Anda di halaman 1dari 32

1

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN PLEXIFORM NEUROFIBROMA


RETROAURICULAR

Oleh :
Rokhaeni

Pembimbing :
dr. Hadi Sudrajad, Sp.T.H.T.K.L,Msi.Med

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1


ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Neurofibroma adalah suatu jenis tumor jinak yang terdapat pada
system saraf perifer, yang terdiri atas diferensiasi tipe sel Schwann, fibroblast,
sel mast, dan axon bermyelin atau tidak bermyelin yang terdapat dalam
matriks ekstraseluler (Antonescu et. al, 2012)
Salah satu tipe neurofibroma adalah plexiform neurfibroma. Plexiform
neurofibroma merupakan salah satu tipe neurofibroma dimana sel tumor
tersebar membentuk beberapa fasikulus dalam saraf dan menyebabkan
jaringan saraf menebal dan dikelilingi oleh matriks proteinaceous (Prada et.al,
2012)
Prevalensi neurofibroma sendiri 1 dalam 3000-3500 orang di dunia,
dimana 90%-nya merupakan pasien dengan neurofibroma tipe I. 1 dari 4
pasien dengan neurofibroma tipe 1 adalah pasien dengan plexiform
neurofibroma (Louis, 2007)
Mengingat sedikitnya cakupan ilmu terkait plexiform neurofibroma
dan seringnya kejadian kasus tersebut pada usia dewasa produktif, maka
pemahaman biologis, penegakan diagnosis serta penentuan terapi penyakit
tersebut perlu dipelajari lebih detail.

B. Permasalahan
Bagaimana penegakan diagnosis serta penatalaksanaan pada kasus
plexiform neurofibroma?

C. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui
penegakan dan penatalaksanaan plexiform neurofibroma.
2
D. Manfaat
Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, patofisiologi,
gejala klinis serta komplikasi dari plexiform neurofibroma. Manfaat klinis
untuk mengetahui penegakan diagnostik dan penatalaksanaan pada kasus
plexiform neurofibroma.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Saraf Tepi


Jaringan saraf terdiri dari neuroglia dan sel schwann serta neuron. Neuroglia
mengandung berbagai macam sel yang secara keseluruhan menyokong,
melindungi dan sumber nutrisi sel saraf pada otak dan medulla spinalis,
sedangkan sel schwann merupakan pelindung dan penyokong neuron diluar
sistem saraf pusat. Sel schwann membentuk myelin maupun neurolemma saraf
tepi. Tidak semua neuron susunan saraf tepi bermielin. Neurolema adalah
membran sitoplasma yang halus yang dibentuk oleh sel-sel schwann yang
membungkus semua neuron system saraf tepi (bermielin atau tidak bermielin).
Neurolema merupakan struktur penyokong dan pelindung bagi tonjolan saraf.
Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran ion natrium dan kalium
melintasi membrane neuronal dengan hampir sempurna. Selubung mielin tidak
kontinyu di sepanjang tonjolan saraf, dan terdapat celah-celah yang tidak
memiliki myelin, dinamakan nodus ranvier. Transmisi impuls saraf di sepanjang
serabut bermyelin lebih cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin,
karena impuls berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain di
sepanjang selubung myelin. Cara transmisi seperti ini dinamakan konduksi
saltatorik (Guyton et Hall, 2011)

Neuron adalah suatu sel saraf dan mempunyai unit anatomis dan
fungsional sistem saraf. Setiap neuron mempunyai badan sel yang mempunyai
satu atau beberapa tonjolan. Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan
informasi menuju badan sel. Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan
informasi keluar dari badan sel disebut axon. Dendrit dan axon secara kolektif
sering disebut serabut saraf atau tonjolan saraf. Kemampuan untuk menerima,
menyampaikan dan meneruskan pesan neural disebabkan oleh karena sifat khusus
membran sel neuron yang mudah dirangsang dan dapat menghantarkan pesan

4
elektrokimia. Neuron dapat diklasifikasikan menurut bentuknya yang terdiri atas
neuron unipolar, bipolar dan multipolar. Neuron unipolar hanya mempunyai satu
serabut yang dibagi menjadi satu cabang sentral yang berfungsi sebagai satu axon
dan satu cabang perifer yang berguna sebagai satu dendrit. Jenis neuron ini
merupakan neuron-neuron sensorik saraf perifer (misalnya sel-sel ganglion
cerebrospinalis). Neuron bipolar mempunyai dua serabut, satu dendrit dan satu
axon. Jenis neuron ini dijumpai dalam epithel olfaktorius, dalam retina mata dan
dalam telinga dalam. Neuron multipolar mempunya beberapa dendrite dan satu
axon. Jenis neuron ini merupakan yang paling sering dijumpai pada sistem saraf
sentral (misalnya, sel-sel motoris pada cornu anterior dan lateralis medula
spinalis, sel-sel ganglion otonom) (Guyton et Hall, 2011).

Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan


disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung axon. Zat kimia ini dilepaskan
dari ujung axon terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurtransmitter
merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron melepaskan satu
transmitter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron,
sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau
diduga terdaat sekitar tigapuluh macam neurotransmiter, diantaranya adalah
Norephinephrin, Acetlcholin, Dopamin, serotonin, asam Gama-Aminobutirat
(GABA) dan Glisin. Tempat-tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan
neuron lain atau dengan organ-organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan
satusatunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron
lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya (atau organ
efektor) dikenal dengan nama celah sinaptik (sinaptix cleft). Neuron yang
menghantarkan impuls saraf menuju sinaps disebut neuron prasinaptik. Neuron
yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron postsinaptik (Guyton et Hall,
2011).

Saraf tulang belakang merupakan bagian dari sistem saraf somatik,


dimulai dari ujung saraf dorsal dan ventral dari sumsum tulang belakang. Saraf-
saraf tersebut mengarah keluar rongga dan bercabang-cabang di sepanjang
5
perjalanannya menuju otot atau reseptor sensoris yang hendak dicapainya.
Cabang-cabang saraf tulang belakang ini umumnya disertai dengan pembulu
darah, terutama cabang-cabang yang menuju otot-otot kepala (skeletal muscles)
(Guyton et Hall, 2011).

Autonomic Nervous System (sistem saraf otonom) mengatur fungsi-fungsi


otot halus, otot jantung dan kelenjar-kelenjar tubuh. Otot halus terdapat di kulit, di
pembuluh darah, di mata, di dinding serta jonjot usus, di kantung empedu dan
kandung kemih. Jadi dapat disimpulan bahwa organ-organ yang dikontrol oleh
sistem saraf otonom memiliki fungsi untuk melangsungkan proses vegetatif di
dalam tubuh. Sistem saraf otonom terdiri dari dua sistem yang berbeda secara
anatomis, yaitu bagian simpatetik dan bagian parasimpatetik. Sebagian besar saraf
simpatetik terlibat dalam aktifitas yang berhubungan dengan pengeluaran energi
dari tubuh. Axon-axon yang meninggalakan sumsum tulang belakang melalui
ventral root disebut dengan preganglionic neuron, kecuali adrenal medulla yang
axon preganglionnya masuk ke ganglia dari ikatan simpatetik, tetapi tidak
semuanya bersinapsis di tempat tersebut. Beberapa neuron preganglion
meninggalkan sumsum tulang belakang menuju ganglia simpatetik lain yang
terletak di organ-organ internal. Semua axon dari neuron preganglion bersinapsis
ke neruon salah satu ganglia tujuannya. Neuron-neuron tempat bersinapsis disebut
neuron post ganglion. Selanjutnya, neuron post ganglion mengirim axon ke organ
tujuan, seperti usus halus, perut ginjal, dan kelenjar keringat. (Guyton et Hall,
2011).

6
B. Anatomi Telinga

Gambar 2.1. Anatomi Telinga


1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5 3 cm (Soepardi et.al, 2007)
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga.Pada duapertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soepardi et.al, 2007).
Innervasi dari telinga luar adalah nervus trigeminus cabang
auriculotemporal, nervus auriculare mayor (cabang C3), nervus oksipitalis
(turunan dari C2 dan C3), dan nervus vagus cabang aurikulare. Telinga luar
divaskularisasi oleh 2 cabang arteri karotis eksterna, a. Auriculare posterior dan a.
temporal superfisial (Aina, 2003).

7
2. Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari:
Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu
mutiara. Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani dibagi
atas 2 bagian yaitu bagian atas disebut pars flasida (membrane sharpnell)
dimana lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga
sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa
merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
Tuba eustachius, yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring (Soepardi et.al, 2007).
Bagian ini divaskularisasi oleh arteri timpani inferior, a. auriculare
profunda, a. mastoid, a. stylomastoid, a. petrosa superfisial dan a. tubal
(Aina, 2003)
3. Telinga dalam

Gambar 2.2. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung

8
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibule (Soepardi et.al, 2007).
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibule sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus
koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa
sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa
berbeda dengan endolimfa. Dimana cairan perilimfe tinggi akan natrium dan
rendah kalum, sedangkan endolimfe tinggi akan kalium dan rendah natrium. Hal
ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran
vestibuli (Reissners Membrane) sedangkan skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung organel-organel penting
untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel
rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini
menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat jangkit
yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia
yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat
gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrane tektoria. Membran tektoria
disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut
sebagai limbus (Adams et.al, 1997)

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang diebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti
(Adams et.al, 1997).

C. Neurofibroma
1. Definisi
Neurofibroma adalah suatu jenis tumor jinak yang terdapat pada
system saraf perifer, yang terdiri atas diferensiasi tipe sell Schwann,
fibroblast, sel mast, dan axon bermyelin atau tidak bermyelin yang terdapat
9
dalam matriks ekstraseluler (Antonescu et. al, 2012)
Neurofribroma berupa campuran axon neural atau serabut dendrit
dan sel schwann, dan biasanya jarang terdapat di laring dan terdapat di
bagian ekstrinsik tubuh (Ballenger et Snow, 2008)
Plexiform neurofibroma adalah jenis tumor jinak yang ditandai
dengan munculnya fasikel pada saraf yang terdiri dari proliferasi sel yang
dapat menjalar ke sepanjang saraf. Plexiform neurofibroma memiliki batas
yang tidak jelas dan invasive terhadap jaringan sekitarnya. Jenis sel yang
mengalami proliferasi biasanya gabungan dari sel Schwann, fibroblast dan
sel tipe lain yang heterogen (McCarro et Goldblum, 1998)
Plexiform neurofibroma adalah jenis tumor neurofibroma dimana
sel schwaan berproliferasi ke dalam serabut saraf, menghasilkan struktur
yang lebih tebal, menyimpang dan berkelok-kelok (Korf, 1999)
2. Epidemiologi
Neurofibroma adalah kasus tumor jinak pada system saraf tepi
yang paling sering ditemui, mayoritas lesi berbentuk soliter dan sporadis.
Tumor plexiform dan kutan pada awalnya merupakan kongenital, dan
dalam neurofibromatosis I, neurofibroma intraneural terlokalisasi, dan
kutaneus terlokalisasi biasa muncul pada usia pertengahan dckade
pertama. Neurofibroma terjadi pada semua ras, usia dan jenis kelamin.
Sedangkan untuk plexiform neurofibroma biasanya kongenital dan
berkembang ketika lahir. (Antonescu et al, 2012).
Neurofibroma mulai muncul pada saat seseorang memasuki usia
dewasa muda dan dapat melibatkan kulit, soft tissue maupun viscera.
Plexiform neurofibroma biasa terdapat di dada, abdomen ataupun pelvis
yang lebih sering didiagnosis sebagai massa paraspinal yang melibatkan
beberapa region spinalis (Waggoner, 2000).
Plexiform neurofibroma adalah jenis tumor yang paling sering
terjadi pada orang dengan gen NF1. Sebanyak 50% pasien dengan NF1
akan mengalami plexiform neurofibroma. Bagian yang paling sering
diserang oleh tumor ini adalah badan/ trunk (43%), kepala dan leher (42%)
10
dan ekstremitas (15%). Tipe plexiform neurofibroma ini memiliki
kemungkinan sebesar 20% untuk berubah menjadi tipe malignansi. (Boyd
et.al,2010; Huson et.al , 1988; Kofr, 2000; Rekha et Gopalan, 2006;
Waggoner, 2000 ).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari neurofibroma intraneural atau kutaneus terlokalisasi
dan soft tissue adalah gen NF1. Gen NF1 ini berfungsi pada
neurofibromin, yaitu protein yang mempercepat hidrolisis instrinsik p21ras
dari Guanosine Triphosphate (GTP) ke Guanosine Diphosphate (GDP).
Sekitar 20-44% pasien dengan NF1 akan berkembang menjadi plexiform
neurofibroma (Huson et.al, 1988).
Faktor resiko pada plexiform neurofibroma adalah riwayat sakit
serupa pada keluarga. Hal ini dikarenakan neurofibroma merupakan
penyakit genetik yang bersifat autosom dominan, yang berarti seseoarang
dengan neurofibromatosis mempunyai peluang 50% untuk menurunkan
lewat kehamilan. Selain itu juga dapat disebabkan karena mutasi, baik
genetic di dalam sel telur/sperma setelah konspsi bahkan dalam beberapa
kasus tidak ada ayah ataupun ibu yang memiliki tanda-tanda
neurofibromatosis. (Huson et. Al, 1988; Richtsmeier, 2013; John et Maves,
2013)
4. Patofisiologi
Neurofibroma terjadi akibat adanya cacat genetik, di mana Neurofibroma
tipe 1 dan Neurofibroma tipe 2 terjadi sebagai akibat dari cacat pada gen
yang berbeda. Neurofibroma tipe 1 disebabkan oleh mutasi pada gen yang
terletak dikromosom 17 dan Neurofibroma tipe 2 pada kromosom 22
(Friedman et.al, 1999)
Mutasi gen dapat diwariskan dari orang tua yang memiliki riwayat
Neurofibroma atau pada beberapa kasus gen dapat bermutasi secara
spontan. Orang tua dengan riwayat Neurofibroma memiliki kemampuan
menurunkan ke masing-masing anaknya sebesar 50% (Riccardi, 2010)
o Neurofibroma Tipe 1
11
Ini terjadi setelah mutasi pada kromosom neurofibromin 17q11.2.
100.000 penduduk Amerika telah mengidap neurofibromatosis.
Neurofibromin adalah tumor supresor gen yang berfungsi untuk
menghambat onkoprotein p21 ras. Dalam tidak adanya kontrol
penghambatan ini supresor tumor pada onkoprotein ras. Proliferasi seluler
tidak menentu dan tidak terkendali, yang mengakibatkan proliferasi seluler
tidak seimbang dan perkembangan tumor (Friedman et. al, 1999)
Neufibroma tipe 1 disebabkan oleh mutasi pada gen Neurofibroma
tipe 1 yang mengkode protein yang disebut neurofibromin, yang berfungsi
sebagai penekan tumor. Kondisi ini mengikuti pola pewarisan dominan
autosomal. Sekitar 50% dari kasus neurofibroma diwariskan dari orangtua.
Sekitar 50% adalah karena mutasi baru pada gen neurofibroma terjadi
secara acak pada atau sekitar konsepsi untuk alasan yang tidak diketahui
o Neurofibroma Tipe 2
Neurofibroma tipe 2 disebabkan oleh mutasi pada gen
Neurofibroma tipe 2 (kromosom 22) yang mengatur produksi merlin /
schwnnomin protein yang berfungsi sebagai penekan tumor. Kondisi ini
mengikuti pola pewarisan dominan autosomal. Sekitar 50% dari kasus
Neurofibroma tipe 2 diwariskan dan sekitar 50% adalah karena mutasi
baru pada gen NF2. NF2 adalah bentuk neurofibromatosis yang ditandai
dengan schwanomma vestibular bilateral. (Ballenger et Snow, 2008;
Trofatter et.al, 1993; Gusella et.al, 1999; Easton et.al, 1993)
Plexiform neurofibroma merupakan jenis neurofibroma tipe 1.
26.7% pasien neurofibroma tipe 1 adalah tipe plexiform neurofibroma.
Secara histologi, jenis tumor ini terdiri dari sel Schwann yang
bertransformasi dengan bentuk yang bergelombang dan dengan
heterochromatin yang padat disertai nuclei yang memanjang. Tumor ini
menunjukkan perkembangan yang diffuse. Sel Schwann yang berikatan
dengan fibroblas dan sel perineural-like dalam matriks yang berisi cairan
mukus dan serabut kolagen. Tumor plexiform biasanya menunjukkan
bentuk yang lebih renggang dan jumlah matriks myxoid dalam jumlah
12
banyak. Penurunan kemampuan serabut saraf dapat terlihat pada tumor
ini. Pada neurofibroma plexiform tidak ditemukan adanya tanda-tanda
malignansi dan kemungkinan sel berproliferasi ( Huson, 1988; Louis,
2007)
Plexiform neurofibroma merupakan kelainan kongenital yang
utamanya terdapat pada pasien Neurofibromatosis tipe 1. Asal mula dari
plexiform neurofibroma masih belum dapat dijelaskan hingga sekarang.
Plexiform neurofibroma mempunyai potensi untuk bertransformasi
menjadi Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor (MPST). Plexiform
neurofibroma melibatkan satu pleksus saraf atau multiple fascicles dari
ukuran yang medium sampai besar. Saraf-saraf yang terlibat tersebut
mempertahankan bentuk aslinya dan akhirnya berubah menjadi massa
yang komplek serta turtuous. Istilah rope-like digunakan secara
makroskopik untuk plexiform neurofibroma pada sistem saraf yang tidak
bercabang , sedangkan bag-of-worms digunakan pada sistem saraf
dengan banyak percabangan. Sebagian besar neurofibroma yang
menyerang viscera dan mesenterium pada pasien dengan
Neurofibromatosis tipe 1 adalah plexiform neurofibroma. Plexiform
neurofibroma mempunyai dasar histologi yang sama dengan intraneural
neurofibroma, tetapi mempunyai multipel fascicular unit. Matrix myxoid
merupakan tanda khas dari plexiform neurofibroma, tumor ini bila
membesar akan menjadi lebih cellular dan collagenou

13
Gambar 2.3 Microgram menunjukkan gambaran histologis dari
plexiform neurofibroma. Terdapat pembengkakan nerve bundle dalam
stroma. (H&E stain, perbesaran x200)

5. Klasifikasi
Secara patologis neurofibroma dibagi menjadi localized, plexiform
atau diffuse. Localized intraneural neurofibroma mempunyai batas yang
tegas dengan bentuk fusiform atau lesi difuss disekeliling saraf yang
terkena yang nampak pada pemeriksaan langsung. Penampakan dari tumor
tersebut pada potongan berwarna keabu-abuan sampai dengan kecoklatan,
hal tersebut menandakan bervariasinya kandungan kolagennya. Pada
pemeriksaan mikroskopik neurofibroma terdiri dari sel schwann dan
fibroblast di dalam matrik myxoid atau mucinous dengan kolagen yang
mengelilinginya (Kluwe et.al, 2007)
Plexifrom neurofibroma dibagi menjadi 2 tipe yaitu superfisial dan
profunda/ internal. Plexiform neurofibroma superfisial tidak akan melewati
batas jaringan dan dapat dilakukan pembedahan dengan reseksi total/sub-
total. Plexiform neurofibroma profunda/internal melewati batas jaringan
sehingga pada kebanyakan kasus tidak dapat diangkat secara keseluruhan
tanpa merusak jaringan aupun organ sekitar (Mautner et.al, 2006)
14
6. Gejala dan Tanda
Neurofibroma biasanya bersifar benigna/jinak. Gejala jenis tumor
ini yang sering muncul secara subjektif yaitu rasa gatal, nyeri dan terasa
ditusuk-tusuk. Kriteria diagnosis untuk neurofibromatosis 1 menurut
Neurofibromatosis Association of Ireland (2003) :
i. 6 atau lebih macula caf au lait ( >0.5 cm pada anak dan 1.5
cm pada orang dewasa
ii. 2 atau ebih neurofibroma cutaneous/subcutaneous atau 1
plexiform neurofibroma
iii. Bintik-bintik pada bagian axilla maupun
iv. Glioma pada jalur optic
v. 2 atau lebih nodul Lisch ( iris hamartoma yang terlihat pada
pemeriksaan lampu)
vi. Displasia tulang
vii. Riwayat neurofibromatosis keluarga dekat.
Akan tetapi pada plexiform neurofibroma rasa nyeri biasanya
diikuti dengan defisit neurologis dan gangguan klinis lainnya. Plexiform
neurofibroma biasanya memiliki pola perkembangan seperti jaring
mengikuti cabang neuron memanjang dimulai dari serabut saraf utama
sampai ke cabang kecil serabut saraf.
Untuk kriteria diagnosis untuk plexiform neurofibroma menurut
Neurofibromatosis Association of Ireland (2003) yaitu :
i.Berkembang sepanjang saraf hingga dapat menyerang
beberapa cabang dan fasikulus serabut saraf.
ii.Dapat berbentuk nodular dan multiple yang berkembang pada
bagian badan saraf. Dapat terjadi hipertrofi soft tissue.
Pertumbuhan tidak dapat diprediksi.
iii.Terdapat sekitar 10% kemungkinan plexiform neurofibroma
menjadi malignan, biasanya terjadi pada usia decade 2 dan 3.
iv.Para ahli menyarankan pada pasien dengan NF1 segera
memeriksakan dirinya apabila terdapat
15
Rasa sakit yang menetap lebih dari 1 bulan
Defisit neurologis baru
Perubahan konsistensi dari lunak ke keras
Perubahan ukuran yang drastic.
Gejala plexiform neurofibroma ini bisa tidak terlihat dan tidak
dapat diraba. Pengangkatan plexiform neurofibroma semakin sulit
dikarenakan struktur yang menempel pada saraf dan pembuluh darah
sekitarnya.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
CT Scan dan MRI
MRI lebih disarankan karena dapat melihat pertumbuhan
abnormal jinak ( unidentified bright objects- UBOs) dapat
terlihat pada otak anak-anak dengan NF 1 terutama pada
usia 8-16 tahun (DeBella et.al, 2000)
b. Biopsi Jaringan
Gold standard untuk menegakkan diagnosis pasti pada
kasus tumor dilakukan biopsy jaringan secara operatif, baik
biopsi eksisional dan insisional. Meskipun imaging dapat
memberikan diagnosis, akan tetapi pemeriksaan histopatologi
tetap dilakukan. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
dilakukan dikarenakan sifatnya invasive dan dapat digunakan
sebagai acuan pre-operative. Biopsi eksisional hanya dilakukan
apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan (Kitagawa et.al, 2003).
8. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan plexiform neurofibroma pada orang
dewasa tidak ada selain pembedahan. Penelitian clinical trials dengan
menggunaka kemoterapi, antifibrosis dan terapi biologis lainnya tidak
mendapatkan hasil yang signifikan. Pirfenidon, obat antifibrosis, telah
menghambat perkembangan sel neurofibroma pada tikus, akan tetapi pada
manusia kurang bermakna. Pada orang dewasa, pirfenidon dapat
16
mengurangi ukuran tumor sebesar 15%, akan tetapi hasil tidak bertahan
ketika follow-up 24 bulan. Penelitian pada anak-anak juga ditemukan hasil
yang tidak signifikan. Thalidhomide, inhibitor TNF-alpha, juga
menunjukkan hasil yang buruk. Dalam penelitian terhadap 20 pasien, 67%
tidak menunjukkan perubahan ukuran tumor setelah 1 tahun menjalani
terapi pengobatan dan 33% lainnya mengalami pengurangan ukuran tumor
sebesar 25% (Babovic-Vuksanovic et.al, 2004,2006,2007)
Plexiform neurofibroma biasanya terletak cukup dalam sehingga
banyak menimbulkan rasa nyeri dan defisit neurologis sehingga
membutuhkan perhatian khusus dan pengawasan lebih lanjut. Pasien
dengan defisit neurologi ataupun rasa nyeri sebaiknya melakukan
pembedahan dimana prognosis pada pasien ini biasanya baik. Pasien wajib
melakukan pemeriksaan setiap tahun guna mendeteksi kemungkinan
terjadinya kompresi medulla spinalis. MRI rutin disarankan pada pasien
plexiform neurofibroma mengingat pentingnya untuk mendeteksi
terjadinya perubahan ke arah malignansi (Staser et.al, 2010)
Hasil dari pembedahan pada plexiform neurofibroma biasanya
kurang memuaskan dikarenakan pertumbuhan tumor yang menyebar ke
jaringan sekitar dan sering melibatkan fasikulus nervus dan jaringan ikat
sekitarnya. Intervensi pembedahan yang biasa dilakukan yaitu prosedur
debulking pada tumor yang berukuran besar yang mulai dibatasi
dikarenakan terjadinya komplikasi klinis yang berat dan secara aestetik
kurang disarankan. Akan tetapi, reseksi subtotal pada lapisan superfisial
plexiform neurofibroma menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih
baik dan secara aestetik jauh lebih baik. Jika pada pasien dilakukan
pembedahan, maka sangat penting untuk memperhatikan vaskularisasi dan
perdarahan abnormal. Beberapa menyebutkan pembedahan pada plexifrom
neurofibroma sama dengan angioma dikarenakan rapuhnya pembuluh
darah sekitar. Beberapa penellitian menunjukkan keuntungan melakukan
intervensi pembedahan lebih dini pada anak-anak di bawah 15 tahun.
Reseksi total yang telah dilakukan pada 7 kasus tanpa ada defisit
17
neurologis maupun gangguan pada organ. Pasien melakukan rutin kontrol
selama 4 tahun dengan magnetic resonance tomography dan tidak
ditemukan adanya relapse ( Mukherji, 1974; Serletis et.al, 2007)
Untuk radiotherapy tidak disarankan sebagai terapi utama
dikarenakan respon yang terbatas. Demikian juga, radiotherapy sebagai
terapi adjuvan post eksisi incomplete maupun post biopsi masih
kontroversial. Stereotactic Radiosurgery (SRS) dan External Beam
Radiation Therapy (EBRS) masih dapat menjadi pilihan terapi (Gerzsten
et.al, 2008; Dodd et.al, 2009)
Menurut National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun
2015, tatalaksana untuk neurofibroma adalah tindakan pembedahan untuk
simptomatik dan observasi untuk yang asimtomatik. Apabila terjadi
relapse, reseksi ulang adalah pilihan pertama, apabila tidak
memungkinkan baru akan dilakukan EBRT atau SRS. Kemoterapi hanya
diberikan pada kasus dimana pembedahan dan radioterapi tidak bisa
dilakukan.
Untuk follow up post operasi yaitu pasien melakukan MRI setiap 3
bulan pada tahun pertama, tiap 6 sampai 12 bulan untuk 5 tahun
berikutnya (National Comprehensive Cancer Network, 2015)
9. Komplikasi
Komplikasi pada plexiform neurofibroma ini sangat bermacam-
macam. Komplikasi biasanya disebabkan oleh penekanan pada organ
maupun pertumbuhan jaringan tumor pada serabut saraf yang tidak
beraturan. Komplikasi antara lain:
Defisit neurologis merupakan komplikasi yang jarang
terjadi yaitu epilepsy dan terkumpulnya cairan di otak.
Aesthetic yang berkurang terutama apabila terdapat di
bagian wajah dalam jumlah banyak ataupun ukuran yang
besar dapat menyebabkan gangguan emosional.
Gangguan tulang yaitu pada beberapa anak dapat terjadi
kaki yang menyipang dan fraktur yang tidak dapat sembuh.
18
NF1 dapat menyebaban scoliosis yang membutuhkan
bracing ataupun operasi. NF1 juga berperan dalam
menurunkan kepadatan tulang sheingga meningkatkan
terjadinya osteoporosis.
Gangguan penglihatan biasanya pada anak-anak, glioma
optic dapat tumbuh dan mengganggu penglihatan.
Masalah saat perubahan hormone (pubertas, hamil atau
menopause) dapat meningkatkan neurofibroma.
Gangguan Kardiovaskular berupa tekanan darah tinggi dan
yang lebih jarang yaitu gangguan pembuluh darah.
Gangguan nafas, hal ini terjadi apabila tumor menekan jalur
pernafasan .
Keganasan/ malignansi, diperkirakan 3-5% neurofibroma
dapat menjadi malignan, terutama neurofibroma plexiform.
Pasien NF1 lebih beresiko terkena kanker jenis lain seperti
kanker payudara, leukemia, kanker otak dan kanker pada
soft tissue (Boyd et.al, 2009).

19
20

BAB III
LAPORAN KASUS

Dilaporkan sebuah kasus, seorang perempuan berusia 54 tahun, dengan


nomor rekam medis 013018xx, alamat Jangglengan, Bulukerto, Wonogiri yang
datang ke Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 17
November 2015. Pasien datang dengan keluhan benjolan di belakang telinga
kanan dan sudah direncanakan dilakukan operasi.
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluhkan ada benjolan di belakang
telinga kanan 5 tahun yang lalu. Benjolan dirasakan semakin lama semakin
membesar. Benjolan kadang terasa nyeri. Keluhan disertai dengan pusing. Telinga
berdenging (-), telinga mengeluarkan cairan (-), pendengaran menurun (-). Tidak
ada keluhan hidung. Gigi berlubang (-). Demam (-).
Riwayat Penyakit Dahulu: riwayat hipertensi disangkal, riwayat sakit gula
disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat kebiasaan merokok disangkal, riwayat
pekerjaan sebagai petani.
Pada pemeriksaan fisik: Keadaan umum pasien compos mentis, tampak
baik, status gizi kesan cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88
kali per menit, respirasi rate 18 kali per menit, suhu 36,60C.
Pemeriksaan THT: Pemeriksaan auris dekstrasinistra: liang telinga
lapang, serumen (-), discharge (-), membran timpani intak, reflek cahaya (+).
Hidung dekstra: cavum nasi dekstra lapang, discharge (-) purulen, konka inferior
eutrofi, deviasi septum (-); Hidung sinistra: cavum nasi sinistra lapang, discharge
(+) purulen, konka inferior eutrofi, deviasi septum (-). Pemeriksaan tenggorokan:
uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior tenang, lendir mengalir di
dinding pharynx posterior (+).
Pemeriksaan Status Lokalis R. Retroauricula Dextra : massa (+) ukuran
4x3x1.5 cm, konsistensi keras, terfiksir, permukaan rata, NT (-), batas tegas dan
warna sama dengan warna kulit sekitarnya.
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, makan pasien
didiagnosis dengan Massa retroaurikular dextra.
Gambar 3.1 Tampak benjolan di belakang telinga
Pasien kemudian menjalani rawat inap di bangsal RSUD Dr.Moewardi
dengan terapi IVFD Ringer Laktat 20 tpm. Pasien direncanakan untuk
pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk persiapan tindakan ekstirpasi.
Pasien juga dikonsultasikan ke bagian anestesi untuk kontraindikasi tindakan
ekstirpasi massa, dan ke bagian Kardiologi untuk kontraindikasi tindakan
ekstirpasi.
Pasien melakukan beberapa pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan Foto
Thoraks (28 Mei 2015) tidak ditemukan kelainan, Pemeriksaan FNAB (2 Juli
2015) hasil pemeriksaan menunjukkan neoplasma mesenkhimal benigna,
Pemeriksaan Audiometri (10 September 2015) pada Auricula dextra : normal
hearing (11.25 db); Auricula sinistra: normal hearing (6.25 db), Pemeriksaan
tympanometry, test keseimbangan dan test topografi N. VII (10 September 2015)
tidak ditemukan kelainan.
Tanggal 17 November 2015, pasien melakukan pemeriksaan laboratorium
darah dengan hasil: Hemoglobin: 14.1 mg/dl, hematokrit:41%, Leukosit:6.2
ribu/ul, trombosit:231 ribu/ul, Eritrosit: 4.48 juta/ul, Golongan darah : O, PT: 12,1
detik, APTT:34.9 detik, INR:0.930, GDS: 96 mg/dl, SGOT: 21 u/l, SGPT: 23 u/l,
Albumin: 4.6 g/dl, Ureum: 21 mg/dl, Kreatinin: 0.7 mg/dl, Natrium: 139 mmol/L,
Kalium: 4.2 mmol/L, Chlorida: 110 mmol/L, HbsAg: non reactive.

21
Hasil konsultasi dengan TS Anestesi tanggal 18 November 2015, terapi,
tidak ada tindakan/tatalaksana khusus terhadap pasien selain monitoring
kebutuhan cairan pasien. Sedangkan hasil konsultasi dengan TS Kardiologi terkait
persiapan tindakan ekstirpasi, yaitu cor compensata, tidak ada kontraindikasi dari
bagian kardiologi, dengan toleransi tindakan risiko ringan.

Gambar 3.2 Hasil CT-scan kepala (potongan sagittal)

Hasil CT-Scan kepala (potongan aksial)

Hasil CT-Scan kepala (potongan aksial)

22
Hasil CT-Scan kepala (potongan coronal)
Pasien telah menjalani pemeriksaan radiologi MSCT scan brain dengan
kontras sebelumnya (25 Agustus 2015) dengan hasil pemeriksaan, yaitu tampak
soft tissue mass batas tegas tepi irregular di region mastoid kanan meluas sampai
ke sub cutis region temporal kanan dengan osteodestruksi os mastoid kanan.
Pasien juga telah menjalani foto thoraks pada tanggal 28 Mei 2015 dengan
hasil pemeriksaan yaitu tidak ditemukan kelainan pada rongga thoraks.

Gambar 3.3 Hasil Foto thoraks (posterior-anterior)


Tanggal 23 November 2015, pasien menjalani tindakan operasi ekstirpasi
massa. Pasien berbaring dalam anestesi umum kemudian dilakukan tindakan
aseptic serta antiseptic pada medan operasi. Kemudian dilakukan marker pada
bagian yang akan di insisi. Kemudian dilakukan diseksi sesuai marker dan
pengangkatan tumor sebersih mungkin. Kemudian perdarahan dikontrol dan cutis
dijahit. Operasi selesai.

23
Gambar 3.4 Prosedur tindakan aseptic pada pasien

Gambar 3.5 Prosedur tindakan ekstirpasi massa pada pasien

24
Gambar 3.6 Bentuk massa yang diekstirpasi

Instruksi pasca operasi: awasi keadaan umum, vital sign dan tanda
perdarahan, posisi berbaring dengan head up 30, diet lunak diberikan pasca
operasi bila bising usus telah muncul. Terapi yang diberikan pasca operasi, antara
lain: IVFD Ringer laktat 20 tpm, injeksi asam traneksamat 500 mg/12 jam, injeksi
ceftriaxin 1 mg/12 jam, injeksi ketorolac 30 mg/12 jam.
Tanggal 25 November 2015, pasien diperbolehkan pulang dengan terapi
pulang Levofloxacin 1x1 tablet, metronidazol 3x500 mg, metilprednisolon 2x4
mg, asam mefenamat 3x500 mg, ranitidine 2x150 mg. Pasien dijadwalkan untuk
kontrol post opname di poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi tanggal 2
Desember 2015.
Saat kontrol di poliklinik tanggal 2 Desember 2015, pasien mengeluhkan
nyeri di luka bekas operasi. Nyeri pada luka bekas operasi (+). Dalam
pemeriksaan fisik telinga, liang telinga lapang, discharge (-/-), membrane timpani
intak/intak. Hasil PA pasien yaitu neoplasma mesenkimal benigna. Pasien
kemudian mendapatkan asam folat 2x1 dan vitamin B complex 2x1. Pasien
disarankan untuk melakukan USG.

25
Gambar 3.7 Gambaran post operasi pasien saat kontrol tanggal 2 Desember 2015

26
27

BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan sebuah kasus, seorang perempuan berusia 54 tahun yang


datang ke poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi dengan keluhan benjolan
telinga kanan sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan benjolan yang
semakin membesar dan terdapat rasa nyeri pada benjolan.
Saat pemeriksaan lokal THT bagian telinga terdapat massa di regio
retroaurikula dekstra yang berukuran 4x3x1.5 cm, konsistensi keras, terfiksir,
permukaan rata, NT (-), batas tegas dan warna sama dengan warna kulit
sekitarnya. Pasien kemudian didiagnosis sementara dengan massa retroaurikulare
dekstra.
Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien belum spesifik untuk
dapat didiagnosis. Gold standard untuk mendiagnosis pasti suatu massa adalah
dengan biopsi. Pasien melakukan FNAB pada tanggal 2 Juli 2015 dan ditemukan
hasil neoplasma mesenkhimal benigna, yang mendukung gambaran plexiform
neurofibroma.
Pasien dalam kasus ini kemudian menjalani rawat inap di bangsal RSUD
Dr.Moewardi dengan terapi IVFD Ringer Laktat 20 tpm. Pasien direncanakan
untuk pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk persiapan tindakan
ekstirpasi massa.
Pasien juga melakukan pemeriksaan penunjang radiologi dengan MSCT-
Scan brain dengan kontras; soft tissue mass di region mastoid kanan meluas
sampai ke sub cutis region temporal kanan dengan osteodestruksi os mastoid
kanan. CT-scan otak dengan kontras yaitu untuk melihat massa hipodens dan
batas massa (DeBella et.al, 2000).
Berdasarkan Babovic-Vuksanovic et.al (2004), tatalaksana pasien dengan
massa yang diduga neurofibroma adalah pembedahan. Pada kasus ini, pasien
keluhan benjolan telinga kanan sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan
benjolan yang semakin membesar dan terdapat rasa nyeri pada benjolan.
Meskipun pada hasil tes audiometri, tympanometry, test keseimbangan dan test
topografi N. VII tidak ditemukan kelainan, akan tetapi dikarenakan rasa nyeri
yang dirasakan pasien dan juga lokasi massa yang berada di region retroauriculare
dilintasi oleh banyak serabut saraf dan pembuluh limfe, tindakan bedah dapat
dilakukan guna mencegah komplikasi yang dapat terjadi (Boyd, 2009).
Menurut Serletis et.al, (2007), prinsip tindakan pembedahan pada kasus
plexiform neurofibrom adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak mungkin,
agar tidak terjadi relapse. Akan tetapi pada kasus plexiform neurofibroma
biasanya sulit dilakukan dikarenakan sel tumor yang menyebar ke jaringan
sekitarnya. Pada pasien ini dilakukan dengan teknik ekstirpasi dikarenakan lokasi
massa. Diharapkan dengan melakukan prosedur bedah dengan ekstirpasi dapat
mengangkat seluruh jaringan massa.
Untuk follow up setelah dilakukan tindakan pembedahan, menurut
National Comprehensive Cancer Network (2015) perlu dilakukan MRI setiap 3
bulan untuk tahun pertama, kemudian tiap 6 bulan selama 5 tahun berikutnya. Hal
ini guna mendeteksi kemungkinan plexiform neurofibroma menjadi malignan.
Apabila terjadi relapse, reseksi ulang adalah pilihan pertama, apabila tidak
memungkinkan baru akan dilakukan EBRT atau SRS. Kemoterapi hanya
diberikan pada kasus dimana pembedahan dan radioterapi tidak bisa dilakukan.

28
29

BAB IV
KESIMPULAN

Plexiform neurofibroma merupakan salah satu tipe neurofibroma


dimana sel tumor tersebar membentuk beberapa fasikulus dalam saraf dan
menyebabkan jaringan saraf menebal dan dikelilingi oleh matriks proteinaceous
Diagnosis plexiform neurofibroma dapat didukung oleh pemeriksaan
penunjang radiologi berupa CT-Scan maupun MRI untuk menentukan batas
serabut saraf yang terkena terkait dengan komplikasi plexiform neurofibroma
sendiri dan menyingkirkan diagnosis lain.
Satu-satunya tatalaksana yang disarankan untuk kasus plexiform
neurofibroma adalah pembedahan baik dengan reseksi subtotal maupun total.
Prinsip pembedahan yaitu mengangkat jaringan tumor dengan sempurna guna
mencegah relapse. Untuk terapi medikamentosa, belum terdapat obat yang efektif
untuk menyembuhkan maupun mengurangi gejala dan komplikasi plexiform
neurofibroma ini.
30

DAFTAR PUSTAKA

Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997

Aina JG. Anatomy of the Ear and Temporal Bone. In: Glasscock-Gulya, ed.
Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear. 5th edition. Hamilton: BC
Decker Inc, 2003:35

Babovic-Vuksanovic D, Petrovic L, Knudsen BE, et al. Survival of human


neurofibroma in immunodefi cient mice and initial results of therapy with
pirfenidone. J Biomed Biotechnol. 2004;2:7985.
Babovic-Vuksanovic D, Ballman K, Michels V, et al. Phase II trial of pirfenidone
in adults with neurofi bromatosis type 1. Neurology. 2006;67:18601862.

Babovic-Vuksanovic D, Widemann BC, Dombi E, et al. Phase I trial of


pirfenidone in children with neurofibromatosis 1 and plexiform
neurofibromas. Pediatr Neurol. 2007;36:293300

Ballenger JJ, Snow JB. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck


Surgery.17th ed. BC Decker Inc. Spain. 2008

Boyd KP, Korf BR, Theos A. Neurofibromatosis type 1. J Am Acad Dermatol.


2009;61:114.

DeBella K, Szudek J, Friedman JM. Use of the National Institutes of Health


Criteria for Diagnosis of Neurofibromatosis 1 in Children. Pediatrics.
2000;105:608614

DJ Waggoner, J Towbin, G Gottesman, DH Gutmann. Clinic-based study of


plexiform neurofibromas in neurofibromatosis 1. Am J Med Genet
2000; 92 (2) (1995), pp. 132

Dodd RL, Ryu MR, Kamnerdsupaphon P, et al. CyberKnife radiosurgery for


benign intradural extramedullary spinal tumors. Neurosurgery
2006;58:674-685

Easton DF, Ponder MA, Huson SM, Ponder BA. An analysis of variation in
expression of neurofibromatosis (NF) type 1 (NF1): evidence for
modifying genes. Am J Hum Genet. 1993;53:305313

Friedman J, Gutmann DH, Maccollin M, Riccardi VM. 1999. Neurofibromatosis:


Phenotype, Natural History, and Pathogenesis. Baltimore: Johns Hopkins
Univ. Press. 381 pp.

Gerszten PC, Burton SA, Ozhasoglu C, et al., Radiosurgery for bening intadural
spinal tumors. Neurosurgery 2008;62:887-895.

Gusella JF, Ramesh V, MacCollin M, Jacoby LB. Merlin: the neurofibromatosis 2


tumor suppressor. Biochim Biophys Acta 1999; 1423:M29-36

Huson SM, Harper PS, Compston DA. Von Recklinghausen neurofibromatosis:


a clinical and population study in south-east Wales. Brain.
1988;111:13551381.

John SD, Maves MD. Surgical Anatomy of the Head and Neck. Dalam Baileys
Head and Neck Surgery - Otolaryngology (2-Volume Set) 5th ed. 2013.

Kluwe L, Hagel C, Mautner V. Nervous System: Neurofibroma. Atlas Genet


Cytogenet Oncol Haematol. 2007;11(4):344-347

Korf BR. Plexiform neurofibromas. Am J Med Genet 1999; 89:31-7.

Korf BR. Malignancy in neurofibromatosis type 1. Oncologist. 2000;5:477485.

Louis DN. Pathology and Genetics of Tumours of the Nervous System, WHO
Classification of Tumours. World Health Organization. (2007)
ISBN:9283224302.

Mautner V, Hartmann M, Kluwe L, Friedrich R, Fonsterer C. Neuroradiology.


2006; 48 (3):160-165.
Mukherji M.M. Giant neurofibroma of the head and neck. Plast. Reconstruct.
Surg. 1974;53:184189.
NCCN, 2015, Clinical Practices in Oncology Central Nervous System Cancers,
Version I.2015, National Comprehensive Cancer Network, Inc.
NF Ireland. 2003. Classification of Neurofibromatosis. Neurofibromatosis
Association Ireland, Inc.
NIH Consensus Development Conference. Neurofibromatosis:conference
statement.
Prada CE, Rangwala FA, Martin LJ et-al. Pediatric plexiform neurofibromas:
impact on morbidity and mortality in neurofibromatosis type 1. J. Pediatr.
2012;160 (3): 461-7.

31
Rekha A., Gopalan T.R. Von Recklinghausen neurofibromatosis-
pachydermatocele causing lower limb gigantism: a case report. Int. J. Low.
Extrem. Wounds. 2006;5:6163
Riccardi VM. 2010. Neurofibromatosis type 1 is a disorder of dysplasia: the
importance of distinguishing features, consequences, and complications.
Birth Defects Res. A Clin. Mol. Teratol. 88:914

Richtsmeier WJ. Tumor Biology and Immunology of Head and Neck Cancer. In
Baileys Head and Neck Surgery - Otolaryngology (2-Volume Set) 5th edition.
2013. LWW

Serletis D, Parkin P, Bouffet E, et al. Massive plexiform neurofibromas in


childhood: natural history and management issues. J Neurosurg.
2007;106:363367

Staser JM, Yang F-C, Clapp DW. Plexiform neurofibroma genesis: questions of
Nf1 gene dose and hyperactive mast cells. Curr Opin Hematol
2010;17:28793.
Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisis ke-6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
Trofatter JA, MacCollin M, Rutler JL, et al. A novel moesin-, ezrin-, radixin-like
gene is a candidate for the neurofibromatosis 2 tumor suppressor. Cell
1993;75:826

32

Anda mungkin juga menyukai