior dorsum linguae. Selanjutnya dari nucleus solitarius impuls
diteruskan menuju nucleus thalamus, kemudian dari nucleus thalamus diteruskan menuju
daerah gustatorik ( brodman 43 ).6
c.Nucleus Spinalis Nervi Trigemini

Merupakan nukleus somatosensorik. Serat-serat ini disebarkan kedaerah kulit


sekitar meatus acusticus eksternus.Serabut-serabut sensorik timbul dari sel-sel unipolar di
dalam ganglion genikulatum.Cabang-cabang perifer membawa sensasi pengecap dari
duapertiga anterior lidah melalui saraf-saraf lingualis dan chorda tympani, serta
mengangkut sensasi dari kelenjar parotis melalui ganglion oticum dan nervus
geniculotympanicus. Cabang-cabang central berjalan melalui nervus intermedius ke
nukleus traktus solitarius.6
Gb. Alur perjalanan perjalanan nervus facialis

Dalam perjalanannya melalui os temporalis, nervus fasialis mendapat vaskularisasi dari 3


arteri yaitu : 7
Arteri serebelli anterior yang memberikan vaskularisasi pada fossa posterior. Cabang
arteri ini yaitu arteri auditori interna yang memberikan vaskularisasi pada nervus fasialis
di dalam kanalis auditori interna. Ujung cabang cabang arteri ini memberikan

vaskularisasi pada saraf sampai ganglion genikulatum


Cabang petrosal dari arteri meningea media memasuki kanalis Falopii pada ganglion
genikulatum dan bercabang menjadi cabang cabang asendens dan desendens. Cabang
asendens memberikan vaskularisasi daerah proksimal ganglion genikulatum sedangkan

cabang desendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus


Cabang stilomastoideus dari arteri aurikularis posterior memasuki kanalis fasialis melaui
foramen stilomastoideus dan bercabang menjadi cabang asendens dan desendens. Cabang
asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum
sedangkan cabang desendens memberikan vaskularisasi saraf ke foramen stilomastoideus
bersama sama dengan nervus aurikularis posterior.

EPIDEMIOLOGI
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29%
lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada

kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya


Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun.
ETIOLOGI
Bell's palsy adalah kelumpuhan mendadak atau paralisis pada satu sisi otot wajah
karena tidak berfungsinya nervus kranialis ketujuh yaitu nervus fasialis. Nervus ini
berfungsi menggerakkan otot wajah, menstimulasi kelenjar ludah dan air mata serta
menginervasi 2/3 bagian anterior lidah. Bells palsy merupakan suatu proses edema yang
menyebabkan sindroma kompresi pada nervus fasialis (entrapment syndrome). Meskipun
dari definisi BP saat ini adalah suatu kelainan idiopatik namun ada beberapa teori yang
diyakini sebagai etiologi terjadinya BP antara lain : 8
1

Teori iskemik vaskular.


Menurut teori ini, terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Terjadi
vasokonstriksi arteriol yang memperdarahi N VII sehingga terjadi iskemik, kemudian
diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat
terjadi transudasi. Cairan transudasi ini akan menekan kapiler limfe sehingga
menutup. Keadaan ini akan menyebaban pengeluaran cairan makin bertambah dan
akan makin menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi
iskemik.

Teori virus.
Penderita Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus, sehingga menurut
teori ini penyebab BP adalah virus. Perjalanan penyakit ini juga menyerupai viral
neuropathy pada saraf perifer lainnya. Beberapa virus yang dapat menimbulkan
infeksi menetap (laten) tanpa gejala adalah virus herpes simplek, virus influensa virus
varicella-zoster dan virus Epstein-Barr (keduanya termasuk herpes family). Reaktivasi
infeksi virus (dormant) diduga menimbulkan Bells palsy akut. Penelitian
menunjukkan bahwa aktivasi virus tersebut dapat dipicu oleh trauma, faktor
lingkungan, dan gangguan metabolik atau emosional. Dulu, paparan suasana/suhu
dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)
dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai
diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada

ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan
tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bells
palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori
dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus
yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.1,3,9,10
3

Teori herediter.
Menurut Willbrand (1974),

mendapatkan 6% penderita BP penyebabnya

adalah herditer, autosomal dominan. Keadaan ini mungkin karena kanalis fallopii
yang sempit pada keturunan tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadinya BP.11
4

Teori imunologi.
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau akibat dari pemberian imunisasi. Bells palsy dapat
disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor meteorologi seperti
suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa
pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset
bells palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi
nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam
patofisiologi penyakit ini adalah hipotesis suhu rendah. Selain itu reaktivasi HSV
yang merupakan salah satu teori terjadinya bells palsy juga berhubungan dengan
perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan,
diabetes juga dapat memicu munculnya bells palsy.10,11
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,
stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik
dan faktor genetik
Adapun mekanisme patogenesis terjadinya Bells palsy menurut Gates yaitu :7

Tipe I
Pada tipe I ini terjadi paresis ringan dan sebagian mengalami
kelumpuhan komplit.

Tipe II
Pada tipe II ini ditandai dengan timbulnya sinkinesis disertai gejala sisa
yang lain akibat degenerasi saraf. Sinkinesis ini terjadi akibat impuls dari
akson menyebar ke akson yang berdekatan sehingga terjadi kontraksi otot
yang seharusnya tidak dipersarafi.

Tipe III
Pada tipe III ini penyebabnya diawali dari timbulnya degenerasi
Wallerian yang terjadi akibat cidera akson pada nervus fasialis. Kerusakan ini
ditimbulkan oleh virus herpes zoster dalam ganglion genikulatum yang
berakibat gangguan sensoris 2/3 bagian anterior lidah.

PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari
tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang
unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa
mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.8
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy.

Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus
dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan
2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke
saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus
fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.8
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke
atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak
bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak
mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus
stapedius.8
Gb. Alur Etiologi Bells Palsy

GEJALA KLINIS
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Pada awalnya, penderita akan merasakan kelainan pada

mulut saat bangun tidur, gosok gigi atau berkumur. Otot muka pada sisi yang sakit tak
dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang. Nampak seluruh muka sisi
yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat dan kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), bila penderita disuruh untuk menutup mata maka bola mata
akan tampak berputar keatas. Penderita akan sulit untuk bersiul atau meniup, bila
penderita berkumur atau minum maka air akan keluar dari sisi yang sakit.
Gejala dan tanda klinis dari paresis N. VII bersifat akut berhubungan dengan
tempat/lokasi dari lesi.5
a

lesi diluar foramen stilomastoideus.


Mulut tertarik ke arah sisi yang sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan
gusi, dan sensasi dalam di wajah hilang, lipatan kulit dahi hilang. Air mata akan
keluar terus menerus.
b

Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)


Gejala klinis seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya pengecapan lidah
2/3 anterior dan berkurangnya salivasi pada sisi yang lesi. Keadaan ini akibat dari
terlibatnya n. intermedius. Ini menunjukan lesi di daerah antara pons dan titik dimana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan M Stapedius)


Gejala dan tanda seperti (a) dan (b) ditambah dengan adanya hiperakusia.

Lesi yang melibatkan ganglion genikulatum.


Gejala klinis seperti (a), (b) dan (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga

Lesi di meatus akustikus.


Gejala klinis seperti di atas dan disertai dengan tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.

Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.


Gejala dan tanda seperti diatas dan disertai dengan terlibatnya n trigeminus, n
akustikus dan kadang kadang N. Abdusens, N. Aksesorius dan N. Hipoglosus.
Tabel. Gangguan neurologis berdasarkan letak lesi

Kelainan

Letak Lesi

motorik

Pons-meatus
akustikus internus
Meatus

Gangguan
pengecapa
n
+

Hiposekresi Hiposekresi

pendengaran

saliva

lakrimalis

+
tuli/hiperakusis
+

akustikus

internus-ganglion

Gangguan

Hiperakusis

genikulatum
+

Ganglion
genikulatum-N.

Hiperakusis

Stapedius
N.stapedius-chorda
tympani
Chorda tympani
Infra

chorda

tympani-sekitar
foramen
stilomastoideus

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis.

DIAGNOSIS
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata

dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat
LMN.4,5
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.4,5
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Paralisis pada wajah dapat disebabkan oleh berbagai macam hal sehingga
diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti termasuk diantaranya pemeriksaan
pendengaran, lokasi paresis, pemeriksaan radiologi, diagnosis elektroneurologi
serta eksplorasi bedah. Setiap paresis pada daerah wajah harus selalui
ditentukan terlebih dahulu apakah lesi termasuk kelainan UMN atau LMN. 4
Cara membedakan lesi UMN dan LMN seperti pada tabel dibawah. Paresis
nervus fasialis antara lesi di sentral dan perifer dapat dibedakan seperti terlihat
pada gambar dibawah. 1,2
Tabel . Beda klinis kelainan fasialis UMN dan LMN
Lesi UMN

Lesi LMN

Paresis unilateral dari gerakan volunter

Paresis unilateral dari semua otot otot

wajah

wajah

bagian

bawah

dengan

perkecualian m. frontalis
Kelemahan otot wajah kurang nyata

Derajat kelemahan wajah serupa pada

pada gerakan emosional dari gerakan

gerakan

volunter
Refleks fasial : tetap/meningkat
Pengecapan 2/3 anterior lidah : tetap
Lakrimasi : normal

volunter
Refleks fasial : menurun
Pengecapan : mungkin menurun
Lakrimasi : mungkin terganggu

emosional

dengan

gerakan

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron


dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.
Nervus

facialis

merupakan

satu-satunya

nervus

cranialis

yang

menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena


perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang

diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
Untuk mengevaluasi kemajuan motoris penderita BP, SMF/bagian Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi RSUP Dr. Kariadi Semarang menggunakan skala Ugo Fisch yang
menilai kondisi simetris asimetris antara sisi sakit dengan sisi sehat pada 5 posisi. Posisi
yang dinilai adalah saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan bersiul
(tabel 1).1,12
Tabel 1. Penilaian fungsi motoris menurut Ugo Fisch

0%
30%

Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer


Simetris : jelek. Kesembuhan yang ada cenderung ke
asimetris komplit daripada simetris normal
Simetris : cukup. Kesembuhan parsial yang
cenderung ke arah normal
Simetris : normal/komplit

70%
100
%

Selanjutnya besar persentasi masing masing posisi wajah diubah menjadi nominal
(angka) sebagai berikut yaitu saat istirahat 20 poin, mengerutkan dahi 10 poin, menutup
mata 30 poin, tersenyum 30 poin dan bersiul 10 poin. Skore Ugo Fisch yang didapat yaitu
antara 0 dan maksimal 100. Untuk lebih jelasnya, tabel 2 memperlihatkan derajat
kelumpuhan otot otot wajah menurut Fisch. Klasifikasi derajat kelumpuhan menurut
modifikasi Fisch terlihat pada tabel 3.13
Tabel 2. Derajat kelumpuhan otot wajah menurut Fisch

Kesimetrisan wajah

Persentase

Faktor

Nilai

Saat istirahat

Mengerutkan dahi

Menutup mata

Tersenyum

Bersiul

0%

20

30%

20

70%

20

14

100%

20

20

0%

10

30%

10

70%

10

100%

10

10

0%

30

30%

30

70%

30

21

100%

30

30

0%

30

30%

30

70%

30

21

100%

30

30

0%

10

30%

10

70%

10

100%

10

10

Tabel 3. Klasifikasi kelumpuhan menurut modifikasi Fisch


Skore Fisch

Klasifikasi

100
70 99
30 69
< 30

Normal
Baik
Sedang
Buruk

c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun
ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.9
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamnesa dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bells palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi,
karena pasien-pasien dengan Bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan
dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan,
pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan
adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila
pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.

e. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)


Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan fasialis ireversibel.
f. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik padan. fasialis kiri dan kanan.
g. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot-otot wajah.
h. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979)
menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana
yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

i. Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit
dengan stimulasi listrik
Pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.
Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi
khorda timpani atau proksimalnya.17
j. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan
atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air
mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. Genikulatum

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gangguan pada nervus fasialis dapat
menyerupai BP. Diagnosis banding BP seperti terlihat pada tabel dibawah.

Penyakit

Penyebab

Faktor faktor yang membedakan

Nukleus (perifer)

Penyakit Lyme

Spirochaeta
Borrelia burgdorferi

Riwayat tanda bercak atau nyeri


sendi, kontak di daerah endemis
penyakit Lyme

Otitis media

Bakteri pathogen

Onset secara perlahan, nyeri di


telinga, demam dan gangguan
pendengaran konduktif

Sindroma RamsayHunt Virus herpes Zoster

Nyeri yang semakin memberat,


erupsi vesicular pada kanalis telinga
atau faring

Sarkoidosis atau

Kebanyakan bilateral

Respons autoimun

Sindroma Guilain Barre

Tumor
Supranuklear Kolesteatoma
(sentral)
parotis

kelenjar Onset perlahan

Sklerosis multipel

Demielinisasi

Tambahan gejala neurologis

Stroke

Iskemik/perdarahan

Melibatkan anggota gerak sesisi

Tumor

Metastasis/primer
di otak

Onset kronis progresif, perubahan


status
mental
dan
riwayat
keganasan

TERAPI
Medikamentosa
a. Agen antiviral.15
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis
dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan
Nama obat

langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi


secara selektif.

Dosis dewasa

4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatric

< 2 tahun : tidak dianjurkan.


> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat

Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat


memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan

C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah


dilaporkan.

Perhatian

Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang


bersifat nefrotoksik.

b.

Kortikosteroid.15
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan
dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung
memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah
diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus.
Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3
hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Nama obat

Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek farmakologis


yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan
kompresi nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa

1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik

Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur,


jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak
lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat

Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan


klirens

prednisone;

menyebabkan

penggunaan

toksisitas

dengan

digitalis

akibat

digoksin

dapat

hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan

metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);


monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat
diuretik.
Kehamilan

B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat


memperberat resiko.

Perhatian

Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat


menyebabkan

krisis

adrenal;

hiperglikemia,

edema,

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia,


osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.17,18
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga pada
mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan
pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air
mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun
jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya
adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.
Teknik pembedahan daerah mata
Pada gangguan penutupan kelopak mata atas yang permanen, saat
dapat dilakukan operasi dengan teknik tarsorrhaphy atau canthoplasty yaitu
teknik mempertajam jarak antar kelopak mata sehingga akan memperbaiki
penutupan mata. Dapat pula dilakukan implantasi gold weight yang disisipkan
pada kelopak mata atas sehingga dapat membantu menutupnya kelopak mata.

Implantasi gold pada 16 penderita BP signifikan memperbaiki lagoptalmus


serta membantu penutupan kornea sebesar 100%. Jika terjadi keterlambatan
penutupan kelopak mata maka dapat dibantu dengan pemberian tetes mata. 4,13
Kelainan pada kelopak mata bawah dapat menggunakan prosedur tarsal strip
lateral yaitu prosedur yang cocok untuk keadaan paralisis ektropion kelopak
mata bawah dengan teknik canthotomy lateral dan canthopexy medial yaitu
kondisi paralisis ektropion medial pada kelopak mata bawah yang diterapi
dengan teknik precaruncular canthopexy medial.16

Pembedahan
Intervensi bedah dapat menurunkan kompresi pada nervus fasialis. Dekompresi
melalui pembedahan berkembang dengan berbagai macam cara seiring kemajuan teknik
bedah. Tindakan ini dilakukan 12 bulan setelah terjadi BP karena diharapkan dapat
sembuh spontan. Pada tahun 1930 dekompresi dititikberatkan pada foramen
stilomastoideus dan saat ini difokuskan pada foramen meatal. Beberapa peneliti (Adour
2002; Gilden 2004; Grogan 2001; Peitersen 2002) menyatakan bahwa dekompresi pada
nervus fasialis dapat dikerjakan meskipun belum ada data klinis yang cukup. Pembedahan
pada middle fossa craniotomy dapat menyebabkan terjadinya kejang, tuli dan kerusakan
nervus fasialis. Di Amerika tindakan ini tidak rutin dilakukan (bukti D). 1,4,12 Beberapa
teknik bedah dan waktu dilakukan pembedahan seperti terlihat pada tabel dibawah.16
Tabel . Waktu dan teknik bedah pada tatalaksana Bells palsy
Paralisis fasial akut

Paralisis fasial intermediate

Paralisis fasial kronis

(<3 minggu)
Dekompresinervus fasialis

(3 minggu 2 tahun)
Cross-face nerve grafting

(>2 tahun)
Regional

Transmastoid

transfers

Middle-fossa

Temporalis

Translabirintine

Masseter

muscle

Perbaikan nervus fasialis

Nerve transfers

Digastric

Primary

Hypoglossal

Free muscle transfer

Cable graft

Masseteric

Gracilis

Spinal accessory

Serratus anterior
Latissimus dorsi

Pectoralis minor

Rehabilitasi Medik
Fisioterapi
Salah satu penanganan atau pengobatan pada Bell Palsy ini adalah Fisioterapi.
Pedoman program fisioterapi yang dipakai di SMF / bagian ilmu kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi RSUP Dr. Kariadi Semarang adalah :
Dua minggu dari onset, diberikan pemanasan dan pemijatan
Setelah dua minggu dari onset, diberikan latihan dan stimulasi listrik
Diantara modalitas yang efektif dan sering digunakan antara lain; terapi Infra Merah,
terapi Ultrasound, terapi Stimulasi Elektrik, Short wave diathermy, laser, massage, dan
excersise. Pemilihan modalitas yang sesuai tergantung pada pengalaman atau pilihan
fisioterapis yang berpengalaman.
Infra Merah19
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan
fungsi, tetapi Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata
Penyinaran dengan sinar inframerah diberikan di daerah wajah, belakang telinga sisi
yang lumpuh. Waktu penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara
50 dan 75 cm.
Terapi Ultrasound19
Ultrasound didefinisikan sebagai getaran akustik dengan frekuensi di atas
kisaran yang dapat didengar (yakni,> 20.000 Hz). Ultrasound menggunakan energi
akustik frekuensi tinggi untuk menghasilkan efek panas dan nonpanas pada jaringan.
Sinyal ultrasonik biasanya dihasilkan dengan menggunakan efek piezoelektrik terbalik.
Kristal kuarsa tertentu dan keramik sintetis memiliki karakteristik piezoelektrik,
sehingga ketika mereka bergetar mereka dapat menghasilkan listrik . 188 sebaliknya
ketika arus listrik dilewatkan Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve
trunk) di depan tragus telinga dan di daerah antara prosesus mastoideus dan
mandibula. Hal ini diterapkan dengan gerakan melingkar yang lambat dengan dosis
awal 1 watt per sentimeter persegi untuk 10 menit. Dosis dapat ditingkatkan pada sesi
berikutnya jika tidak ada peningkatan yang luar biasa dicatat. Perlu diketahui bahwa
gelombang ultrasound tidak dapat melintasi atau menembus tulang. Itu berarti bahwa

ultrasound memiliki penetrasi nol pada tulang. Secara nyata bahwa gelombang
ultrasound terpantul jauh dari tulang. Jadi tidak ada rasa takut dan khawatir jika terapi
ultrasound diterapkan pada wajah. Penerapan terapi ultrasound pada bell palsy Ini
hanya untuk jenis lesi saraf tepi (Lower Motor Neuron)
Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)19
Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk
mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan
akibat cedera tulang belakang (SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis
lainnya. Satu-satunya bentuk arus listrik yang digunakan pada wajah adalah arus searah
yang diputus-putus (Interrupted Direct Current) atau disebut juga Arus Galvanic,
apakah itu ada reaksi degenerasi atau tidak ada reaksi. Hal ini diminta hanya untuk
menjaga sebagian besar otot-otot wajah dan mencegah atrofi sambil menunggu untuk
reinnervasi dalam kasus axotomesis atau reconduction setelah neurapraxia jika saraf
tidak rusak sepenuhnya. Electrical stimulation (stimulasi listrik) ini diberikan 2 minggu
setelah onset, satu elektroda diletakkan di belakang telinga sisi yang lumpuh sedangkan
elektroda yang lain diletakkan berpindah pindah pada otot wajah. Diberikan
rangsangan - 2 mA hingga 20 50 kontraksi pada masing masing titik, tindakan ini
dapat diberikan tiap hari. Teknik lain yang termasuk di dalam terapi stimulasi listrik
adalah pemberian electromyography biofeedback (EMG bio). Electrical stimulation dan
EMG bio lebih efektif diberikan pada BP kronis.20
Tidak ada ruang bagi penggunaan arus faradik pada wajah karena bisa
menyebabkan kontraktur sekunder pada wajah. Selain itu, sebagian besar pasien merasa
tidak mampu menahan nyeri pada wajah karena stimulasi sensorik yang tidak
nyaman. Hal ini dikarenakan bahwa arus faradic memiliki frekuensi 50 siklus per
detik,

sehingga

menghasilkan

kontraksi

tetanik

pada

otot-otot

yang

terangsang. Meskipun untuk saat ini adalah kontraksi otot arus faradic melonjak untuk
menghasilkan kontraksi alternatif dan relaksasi namun berhubung tipe tatanik pada
kontraksi yang menghasilkan 50 pulse hanya dalam satu detik, tidak diperlukan pada
wajah. Otot-otot wajah yang sangat tipis dan halus dan tidak bisa mentolerir jenis arus
ini yang dapat merusak dan menghasilkan kontraktur sekunder. Jika kontraktur
sekunder terjadi, semua bentuk stimulasi listrik harus ditinggalkan sementara untuk
menghindari kerusakan lebih lanjut pada otot. Wajah harus segera direnggangkan dan
dipijat lembut.
Gb. Peletakan elektroda ES pada Bells Palsy

Shortwave Diathermy19
SWD adalah modalitas yang menghasilkan pemanasan yang mendalam
melalui proses konversi energi elektromagnetik menjadi energi termal. Biasanya
digunakan frekuensi pada 27,12 MHz. Aplikasi SWD dapat digunakan dengan teknik
bipolar dan monopolar dimana pada teknik bipolar menggunakan aplikator kapasitif
dimana digunakan dua elektrode, elektrode pertama di pasang di daerah wajah dan
elektrode lain dipasang didaerah lain dari tubuh untuk menyempurnakan sirkuit yang
ada. Sedangkan teknik monopolar hanya mengunakan satu elektrode yang diaplikasikan
langsung didaerah yang akan diterapi. Dalam penggunaan SWD harus diberi handuk
sebelum diaplikasikan dengan elektrode untuk mencegah efek panas berlebih.

Laser
Secara umum efek terapeutik low-level laser dapat dibagi menjadi: 19
1. Efek analgesik dari mekanisme
pelepasan enzim-enzim dan endorfin
aktivasi makrofag
perbaikan mikrosirkulasi
stimulasi resorbsi edema
2. Biostimulasi dari mekanisme
vasodilatasi (terutama pada level mikrovaskuler) yang hanya terjadi pada
vasokonstriksi yang patologis
peningkatan aktivitas enzim yang menambah vasodilatasi kapiler lokal
dan memungkinkan normalisasi tekanan intra-ekstravaskuler
stimulasi makrofag (fagositosis), yg meningkatkan aktivitas antibakterial
stimulasi fibroblas, yang mempercepat penyembuhan jaringan
stimulasi supresor sel T selama ketidakseimbangan produksi antibodi,
yang menormalisasi kompleks imun

dosis yang biasa digunakan adalah pada panjang gelombang 808 nanometer
dengan power 400 mill watt selama 5 minutes dengan cara continuous.
Gb Aplikasi laser pada Bells Palsy

Massage
Pijat adalah manipulasi lapisan superficial otot dan jaringan ikat untuk
meningkatkan fungsi dan relaksasi otot dan kebugaran. Pada kondisi Bells palsy
massage diberikan dengan tujuan memobilisasi serabut-serabut otot di area yang
mengalami paralysis sehingga terjadi pergerakan pasif dari otot wajah dan
memberikan stimulasi gerak. selain itu juga berguna untuk mencegah terjadinya
kontraktur otot.
Kabat rehabilitation adalah teknik rehabilitasi kendali motorik yang berdasarkan pada
propioceptive neuromuscular facilitation (PNF). Terapis membantu kontraksi volunter
dari otot yang mengalami gangguan dengan streching kemudian menghambatnya
sambil memotivasi pasien melalui verbal dan kontak manual

Gambar. Teknik pemijatan menurut Kabat.


Exercise20
Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa
Mirror Exercise atau dapat menggunakan EMG biofeedback. Pasien diminta
untuk berdiri di depan cermin sambil berusaha untuk menggerakkan otot
wajah yang mengalami kelumpuhan. Fisioterapis akan mengajarkan bentukbentuk latihan dan menentukan frekuensi atau dosis latihan yang dibutuhkan
pasien. Facial exercise ini dapat mencegah komplikasi sinkinesis. Facial
exercise ini dapat dilakukan dua kali sehari dengan cara menggerakkan otototot mulut, hidung, mata, dahi, dan dagu. Dengan penanganan yang cepat,
tepat, akurat dan hebat maka bells palsy dapat disembuhkan

Tahap Selama Fase Pemulihan:


Teknik PNF digunakan untuk edukasi kembali pada otot-otot yamg mengalami
parese atau paralisis:
Peregangan cepat (quick stretch) dapat diterapkan untuk dapat membesarkan

alis mata dan gerakan sudut bibir.


Para fisioterapis dapat memberikan gerakan pasif dan kemudian meminta pasien
untuk menahan, dan kemudian mencoba untuk menggerakannya. goresan dengan
es, menyikat, menekan atau membelai cepat dapat diterapkan sepanjang otototot.misalnya otot zygomaticus

Occupational Therapy (OT)

Dasar pemberian program ini yaitu memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktifitas sehari hari atau dalam bentuk permainan. Latihan ini
dilakukan bertahap sesuai kondisi penderita. Bentuk latihan yang diberikan antara lain
dengan latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin, mengucapkan huruf e dan i di
depan kaca serta latihan menutup mata serta mengerutkan dahi di depan kaca. Latihan ini
diberikan pada saat fase akut. Tujuannya yaitu melatih gerak volunter dapat kembali. Caranya
yaitu dengan menghadap cermin dan dengan konsentrasi penuh dilatih untuk mengerutkan
dahi, menutup mulut dan mengangkat sudut mulut.7
Sosial Medik
Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik
dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara
waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk
masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui
keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas
yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.7
Psikologis
Rasa cemas yang menyertai penderita karena takut kelumpuhan ini akan sembuh atau
tidak sehingga dapat menyebabkan timbulnya depresi. Program yang diberikan yaitu
memberikan informasi tentang penyakit termasuk prognosisnya, mematuhi program
pengobatan baik keteraturan minum obat dan melakukan program fisioterapi lainnya. Pada
penderita yang mengalami depresi dapat dilakukan psikoterapi. Secara umum pengobatan BP
akan berhasil jika ditunjang oleh kondisi psikis penderita yang baik.7
Orthetik Prosthetic (OP)
Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi
kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum
ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.7
Gb. Kinesiotape pada Bells Palsy

Terapi Alternatif
Akupungtur
Di Cina, Bells palsy dikenal dengan nama penyakit Zhong Feng yang berarti wind
attack (serangan angin) dan saat ini sudah mulai dikembangkan pengobatan tradisional untuk
BP.5 Penelitian tentang pengobatan tradisional Cina (akupungtur dan obat herbal) untuk Bell's
palsy yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zhang dkk tahun 1991, Yang dkk
tahun 1994, Zang 1999, Stone 2002, Wolfe 2003, Zhou dkk tahun 2004 telah diakui oleh
beberapa situs resmi seperti Google dan Cochrane. Penelitian oleh Zhou dkk. tahun 2004
dengan menggunakan obat dan akupungtur pada 238 pasien memperlihatkan efek terapetik
akupungtur saja lebih superior daripada akupungtur yang dikombinasi dengan obat atau obat
saja. Meskipun hanya ada penelitian dengan metode penelitian yang kurang baik namun
dapat ditarik kesimpulan tentang efikasi akupungtur (bukti C). 21,22
Akupungtur Cina membagi paralisis nervus fasialis menjadi 4 stage yaitu : fase akut
(sampai dengan 7 hari) yang disertai gejala yang makin memburuk), fase stabil (istirahat)
yaitu pada hari ke 8 14, convalescence (>15 hari) disini terlihat mulai terlihat perbaikan
gejala dan fase kronik (>2 bulan). Pasien BP yang tidak mendapatkan terapi apapun selain
akupungtur maka sekitar 85% pasien memperlihatkan perbaikan dalam waktu 3 minggu dan
sisanya terjadi perbaikan sekitar 15% dalam waktu 3 5 bulan. Sekitar 66% dapat mengalami
perbaikan sempurna setelah 3 bulan.22

Injeksi toksin botulinum (botulinum toxin/BOTOX)


Botulinum toxin adalah suatu racun yang diproduksi oleh bakteri Clostridium
botulinum. Clostridium botulinum memproduksi 7 jenis toksin yaitu A sampai G namun yang
banyak dikenal yaitu botulinum toxin A (BOTOX). Mekanisme kerjanya adalah membuat
paralisis melalui menghambat keluarnya asetilkolin pada neuromuscular junction yang terdiri
dari tiga langkah yaitu toksin akan berikatan dan berinteraksi dengan saraf tersebut dan
selanjutnya toksin akan melekat melalui enzim proteolitik internal. Hasil proses ini adalah
hambatan eksositosis asetilkolin. Dosis yang diberikan sebesar 1 standard unit dan dapat
diulang 1 minggu setelahnya dengan dosis 2,5 5 U. Toksin ini akan memberikan efek
setelah 24 72 jam.23,24
Injeksi Botox secara subkutan atau intramuskuler dapat diberikan pada kasus sinkinesis
dan spasme wajah. Pada penelitian dengan 10 pasien didapatkan 9 pasien memperlihatkan
perbaikan secara obyektif dan subyektif setelah diberikan injeksi pada periorbital. Pada
beberapa kasus diberikan injeksi Botox pada kelopak mata atas yang berfungsi membantu
turunnya kelopak mata secara temporer sehingga dapat memproteksi mata. Pada kasus ini
diperlukan pula konsultasi dengan dokter mata dan dokter bedah plastik jika diperlukan.11,12,24
Home Program
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
3. Latihan mandiri di rumah seperti :
ekspresi terkejut kemudian cemberut
menutup mata erat-erat kemudian dibuka lebar-lebar
tersenyum, menyeringai, dan berkata 'o'
mengatakan; e, i, o, u
menyedot dan meniup sedotan
meniup peluit, bersiul, dan bisa juga meniup lilin
4. Perawatan mata :
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
KOMPLIKASI

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas
kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh
pasien.
Komplikasi yang dapat menyertai Bells palsy antara lain :7,18

Kontraktur otot wajah; kontraktur ini biasanya tidak tampak pada saat otot wajah dalam
keadaan istirahat namun terlihat jelas saat wajah mengalami kontraksi. Lipatan nasolabial
akan terlihat lebih dalam dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang sehat. Spasme
otot terjadi jika penyembuhan inkomplit, dapat timbul 1 2 tahun setelah tejadi BP.

Fenomena crocodiles tears/refleks gustatolakrimal/sindroma Bogorads yaitu keluarnya


air mata secara involunter dari mata sisi yang sakit saat mengunyah makanan. Komplikasi
ini timbul beberapa bulan setelah terjadi BP.

Sinkinesis yaitu gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut otot
yang salah. Neuralgia genikulatum dapat juga terjadi yaitu neuralgia dari nervus fasialis
berasal dari nervus intermedius yang ditandai dengan rasa nyeri paroksismal di dalam dan
sekitar telinga.

Tidak dapat menutup mata pada sisi yang sakit, keadaan ini dapat menimbulkan iritasi
dan ulserasi kornea. Mata harus mendapatkan lubrikasi agar tidak kering dan rusak.

Hemifacial spasm
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. 1,4 Pada stadium awal hanya mengenai satu
sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan
psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak
sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS
Prognosis BP tergantung dari waktu mulai terjadinya perbaikan. Semakin cepat
perbaikan memberikan prognosis yang lebih baik daripada yang perbaikannya lambat. Jika
perbaikan terjadi pada minggu pertama akan memberikan penyembuhan sempurna sekitar
88%, pada minggu kedua sekitar 83% dan pada minggu ketiga sekitar 61%. Prognosis yang
baik ditandai pula dengan terdapatnya pengecapan normal dan dapat menangis daripada

terdapatnya gangguan pada fungsi tersebut. Gilden dan Peitersen menyatakan prognosis
buruk bila didapatkan riwayat hipertensi dan DM sebelumnya.1,2
Secara keseluruhan dapat dikatakan prognosis paralisis fasial relatif baik. Lebih dari 80%
pasien dapat perbaikan komplit, sekitar 15% hampir perbaikan komplit dan kurang dari 5%
mempunyai kelemahan otot permanen setelah mengalami BP. Indikator buruknya prognosis
BP seperti terlihat pada tabel dibawah.12
Tabel. Indikator buruknya prognosis Bell palsy
Paresis komplit
Tidak ada perbaikan dalam 3 minggu
Usia >60 tahun
Nyeri hebat
Sindroma Ramsey Hunt
Kondisi yang dapat menyebabkan paresis nervus fasialis sekunder
Penurunan potensial aksi otot >50%
Katusic dkk. dan Schaitkin dkk. mendapatkan prognosis pasien BP relatif baik, dapat
sembuh total sebanyak 70-80% kasus, lumpuh sebagian 95 99% dan lumpuh total 50 60%
sedangkan Devriese dkk. pada tahun 1990 mendapatkan 30% kasus terdapat sekuele berupa
spasme wajah, kontraktur dan rasa baal. Pada prospektif Danish, suatu penelitian 25 tahun
oleh Peitersen tahun 2002 mendapatkan 70% kelumpuhan dapat sembuh sempurna dan
sisanya 30% sembuh sebagian. Kesembuhan terjadi mulai minggu ketiga sebanyak 85%
kasus dan antara tiga sampai lima minggu sebanyak 15%. Jika kesembuhan tidak terjadi pada
minggu keenam maka perlu dinilai tatalaksana selanjutnya.9
Sekitar 10% penderita BP akan mengalami serangan berulang dan biasanya akan mengenai
sisi yang sebelumnya sehat. Sekitar 23% penderita BP mengenai sisi kiri wajah dengan gejala
sedang sampai berat, spasme hemifasial, fenomena crocodile tears, kontraktur dan sinkinesis
(twitching involunter pada wajah atau blinking).7
Penelitian Kasse dkk. pada 1521 pasien BP yang mengacu skala House Brackman
didapatkan prognosis pasien BP yang berusia kurang dari 30 tahun lebih baik daripada usia
diatas 60 tahun. Jenis kelamin dan sisi wajah yang terkena tidak berkorelasi dengan
prognosis. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan antara awal terjadinya
BP yaitu jika onset cepat maka mempunyai prognosis baik sedangkan onset progresif
mempunyai prognosis buruk.25

BAB III
KESIMPULAN
1. Bells palsy adalah suatu kelumpuhan unilateral nervus fasialis yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) yang terjadi secara akut
2. Nervus fasialis berfungsi menggerakkan otot wajah, menstimulasi kelenjar ludah dan air
mata serta menginervasi 2/3 bagian anterior lidah.
3. Teori yang diyakini sebagai etiologi terjadinya Bells palsy adalah teori iskemik vaskuler,
teori infeksi virus, teori herediter dan teori imunologi
4. Diagnosis Bells palsy ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
5. Penatalaksanaan pasien Bells palsy dapat berupa observasi, obat obatan, perawatan
mata, dekompresi saraf melalui pembedahan, rehabilitasi medik serta terapi alternatif
lainnya.
6. Komplikasi dari Bells palsy seperti kontraktur otot wajah, sinkinesis, fenomena crocodile
tears,dll.
7. Prognosis Bells palsy tergantung dari waktu mulainya terjadi perbaikan, semakin cepat
perbaikan prognosisnya lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
1. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell's palsy. BMJ 2004; 329: 553
7
2. Gilden DH. Bells palsy. N Engl J Med 2004; 351: 1323 31
3. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells palsy: diagnosis and management. Am Fam
Physician 2007; 76: 997 1002
4. Setyopranoto I. Manajemen Bells palsy terkini berdasarkan evidence based medicine.
In : Sjahrir H, Anwar Y, Kadri AS, editors. Neurology up date 2009. Medan;
2009.p.304 16
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,
5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163
6. De Jong's, The neurologic examination. The facial nerve. 5th ed.p.181 200
7. Klein CM. Diseases of the seventh cranial nerve. In: Klein CM, editor. Diseases of the
seventh cranial nerve.p.1219 52
8. Anderson RG. Facial nerve disorders and surgery. SRPS 2001; 20: 1 41
9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells palsy: diagnosis and management. Am Fam
Physician 2007; 76: 997 1002
10. Kanerva MT. Peripheral facial palsy. Helsinki: 2008.p.10 49
11. Sellars SL. Idiopathic facial nerve palsy 1983; 64: 379-81
12. Finsterer J. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol
2008; 265: 743 52
13. Bells palsy. Office practice in neurology.

In: Samuel MA, editor. [Cited] at

www.books.google.co.id. Accessed on October 6th 2009


14. Beck DL, Hall III JW. Evaluation of the facial nerve via electroneuronography
(ENoG) The Hearing J 2001; 54: 36 44
15. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al.
Early treatment with prednisolone or acyclovir in Bells palsy. N Engl J Med 2007;
357: 1598 607
16. Mehta RP. Surgical Treatment of Facial Paralysis. CEO 2009; 2: 1 5
17. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells palsy: diagnosis and management. Am Fam
Physician 2007; 76: 997 1002

18. Garanhani MR, Cardoso JR, Capelli AMG, Ribeiro MC. Physical therapy in
peripheral facial paralysis: retrospective study. Rev Bras Otorrinolaringol 2007; 73:
112 5
19. Braddom Randall L. Physical Medicine and Rehabilitation 4 Edition; Philadelphia:
Saunders, 2011;
20. River G. The treatment of Bell's palsy with acupuncture and Chinese herbs. [Cited] at
www.gancao.net. Accessed on October 3th 2009
21. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affairs Ministry
of Health. Physical therapy management for facial nerve paralysis. [Cited] at
www.pta-kw.com. Accessed on October 6th 2009.
22. Mayor DF. Electroacupuncture: An introduction and its use for peripheral facial
paralysis. J Chinese Med 2007; 84: 1 19
23. Mehta RP, Hadlock TA. Botulinum toxin and quality of life in patients with facial
paralysis. Arch Facial Plast Surg 2008; 10: 84 7
24. Malhotra PS. BOTOX (R) Injections to improve facial aesthetics. [Cited] at
www.emedicine.medscape.com. Accessed on October 6th 2009
25. Kasse CA, Ferri RG, Vietler EYC, Leonhardt FD, Testa JRG, Cruz OLM. Clinical
data and prognosis in 1521 cases of Bells palsy. IFOS 2003; 641 7

Anda mungkin juga menyukai