Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

DAN TERAPI INTENSIF JUNI 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN


STRUMA BILATERAL DENGAN TINDAKAN TOTAL TIROIDEKTOMI

OLEH :
Ferisa Paraswati, S.Ked
K1B1 22 037

PEMBIMBING
dr. Hj. Andi Hasnah, Sp. An-TI

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :
Nama : Ferisa Paraswati, S.Ked
NIM : K1B1 22 037
Program Studi : Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran
Laporan Kasus : GETA (General Endotracheal Anesthesia) Pada Pasien
Struma Bilateral dengan Tindakan Tiroidektomi Total

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik pada
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitass Halu
Oleo.

Kendari, Juni 2023


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hj. Andi Hasnah, Sp. An-TI

ii
GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN

STRUMA BILATERAL DENGAN TINDAKAN TOTAL TIROIDEKTOMI

Ferisa Paraswati, Andi Hasnah

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tiroid terjadi bila terdapat gangguan sekresi hormon tiroid,

pembesaran kelenjar tiroid, maupun keduanya. Di antara berbagai penyakit tiroid

salah satunya dikenal dengan struma atau goiter yang merupakan penyakit kelenjar

tiroid tersering di dunia. Secara klinis dibagi menjadi struma toksik, dan non-toksik.

Kedua tipe struma dapat diklasifikasikan juga berdasarkan perubahan bentuk anatomi

tiroid menjadi struma nodusa non-toksik, struma nodusa toksik, struma difusa toksik,

struma difusa non-toksik.1

Tatalaksana yang dapat dilakukan pada struma bilateral yaitu tindakan

tiroidektomi. Tiroidektomi dibagi menjadi dua metode yaitu tiroidektomi sebagian

dan total. Pasien dengan struma harus di evaluasi untuk kemungkinan kesulitan

pengelolaan jalan napas dan deviasi trakea. Biasanya operasi dilakukan dengan

intubasi endotrakeal. yang dimana pemilihan anestesi ini digunakan untuk patensi

jalan napas, dan juga untuk ventilasi kontrol yang lama dalam menunjang tindakan

operasi.2,3

GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik

anestesi umum dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas. Salah satunya yaitu

1
intubasi endotrakea. Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea

(Endotracheal Tube/ETT) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat

digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan control

ventilasi dan oksigenasi.3

Indikasi general anestesi : Infant dan anak –anak, Operasi yang luas, Pasien

dengan kelainan mental, Bila pasien menolak anestesi lokal, Operasi yang lama,

Operasi di mana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan, Pasien

yang alergi terhadap obat anestesi lokal, edema laring dan spasme laring, Ancaman

refleks vagal, Kelumpuhan pita suara pada operasi kelenjar tiroid, dan kelumpuhan

saraf laringeus recureens.4

Indikasi intubasi endotrakeal pada anestesi umum termasuk hal –hal seperti

potensi kontaminasi saluran napas (lambung penuh/puasa tidak cutup, reflex

gastroesofagus, perdarahn gastrointestinal atau faring), kebutuhan pembedahan untuk

relaksasi otot, mempertahankan akses jalan napas tetap aman (misalnya posisi pasien

lateral atau prone), operasi pada mulut serta sekitar jalan napas atau wajah, prosedur

pembedahan dengan durasi yang lama.4

Intubasi endotrakeal merupakan prosedur yang dilakukan untuk menjaga jalan

nafas dan memberikan ventilasi. Pipa endotrakeal juga berfungsi melindungi paru-

paru dan mencegah aspirasi aspirasi cairan lambung dan sekret orofaring agar tidak

masuk ke paru-paru. Intubasi endotrakeal di samping memiliki manfaat juga memiliki

potensi komplikasi.5

2
BAB II

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. B

Umur : 40 tahun

Tanggal Lahir : 14 Maret 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Tirawuta

Pekerjaan : IRT

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal Masuk : 12 Juni 2023

RM : 62xx44

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama : Benjolan dileher

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien perempuan usia 40 tahun datang ke RSU Bahteramas dengan

keluhan benjolan dileher sejak 1 tahun SMRS. Pasien mengaku timbul

benjolan dileher bagian depan pada tahun 2013, lalu muncul yang baru

disekitar leher kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan tersebut kecil

semakin lama semakin membesar dan terlihat jelas hingga saat ini. Keluhan

lain seperti nyeri menelan tidak ada, nyeri di daerah sekitar leher (-), jantung

berdebar (-), keringat berlebih (-), tidak tahan ditempat panas atau dingin (-),

3
mudah marah (-), gelisah (-), lelah (-), tremor (-), penurunan berat badan (-).

Pasien mengaku tidak tinggal di lingkungan dengan orang keluhan yang sama.

Riwayat penyakit seperti DM (-), Hipertensi (-).

Pasien tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan lensa kontak,

tidak menggunakan alat bantu dengar, memiliki 2 gigi palsu, dan gigi yang

tidak lengkap. Riwayat penyakit pasien (-). Riwayat kebiasaan merokok (-),

konsumsi alkohol (-), riwayat mengonsumsi kopi/teh/cola (-) dan pasien

melakukan jarang olahraga . Riwayat alergi obat, latex, dan plester di sangkal.

Riwayat operasi (+) di leher tahun 2013, riwayat transfusi darah disangkal.

Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama (-), Asma (-),

diabetes (-), pingsan (-), stroke (-), asam lambung (-),serangan jantung (-),

hepatitis (-), hipertensi (-), penurunan berat badan dalam 1 tahun terakhir

disangkal.

4
C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Keadaan Umum Sakit Sedang

Kesadaran Compos mentis

GCS E4VettM6

Tanda Vital Tekanan Darah: 110//60 mmHg

Nadi : 69 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu : 36.5 oC

SpO2 : 99 %

VAS :2

Status Generalis

Kulit Berwarna sawo matang,

Kepala Normosepal

Rambut Berwarna hitam, tidak mudah tercabut.

Mata Konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-)

Hidung Epitaksis (-) rinorhea (-)

Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)

Mulut Bibir pucat (-) bibir kering (-) perdarahan gusi (-)

Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-) Kelenjar tiroid teraba

5
membesar (+) dan mengikuti pergerakan saat menelan,

deviasi trakhea (-), dianjurkan pemeriksaan laboratorium berupa

pemeriksaan kadar T4,T3, dan TSH

Thoraks Inspeksi

Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela iga

(-)

Palpasi

Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal

Perkusi

Sonor kiri = kanan

Auskultasi

Bunyi nafas vesikular (+/+), Stridor (-/-), Rhonki (-/-), Wheezing

(-/-)

Jantung Inspeksi

Ictus kordis tidak tampak

Palpasi

Ictus cordis teraba, thrill (-)

Perkusi

Batas jantung kanan pada linea parasternal dextra, batas jantung

kiri ICS V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi

6
BJ I dan II murni regular, murmur (-)

Abdomen Inspeksi

Cembung , ikut gerak nafas

Auskultasi

Peristaltik usus sulit dinilai

Palpasi

Nyeri tekan (-), Pembesaran lien (-), Pembesaran hepar (-)

Perkusi

Tympani (-)

Ekstremitas Inspeksi

-peteki -/-, edema -/-, deformitas -/-

-ekstremitas atas nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba hangat

-ekstremitas bawah nyeri tekan pada benjolan dipaha (-/-),

krepitasi (-/-), teraba hangat

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Darah Rutin (06/06/2023)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

WBC 6.67 4.0 - 10.0 103/uL

RBC 5.04 4.00 - 6.00 106/uL

HGB 13.8 12.0 - 14.0 g/dl

HCT 40.1 37.0 - 48.0 %

MCV L 79.6 80.0 - 97.0 fL

MCH 27.4 26.5 - 33.0 Pg

MCHC 34.4 31.5 - 35.0 g/dL

PLT 266 150 - 400 103/uL

RDW-SD L 36.7 37 - 54 Fl

RDW-CV 13.0 10.0 - 15.0 %

PDW L 8.5 10.0 - 18.0 Fl

MPV 8.5 6.5 - 11.0 Fl

P-LCR L 12.1 13.0 - 43.0 %

PCT 0.23 0.15 - 0.50 %

NEUTROFIL# 2.92 1.50 - 7.00 103/Ul

NEUTROFIL L 43.9 52.0 – 75.0 %

LYMPHOSIT# 2.85 1.00 – 3.70 103/uL

8
LYMPHOSIT H 42.7 20.0 – 40.0 %

MONOSIT# 0.62 0.00 – 0.70 103/uL

MONOSIT H 9.3 2.0 – 8.0 %

EOSINOFIL# 0.25 0.00 – 0.40 103/uL

EOSINOFIL H 3.7 1.0 – 3.0 %

BASOFIL# 0.03 0.00 – 0.10 103/uL

BASOFIL H 0.4 0.0 – 0.10 %

2. Pemeriksaan Ultra Sonografi

Kesan :

 Massa thyroid dextra

 Multiple nodule thyroid sinistra (TIRADS 4)

 Multiple lymphadenopathy submandibular bilateral

E. RESUME

Pasien perempuan usia 40 tahun datang ke RSU Bahteramas dengan

keluhan benjolan dileher sejak 1 tahun SMRS. Pasien mengaku timbul benjolan

dileher bagian depan pada tahun 2013, lalu muncul yang baru disekitar leher

kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan tersebut kecil semakin lama

semakin membesar dan terlihat jelas hingga saat ini. Keluhan lain seperti nyeri

menelan tidak ada, nyeri di daerah sekitar leher (-), jantung berdebar (-), keringat

berlebih (-), tidak tahan ditempat panas atau dingin (-), mudah marah (-), gelisah

9
(-), lelah (-), tremor (-), penurunan berat badan (-). Pasien mengaku tidak tinggal

di lingkungan dengan orang keluhan yang sama. Riwayat penyakit seperti DM (-),

Hipertensi (-).

Pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah : 110/60 mmHg, nadi : 69

x/menit, pernapasan : 18 x/menit, suhu : 36.5 oC. Suara napas vesikuler (+/+) dan

tidak terdapat suara napas tambahan Leher terdapat kelenjar tiroid sisi di kedua

sisi teraba membesar dan mengikuti pergerakan saat menelan.

Pemeriksaan Ultra Sonografi tiroid didapatkan kesan Massa thyroid dextra,

Multiple nodule thyroid sinistra (TIRADS 4) dan Multiple lymphadenopathy

submandibular bilateral.

F. DIAGNOSIS

Struma Nodusa Non-Toksik (SNNT) Bilateral

G. RENCANA PEMBEDAHAN

Total Tiroidektomi

H. ASSESMENT

ASA PS 1 : Seorang pasien tanpa penyakit sistemik.

Rencana Anestesi : General Anestesi (General Endotracheal Anesthesia)

I. TATALAKSANA PERIOPERATIF

1. Persiapan Preoperatif :

a. Persiapan Pasien :

10
1) Menjelaskan keadaan umum pasien saat ini pada pasien dan pada

keluarga pasien, menjelaskan mengenai komplikasi dan prognosis

pada pasien.

2) Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi dimulai

3) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat 31

tpm diberikan selama pasien puasa

4) Premedikasi : midazolam 2 mg, dan fenthanyl 100 mcg dan sulfat

atropine 0,25 mg

b. Persiapan Alat :

1) Monitor ( SpO2, tekanan darah, nadi, ekg)

2) Oksigen dengan mesin anestesi, vaporizer sevoflurant and isoflurane

3) Meja operasi

4) Alat intubasi : laringoskop dengan ukuran 3,4,5 stetoskop, endotrakea

tube (ETT) nomor 6.5, 7, 7.5, OPA nomor 4, plester ETT 1 x 15 cm,

introduse, connecting, dan suction.

2. Intraoperatif

a. Posisikan pasien berbaring telentang (supine) dengan posisi sniffing

b. Pemberian obat induksi : profopol 100 mg + 50 mg + Farelax 30 mg

c. Preoksigenasi O2 4 LPM (Preoksigenasi merupakan tindakan yang

dilakukan sebelum induksi anestesi dalam upaya menunda desaturasi

oksihemoglobin arteri)

11
d. Intubasi : berikan ventilasi O2 selama 2 menit, masukkan bilah laringoskop

ukuran 4 untuk menggeser lidah ke kiri, masukkan ETT ukuran 7,5’p544

ke dalam trakea melalui plica vocalis, lepas laringoskop, cek posisi ETT

dengan stetoskop suara napas kanan sama dengan kiri vesikuler, setelah itu

hubungkan ETT dengan mesin anestesi dan fiksasi dengan plester.

e. Monitoring :

Airway : menggunakan ETT

Breathing : RR 16 x/menit

Circulation : TD : 110/70, HR: 70 x/menit, SpO2: 99%

Lakukan monitoring setiap 5 menit

12
J. STATUS ANESTESI

13
14
BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien perempuan usia 40 tahun datang ke RSU Bahteramas dengan keluhan

benjolan dileher sejak 1 tahun SMRS. Pasien mengaku timbul benjolan dileher bagian

depan pada tahun 2013, lalu muncul yang baru disekitar leher kanan sejak 1 tahun

yang lalu. Awalnya benjolan tersebut kecil semakin lama semakin membesar dan

terlihat jelas hingga saat ini. Keluhan lain seperti nyeri menelan tidak ada, nyeri di

daerah sekitar leher (-), jantung berdebar (-), keringat berlebih (-), tidak tahan

ditempat panas atau dingin (-), mudah marah (-), gelisah (-), lelah (-), tremor (-),

penurunan berat badan (-). Pasien mengaku tidak tinggal di lingkungan dengan orang

keluhan yang sama. Riwayat penyakit seperti DM (-), Hipertensi (-).

Pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah : 110/60 mmHg, nadi : 69

x/menit, pernapasan : 18 x/menit, suhu : 36.5 oC. Suara napas vesikuler (+/+) dan

tidak terdapat suara napas tambahan Leher terdapat kelenjar tiroid sisi di kedua sisi

teraba membesar dan mengikuti pergerakan saat menelan.

Pemeriksaan Ultra Sonografi tiroid didapatkan kesan Massa thyroid dextra,

Multiple nodule thyroid sinistra (TIRADS 4) dan Multiple lymphadenopathy

submandibular bilateral.

Berdasarkan klasifikasi American Society of Anhesthesiologist (ASA)

Physical Status (PS) pada kasus ini pasien dikategorikan status fisik ASA PS 1 :

Pasien normal sehat, tidak merokok, tidak ada penggunaan alkohol dan tanpa

15
penyakit sistemik ringan (Diabetes Melitus, Hipertensi dan penyakit paru-paru

ringan).

Struma

Pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan

kelenjar tiroid disebut strauma. Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi,

fisiologi dan klinis. Berdasarkan morfologi strauma dibedakan menjadi struma difus

dan struma nodular /multinodular; sedangkan berdasarkan fisiologis strauma

dibedakan menjadi eutirodisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme serta berdasarkan

klinis, yaitu struma toksik dan non toksik.6

Eutiroid adalah suatu keadaan fungsi kelenjar tiroid dalam keadaan normal.

Hipertiroid adalah suatu keadaan fungsi kelenjar tiroid bekerja melebihi kerja normal

sehingga biasanya kelenjar tiroid membesar yang dapat dilihat dari temuan hasil

laboratorium FT3 dan FT4 meningkat di atas normal, sedangkan TSH rendah.

Sedangkan hipotiroid kebalikan dari hipertiroid, dimana fungsi kelenjar tiroid bekerja

di bawah normal, hal ini dapat dilihat dari FT4 di bawah angka normal.6

Pada kasus struma nodusa eutiroid, penderita umumnya tidak mempunyai

keluhan karena fungsi dari kelenjar tiroidnya tidak terdapat gangguan. Nodul dapat

tunggal tetapi dapat berkembang menjadi multinodular tanpa terjadi perubahan fungsi.

Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Pertumbuhan

dari struma sangat pelan sehingga struma dapat menjadi besar dan tidak menimbulkan

gejala, selain adanya benjolan dileher.6

16
Pemeriksaan Fisik Struma

1. Menentukan pembesaran leher karena struma7:

 Tiroid berada di regio koli anterior yang mempunyai batas-batas m. sterno

kleidomastoideus, m. digastrikus, dan manubrium sterni. Tiroid di luar batas

tersebut disebut sebagai tiroid ektopik.

 Tiroid terdiri dari dua lobus kanan dan kiri, yang dihubungkan oleh satu lobus

piramidalis yang berada di garis media melekat pada kartilago tiroidea dan

terdapat di fasia koli media. Kartilago tiroidea melekat pada trakea, maka

pada saat menelan tiroid akan bergerak dan membuat tiroid juga ikut bergerak.

Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid, tiroid akan tampak

bergerak naik turun sewaktu menelan.

2. Indeks Wayne7:

Gejala Saat Ini dan/atau Gejala Skor Tanda Ada Tidak


yang Memberat (Subjektif) (Objektif)
Dispnea on effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruid tiroid +2 -2
Kelelahan +2 Eksoftalmus +2
Suka panas -5 Lid retraksi +2
Suka dingin +5 Lid lag +2
Keringat banyak +2 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Nafsu makan meningkat +3 Tangan basah +1 -1
Nafsu makan menurun -3 Nadi <80 x/m -3
Berat badan meningkat -3 Nadi 80-90 x/m

17
Berat badan menurun +3 Nadi >90 x/m +3
Atrium fibrilasi +4
Bila total skor:

< 11 : eutiroid

11 – 18: tidak jelas ada hipertiroid

> 19 : hipertiroid

Diskusi Anestesi

Kebutuhan Cairan Perioperatif

 Kebutuhan Puasa = berapa jam puasa x maintenance

 Maintenance = 30-50 cc/kgBB

 Kebutuhan operasi :

Operasi kecil = 4cc/kgBB/jam

Operasi sedang = 6cc/kgBB/jam

Operasi berat = 8 cc/kgBB/jam

Kebutuhan Operasi = BB x Jenis Operasi (Ringan/Sedang/Berat)

Maka kebutuhan cairan pada pasien ini adalah :

40 x 54 kg/24 = 90
Maintenance
cc
Kebutuhan Puasa 8 x 90 cc = 720 cc
Kebutuhan Operasi 54 kg x 6 = 324 cc

18
Kebutuhan cairan intraoperatif pasien :

1. Jam I = Kebutuhan Puasa (1/2 Jam I) + Maintenance + kebutuhan operasi

= ½(720) + 90 + 324

= 360 +90+324

= 774 cc

2. Jam II = kebutuhan Puasa(1/2 Jam II) + Maintenance + kebutuhan operasi

= ¼ (720) + 90 + 324

= 180 + 90 + 324

= 594 cc

Pengganti cairan selama operasi :

Kebutuhan cairan operasi pasien = 6cc/kgBB/jam

= 6cc/54 kg/jam

= 324 cc/jam

Kehilangan volume darah selama operasi :

20 kassa kecil basah x 10 cc = 200 cc

10 kassa kecil ½ basah x 5 cc = 50 cc

Suction = 50 cc

Total perdarahan = 300 cc (tidak tergolong dalam kelas perdarahan / tidak ada

perdarahan)

Hitung EBV( Estimasi Blood Volume) = 65 mL x BB

= 65 mL x 54 kg = 3510 mL

19
Post Operasi

Pukul 12.30 WITA

Pasien masuk ke ruang ICU. Dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran,

pada pasien kesadaran somnolen. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu

tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 84 x/m, pernapasan 20 x/m, SpO2 100%.

Evaluasi post operatif pada tindakan total tiroidektomi di ICU diperlukan

untuk mencegah komplikasi pasca tindakan operasi dan anestesi seperti

hemoragik, edema laring, kerusakan RLN (the recurrent laryngeal nerve),

kerusakan nervus superior laring, tracheomalasia, pneumothorax dan badai tiroid.

Melakukan Penilaian :

 Airway : Jalan nafas bebas

 Breathing : RR = 18 x/menit

SPO2 = 99%

 Sirkulasi : Tekanan Darah = 110/70 mmHg

Heart Rate = 69x/menit

Perfusi baik

 Disabiliti : GCS = E2M1V1

 Eksposure : Edema (-)

 Skor Aldrette :

Warna Kulit = 2

Aktivitas motorik = 1

20
Tekanan Darah = 2

Pernafasan = 2

Kesadaran = 1

Pada kasus ini pasien dibawa kembali keruangan dengan Skor aldrette 8

Premedikasi

Tindakan awal anestesi dengan memberikan premedikasi berupa obat-obat

golongan antikolinergik, sedasi/trankuilizer, antiemetik dan analgetik sebelum

induksi anestesi. Tujuan dari premedikasi pada dasarnya untuk mempengaruhi pasien,

yaitu menimbulkan rasa nyaman, menghilangkan rasa nyeri, dan amnesia serta

membantu ahli anestesi, yaitu memudahkan atau memperlancar proses induksi,

mengurangi jumlah obat anestesi, mencegah efek samping dari obat anestesi umum,

mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, menekan refleks vagus, mencegah muntah,

dan aspirasi. Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu atau kombinasi

dari dua obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi

itu sendiri. Waktu adalah yang paling penting dalam pemberian premedikasi dimana

waktu yang tepat dalam pemberian premedikasi akan menghasilkan manfaat yang

besar. Secara umum waktu pemberian secara intravena dapat diberikan 5-10 menit

sebelum pembedahan.16

Penggunaan premedikasi sebelum tindakan pembedahan dimulai memiliki

efek menguntungkan yaitu mengurangi efek samping akibat respon fisiologis tubuh

21
seperti bradikardia, hipertensi dan peningkatan tekanan intracranial. Namun efek

yang lebih menguntungkan dari penyuntikan premedikasi yaitu mengurangi sensasi

nyeri dan ketidak nyamanan selama prosedur pembedahan. Agen premedikasi yang

dapat diberikan berupa vagolitik (atropin sulfat 20 μg/kg), analgesik kerja cepat

(fentanyl 3 μg/kg hingga 5 μg/kg) dan relaksan otot jangka pendek (suksinilkolin

dengan dosis 2 mg/kg). Midazolam juga dapat diberikan dengan dosis 0,25 mg/kg

intra oral yang dimana diazepam mampu mengurangi ketidaknyamanan dan cemas

praoperatif.8

Teknik Anestesi

Teknik anestesi pada kasus ini yaitu anestesi umum (general anesthesia)

dengan penggunaan intubasi endotrakeal menggunakan induksi injeksi Profopol 150

mg. Pasien yang menjalani prosedur pembedahan yang membutuhkan relaksasi yang

dalam untuk jangka waktu yang lama paling cocok untuk anestesi umum selama tidak

ada kontraindikasi. Anestesi umum selalu melibatkan agen hipnotis, biasanya

analgesik dan mungkin juga termasuk relaksasi otot. Kombinasi Kombinasi ini

disebut sebagai 'triad of anaesthesia'. Pentingnya masing-masing komponen

tergantung pada operasi dan pasien. faktor: intervensi yang direncanakan, lokasi,

persyaratan akses bedah dan ingkat rasa sakit atau rangsangan yang diantisipasi.

Teknik ini disesuaikan dengan situasi individu.9

Jika intubasi diperlukan, pasien mungkin perlu dilumpuhkan dengan

menggunakan Relaksan otot yang mendepolarisasi (misalnya suxamethonium) dan

Relaksan otot yang tidak mendepolarisasi (benzilisokuinolon, misalnya atrakurium,

22
atau aminosteroid, misalnya rocuronium). Biasanya, potensial aksi yang mencapai

terminal saraf sambungan neuromuskuler menyebabkan masuknya kalsium dan

asetilkolin yang dilepaskan secara pra-sinaptik. Asetilkolin melintasi celah dan

berikatan dengan reseptor asetilkolin nikotinat pascasinapsis yang menyebabkan

pembukaan saluran ion ini dan depolarisasi lempeng ujung motorik. Jika potensial

pelat akhir yang cukup tercapai, potensial aksi dihasilkan yang mengarah ke kontraksi

otot.9 Pada kasus agen muscle relaksan yang digunakan midazolam 2 mg. midazolam

masuk kedalam golongan benzodiazepine short acting. Midazolam berikatan dengan

afinitas tinggi dengan reseptor benzodiazepin, yang berada pada antarmuka subunit α

dan γ dari reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA). Reseptor GABAA

memediasi fungsi penghambatan dalam otak manusia. Reseptor ini merupakan

kompleks protein yang terdiri dari lima subunit, tersusun secara pseudo-simetris di

sekitar saluran ion yang selektif untuk klorida (Cl-). Reseptor utama, GABAA, terdiri

dari subunit α1, β2, dan γ2. Benzodiazepin berikatan dengan antarmuka α dan γ yang

mengarah ke tindakan ansiolitik, sedatif, relaksan otot, dan antikonvulsif.

Benzodiazepin dianggap sebagai modulator eksogen dari reseptor GABA. Jika

dibandingkan dengan benzodiazepin lain, midazolam berikatan dengan tempat

pengikatan benzodiazepin GABA sama kuatnya dengan clonazepam dan lorazepam,

tetapi lebih rajin daripada diazepam.10

Propofol (2, 6-diisopropilfenol) adalah agen hipnotis intravena yang kuat yang

banyak digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dan untuk sedasi di unit

perawatan intensif. Propofol adalah depresan sistem saraf pusat global. Ini secara

23
langsung mengaktifkan reseptor GABAA. Selain itu, propofol menghambat reseptor

NMDA dan memodulasi masuknya kalsium melalui saluran ion kalsium yang lambat.

Propofol memiliki onset aksi yang cepat dengan efek hipnotis terkait dosis.

Pemulihannya cepat bahkan setelah penggunaan jangka panjang. Propofol

mengurangi konsumsi oksigen otak, mengurangi tekanan intrakranial dan memiliki

sifat anti-kejang yang kuat. Ini adalah antioksidan kuat, memiliki sifat anti-inflamasi

dan merupakan ilator bronkodilator. Sebagai konsekuensi dari sifat-sifat ini, propofol

semakin banyak digunakan dalam manajemen cedera kepala traumatis, status

epileptikus, delirium tremens, status asthmaticus dan pada pasien septik yang sakit

kritis. Propofol memiliki profil keamanan yang luar biasa. Hipotensi yang bergantung

pada dosis adalah komplikasi yang paling umum terjadi; terutama pada pasien yang

mengalami kekurangan volume.11

Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan preoksigenasi dengan bag valve

mask (BVM) dengan sistem reservoir selama 3 menit. reoksigenasi dengan 100%

oksigen sebelum induksi anestesi, manuver yang diterima secara luas,

meningkatkan penyimpanan oksigen tubuh, sehingga menunda onset desaturasi

selama periode apnea setelah induksi anestesi dan muscle relaksan. Preoksigenasi

diketahui dapat meningkatkan waktu aman apnea pada dewasa yang sehat antara 3-

6 menit. Paling sering, untuk preoksigenasi adekuat, pasien membutuhkan untuk

bernapas 100% oksigen selama 3-5 menit atau mencapai 4-8 kapasitas vital

pernapasan dalam untuk 30-60 detik berturut-turut.17

24
Total tiroidektomi dilakukan di bawah anestesi umum setelah mendapatkan

persetujuan tertulis dari pasien. Selanjutnya dilakukan persiapan pre operatif yang

terdiri dari persiapan pasien seperti :

1) Pasien puasa 8 jam sebelum operasi dimulai

2) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat

3) Pemasangan kateter urin

Selain persiapan pasien dilakukan juga persiapan alat dan obat-obat

emergency serta obat-obat anestesi sebagai premedikasi, induksi, serta obat pelumpuh

otot yang akan digunakan sebelum dilakukan intubasi dipersiapkan. Alat-alat yang

akan digunakan antara lain :

1. Monitor, Sphygmomanometer, Saturasi, EKG

2. Oksigen dengan ventilator

3. Meja operasi

4. Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum

5. Face mask, untuk dilakukan ventilasi sebelum intubasi. Pilih ukuran yang sesuai

yaitu yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak terlalu lebar menutupi pipi.

6. Laringoskop, pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu

laringoskop, pastikan alat sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.

7. Stetoskop, untuk auskultasi setelah intubasi.

8. Pipa Endotrakeal, ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter internal

yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit. Ukuran rata-rata

untuk wanita adalah 7,0-7,5 mm, dan untuk pria adalah 7,5-8,0 mm. Pada anak

25
dapat digunakan rumus 4 + BB/4 untuk menentukan ukuran ET. Cara lain untuk

menentukan ukuran ET adalah dengan menggunakan patokan besar jari

kelingking pasien. Untuk menentukan kedalaman insersinya adalah besar

diameter internal (ukuran ET) dikalikan tiga. Periksa cuff ET dengan cara

menginflasi cuff kemudian dapat dicelupkan ke dalam air untuk menilai adanya

kebocoran. Setelah itu berikan pelicin atau lidokain jeli.

9. Guedel (OPA) atau NPA.

10. Plester, akan digunakan untuk fiksasi ET setelah tindakan intubasi.

11. Stilet atau forsep intubasi

12. Suction

Intubasi

Indikasi

Pasien yang memerlukan intubasi memiliki setidaknya satu dari lima indikasi berikut

ini:

1. Ketidakmampuan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka (dislokasi lidah ke

arah faring, obstruksi saluran pernapasan bagian atas, apnea tidur obstruktif, luka

bakar).

2. Kegagalan melindungi jalan napas dari aspirasi (perdarahan mulut dan hidung

pada pasien trauma, sekresi, perut penuh, reluks gastroesofagus).

26
3. Kegagalan ventilasi (kelainan pada anatomi jalan napas: leher pendek, rahang

bawah lebar, rahang atas berada di depan, rahang bawah di belakang, mulut kecil,

obesitas) dan masker yang sulit ventilasi dapat disertai dengan intubasi yang sulit.

4. Ketidakcukupan oksigenasi (sianosis, ketidakcukupan gerakan dinding dada,

adanya indikasi obstruksi pada saluran pernapasan bagian bawah pada auskultasi,

penurunan bertahap saturasi, ketidakcukupan pengukuran spirometri dan

ekspirasi).

5. Kondisi yang mungkin dapat menyebabkan gagal napas (perubahan hemodinamik

sebagai akibat dari hipoksemia progresif dan hiperkarbia seperti takikardia-

hipertensi-aritmia).12

Kontraindikasi

Kontraindikasi dilakukannya intubasi antara lain :

1. Beberapa keadaan trauma jalan napas atas atau obstruksi yang tidak

memungkinkan untuk dilakukannya intubasi.

2. Trauma servikal yang memerlukan immobilisasi sehingga sangat sulit untuk

dilakukan intubasi agar tidak memperberat cedera atau luka.13

Pemasangan intubasi tidak selamanya berjalan dengan lancar, terdapat

kondisi-kondisi tertentu di mana proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian

untuk kemungkinan adanya kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai

dengan kriteria LEMON. Penilaian hambatan intubasi dapat dinilai dengan kriteria

berikut14:

27
a. L (Look externally)

Evaluasi dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal yang

dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma

pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.

Pada pasien tidak didapatkan kelainan.

b. E (Evaluate 3 – 3 - 2)

Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula

terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,

kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting.

Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak

thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang

hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2:

a. Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral

b. Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah

ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan

peningkatan kesulitan.

c. Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar

lidah. Bila kurang dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah,

sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

28
Gambar 1.Rule 3-3-215

Setelah pasien tidak sadar, pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari

dengan dilakukannya head tilt, kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah

ketika laringoskopi didapatkan lebih dari 3 jari dan pada saat mengidentifikasi

letak laring berkaitan dengan dasar lidah didapatkan kurang dari 2 jari sehingga

sedikit menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

c. Mallampati Score.

29
Gambar 2. Derajat Kesulitan Mallampati15

Mallampati Score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi

1) Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.

2) Derajat 2: Tampak hanya palatum molle, palatum durum, dan uvula.

3) Derajat 3: Tampak hanya palatum molle dan palatum durum.

4) Derajat 4: Tampak hanya palatum durum.

Pada pasien didapatkan pasien memiliki derajat 2 dalam Mallampati score

karena pada saat mulut pasien dibuka tampak palatum molle, palatum durum dan

uvula.

d. O (Obstruction)

Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan

sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi

yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena

nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor. Pada pasien didapatkan kesulitan dalam

menelan ludah akibat nyeri pada area wajah, tidak didapatkan muffled voice dan

stridor

e. N (Neck mobility)

Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu

kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi

atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan

30
kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi

daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis

lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat. Pada

pasien didapatkan kesulitan dalam mengangkat mukanya pada saat kondisi sadar

akibat rasa nyeri pada area wajah sehingga dilakukan head tilt pada pasien setelah

diinduksi dan telah dipastikan dalam kondisi tidak sadar.

Komplikasi Post Operatif

Sebagian besar kejadian yang ditakuti terkait dengan operasi tiroid adalah

komplikasi pada periode pasca operasi yang meliputi pada hal-hal berikut ini17:

 Hemoragik

Ini adalah komplikasi pasca operasi yang umum terjadi dan dapat

menyebabkan kompresi pada struktur leher, yang menyebabkan obstruksi jalan

napas. Ini adalah keadaan darurat akut, dan jika tidak memungkinkan untuk

memindahkan pasien ke Ruang Operasi, maka jahitan harus dilepas di samping

tempat tidur untuk meringankan sumbatan jalan napas. Dalam situasi sulit seperti

itu, jalan napas dapat diamankan dengan alat yang mudah digunakan seperti LMA

yang dapat digunakan bahkan oleh paramedis juga jika terlatih dengan baik. Jika

waktu memungkinkan dan ahli anestesi tersedia, jalan napas yang pasti dalam

situasi sulit dapat diamankan bahkan di samping tempat tidur dengan intubasi

endotrakeal.

31
 Edema laring

Hal ini sering disebabkan oleh beberapa kali percobaan laringoskopi selama

intubasi yang sulit atau karena obstruksi vena pembuluh darah laring oleh

hematoma yang membesar. Jika edema menyebabkan menjadi stridor, intubasi

dengan ETT adalah wajib

 Kerusakan RLN

Kerusakan pada RLN dapat disebabkan oleh traksi, transaksi, jebakan atau

iskemia dan dapat bersifat permanen atau sementara. Manifestasi kelumpuhan

RLN unilateral selama pembedahan termasuk kesulitan bernapas, suara serak dan

kesulitan dalam vokalisasi. Palsi RLN bilateral dapat menyebabkan menyebabkan

stridor yang parah sebagai akibat dari adduksi total pita suara yang hanya dapat

diobati dengan trakeostomi intubasi trakea atau dengan trakeostomi.

 Kerusakan saraf laring superior

Saraf laring superior dapat mengalami kerusakan pada 3-5% kasus prosedur

tiroidektomi dan cedera yang paling umum terjadi pada cabang eksternal saraf

laring superior, mengakibatkan kelumpuhan otot krikotiroid yang menyebabkan

perubahan dalam kualitas suara karena pita suara gagal untuk tegang selama

produksi suara. Cedera ini juga bisa terjadi terjadi pada cabang internal saraf

laring superior yang menyediakan suplai sensorik ke mukosa supraglotis,

supraglotis pada daerah laring dan permukaan superior lipatan vokal. Akibatnya,

pasien dapat mengalami disfagia karena gangguan refleks menelan.

32
 Trakeomalasia

Gondok berukuran besar yang menekan struktur trakea dalam jangka waktu

yang lama dapat menyebabkan atrofi tekanan dan erosi pada cincin trakea tulang

rawan. Pasca Setelah prosedur, dinding trakea kehilangan penyangga di

sekitarnya dan dapat runtuh ke arah antero-posterior yang mengarah ke obstruksi

pernapasan. Kadang-kadang, kondisinya memerlukan intubasi ulang dan mungkin

dukungan ventilasi sampai kekuatan dinding trakea kembali seperti semula itu

sendiri dapat sembuh dengan sendirinya. Beberapa ahli anestesi merasa bahwa tes

kebocoran manset sebelum ekstubasi dapat menjadi indikator yang baik

kemungkinan dinamika pernapasan pasca operasi, tetapi belum sepenuhnya

ditetapkan dalam literatur.

 Hipoparatiroidisme

Salah satu komplikasi operasi tiroidektomi adalah cedera pada kelenjar

paratiroid atau pengangkatannya yang tidak disengaja yang dapat bermanifestasi

dalam bentuk hipokalsemia akut pada sekitar 20% pasien. Fitur dari hipokalsemia

meliputi kesemutan peri-oral, kebingungan mental, kedutan otot, kejang dan

tetani. Hipokalsemia dapat ditimbulkan secara klinis dengan adanya tanda

Chvostek dan/atau tanda Trousseau. Manifestasi kardiorespirasi hipokalsemia

dapat terjadi dalam bentuk laringospasme, iritabilitas jantung, perpanjangan

interval QT dan aritmia yang bervariasi. Hipokalsemia dapat diobati dengan

suplemen oral jika kadar Ca+ >2 mmol/l, tetapi harus diobati dengan injeksi

33
intravena baik kalsium glukonat atau kalsium klorida jika kadarnya turun di

bawah 2 mmol/l. Kalsium klorida lebih efektif karena mengandung tiga kali lebih

banyak unsur kalsium dalam jumlah yang sama volume injeksi.

 Pneumotoraks

Meskipun komplikasi ini jarang terjadi, namun dapat terjadi selama operasi

reseksi gondok retrosternal. Pada meja operasi, episode hipoksemia yang tidak

beralasan, penurunan denyut nadi saturasi oksigen, hipotensi, takikardia,

meningkat tekanan jalan napas, ventilasi yang sulit dan tidak adanya suara napas

pada ventilasi harus menimbulkan kecurigaan pneumotoraks dan harus

didiagnosis dan ditangani secara tepat waktu sesuai. Perawatan terbaik pada

deteksi dini komplikasi ini adalah dengan membebaskan pneumotoraks dengan

menempatkan jarum berujung lebar ke dalam ruang interkostal anterior kedua

ruang atau menggunakan metode yang pasti, yaitu melakukan pemasangan selang

dada jika terjadi pneumotoraks tegang.

 Badai Tiroid

Penyebab paling umum dari komplikasi ini adalah penyakit yang parah atau

persiapan pra operasi yang buruk untuk operasi tiroid. Meskipun jarang terjadi di

era kemajuan medis, dapat berakibat fatal terutama pada populasi geriatri jika

pengobatannya bahkan sedikit tertunda. Etiologi utamanya adalah jaringan tiroid

hiperaktif yang tertinggal sebagai sisa setelah tiroidektomi sub-total. Hal ini juga

dapat terjadi selama masa intra-operasi. sebagai akibat dari sekresi koloid dari

34
folikel sel, yang dapat dicurigai dari takikardia yang tidak dapat dijelaskan,

hipertermia dan aritmia. Ciri-ciri klasik dari badai tiroid seperti sakit perut, diare,

gugup dan kegelisahan tidak dapat ditimbulkan dan hanya hipertermia dan aritmia

jantung dapat dilihat dengan anestesi umum. Perawatan terdiri dari manajemen

darurat takikardia dengan β-blocker, pendinginan tubuh dengan menurunkan suhu

ruangan sekitar, infus cairan dingin dan membungkus tubuh dengan kompres es

dingin, dan pemberian steroid. Propylthiouracil dan methimazole digunakan

dalam dosis yang cukup tinggi untuk mengurangi sintesis hormon tiroid.

35
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemilihan

jenis teknik anestesi sangat penting dalam pengelolaan jalan napas. Anestesi umum

merupakan teknik yang tepat untuk menjalani prosedur pembedahan yang

membutuhkan relaksasi yang dalam untuk jangka waktu yang lama. Intubasi

merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kepatenan jalan

napas, mencegah aspirasi, dan menjaga agar ventilasi memadai. Perlindungan jalan

napas dapat dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ETT)

ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai penghantar

gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Tahulending, Z., Victor P. dan Andriessanto C. L. Gambaran kejadian Struma di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juni 2015 – Juni 2018. Jurnal e-
Clinic. 2018. Vol. 6(2).
2. Pamungkas, K.M. N., Anak Agung W. L., Desak Gde D. D. S. dan Wayan Putra
S. Y. Karakteristik Fungsi Kelenjar Tiroid Pascatiroidektomi Total Pada Pasien
Nodul Tiroid Di RSUP Sanglah. JMU (Jurnal medika udayana). 2022. Vol. 11(1).
3. Fachrian, D., Widya Istanto dan M. Sofyan Harahap. Manajemen Anestesi
Operasi Total Tiroidektomi Menggunakan Target Controlled Infusion (TCI)
Propofol dan Blok Pleksus Servikal Superfisial pada Pasien Karsinoma Tiroid
dengan Metastasis Paru. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2015. Vol. 7(1).
4. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri D.
Anestesiologi dan Terapi Intensif KATI-PERDATIN. Jakarta, Indonesia: PT
Gramedia Pustaka Utama; 2019.
5. Cahyadi, A. Perubahan Posisi dan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal.
MajAnestCriCare. 2022. Vol. 40(1).
6. Assagaf, S., Lumintang, N., dan Lampus, H. Gambaran Eutiroid Pada Pasien
Struma Multinodusa Non-Toksik Di Bagian Bedah Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado Periode Juli 2012 – Juli 2014. Jurnal e-Clinic (eCl). 2015. Vol. 3(3).
7. Barash, P.G., Cullen, F.B., Stoelting, R.K. Handbook Of Clinical Anesthesia. 7th
Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And Wilkins Company. 2013.
8. Melesse D Yaregal, Agegnehu A Feleke and Kassahun H gatinet. 2020. The
Assessment of the Practice of Premedication before Anesthesia. A Cross-
Sectional Study. Journal of Anesthesia & Clinical Research. Department of
Anesthesia, College of Medicine and Health Sciences, University of Gondar,
Gondar, Northwest Ethiopia. 2020.
9. Donohue, C. An Introduction of Anaesthesia. British Journal of Hospital
Medicine. 2013. Vol. 74(5).

37
10. Prommer, E. Midazolam: an essential palliative care drug. Palliative Care &
Social Practice. 2020. Vol. 14(1).
11. Marik, P.E. Propofol: Therapeutic Indications and Side-Effects. Current
Pharmaceutical Design. 2014. Vol. 10(29).
12. Sahiner, Y. Indications for Endotracheal Intubation. Jerman: IntechOpen. 2018.
13. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Edisi 2. Semarang, Indonesia: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RS. Kariadi
Semarang; 2013.
14. Arvianti, Oktaliansah E, Surahman E. Perbadingan Antara Sevofluran dan
Profopol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled Infusion
Terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pada Ekstirpasi Fibroadenoma
Payudara. J Anestesi Periopratif. 2017. Vol 5(1).
15. Susiyadi, Riyanto R. Pemberian Petidin dan Fentanyl Sebagai Premedikasi
Anestesi Terhadap Perubahan Tekanan Darah Di RSUD Prof DR Margono
Soekarjo. Sainteks. 2016. Vol. 13(2).
16. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, Goldman J. General Anesthesia for Surgeons
[Internet]. StatPearls Publishing. 2021 [cited 2023 Juni 23].p.1–9. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/#_NBK493199_pubdet_
17. Bajwa, S.J.S dan Vishal S. Anesthesia and thyroid surgery: The never ending
challenges. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. 2013. Vol. 17(2).

38
LAMPIRAN

39

Anda mungkin juga menyukai