Anda di halaman 1dari 34

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2021

UNIVERSITAS HALU OLEO

EPILEPSI

PENYUSUN :

Handriani, S.Ked (K1B1 21 033)

PEMBIMBING :

dr. Karman, M.Kes., Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Handriani, S.Ked (K1B1 21 033)

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Epilepsi

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian

Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Raha, Juli 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Karman, M.Kes., Sp.S

2
EPILEPSi
Handriani
I. PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau

penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang

umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya

dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita

maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan

stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung menjauhi penderita epilepsi.1

Akibatnya, banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan

mendapatkan pengobatan yang tepat sehingga menimbulkan dampak klinis

dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarga

penderita.1

II. ANATOMI

1. Cerebrum (otak besar)

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua

hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh

sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh

sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian

lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai

parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah

lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.2

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah

serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis

3
dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-

oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini

berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik

thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan

mengenali segala jenis rangsangan somatik.2

b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling

depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior

sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik

untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca

sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang

mengontrol aktivitas intelektual.2

c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus

oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung

atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam

kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam

bentuk suara.2

d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus

temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang

memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap

objek yang ditangkap oleh retina mata.2

Jaringan saraf terdiri dari Neuroglia dan sel Schwann (sel – sel

penyokong) serta Neuron (sel – sel saraf). Kedua jenis sel tersebut

4
demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lainnya sehingga

bersama – sama berfungsi sebagai satu unit.3,4

Gambar 1. Struktur Neuron


2. Neuroglia

Neuroglia ( berasal dari nerve glue ) mengandung berbagai

macam sel yang secara keseluruhan menyokong, melindungi dan sumber

nutrisi sel saraf (Neuron) pada otak dan Medulla spinalis; sedangkan

sel Schwann merupakan pelindung dan penyokong neuron – neuron di

luar system saraf pusat. Neuroglia menyusun 40 % volume otak dan

medulla spinalis. Neuroglia jumlahnya lebih banyak dari sel – sel neuron

dengan perbandingan sekitar sepuluh banding satu. Ada empat sel

Neuroglia yang berhasil diidentifikasi yaitu : Oligodendroglia,

Ependima, Astroglia dan Microglia. Masing – masing mempunyai

fungsi yang khusus.4

Oligodendroglia merupakan sel glia yang bertanggungjawab

menghasilkan myelin dalam susunan saraf pusat. Sel ini mempunyai

lapisan dengan substansi lemak mengelilingi penonjolan atau sepanjang

sel saraf sehingga terbentuk selubung mielin. Mielin pada susunan saraf

5
tepi dibentuk oleh sel Schwann.4

Sel Schwann membentuk myelin maupun neurolemma saraf tepi.

Tidak semua neuron ssusunan saraf tepi bermielin. Neurolema

adalah membran sitoplasma halus yang dibentuk oleh sel – sel Schwann

yang membungkus semua neuron SST ( bermielin atau tidak bermielin ).

Neurolema merupakan struktur penyokong dan pelindung bagi tonjolan

saraf.4

Gambar 2.

Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak bewarna putih

yang mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran ion Natrium

dan Kalium melintasi membran neuronal dengan hampir sempurna.

Selubung myelin tidak kontinu di sepanjang tonjolan saraf, dan terdapat

celah – celah yang tidak memiliki myelin, dinamakan nodus Ranvier.

Tonjolan saraf pada susunan saraf pusat dan tepi dapat bermielin atau

tidak bermielin. Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin

dinamakan serabut bermielin, dan dalam SSP dinamakan massa putih

(Substansia Alba). Serabut – serabut yang tak bermielin dinamakan

6
serabut tak bermielin dan terdapat dalam massa kelabu (Substansia

Grisea) SSP. Transmisi impuls saraf di sepanjang serabut bermielin

lebih cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin, karena

impuls berjalan dengan cara “ meloncat “ dari nodus ke nodus yang lain

di sepanjang selubung myelin. Cara transmisi seperti ini dinamakan

konduksi saltatorik.3,4

Hal terpenting dari peran myelin pada proses transmisi di serabut

saraf dapat terlihat dengan mengamati hal yang terjadi jika tidak lagi

terdapat myelin disana. Pada orang – orang dengan Multiple Sclerosis,

lapisan myelin yang mengelilingi serabut saraf menjadi hilang. Sejalan

dengan hal itu orang tersebut mulai kehilangan kemampuan untuk

mengontrol otot – ototnya dan akhirnya menjadi tidak mampu sama

sekali.4

Ependima berperanan dalam produksi Cerebro Spinal Fluid.

Ependima adalah neuroglia yang membatasi system ventrikel SSP. Sel -

sel inilah yang merupakan epithel dari Plexus Coroideus ventrikel otak. 5

Microglia mempunyai sifat - sifat phagocyte yang menyingkirkan debris

– debris yang dapat berasal dari sel – sel otak yang mati, bakteri dan lain

– lain. Sel jenis ini ditemukan di seluruh SSP dan dianggap berperanan

penting dalam proses melawan infeksi.4

Astrocytes atau Astroglia berfungsi sebagai “ sel pemberi makan

“ bagi neuron yang halus. Badan sel Astroglia berbentuk bintang dengan

banyak tonjolan dan kebanyakan berakhir pada pembuluh darah sebagai

7
kaki perivaskular atau “ foot processes “ .Bagian ini juga membentuk

dinding perintang antara aliran kapiler darah dengan neuron, sekaligus

mengadakan pertukaran zat diantara keduanya. Dengan kata lain

membantu neuron mempertahankan potensial bioelektris yang sesuai

untuk konduksi impuls dan transmisi sinaptik. Dengan cara ini pula

sel – sel saraf terlindungi dari substansi yang berbahaya yang mungkin

saja terlarut dalam darah. Tetapi fungsinya sebagai sawar darah otak

tersebut masih memerlukan pemastian lebih lanjut, karena diduga celah

endothel kapiler darahlah yang lebih berperan sebagai sawar darah otak.4

Walaupun Neuroglia secara struktur menyerupai neuron, tetapi

tidak dapat menghantarkan impuls saraf, suatu fungsi yang merupakan

bagian yang paling berkembang pada neuron. Perbedaan lain yang

penting adalah neuroglia tidak pernah kehilangan kemampuan untuk

membelah dimana tidak dipunyai oleh neuron. Karena alasan inilah

kebanyakan tumor – tumor otak adalah Gliomas atau tumor yang berasal

dari sel – sel glia.4

3. Neuron

Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan

fungsional system saraf. Setiap neuron mempunyai badan sel yang

mempunyai satu atau beberapa tonjolan. Dendrit adalah tonjolan yang

menghantarkan informasi menuju badan sel. Tonjolan tunggal dan

panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel disebut

Axon. Dendrit dan akson secara kolektif sering disebut sebagai serabut

8
saraf atau tonjolan saraf. Kemampuan untuk menerima, menyampaikan

dan meneruskan pesan – pesan neural disebabkan oleh karena sifat

khusus membran sel neuron yang mudah dirangsang dan dapat

menghantarkan pesan elektrokimia. 4

Gambar 3. Neuron

Neuron dapat diklasifikasikan menurut bentuknya atas neuron

unipolar, bipolar atau multipolar. Neuron unipolar hanya mempunyai

satu serabut yang dibagi menjadi satu cabang sentral yang berfungsi

sebagai satu akson dan satu cabang perifer yang berguna sebagai satu

dendrite. Jenis neuron ini merupakan neuron-neuron sensorik saraf

perifer (misalnya, sel-sel ganglion cerebrospinalis). Neuron bipolar

mempunyai dua serabut, satu dendrite dan satu akson. Jenis neuron ini

dijumpai dalam epithel olfaktorius, dalam retina mata dan dalam telinga

dalam. Neuron multipolar mempunyai beberapa dendrite dan satu akson.

Jenis neuron ini merupakan yang paling sering dijumpai pada system

saraf sentral (misalnya, sel-sel motoris pada cornu anterior dan lateralis

9
medulla spinalis, sel- sel ganglion otonom). 4

Neurotransmtter merupakan zat kimia yang disintesis dalam

neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat

kimia ini dilepaskan dari ujung akson terminal dan juga direabsorbsi

untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi amntar

neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia

ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron

menjadi lebih kurang dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga

terdapat sekitar tigapuluh macam neurotransmitter, diantaranya adalah

Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin, Asam Gama-

Aminobutirat (GABA) dan Glisin. 4

Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan

dengan neuron lain atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps.

Sinaps merupakan satu – satunya tempat dimana suatu impuls dapat

lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara

satu neuron dan neuron berikutnya ( atau organ efektor ) dikenal dengan

nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan

impuls saraf menuju ke sinaps disebut neuron prasinaptik. Neuron yang

membawa impuls dari sinaps disebut neuron postsinaptik. 4

4. Impuls Saraf

Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls

du sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion

natrium dan kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia

10
serta listrik dalam neuron tersebut (terutama neurotransmitter dan

stimulus organ receptor). Dalam keadaan istirahat , permeabillitas

membran sel menciptakan kadar kalium intrasel yang tinggi dan kadar

natrium intra sel yang rendah, bahkan pada pada kadar natrium extrasel

yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat

perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang dibatasi membran sel.5

Secara skematis perjalanan impuls saraf dimulai dari keadaan

listrik pada membran istirahat (polarized). Extrasel lebih banyak ion

natrium, sebaliknya intrasel lebih banyak ion kalium. Membran dalam

keadaan relatif impermeable terhadap kedua ion. Potensial membran

istirahat berubah dengan adanya stimulus. Ion Natrium masuk ke

intrasel secara cepat. Pembentukan potensial aksi pada tempat

perangsangan. Jika stimulus cukup kuat, potensial aksi akan dialirkan

secara cepat ke sepanjang membran sel. Potensial istirahat kembali

terjadi. Ion kalium keluar dari dalam sel dan permeabilitas membran

berubah kembali. Terjadi pemulihan keadaan negatif di dalam sel dan

positif diluar sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat

terjadi depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai ujung akson (

akson terminal ). Saat potensial aksi mencapai akson terminal akan

dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja

merangsang saraf berikutnya. 5

11
III. EPILEPSI

A. Definisi

Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) > 2

dengan interval > 24 jam antara kejang yang pertama dan berikutnya.

Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik,

sensoris, otonom, atau psikis.6

Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan

dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transient. Aktivitas

berlebihan tersebut dapat bermanisfestasi eksitasi positif, negatif, atau

keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana

bangkitan dimulai, kecepatan, dan luasnya penyebaran. Bangkitan

epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat

dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung

singkat. 6

B. Epidemiologi

Menurut WHO, diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh

dunia yang menderita epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi aktif

(terjadi bangkitan terus menerus dan memerlukan pengobatan)

diperkirakan antara 4-10 per 100 penduduk. Namun, angka ini jauh lebih

tinggi di negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah

yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk. Secara umum diperkirakan

terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya.7

12
Angka pervalensi dan insiden epilepsi di ndonesia belum diketahui

secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pkdi Epilepsi PERDOSSI) di

beberapa Rumah Sakit di 5 pulau besar di Indonesia (2013)

mendapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3% merupakan

pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan etiologi

epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi Susunan Saraf Pusat

(SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan pada

29% pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah epilepsi parsial dengan

aura yang tersering adalah sensasi epigastrium dan gejala autonom

(60,1%).7

Di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM), jumlah penyandang

epilepsi yang rutin kontrol tiap bulan berkisar 30-40 orang ; pasien

epilepsi yang baru berobat ke RSCM sekitar 5-6 prang tiap bulannya.

Rerata usia pasien adalah usia produktif yaitu 35,2 (16-76) tahun.

Riwayat kejang demam pada 37,9%, gangguan perilaku didapatkan pada

29,1%. Sebagian besar penyandang mengalami bangkitan fokal

(64,15%) dan sebanyak 15,5% mengalami bebas bangkitan. 7

C. Etiologi

Genetic epilepsi syndrome adalah epilepsi yang diketahui atau

diduga disebabkam oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai

manifestasi utama. Stuctural metabolic syndrome adalah kelainan

struktural atau metabolik yang menyebabkan seseorang beresiko

13
mengalami epilepsi, contohnya epilepsi setelah mengalami stroke,

trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tubersklerosis

dengan kelainan struktur otak (tuber). Epilepsi dogolongkan sebagai

unknown cause apabila penyebabnya belum diketahui.8

D. Patogenesis

Secara normal, aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal

dari satu neuron ke neuron lain. Perpindahan ini terjadi antara akson

terminal suatu neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps.9

Gambar 4. Penampang Sinaps Normal

Sinaps merupakan area yang penting untuk perpindahan elektrolit

dan sekresi neurotransmitter yang berada di dalam vesikel presinaps.

Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling mempengaruhi satu

sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam dan luar

sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta

keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktivitas

tersebut akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan

repolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-

14
sel neuron yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh akson,

sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi. 9

Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah

Natrium (Na+), Kalsium (Ca2+), Kalium (K+), Magnesium (Mg2+), dal

Klorida (Cl-). Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah

glutamat yang akan berikatan dengan reseptornya, yaitu N-metil-D-

aspartat (NMDA) dan non-NMDA (amino-3-hydroxy-5-methyl-

isoxasole propionic acid/AMPA dan kainat). Sementara pada proses

inhibisi, neurotransmitter utama adalah GABA yang akan berikatan

dengan reseptornya GABAA dan GABAB. GABA merupakan

neurotransmitter yang disintesis dari glutamat oleh enzim glutamic acid

decarboxylase (GAD) dengan bantuan peridoksin (vitamin B6) di

terminal presinaps. 9

Gambar 5. Proses Eksitasi dan Inhibisi

Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps,

akan terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan

dengan reseptor non-NMDA, dan Na+ akan masuk ke dalam sel

15
menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat (Gambar 5). Apabila

depolarisasi mencapai ambang potensial 10-2-mV, maka Mg2+ yang

menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan dengan glutamat dan

ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan

masuk ke dalam sel diikuti oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan

memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat.

Setelah Na+ mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari

dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi. 9

Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong

pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat GABA

berikatan dengan reseptor GABAA pascasinaps dan mencetuskan

potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang

potensial membran sel sampai kembali ke ambang istrahat pada -70µV

yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABAB di presinaps

berperan memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir aksi potensial

yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi

yang dipengaruhi oleh jarak dan waktu. 9

Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membran sel

terhiperpolarisasi dibawah ambang istrahatnya, disebut sebagai after

hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan

antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di luar sel. Pada masa ini sel nauron

mengalami fase refrakter dan tidak dapat terstimuli, sampai terjadi

pertukaran Ca2+ ke luar dan K+ ke dalam sel melalui kanal yang tidak

16
dipengaruhi oleh gradien voltase. Keseimbangan ion di dalam dan luar

sel dikembalikan oleh pompa Na+-K+ dengan bantuan adenosin

triphospate (ATP). 9

Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan

inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk menghisap

K+ dan glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian

disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps. 9

Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan

menyebabkan hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan

bangkitan epileptik. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh

faktor internal dan eksternal. Penyebab internal antara lain berupa

mutasi atau kelainan pada kanal-kanal elektrolit sel neuron. Beberapa

mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal Na+, Ca2+, dan K+.

mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel secara

terus menerus sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift (PDS).

PDS diinisiasi oleh reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na +

yang masuk ke dalam sel, pada mutasi kanal Na + , dan dapat diperlama

saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya Na+ sehingga semakin

banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS terjadi karena

depolarisasi lambat semakin lama akibat peningkatan Ca2+ di dalam sel.

Sementara mutasi pada kanal K+ akan menghambat keluarnya K+ ke

ekstra sel yang justru akan menghambat terjadinya repolarisasi,

memperpanjang depolarisasi, dan akhirnya menyebabkan PDS. 9

17
Pada hiperekstabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke

celah sinaps, sehingga terjadi peningkatan jumlag Ca 2+ di dalam sel.

Jumlah Ca2+ yang berlebihan ini akan mengaktifkan enzim intrasel yang

menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang keluarnya berbagai

faktor inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan

keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan sawar darah otak atau

blood brain barrier (BBB), dan sebagainya. 9

Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit

otak maupun sistemik. Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan

kerusakan sel neuron, glia, dan BBB. Kerusakan sel glia akan

menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di celah sinaps karena tidak

‘terhisap’, sehingga sel neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan tersebut

juga akan mengaktivasi faktor-faktor inflamasi, kemudian merangsang

peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran yang

berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam

jangka waktu yang lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak,

struktur neuron, dan ekspresi gen. 9

Hipereksitabilitas suatu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di

sekitarnya. Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal

secara bersamaan disebut sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel

neuron teraktivasi, maka sel-sel neuron di sekitarnya juga akan ikut

teraktivasi. Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang

hampir bersamaan, maka akan terbentuk suatu potensial eksitasi yang

18
besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS hipersinkroni ke

seluruh hemisfer saat iktal maupun interiktal tergantung pada aktivitas

interneuron di talamus yang sebagian besar bersifat inhibisi. 9

Gambar 6. Berbagai Penyebab Bangkitan Epileptik

Status epileptikus terjadi akibat kegagalan proses inhibisi di otak.

Salah satunya disebabkan oleh sifat reseptor glutamat dan GAbA dalam

merespon jumlah neurotransmitter di celah sinaps. Reseptor glutamat

merupakan reseptor yang peka terhadap perubahan jumlah glutamat.

Pada keadaan eksitasi berlebihan maka reseptor akan meningkatkan

kepekaan atau jumlah reseptor. Sebaliknya dengan respond reseptor

GABA terhadap peningkatan aktivitas GABA, reseptor-reseptor tersebut

justru akan tersublimasi dan menjadi bentuk yang tidak sensitif terhadap

neurotransmitternya. Ini yang menyebabkan pasa status epileptikus yang

19
berkepanjangan, reseptor glutamat akan semakin meningkat dan reseptor

GABA akan semakin berkurang. 9

Gambar 7. Perbedaan Respon Reseptor GABA (atas) dan


Glutamat (bawah)
E. Klasifikasi

Pada tahun 1981 International League Againts Epilepsi (ILAE)

membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang fokal/parsial.

Berdasarkan tipe bangkitan (diobservasi secara klinis maupun hasil

pemeriksaan elektrofisiologi), apakah aktivitas kejang dimulai dari satu

bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan kedua hemisfer

otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial.

Kejang umum disini adalah gejala awal kejang dan/atau gambaran EEg

menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer. Sedangkan kejang parsial

(fokal) adalah gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan

aktivitas pada neuron terbatas hanya pada satu hemisfer saja. Klasifikasi

20
epilepsi terus berkembang dan yang saat ini dianut adalah klasifikasi

epilepsi berdasarkan ILAE 2017. Klasifikasi ini terdiri dari 3 tingkatan,

dimana tingkatan ini dirancang untuk melayani pengelompokkan

epilepsi di lingkungan klinis yang berbeda. Klasifikasi ini

memungkinkan penentuan etiologi penyebab epilepsi sudah mulai

dipikirkan pada saat pertama kali kejang epilepsi didiagnosis.10

Gambar 8. Klasifikasi Epilepsi ILAE 201710

21
International League Againts Epilepsi 2017 membagi etiologi

epilepsi menjadi struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun, dan tidak

diketahui. 10

Klasifikasi epilepsi terbaru lebih aplikatif namun tidak jauh

berbeda dengan klasifikasi epilepsi berdarkan ILAE 1981 berdarkan

etiologi. 10

F. Gejala dan Tanda Klinis

1. Bangkitan Umum Tonik-Klonik

Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa idiopatik,

kriptogenik, atau simptomatik. Tipe bangkitan ini dapat terjadi pada

semua usia kecuali neonatus. Manifestasi klinis : hilang kesadaran

sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-klonik

umum, dapat disertai gejala autonom seperti mengompol dan mulut

berbusa. Gambaran iktal : tiba-tiba mata melotot dan tertarik ke atas,

seluruh kontraksi tonik, dapat disertai suara teriakan dan nyaring,

selanjutnya diikuti gerakan klonik berulang simetris di seluruh

tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut berbusa serta diikuti

mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi hipotonus, pasien

dapat tertidur dan terasa lemah.9

Pada pemeriksaan EEG saat interiktal didapatkan aktivitas

epileptiform umum berupa kompleks gerakan paku-ombak (spike

wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM. 9

22
2. Bangkitan Tonik

Bangkitan tonik ditandai dengan kontraksi seluruh otot yang

berlangsung terus-menerus, berlangsung selama 2-10 detik namun

dapat hingga beberapa menit, disertai hilangnya kesadaran. Dapat

disertai gejala autonon seperti apnea. Gambaran EEG interiktal

menunjukkan irama cepat dan gelombang paku atau kompleks paku-

ombak frekuensi lambat yang bersifat umum. 9

3. Bangkitan Klonik

Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik (1-5Hz) di

seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan.

Pada EEG iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa

gelombang paku, paku multiple, atau kombinasi gelombang irama

cepat dan lambat. 9

4. Bangkitan Mioklonik

Mioklonik adalah gerakan kontraksi involinter mendadak dan

berlangsung sangat singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran.

Biasanya berlangsung 10-50 milidetik, durasi dapat mencapai lebih

dari 100 milidetik. Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau

miltiple ataupun berupa sekumpulan otot yang agonis dari berbagai

topografi. Mioklonik dapat berlangsung fokal, segmental,

multifokal, atau umum. Gambaran EEG berupa gelombang

polyspikes yang bersigat umum dan singkat. 9

23
5. Bangkitan Atonik

Bangkitan ditandai dengan hilangnya tonus otot secara

mendadak. Bangkitan atonik dapat didahului oleh bangkitan

mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa berupa “jatuh” atau

“kepala menunduk”. Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik.

Gambaran EEG dapat berupa gelombang paku (spikes) atau

polyspikes yang bersifat umum dengan frekuensi 2-3 Hz dan

gelombang lambat. 9

6. Bangkitan Absans Tipikal

Bangkitan absans (petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam

hitungan detik) dengan onset mendadak dan berhenti mendadak.

Bentuk bangkitan berupa hilang kesadaran atau “pandangan

kosong”. Dapat pula disertai komponen motorik yang minimal

( dapat berupa mioklonik, atonik, tonik, automatisme). Pada

pemeriksaan EEG didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa

kompleks paku-ombak 3 Hz (>2,5 Hz). 9

7. Bangkitan Absans Atipikal

Bangkitan berupa gangguan kesadaran disertai perubahan tonus

otot (hipotonia atau atonia), tonik, dan mioklonik. Pada absans

atipikal, onset dan berhentinya bangkitan tidak semendadak

bangkitan absans tipikal, perubahan tonus lebih sering terjadi pada

bangkitan tipe absans tipikal. Pada EEG didapatkan gambaran

kompleks paku-ombak frekuensi lambat (1-2,5 Hz atau <2,5 Hz)

24
yang irregular dan heterogen dan dapat bercampur dengan irama

cepat. 9

8. Bangkitan Fokal/Parsial

Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokul

epileptik di otak. Fokus epileptik berasal dari area tertentu yang

kemudian mengalami propagasi dan menyebar ke bagian otak yang

lain. 9

Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik, sensorik

(kesemutan, baal) sensorik spesial (halusinasi visual, halusianasi

auditorik), emosi (rasa takut, marah), outonon (kulit pucat,

merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana yang diikuti

dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder

disebut sebagai aura. 9

G. Diagnosis

Epilepsi adalah suatu penyakit atau gangguan di otak yang

ditegakkan jika terdapat :

a. Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi (refleks) dengan

jarak antar 2 bangkitan tersebut >24 jam.

b. Satu kali bangkitan tanpa provokasi (refleks) dan kemungkinan

terjadinya bangkitan berikutnya hampir sama dengan terjadinya

risiko timbulnya bangkitan (paling sedikit 60%) setelah terjadi 2 kali

bangkitan tanpa provokasi, dalam 10 tahun ke depan.

c. Diagnosis sindrom epilepsi.9

25
Ketika mendapatkan pasien kejang (Paroxysmal Event) maka

dalam memastikan diagnosis terdapat 3 tahap yang harus dilalui yaitu :

a. Apakah Paroxymal Evernt yang terjadi merupakan epilepsi atau

bukan?

b. Apakah macam atau tipe epilepsi yang terjadi?

c. Apakah penyebab atau etiologi epilepsi?11

1. Pemeriksaan Klinis

Tahap awal untuk menuju diagnosis yang benar adalah menentukan

Paroxysmal Clinical Event yang terjadi merupakan epilepsi atau

bukan. Diagnosis epilepsi ditandai dengan:

a. Paroxysmal onset

b. Stereotipi

c. Durasi singkat (detik-menit)

d. Serangan berulang

e. Diluar serangan pasien normal.11

Anamnesis memegang peranan terbesar dalam mengidentifikasi

bangkitan epileptik. Tujuan dari pemeriksaan terutama adalah untuk

mencari kelainan fokal/simptomatik :

a. Tentukan ada tidaknya aura

Bila terdapat aura, maka berarti kelainan fokal.

b. Perhatikan ada tidaknya pemutaran kepala

26
Bila waktu kejang kepala tidak di tengah-tengah, tetapi menoleh

ke salah satu sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan fokus

berlawanan dengan arah kepala)

c. Perhatikan apakah ada hemiparesis post iktal. Bila ada

hemiparesis berarti ada kelainan fokal.

d. Waktu terjadinya

Bila kejang terjadi waktu bangun tidur atau waktu akan tidur,

berarti ada kelainan fokal.

e. Umur

Epilepsi grandmal yang murni terjadi mulai umur 3 tahun

pubertas. Bila kejang terjadi mulai umur kurang dari 3 tahun,

atau setelah pubertas, cari kelainan fokal.

f. Pada anak perhatikan pertumbuhan ekstremitas

Sering terjadi pada sisi yang hemiparesis ringan terlihat etrofi

otot, kuku lebih kecil. Pemeriksaan neurologis (refleks tendon,

refleks patologis, tonus, termasuk pemeriksaan fundus okuli)

perlu dikerjakan. 11

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG dilakukan untuk memastikan adanya

aktivitas epileptiform yang bersifat fokal atau umum. Pada EEG

juga perlu diperhatikan latar belakang serta ada tidaknya

perlambatan fokal menomorfil atau polimorfik.9

27
b. Brain Imaging

CT scan dan MRI dapat memperlihatkan struktur jaringan

otak, sedangkan neuroimaging lainnya memperlihatkan fungsi

jaringan otak dan tata kerjanya.9

Brain imaging tidak diperlukan pada sindroma epilepsi yang

jelas, seperti absence, junvile motoric epilepsy, atau benign

roland epilepsy, yang penyebabnya genetik.9

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah dan urin berguna untuk mengetahui

adanya gangguan metabolik : hiponatremia, hipernatremia,

hipoglikemia, hipokalsemia, uremia, dll sebagai penyebab

kejang. Pemeriksaan likuor dilakukan bila dicurigai suatu radang

otak.9

3. Diagnosis Bannding

Sering suatu kelainan/penyakit atau fenomena normal mirip

seperti serangan epilepsi dan begitu pula sebalikanya. Kesalahan

diagnosis memiliki dampak yang serius bagi masa depan pasien.

Paroxysimal nonepileptic event sering salah diagnosis sebagai

serangan epilepsi kurang dari 20-30%.9

Non epileptik seizure dibagi 2 kelompok :

a. Physiological or organic non epileptic seizure

Termasuk dalam kelompok ini :

- Sinkop

28
- Vertigo

- Migrain

- TIA9

b. Psychogenic non epileptik seizure

Mirip dengan poroksisimal seizure tetapi penyebab berasal dari

gangguan psikologik. Sinonim dari kelainan ini adalah pseudo-

seizure. Biasanya terjadi pada pasien yang mengalami :

- Depresi

- Stress

- Ansietas

- Ketakutan

- Panik

- Gangguan mental lain.9

4. Tatalaksana

a. Medikamentosa

Titik berat tata laksana epilepsi adalah pencegahan

bangkitan berulang dan pencarian etiologi. Bangkitan epileptik

dapat merupakan gejala dari suatu penyakit sistemik maupun

akibat kelainan intrakranial. Bangkitan epileptik pertama yang

terjadi pada fase akut makibat penyakit yang mendasarinya,

biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang. Sementara

bangkitan epileptik yang terjadi akibat suatu kelainan

intrakranial yang kronis diperlukan terapi jangka panjang.9

29
Pada bangkitan epileptik pertama, terapi Obat Anti

Epilepsi (OAE) dapat langsung diberikan bila terdapat risiko

yang tinggi untuk terjadinya bangkitan berulang. Misalnya pada

status epileptikus sebagai bangkitan epileptik pertama,

ditemukannya lesi intrakranial sebagai penyebab bangkitan,

riwayat keluarga epilepsi, dan beberapa indikasi lainnya.9

OAE diberikan berdasarkan tipe bangkita. OAE pilihan

pada kejang tipe parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara

lain adalah karbamazepin, levetirasetam, zonisamid, dan

fenitoin. Pilihan OAE pada anak adalah okskarbazepin dan pada

lanjut usia adalah gabapentin. Sementara pada bangkita pertama

tonik klonik pada sewasa dan anak adalah karbamazepin,

okskarbazepn, fenitoin, dan lamotrigin.9

Dosis obat dimulai dari dosis tekecil dan dinaikkan secara

bertahap sampai mencapai dosis terapi. Pantau efek samping

jangka pendek seperti mengantuk, gangguan emosi dan perilaku,

gangguan hematologi, fungsi hepar, atau alergi. Jika tidak

ditemukan efek samping dan pasien merasa nyaman dengan obat

tersebut, dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai tercapai

bebas bangkitan atau terjadi intoksikasi. Gejala dan tanda

intoksikasi dapat muncul ringan sampai berat. Bila muncul gejala

dan tanda intoksikasi ringan, seperti pusing dan nistagmus pada

intoksikasi fenitoin, dosis dapat diturunkan ke dosis sebelum

30
tanda intoksikasi itu muncul. Namun, apabila terjadi intoksikasi

berat seperti, penurunan kesadaran pada intoksikasi valproat,

maka obat harus langsung dihentikan dan diganti dengan obat

yang tidak mempunyai profil efek samping yang sama derta

waktu steady state cepat untuk mencegah status epileptikus

akibat efek withdrawal.9

Selain tipe bangkitan, pemilihan OAE perlu

memperhatikan faktor-faktor individual seperti komorbiditas,

usia, ekonomi, interaksi obat, ketersediaan, dan lain sebagainya.

Komunikasi, edukasi, dan informasi merupakan salah satu faktor

penting untuk meningkatkan kemungkinan bebas serangan. 9

Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan

target pengobatan 3 tahun bebas bangkitan. Bila monoterapi

tidak dapat mencegah bangkitan berulang, politerapi dapat

diberikan dengan pertimbangan profil obat yang akan

dikombinasikan. Apabila masih tidak bisa diatasi, maka perlu

dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk menghilangkan

fokus epileptik. 9

b. Non-Medikamentosa

Terapi nonmedikamentosa pada epilepsi antara lain :

 Pembedahan epilepsi

 Stimulasi nervus vagus

 Diet ketogenik

31
Pembedahan epilepsi adalah salah satu tata laksana

nonmedikamentosa yang efektif pada pasien epilepsi fokal

resisten obat. Angka keberhasilan pembedahan epilepsi antara

lain 66% pasien bebas bangkitan pada epilepsi lobus temporal,

46% pada epilepsi lobus oksipital dan parietal, serta 27% pada

epilepsi lobus frontal. 9

Stimulasi nervus vagus merupakan metode invasif pada

terapi pasien epilepsi yang resisten obat. Metode ini

menggunakan suatu elektroda yang ditana, di bawah kulit pada

dada kiri dan berhubungan dengan elektroda stimulator yang

diletakkan pada nervus vagus kiri. Stimulator ini mengeluarkan

impuls dengan berbagai frekuensi sesuai dengan kebutuhan

pasien. Frekuensi bangkitan sangat menurun setelah penggunaan

stimulasi nervus vagus ini. Penurunan frekuensi bangkitan

sekitar 35-75% setelah 10 tahun penggunaan. 9

Diet ketogenik sampai saat ini terbukti efektif pada pasien

epilepsi anak-anak. Diet ketogenik adalah diet dengan tinggi

lemak, rendah protein, dan rendah karbohidrat. Angka bebas

bangkitan pada anak-anak mencapai 16%, penurunan >90%

frekuensi bangkitan sebesar 32%, penurunan >50% frekuensi

bangkitan sebesar 56%. Namun diet ketogenik ini belum

terbukti efektif pada pasien dewasa. 9

32
5. Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

dengan epilepsi. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai

berikut

a. Pasien jatuh pada status epileptikus

b. Kerusakan otak yang permanen

c. Efek samping dari pengobatan12

Pada pasien epilepsi juga dapat terjadi gangguan neuropsikiatri

seperti depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, dan kemampuan

kognitif yang terganggu.12

6. Prognosis

Pasien dengan epilepsi sebanyak 60-70% akan tetap memakan

obat anti epilepsi untuk mengontrol serangan epilepsi. Pada

kebanyakan kasus pengobatan akan dimulai pada serangan kedua.

Secara keseluruhan, kemungkinan serangan epilepsi akan kambuh

adalah sebesar 27-71%. Serangan kambuh sering terjadi pada 2

tahun setelah serangan sebelumnya. Terapi medikamentosa dapat

memberikan penurunan resiko kekambuhan meskipun belum ada

penelitian yang menunjukkan prognosis yang baik dalam jangka

waktu yang lama. Namun, pada anak-anak yang tidak mendapatkan

terapi pengobatan akan lebih buruk prognosisnya dibandingkan yang

mendapatkan pengobatan.8

DAFTAR PUSTAKA

33
1. Anwar, Haleema, et al. 2020. Epileptis Seizures. Discoveries 8 (2) : 1-23.
2. Basri, I. 2017. Diktat Anatomi. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin
3. Friedrich P, Jens W. 2017. Atlas Of Anatomy Sobotta 16th Edition, an
imprint of Elsevier.
4. Splittgerber, Ryan. 2019. Snell’s Clinical Neuroanatomy Eight Edition.
China : Wolters Kluwer.
5. Sherwood, Lauralee. Introducing To Human Physiology 8 th Edition.
China : Brooks/Cole Cengage Learning.
6. Sirven, Joseph I. 2015. Epilepsy : A Spectrum Disorder. Cold Spring
Harbor Perspectives in Medicine : Publicated on NCBI 5 (9) : 1-17.
7. Minardi, Carmelo, et al. 2019. Epilepsy in Children : From Diagnosis to
Treatment with Focus on Emergency. Journal of Clinical Medicine 8(1) :
1-13.
8. NCBI bookshelf. Last Update Dec 2019. Epilepsy : Overview. A Service
of The National Library of Medicine
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK343313/] : 1-6.
9. Aninditha, Tiara dan Wiratman, Winnugroho. 2017. Buku Ajar Naurologi
Jilid I. Jakarta : Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
10. Resendiz-Aparicio, Juan C. et al. 2019. Clinical Guideline : Definition and
Classification of Epilepsy. Revista Mexicana de Neurocincia (20) : 63-68.
11. Bahrudin, Sp.S, dr. 2017. Neurologi Klinis. Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang.
12. O’Brien, Charlotte Wattebot. 2011. Epilepsy and Its Neuropsychiatric
Complications in Older Adults. British Journal of Hospital Medicine

34

Anda mungkin juga menyukai