Anda di halaman 1dari 192

Perencanaan anesthesia.

Edukasi pasien Pra-Anestesia.


ANESTESIA UMUM (AU)
AU adalah teknik pembiusan dengan bius total dimana pasien tidak sadar, tidak
dapat dirangsang dan tidak merasakan sakit. Obat anestesi untuk AU berupa obat suntik
dan volatile agent, terutama pada bayi/anak. Lama kerja obat disesuaikan dengan lama
operasi. Sesuai dengan kebutuhan operasi dan kondisi pasien, teknik ini akan
mempengaruhi kemampuan untuk mempertahankan patensi jalan nafas, terjadi depresi
fungsi pernafasan spontan atau depresi fungsi otot. Sehingga pasien sering memerlukan
pemasangan alat pernafasan untuk mempertahakan patensi jalan napas dan pemberian
nafas bantuan.
KELEBIHAN TEKNIK AU :
Sedasi, analgesi dan relaksasi bisa tercapai dengan baik
Teknik dan lama pembiusan bisa disesuaikan dengan prosedur bedah
KEKURANGAN TEKNIK AU :
Pasca bedah pasien harus sadar penuh sebelum bisa diberi minum.
Obat bius yang diberikan dapat memiliki efek keseluruh tubuh termasuk ke aliran
pembuluh janin dalam kandungan.
KOMPLlKASl/EFEK SAMPING :
Efek samping pasca bedah berupa nausea/vomitus, menggigil, pusing, mengantuk,
sakit tenggorokan yang bisa diatasi dengan obat-obatan
Beresiko pada pasien yang tidak puasa,bisa terjadi aspirasi yaitu masuknya isi
lambung kejalan nafas/paru.
Kesulitan ventilasi dan intubasi yang tidak terduga sebelumnya
Alergi/hipersensitif terhadap obat (sangat jarang), mulai derajat ringan hingga
berat/fatal.
ANESTESIA SPINAL/EPIDURAL

Anestesia spinal/epidural adalah pembiusan yang hanya meliputi daerah perut ke


bawah (perut sampai ujung kaki) dengan pasien tetap sadar tanpa merasakan nyeri.
Bila pasien menginginkan untuk tidur maka dokter dapat rnemberi obat sedatif
melalui suntikan. Obat bius yang dipakai adalah obat bius lokal (Anestesi Lokal) dan
bisa ditambah dengan obat lain yang bisa menambah kekuatan obat maupun
rnenambah lama kerja obat bius lokal. Untuk anestesia spinal, obat bius lokal tersebut
disuntikkan dengan jarum spinal melalui celah intervertebra.

Untuk anestesia epidural didaerah punggung penyuntikan didahului dengan


pemberian obat bius lokal dan melalui jarum epidural yang disuntikan di celah
intervertebra dan akan dimasukan kateter epidural, yang berfungsi untuk menyalurkan
obat ke rongga epidural.

Pada kedua teknik diatas, penyuntikan dilakukan pada pasien dalam keadaan posisi
duduk membungkuk atau miring kesalah satu sisi dengan kedua tungkai dilipat ke
perut dan kepala menunduk. Pada waktu penyuntikan obat, akan terasa hangat
dipunggung. Setelah obat masuk, pada awalnya akan merasakan kesemutan pada
tungkai, lama kelamaan akan terasa berat pada kedua tungkai dan pada akhirnya
kedua tungkai tidak dapat digerakkan, seolah-olah tungkainya hilang. Pada awalnya
dibagian perut pasien masih bisa merasakan sentuhan, gosokan, dan tarikan, tapi lama
kelamaan akan tidak merasakan apa-apa lagi. Hilang rasa ini bisa berlangsung kirakira 2 sampai 3 jam sesuai jenis obat anestesi lokal yang digunakan.
KELEBIHAN TEKNIK ANESTESIA SPINAL /EPIDURAL :
Jumlah obat yang diberikan sedikit sekali (untuk epidural jumlah obat lebih
banyak)
Obat bius tidak masuk ke dalam sirkulasi ari-ari/rahim sehingga baik untuk
operasi besar
Obat bius tidak mempengaruhi organ lain dalam tubuh
Bisa ditambahkan obat analgetik yang bisa bertahan hingga 24 jam pasca bedah
(untuk epidural bisa ditambah terus obat anti sakit sesuai kebutuhan)
Bila tidak mual/muntah pasca bedah bisa langsung minum tanpa harus menunggu
flatus (buang angin)
Lebih aman untuk pasien yang tidak puasa/operasi darurat

KELEMAHAN SPINAL /EPIDURAL:


Pasca bedah harus berbaring, tidak boleh duduk/bangun selama 6 jam
KOMPLIKASI / EFEK SAMPING :
Efek samping pasca bedah yang sering adalah nausea/vomitus ,pruritus regio
fasial, semua bisa diatasi dengan obat-obatan.
Efek samping yang jarang adalah sakit kepala dibagian depan atau belakang
kepala pada hari ke-2 /ke-3terutama pada waktu mengangkat kepala dan
menghilang 5 sampai 7 hari. Bila tidak menghilang maka akan dilakukan tindakan
khusus berupa pemberian darah pasien pada tempat suntikan semula.
Efek samping lain berupa retensi urin.
Alergi hipersensitif terhadap obat (sangat jarang), mulai derajat ringan hingga
berat/fatal.
Gangguan pernafasan mulai dari ringan (terasa pernafasannya agak berat) sampai
berat (henti nafas)
Kelumpuhan atau kesemutan/rasa baal ditungkai yang memanjang, bersifat
sementara dan bisa sembuh kembali.
Untuk epidural bisa terjadi kejang bila obat masuk kedalam pembuluh darah
(jarang terjadi) dan dapat ditangani sesuai prosedur tanpa gejala sisa.
BLOK PERIFER
Blok Perifer adalah teknik pembiusan yang hanya melibatkan sebagian tubuh saja
(misalnya Iengan atas atau bawah, tangan, tungkai, kaki dan sebagainya). Teknik ini
dilakukan dengan menyuntikkan obat bius lokal didaerah sekitar saraf yang mensyarafi
bagian tubuh yang akan dioperasi. Pada saat mencari lokasi syarafyang akan disuntik

mungkin akan merasakan sedikit nyeri. Kadang bila syaraf sudah terkena maka akan
terasa seperti kesetrum dibagian rubuh yang akan dioperasi. Demikian juga pada saat
penyuntikkan obat bius lokal akan terasa nyeri, tapi lama kelamaan bagian tubuh yang
dioperasi akan terasa kesemutan dan akhimya teras a berat sampai tidak bisa digerakkan.
Efek bius berlangsung antara 2-4jam tergantung jenis obat yang dipakai.
KOMPLIKASI/EFEK SAMPING :
parestesia dan atau gangguan motorik yang berkepanjangan tetapi reversibel
Hematom
pneumothorak
Pembiusan yang tidak komplit (sebagian tubuh terbius)
Reaksi alergi atau hipersensitif yang ringan hingga berat (fatal)
Kejang bila obat masuk ke dalam pembuluh darah yang dapat ditangani sesuai
prosedur tanpa gcjala sisa.

SEDASI
Sedasi Ringan
Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien
mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan
tetap dapat mempertahankan patensi dari jalan nafasnya, sedang fungsi pernafasan
dan kerja jantung serta pembuluh darah tidak dipengaruhi.
Sedasi Sedang.
Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien
mengantuk, tetapi masih memiliki respon terhadap rangsangan verbal, dapat diikuti
atau tidak diikuti oleh rangsangan tekan yang ringan dan pasien masih dapat menjaga
patensi jalan nafasnya sendiri. Pada sedasi moderat terjadi perubahan ringan dari
respon pernafasan namun fungsi kerja jantung serta pembuluh darah masih tetap
dipertahankan dalam keadaan normal. Pada sedasi moderat dapat diikuti gangguan
orientasi lingkungan serta gangguan fungsi motorik ringan sampai sedang.
Sedasi Dalam
Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien
mengantuk, tidur, serta tidak mudah dibangunkan tetapi masih memberikan respon
terhadap rangsangan berulang atau rangsangan nyeri. Respon pernafasan sudah mulai
terganggu dimana nafas spontan sudah mulai tidak adekuat dan pasien tidak dapat
mempertahankan patensi dari jalan nafasnya (mengakibatkan hilangnya sebagian atau
seluruh refleks protektif jalan nafas). Sedasi dalam dapat berpengaruh terhadap fungsi
kerja jantung dan pembuluh darah terutama pada pasien sakit berat, sehingga tindakan
sedasi dalam membutuhkan alat monitoring yang lebih lengkap dari sedasi ringan
maupun sedasi moderat.
KELEBIHAN TEKNIK SEDASI :
Obat diberikan secara bertahap
Selama tindakan pasien dalam keadaan mengantuk dan tidur.

Obat yang diberikan dapat memiliki efek amnesia.

KELEMAHAN TEKNIK SEDASI:


Pasca sedasi pasien harus sadar penuh sebelum bisa diberi minum
Sampai 24 jam pasca sedasi pasien tidak diperbolehkan mengendarai mobil,
mengoperasikan mesin dan menandatangani dokumen penting yang bersifat legal.
KOMPLIKASI SEDASI :
Oleh karena tindakan sedasi merupakan rangkaian proses dinamik dan dapat
berubah, makasedasi ringan ataupun moderat bisa bergeser menjadi sedasi dalam
Efek samping pasca sedasi dapat berupa: nausea/vomitus, menggigil, pusing,
mengantuk, yang bisadiatasi dengan obat-obatan
Alergi/hipersensitif terhadap obat (sangat jarang), mulai derajat ringan hingga
berat/fatal.
Beresiko pada pasien yang tidak puasa,bisa terjadi aspirasi yaitu masuknya isi
lambung ke jalan nafas/paru.
Pada sedasi dalam terdapat kemungkinan memerlukan intubasi.
ANESTESIA TOPIKAL
AnestesiTopikaladalahteknikpembiusan
hanyamelibatkanbagiantubuhtertentusaja
(misalnyamata,
dll).Teknikpembiusandilakukandenganmemberikanobatbiustetes/
spray/
padabagiantubuh
yang
akandibius.
Efekbiusberlangsungkira-kira
menittergantungjenisobat yang dipakai.
KOMPLIKASI :
Hampir tidak pernah ditemukan.

yang
gusi,
jelly
15-30

Anestesia regional blok epidural


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia epidural adalah tindakan anestesia dengan menyuntikkan obat ke ruang epidural
yang akan menghasilkan hambatan hantaran rangsang saraf medula spinalis, menyebabkan
hilangnya fungsi otonom, sensoris dan motoris untuk sementara waktu. Ruang epidural yang
dimaksud setinggi segmen vertebra cervikal sampai sakral.
Tujuan
Tujuan anestesia epidural adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang teranestesia
(terblok sensorik, motorik dan otonomnya) sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan
di daerah tersebut

Kebijakan
Indikasi :
Operasi di area cervikal, thorakal, cervikothorakal (antara lain, namun tidak terbatas

pada hal sebagai berikut saja)


Ortopedi/bedah tulang (deartikulasi sendi bahu, dll)
Bedah tumor
Bedah plastik
Bedah THT laring
Bedah vaskular
Bedah anak
Bedah jantung dan bedah thorak

Operasi di area abdomen dan punggung (antara lain, namun tidak terbatas pada hal

sebagai berikut saja)


Bedah umum/digestif
Bedah urologi
Bedah tumor
Bedah plastik
Ortopedi/bedah tulang
Bedah anak
Bedah vaskular
Operasi kebidanan dan kandungan

Operasi di area pelvis, inguinal, kemaluan dan rektal


Bedah umum/digestif
Bedah urologi

Bedah tumor
Bedah plastik
Ortopedi/bedah tulang
Bedah anak
Bedah vaskular
Operasi kebidanan dan kandungan

Operasi di ekstremitas bawah (antara lain, namun tidak terbatas pada hal sebagai

berikut saja) :
Ortopedi/bedah tulang
Bedah plastik
Bedah tumor
Bedah vaskular
Bedah anak

Kombinasi dengan anestesia umum pada anestesia balans


Penanggulangan nyeri pasca bedah
Penanggulangan nyeri kronik
Penanggulangan nyeri kanker

Kontra indikasi
Absolut:
Pasien menolak
Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
Koagulopati
Peningkatan tekanan intra kranial
Relatif:
Infeksi di sekitar tempat penyuntikan
Hipovolemia
Penyakit susunan saraf pusat
Nyeri punggung kronik
Sepsis

Syarat

Sudah menandatangani surat izin operasi


Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya anestesia epidural
Tidak terdapat indikasi kontra

Komplikasi yang mungkin terjadi

Hipotensi
Punksi duramater dan Post Dural Puncture Headache
Infeksi
Perdarahan epidural
Trauma serabut saraf

Pemeriksaan penunjang
DPL

BT/CT atau PT/aPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi

Daftar pustaka
1. Clinical Anesthesia procedure of Massachussetts General Hospital
2. Clinical anesthesiology

Anestesia regional blok spinal


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia spinal adalah tindakan anestesia dengan cara penyuntikan obat anestesia lokal dan
ajuvan ke dalam ruang subrachnoid yang akan menghasilkan hambatan hantaran rangsang
saraf medula spinalis, menyebabkan hilangnya fungsi otonom, sensoris dan motoris untuk
sementara waktu
Tujuan
Tujuan anestesia spinal adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang teranestesia (terblok
sensorik, motorik dan otonomnya) sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan di daerah
tersebut

Kebijakan
Indikasi:
Operasi di area abdomen dan punggung (antara lain, namun tidak terbatas pada hal

sebagai berikut saja)


Bedah umum/digestif
Bedah urologi
Bedah tumor
Bedah plastik
Ortopedi/bedah tulang
Bedah anak
Bedah vaskular
Operasi kebidanan dan kandungan

Operasi di area pelvis, inguinal, kemaluan dan rektal


Bedah umum/digestif
Bedah urologi
Bedah tumor
Bedah plastik
Ortopedi/bedah tulang
Bedah anak
Bedah vaskular
Operasi kebidanan dan kandungan

Operasi di ekstremitas bawah (antara lain, namun tidak terbatas pada hal sebagai

berikut saja) :
Ortopedi/bedah tulang
Bedah plastik
Bedah tumor
Bedah vaskular
Bedah anak

Kombinasi dengan anestesia umum pada anestesia balans


Penanggulangan nyeri pasca bedah
Penanggulangan nyeri kronik
Penanggulangan nyeri kanker

Kontra indikasi
Absolut:
Pasien menolak
Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
Koagulopati
Peningkatan tekanan intra kranial
Relatif:
Infeksi di sekitar tempat penyuntikan
Hipovolemia
Penyakit susunan saraf pusat
Nyeri punggung kronik
Sepsis

Syarat:

Sudah menandatangi surat izin operasi


Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya anestesia spinal
Tidak terdapat indikasi kontra absolut

Komplikasi yang mungkin terjadi:

Hipotensi
Infeksi
Post Dural Puncture Headache
Total spinal blok, blok spinal tinggi
Perdarahan subarakhnoid
Trauma serabut saraf
Transient Neurologic Syndrome (TNS), Cauda Equina Syndrome

Pemeriksaan penunjang:
DPL
BT/CT atau PT/aAPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi

Daftar pustaka
Clinical Anesthesia procedure of Massachussetts General Hospital
Clinical anesthesiology

Anestesia umum
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia umum adalah suatu prosedur tindakan dalam anestesia untuk memenuhi keadaan
amnesia, analgesia dan penekanan refleks pada pasien. Anestesia umum dapat dilakukan
secara inhalasi, intravena, atau kombinasi keduanya (anestesia balans). Langkah-langkah
dalam anestesia umum meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan anestesia, dan
pengakhiran anestesia.
Yang dimaksud anestesia umum disini adalah anestesia umum untuk pasien dewasa.
Anestesia umum untuk pasien pediatri akan diatur sesuai protokol anestesia untuk pediatri

Tujuan
Mempertahankan kondisi dan keselamatan pasien selama tindakan operasi atau

tindakan lain yang menyebabkan pasien memerlukan anestesia umum


Membantu menciptakan kondisi yang optimal untuk prosedur yang akan dijalani

Prosedur
Premedikasi
Ringan

Sedang

Diazepam 5-10 mg

po, 1 hari preop

Lorazepam 1-2 mg

po, 1 hari preop

Midazolam 1-2 mg

iv, sebelum induksi (saat pasien


berada pada ruang persiapan atau
kamar operasi), perlu monitoring
tanda-tanda depresi nafas

Petidin 1-2 mg/kgBB,


atau
Fentanil
g/kgBB,
atau
Morfin
mg/kgBB

1-2
0,1

Berat

Diazepam 10 mg

po, 2 jam preop

Midazolam 5 mg
+ Petidin 1-2 mg/kgBB
atau
Fentanil
g/kgBB
atau
Morfin
mg/kgBB

iv, sebelum induksi (saat pasien


berada pada ruang persiapan atau
1-2 kamar operasi), perlu monitoring
tanda-tanda depresi nafas
0,1

Induksi
Preinduksi:

Periksa mesin anestesi, alat penghisap, peralatan


pemeliharaan jalan nafas, obat-obatan.
Pasang monitor anestesia dan periksa fungsinya
Berikan O2 100% melalui sungkup muka selama 1-3 menit
Dapat
diberikan
obat-obatan
tambahan
untuk
sedasi/analgesia jika diperlukan seperti:
Fentanil 1-2 g/kgBB iv
Midazolam 0,03-0,1 mg/kgBB

Pemberian
obat induksi

Propofol

1-2,5 mg/kgBB iva

Etomidat

0,2-0,4
ivb

Obat

mg/kgBB

Lama
kerja

Dosis

Awitan

0,1 mg/kgBB iv

2-3 mnt

25-30 mnt

0,2 mg/kgBB iv

< 2 mnt

45-90 mnt

Atrakurium

0,5 mg/kgBB iv

1-2 mnt

10-20 mnt

Rokuronium

0,6-1,2
iv

Pelumpuh otot
untuk intubasi
Vekuronium

nyeri saat disuntikkan

mg/kgBB 60-90
dtk

30 mnt

nyeri saat disuntikkan, mioklonus

Pemeliharaan anestesia
Anestesia inhalasi 30-100% O2
+ 0-70% N2O
+ Halotan (MAC=0,75%) titrasi
atau Enfluran (MAC=1,76%) titrasi
atau Isofluran (MAC=1,1%) titrasi
atau Sevofluran (MAC=2,0%) titrasi
atau Desfluran (MAC=6,0%) titrasi
Anestesia balans

30-100% O2
+ 0-70% N2O
+ Petidin 0,5-1,5
intermiten)

mg/kgBB/3-4

jam

(bolus

atau Fentanil 1-10 g/kgBB sesuai kebutuhan


+ Halotan atau anestetik inhalasi lainnya (titrasi)
atau Propofol 50-200 g/kgBB/mnt

Anestesia
itravena total

30-100% O2
+ Petidin

Bolus awal: 1-2 mg/kgBB


Pemeliharaan: 0,5-1,5 mg/kgBB/34 jam (bolus intermiten)

atau Fentanil

Bolus awal: 1-2 g/kgBB


Pemeliharaan: 1-10
sesuai kebutuhan

g/kgBB

Induksi: 1-2,5 mg/kgBB


+ Propofol

Pemeliharaan:
g/kgBB/mnt

50-200

(infus dihentikan 5 menit sebelum


operasi selesai)
Induksi: 1-2 mg/kgBB
atau Ketamin

Pemeliharaan: 1-2 mg/kgBB/


bolus intermiten tiap 15-20 mnt
atau sesuai kebutuhan

Jika diperlukan pelumpuh otot selama operasi maka beberapa pilihan yang dapat digunakan
adalah sebagai berikut:
Kerja singkat
Mivakurium
Bolus 0,1 mg/kgBB/10-20 mnt
atau infus1-15 g/kgBB/mnt
Kerja menengah

Vekuronium

Rokuronium

Bolus
mnt

0,01-0,025

mg/kgBB/30

atau infus 1-2 g/kgBB/mnt


Bolus 0,15-0,6 mg/kgBB/30 mnt

Atrakurium

atau infus 5-12 g/kgBB/mnt


Bolus 0,1 mg/kgBB/10-20 mnt
atau infus 5-10 g/kgBB/mnt

Kerja panjang

Pankuronium

Pengakhiran anestesia

Bolus 0,02 mg/kgBB/60-90 mnt

Pemulihan
dari : Jika diperlukan dapat diberikan obat reversal
pelumpuh otot
sebagai berikut:
Neostigmin 0,05-0,07 (dosis maksimum)
mg/kgBB+ Sulfas atropin 0,015 mg/kgBB iv
Analgetik
operasi

pasca : Jika diperlukan analgetik pasca operasi


diberikan sebelum pasien dibangunkan

Profilaksis
muntah

mual- : Dapat diberikan metoklopramid (10 mg iv),


atau droperidol (0,625mg iv) atau ondansetron
(4 mg iv) Dapat dipertimbangkan pemasangan
pipa lambung dan irigasi cairan lambung

Oksigen

: Pemberian N2O dan anestetik dihentikan dan


diberikan 100% oksigen

Penghisapan lendir

: Rongga orofaring
penghisap lendir

Ekstubasi

: Ekstubasi dilakukan jika refleks proteksi jalan


nafas sudah berfungsi kembali, pasien
bernafas spontan dan mampu mengikuti
perintah

dibersihkan

dengan

Anestesia regional blok kaudal


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia kaudal adalah teknik anestesia epidural dengan akses/pendekatan ke ruang epidural
segmen sakral melaui hiatus sakralis. Anestesia kaudal dapat diperoleh dengan menyuntikkan
obat anestesi lokal melalui hiatus sacralis ke dalam ruangan epidural pada canalis sacralis.
Tujuan
Tujuan anestesia kaudal adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang teranestesia (terblok
sensorik, motorik dan otonomnya) sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan di daerah
tersebut

Kebijakan
Indikasi :
Indikasi dilakukan kaudal anestesi untuk operasi-operasi daerah perineal seperti haemoroid,
fistula ani, dan kista bartolini

Kontra indikasi
Absolut:
Pasien menolak
Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
Koagulopati
Peningkatan tekanan intra kranial
Relatif:
Infeksi di sekitar tempat penyuntikan
Hipovolemia
Penyakit susunan saraf pusat
Nyeri punggung kronik
Sepsis

Syarat

Sudah menandatangani surat izin operasi


Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya anestesia kaudal
Tidak terdapat indikasi kontra

Komplikasi yang mungkin terjadi

Hipotensi
Punksi duramater dan Post Dural Puncture Headache
Infeksi
Perdarahan epidural atau kaudal

Trauma serabut saraf

Sulit mencapai level anestesi yang tinggi.


Masih bisa terjadi reaksi sistemik.
Karena kelainan anatomi, kegagalannya bisa mencapai 5-10%.

Pemeriksaan penunjang
DPL
BT/CT atau PT/aPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi

Daftar pustaka
3. Clinical Anesthesia procedure of Massachussetts General Hospital
4. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
5. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
6. Hadzic Admir : Peripheral Nerve Block, 1st ed, 2006

Anestesia Blok Perifer Ekstremitas Atas


(Blok Interscalenus)
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Blok interscalenus adalah pemberian obat anestetik lokal pada celah interscalenus untuk
menyebabkan blok pada plexus brachialis. Pada bagian bawah, celah interscalenus lebih
mudah dipalpasi dan distribusinya cukup menyebabkan anestesi pada siku dan sisi depan
lengan bawah tangan. Indikasi utama prosedur ini adalah operasi bahu dan insersi graft
arteriovenosa untuk hemodialisis.
Tujuan
Tujuan blok interscalenus adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang disyarafi plexus
brachialis (terblok sensorik, motorik dan otonomnya) khususnya operasi bahu dan insersi
graft arteriovenosa untuk hemodialisa.

Kebijakan
Indikasi :
Teknik Single-Shot
Operasi yang dilakukan pada daerah bahu, termasuk total arthroplasty bahu, proksimal
humerus dan lateral klavikula.
Teknik continuous
Pada prosedur yang memerlukan waktu yang cukup panjang seperti total arthroplasty bahu
atau untuk fisioterapi suportif yang membantu proses mobilisasi sendi bahu.
Kontra indikasi

Absolut:
1.Pasien menolak
2.Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
3.Koagulopati
Relatif:
1. Diatesis hemoragi
2. Paralisis phrenic contralateral
3.Paralisis kontralateral n. Recurent
4. Pneumothorax kontralateral

Syarat
Sudah menandatangani surat izin operasi

Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya anestesia blok interscalenus
Tidak terdapat indikasi kontra

Komplikasi yang mungkin terjadi


Infeksi
Hematoma
Penusukan pada pembuluh darah
Toksisitas anestesi lokal
Cedera syaraf
Total spinal anestesia
Horner syndrome
Paralisis diafragma
Pemeriksaan penunjang
DPL
BT/CT atau PT/aPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi


Sumber:
1. Peripheral Nerve Blocks: Admir Hadzic dan Jerry D Vloka
2. Compendium of Regional Anesthesia.

Anestesia Blok Perifer Ekstremitas Atas


(Blok Axilaris)
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Blok axilaris adalah tenhik basic blok dan salah satu blok yang paling umum dan sering
dilakukan.Blok aksilaris adalah pilihan yang terbaik untuk siku,lengan bawah dan
pembedahan pada tangan.

Tujuan
Tujuan blok axilaris adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang teranestesia (terblok
sensorik, motorik) sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan di daerah tersebut

Kebijakan
Indikasi :
Blok aksilaris adalah pilihan yang terbaik untuk pembedahan daerah siku,lengan bawah dan
pada tangan.

Kontra indikasi

Pasien menolak
Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
Koagulopati

Syarat

Sudah menandatangani surat izin operasi


Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya blok axilaris
Tidak terdapat indikasi kontra

Komplikasi yang mungkin terjadi

o
o
o
o
o

Infeksi
Hematoma
Penusukan pembuuh darah
toksisitas anestesi lokal
Cedera saraf

Pemeriksaan penunjang
DPL
BT/CT atau PT/aPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi

Daftar pustaka
7. Clinical Anesthesia procedure of Massachussetts General Hospital
8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
10. Hadzic Admir : Peripheral Nerve Block, 1st ed, 2006

Anestesia Blok Saraf Perifer Ekstremitas Bawah


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia blok saraf perifer adalah tindakan anestesia dengan menyuntikkan obat anestesia
lokal (dengan atau tanpa adjuvan) ke sekitar saraf (hingga perineural sheath) yang akan
menghasilkan hambatan hantaran rangsang pada saraf yang diberi obat, menyebabkan
hilangnya fungsi sensoris dan motoris pada daerah yang relevan.
Tujuan
Tujuan anestesia blok saraf perifer adalah menghilangkan sensasi pada daerah yang
teranestesia (terblok sensorik dan motorik) sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan di
daerah tersebut

Kebijakan
Indikasi :
Blok saraf skiatik:
Operasi di area panggul, genu, cruris, angkle, dan pedis
Ortopedi/bedah tulang
Bedah vaskular
Bedah plastik
Bedah anak
Bedah umum
Bedah tumor
Blok saraf Poplitea:

o Didaerah paha
o Didaerah lutut, seperti skin grafting, arthroskopi lutut dan bedah patella
o Bagian daerah medial kaki bagian bawah
Blok saraf femoral:
o Didaerah paha
o Didaerah lutut, seperti skin grafting, arthroskopi lutut dan bedah patella
o Bagian daerah medial kaki bagian bawah

Kontra indikasi
Absolut:
Pasien menolak
Terdapat lesi infeksius di tempat penyuntikan
Koagulopati

Relatif:
Infeksi di sekitar tempat penyuntikan
Hipovolemia
Penyakit susunan saraf pusat

Nyeri punggung kronik


Sepsis

Syarat

Sudah menandatangani surat izin operasi


Pasien kooperatif
Terdapat indikasi dilakukannya anestesia blok saraf skiatik
Tidak terdapat indikasi kontra

Komplikasi yang mungkin terjadi


Injeksi inttravaskular
Injeksi intraneural

Pemeriksaan penunjang
DPL
BT/CT atau PT/aPTT

Pemeriksaan lain atas indikasi

Daftar pustaka
11. Morgan Clinical Anesthesiology
12. Principle and Practice of Peripheral Nerve Blocks (New York School of Regional
Anesthesia)

Prosedur anestesia epidural


Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Sesuai standard anestesia umum
Premedikasi sesuai indikasi
Khusus:
Pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat

Jarum/set epidural baik dengan atau tanpa kateter epidural


Obat anestesia lokal dan adjuvan
Peralatan a dan anti sepsis
Alat dan obat anestesia umum

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Kateter urin terpasang

Pelaksana
Dokter Spesialis Anestesiologi (untuk seluruh level epidural: cervikal, thorakal,

lumbar)
PPDS semester III ke atas, sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari
konsulen yang bertanggung jawab (untuk epidural lumbar dan thorakal)

Cara kerja

Tentukan landmark celah antara vertebra yang dituju


Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang ditentukan.
Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum Tuohy
Pendekatan median: Lakukan penusukan jarum Tuohy pada garis midline/median
setinggi celah yang telah diberi anestesi lokal sampai jarum Tuohy terfiksasi di
ligamentum flavum.
Teknik loss of resistance: Cabut stilet dan hubungkan jarum dengan syringe yang
berisi NaCl 0,9%. Dengan tangan non dominan menahan jarum pada punggung
pasien, tangan dominan mendorong maju jarum Tuohy pelan sambil menekan

plunger syringe sampai ujung distal jarum epidural sampai di ruang epidural yang
ditandai dengan adanya loss of resistance.
Cabut syringe dan kateter epidural dimasukkan sampai ujung kateter melewati ujung
jarum epidural
Cabut jarum epidural sambil mendorong kateter epidural sedemikian sehingga kateter
tidak ikut tercabut
Pastikan kateter epidural yang masuk ke ruang epidural sepanjang lebih kurang 4-6
cm (fiksasi di kulit : kedalaman ruang epidural + 4 cm)
Sambungkan kateter dengan filter yang sudah diisi NaCl0,9%.
Aspirasi untuk memastikan kateter tidak masuk ruang subarachnoid. Fiksasi kateter,
tutup dengan kasa steril/pembalut transparan.
Lakukan test dose untuk memastikan ujung kateter tidak terletak di ruang
subarachnoid atau intravaskular
Masukkan anestesia lokal dengan pelan dan aspirasi sering
Pendekatan paramedian : pada dasarnya sama seperti diatas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1-1,5 cm lateral dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan yang
dituju.
Teknik hanging drop : pada dasarnya sama dengan teknik loss of resistance hanya
identifikasi ruang epidural dilakukan dengan cara mengamati tertariknya tetesan
Nacl o,9% pada hub jarum Tuohy oleh tekanan negatif ruang epidural

Prosedur anestesia spinal


Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Sesuai standard anestesia umum
Khusus:
pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat

Jalur spinal sekecil mungkin sesuai dengan pengalaman


Obat anestesia lokal dan adjuvan
Peralatan a dan anti sepsis
Alat-alat dan obat-obat anestesia umum

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Kateter urin terpasang

Pelaksana
PPDS semester II dibawah bimbingan dan pengawasan
Sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari konsulen yang bertanggung

jawab

Cara kerja

Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan


Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis
Pasang monitor standar pada pasien dan amati tanda vital pasien
Pasang jalur intravena pada pasien
Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (garis Tufier)
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang ditentukan.
Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi

anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit
membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa loss of
resistence pada rongga subarahnoid.
Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan cerebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.
Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestesi lokal yang sudah dipersiapkan.
Aspirasi sedikit liquor, bila lancar suntikan obat anestesi lokal secara perlahan.
Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat
dan suntikan kembali obat.
Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang
diinginkan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti diatas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan yang
dituju.

Prosedur anestesia blok kaudal


Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Sesuai standard anestesia umum
Premedikasi sesuai indikasi
Khusus:
Pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat

Spuit 10 cc
Obat anestesia lokal dan adjuvan
Peralatan a dan anti sepsis
Alat dan obat anestesia umum

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Kateter urin terpasang

Pelaksana
Dokter Spesialis Anestesiologi
PPDS semester IV ke atas, sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari

konsulen yang bertanggung jawab

Cara kerja

Periksa kesiapan alat (blok kaudal, resusitasi) dan obat yang diperlukan
Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis
Pasang monitor standar pada pasien dan amati tanda vital pasien
Pasang jalur intravena pada pasien, premedikasi bila perlu
Posisikan pasien pada posisi Sims
Identifikasi kornu sakralis dan SIPS

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang ditentukan.


Berikan anestesi lokal pada kulit di atas kornu sakralis
Lakukan penusukan jarum kateter intravena / Tuohy dengan sudut 45 derajat dengan

sacrum di antara kedua kornu sakralis, setelah jarum dirasakan melalui membran
sacracoccygeal atau kontak dengan bagian ventral kanalis sacralis, jarum ditarik
beberapa mm dari periosteum, diturunkan 5 sampai 15 derajat, dan kateter
diteruskan masuk beberapa mm (bayi/anak ) atau cm (dewasa). Perhatikan ujung
jarum tidak melewati garis imajiner yang menghubungkan kedua SIPS
Cabut stylet jarum kateter intravena/ Tuohy
Hubungkan syringe berisi NaCl0,9% dengan hub kateter/ Tuohy, aspirasi , bila
negatif, injeksikan sambil merasakan loss of resistance ruang epidural dan meraba
tidak adanya penyuntikan intramuscular/ subkutan
Lakukan test dose untuk memastikan ujung jarum tidak terletak di ruang subarachnoid
atau intravaskular
Masukkan anestesia lokal dengan pelan dan aspirasi sering sambil tangan non
dominan meraba regio sakrum

DURANTE BLOK KAUDAL


Monitor ABC ,ketinggian blok, intensitas blok
Amati perubahan fisiologis yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya
Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya
Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat
Penatalaksanaan ketidaknyamanan pasien bila ada
PASCA BEDAH
Monitor ABC di ruang pulih
Pasien dikembalikan ke ruang rawat
Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaan

Prosedur Blok Ekstremitas Atas


(Blok Interscalenus)
Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Sesuai standard anestesia umum
Premedikasi sesuai indikasi
Khusus:
Pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat


1. Kain steril dan kassa steril
2. Handscoon steril
3. Larutan betadin alkohol
4. Lidokain 2% sebagai anestetik lokal
5. Spuit 1/3/5/20 cc (1/1/2/2)
6. Penggaris dan marker
7. Periferal nerve stimulator
8. Jarum blok 100 mm dan 50 mm
9. Xylocain 2%
10. NaCl 0,9% 25 ml (2)
11. Epinefrin
12. Monodisc
13. Pilihan Anestetik Lokal
Anestetik
2% Lidocaine (+HCO3)
0,5% Ropivacaine
0,75% Ropivacaine
0,5% Bupivacaine
(atau Levobupivacaine)

Onset
(menit)
10-20
15-20
10-15
15-30

Durasi
(jam)
5-6
6-12
8-12
8-16

Anestesia Durasi
(jam)
5-8
6-24
8-24
10-48

Analgesia

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Kateter urin terpasang

Pelaksana

Dokter Spesialis Anestesiologi


PPDS semester V ke atas, sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari
konsulen yang bertanggung jawab

Cara kerja
1. Menentukan posisi pasien, yaitu supinasi atau semi-sitting position dengan wajah
menengok kearah yang berlawanan dengan sisi yang akan dilakukan blok.
2. Menentukan surface landmarks: celah suprasternalis, klavikula, caput sternalis dr
m. Sternocleidomastoideus, caput klavikuler m. Sternocleidomastoideus dan
prossecus mastoideus.
3. Menandai dengan marker , klavikula, batas posterior caput klavikularis m.
Sternocleidomastoideus.
4. Mendesinfeksi dengan larutan betadine alkohol tempat yang akan dilakukan
infiltrasi dengan anestestik lokal.
5. Mempalpasi daerah antara m. Scalenus anterior dan median untuk mendekatkan
jarak kulit antara kedua otot tersebut.
6. Jarum blok yang sudah dihubungkan dengan stimupleks ditusuk diantara kedua
jari 3-4 cm diatas clavikula dengan sudut tegak lurus terhadap kulit sedalam 1-2
cm
7. Stimupleks di set pada 0,8 mA, kemudian kita menunggu kedutan dari plexus
brachialis, ketika kedutan dari plexus brachialis sudah muncul kemudian
masukkan obat anestetik lokal 30-40 ml dengan aspirasi intermitten.
Komplikasi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Infeksi
Hematome
Penusukan pada pembuluh darah
Toksisitas anestetik lokal
Cedera pada saraf
Total spinal anestesi
Sindrame horner
Paralisis diafragma

Prosedur Blok Ekstremitas Atas


(Blok Axilaris)
Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Premedikasi sesuai indikasi
Khusus:
Pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat

Doek steril,handscoen,marking pen,electroda,jarum 25 gauge


Obat anestesia lokal dan adjuvan
Stimulator safar perifer
Alat dan obat anestesia umum

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Stimulator saraf perifer

Pelaksana
Dokter Spesialis Anestesiologi
PPDS semester V ke atas, sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari

konsulen yang bertanggung jawab (untuk blok perifer axila)

Cara kerja
Tentukan landmark arteri axilaris,otot coracobracialis,dan otot pectoralis mayor yang

dituju.
Setelah persiapan kulit menyeluruh,raba denyut arteri aksilaris yang teraba tinggi di
aksila. Setelah nadi tidak dirasakan,regangkan dengan jari telunjuk dan jari tengah
dan tegas menempel humerus untuk mencegah bergeraknya arteri aksilaris selama
blok dilakukan. Pada titik ini, gerakan tangan dan meraba lengan pasien harus
diminimalkan karena arteri aksilaris sangat bergerak di jaringan adiposa dari fossa
aksila.
Bersihkan kulit dengan cairan antiseptic,anestesi lokal di infiltrasi ke subkutan
ditempat yang sudah ditentukan.Dokter anestesi duduk disamping pasien untuk
menghindari regangan dan pergerakan tangan selama blok dilakukan.
Setelah jarum terhubung dengan stimulator saraf perifer dimasukkan tepat di depan
jari-jari yg mempalpasi kemudian dimasukan dengan membentuk susdut cephalad
45. Stimulator saraf diatur untuk memberikan l mA. Jarum maju perlahan-lahan
sampai terjadi stimulasi pleksus brakialis atau paresthesia. Biasanya, ini terjadi pada

kedalaman 1-2 cm pada kebanyakan pasien. Setelah respon dicari diperoleh, 35-40 ml
anestesi lokal disuntikkan perlahan-lahan dengan aspirasi intermiten untuk
menyingkirkan injeksi intravaskular.
Bila kegagalan untuk mendapatkan stimulasi pleksus brakialis axila pada percobaan
pertama, tangan tetap meraba di posisi yang sama dan kulit antara jari-jari
direntangkan. Tarik jarum ke kulit, arahkan jarum untuk sudut 15 dan 30 lateral dan
ulangi prosedur.

Prosedur Anestesia Regional


Blok Saraf Perifer Ekstremitas Bawah
Persiapan pasien

Sudah dilakukan kunjungan pra-anestesia, termasuk informed consent


Sesuai standard anestesia umum
Premedikasi sesuai indikasi
Khusus:
Pasien telah terpasang jalur intravena yang lancar minimum satu buah

Persiapan alat dan obat

Jarum/set blok saraf perifer


Nerve stimulator
Penggaris dan spidol
Obat anestesia lokal dan adjuvan
Peralatan a dan anti sepsis
Alat dan obat anestesia umum

Persiapan alat pemantauan

Tensimeter
EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
Kateter urin terpasang

Pelaksana
Dokter Spesialis Anestesiologi
PPDS semester V ke atas, sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan dari

konsulen yang bertanggung jawab

Cara kerja
Blok Sciatic:

Tentukan teknik pendekatan saraf, apakah anterior atau posterior


Teknik pendekatan posterior
Pasien diposisikan lateral dekubitus dengan sisi penyuntikan berada di atas
Tentukan landmark yaitu trokhanter mayor dan spina iliaka posterior superior
Buatlah garis yang menghubungkan kedua landmark dan tentukan titik tengahnya
(garis landmark 1)

Tarik garis tegak lurus garis landmark 1 ke arah distal + 4 cm (garis landmark 2)

ujung garis ini merupakan titik insersi jarum


Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah insersi jarum
Fiksasi kulit agar tidak bergerak (dengan menggunakan tangan)
Lakukan infiltrasi subkutan anestesi lokal
Insersikan jarum tegak lurus kulit dan sambungkan dengan nerve stimulator lalu
berikan arus 1.5mA (2 Hz, 100-300s) maka akan tampak twitching pada m.
Gluteus
Insersikan jarum lebih dalam (5-8cm) dan turunkan arus secara bertahap hingga 0.20.5mA
Bila jarum berada pada posisi yang benar, akan teraba/tampak twitching pada otototot hamstring
Pastikan ujung jarum bukan berada di dalam pembuluh darah lalu suntikkan obat
anestesi lokal
Tarik keluar jarum blok

Teknik pendekatan anterior


Pasien dalam posisi supinasi
Tarik garis femoral crease (inguinal)
Palpasi untuk menentukan pulsasi a. Femoralis
Tarik garis tegak lurus garis femoral crease yang menjauhi pulsasi a.femoralis ke arah
inferior (distal) 4-5cm, titik tersebut merupakan titik insersi jarum
Fiksasi kulit agar tidak bergerak (dengan menggunakan tangan)
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah insersi jarum
Lakukan infiltrasi subkutan anestesi lokal
Insersikan jarum tegak lurus kulit dan sambungkan dengan nerve stimulator lalu
berikan arus 1.5mA
Jika tampak twitching pada otot quadrisep, lanjutkan insersi jarum hingga 10-12 cm
dan turunkan arus secara bertahap hingga 0.2-0.5 mA
Bila jarum berada pada posisi yang benar, akan teraba/tampak twitching pada otototot betis, kaki dan digiti I pedis
Pastikan ujung jarum bukan berada di dalam pembuluh darah lalu suntikkan obat
anestesi lokal
Tarik keluar jarum blok
Blok Femoral:

Pasien dalam posisi supinasi


Tarik garis femoral crease (inguinal)
Palpasi untuk menentukan pulsasi a. Femoralis
Tentukan titik insersi jarum yaitu tepat di lateral a.Femorali
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah insersi jarum
Infiltrasi anestesi lokal subkutan titik insersi jarum
Insersikan jarum tegak lurus kulit dan sambungkan dengan nerve stimulator lalu
berikan arus 1mA (2 Hz, 100-300s)
Turunkan arus secara bertahap hingga 0.2-0.5 mA sambul insersikan jarum lebih
dalam
Bila jarum berada pada posisi yang benar, akan tampak twitching pada patela

Pastikan ujung jarum bukan berada di dalam pembuluh darah lalu suntikkan obat

anestesi lokal
Tarik keluar jarum blok

Blok poplitea pleksus sakralis :


1. Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi) dan obat yang diperlukan dan cek
kesiapan alat
2. Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis
3. Pasang monitor standar pada pasien dan amati tanda vital pasien
4. Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok
5. Premedikasi bila perlu
6. Posisikan pasien dengan posisi prone
7. A dan antisepsis daerah penyuntikan
8. Anestesia lokal daerah penyuntikan
9. Jarum stimulator 4 inch dihubungkan dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,
disuntikkan dengan arah tegak lurus
10. Amati adanya respon twitch otot kaki. Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat
dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.
11. Hubungkan syringe berisi anestesia lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi dan
injeksikan anestesia lokal secara pelan dan aspirasi sering
DURANTE BLOK POPLITEA PLEKSUS SACRALIS
1.
2.
3.
4.

Monitor ABC, intensitas dan dermatom, osteotom, miotom yang terblok


Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien selama blok
Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan penatalaksanaannya
Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH
1. Monitor ABC di ruang pulih
2. Pasien dikembalikan ke ruang rawat
3. Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

Anestesia untuk bedah jantung terbuka


Pengertian
Prosedur pembiusan umum untuk semua kasus pembedahan jantung yang menggunakan
mesin pintas jantung paru (CPB).

Tujuan
Menjamin tercapainya analgesia, sedasi dan arefleksia yang optimal selama

pembedahan jantung
Menjaga hemodinamik seoptimal mungkin, sebelum fungsi jantung dan paru diambil

alih oleh mesin pintas jantung paru (CPB)


Membantu tercapainya hemodinamik seoptimal mungkin setelah periode CPB
Menjamin ventilasi dan oksigenasi yang optimal selama pembedahan

Kebijakan
Anestesia untuk bedah jantung dilakukan langsung oleh dokter spesialis anestesia kardiak,
dibantu asisten.

Prosedur
Alat dan obat:
Monitor 8 channels, meliputi minimal 2 monitor invasif (tekanan darah arterial dan

tekanan vena sentral), monitor suhu, EKG 2 channels, SpO2


Pressure monitoring kit minimal 2 jalur, beserta kantung bertekanan dan transduser

yang dihubungkan dengan monitor


Mesin anestesia yang dilengkapi dengan ventilator universal (neonatusdewasa),

sumber O2 dan compressed air, vaporizer isofluran dan/atau sevofluran, sirkuit


nafas untuk neonatus dewasa
Laringoskop dengan bilah untuk neonatusdewasa (sesuai dengan usia pasien)
Guedel airway dan endotracheal tube (ETT) berbagai ukuran (sesuai dengan usia
pasien) dengan cadangan 0,5 nomor diatas dan dibawahnya
Suction dan suction catheter
Stetoskop
Plester
Kanul intravena berbagai ukuran
Blood set dan cairan infus, spuit berbagai ukuran dan extension line
Kateter vena sentral dengan ukuran sesuai usia dan berat badan pasien
Syringe pump minimal 3 buah

Anestetik lokal (lidokain 2%)


Adrenalin (0.1 mg/cc)
Sulfas atropine
Fenilefrin (0.5 mg/cc)
Fentanyl (minimal 10 g/kgBB)
Midazolam (1 mg/cc)
Pelumpuh otot
Obat induksi lain (ketamin/etomidat)
Asam traneksamat
Heparin 300 IU/kgBB
Protamin minimal 1 mg/100 IU heparin
Kalsium klorida atau glukonas
Obat-obat inotropik dan vasoaktif (dopamin, dobutamin, nitrogliserin, norepinefrin,
epinefrin, dsb)
Obat-obat lain (natrium bikarbonat, kalium klorida, magnesium sulfat, dsb)
1. Persiapan pra bedah, meliputi kunjungan pra anestesia, informed consent dan
pemberian premedikasi (lihat SOP persiapan pra anestesia bedah jantung)
2. Sumber gas, mesin anestesia, monitor dan peralatan lain harus dicek kesiapan dan
fungsinya. Mesin anestesia harus disambungkan dengan sumber listrik UPS
(uninterrupted power supply)
3. Obat-obat intravena dicek kelengkapannya. Harus diyakini darah dan produk darah
yang diperlukan telah tersedia
4. Setelah pasien tiba di Ruang Operasi (RO), dipasang monitor EKG
5. Jalur intravena dipasang, sedapat mungkin pada tangan kanan, dengan memberikan
anestetik lokal terlebih dahulu
6. Jalur arteri dipasang, sedapat mungkin pada arteri radialis kiri, dengan memberikan
anestetik lokal terlebih dahulu
7. Periksa ACT (Activated Clotting Time) basal
8. Informasikan kepada pasien pembiusan segera akan dimulai, berikan kesempatan
pasien untuk berdoa
9. Induksi dan intubasi menggunakan obat yang disesuaikan dengan kondisi pasien
10. Setelah posisi ETT diyakini baik, ventilasi dapat diambil alih ventilator pada mesin
anestesia. Fraksi O2 disesuaikan kondisi pasien
11. Rumatan anestesia dilakukan dengan anestesia balans dan gas volatil, disesuaikan
hemodinamik pasien
12. Insersi kateter vena sentral, sedapat mungkin melalui vena jugularis interna dengan
teknik seldinger dan memenuhi prinsip a dan antisepsis. Obat-obat inotropik atau
vasopresor dapat dihubungkan ke kateter ini
13. Sebelum kanulasi aorta, heparin diberikan dengan memberitahu seluruh tim 2 hingga
3 menit setelah pemberian heparin, ACT diperiksa lagi
14. Jika ACT telah >200 detik (atau 2 kali nilai basal) kanulasi dapat dilakukan. Pengisap
mesin (pump sucker) dapat diaktifkan
15. Semua obat koagulasi (asam traneksamat atau aprotinin) sudah harus diberikan
sebelum periode bypass.
16. Jika nilai ACT telah >400 detik atau 4 kali nilai basal, periode bypass dapat dimulai
17. Selama periode bypass, semua gas dan zat volatil dimatikan. Ventilator dimatikan dan
paru dibiarkan dalam posisi kempis

18. Sebelum mesin CPB dihentikan, harus diyakini jantung dapat berkontraksi baik dan
tekanan darah arterial cukup. Pemberian obat-obat inotropik sudah dimulai. Ventilasi
dimulai kembali dengan O2 100%
19. Setelah mesin CPB berhenti, dapat diberikan kalsium melalui vena sentral
20. Setelah diyakini tidak ada lagi perdarahan pembedahan (surgical bleeding), protamin
dapat diberikan secara perlahan melalui vena perifer. Hemodinamik harus diawasi
ketat selama pemberian protamin karena potensi hipotensinya. Informasikan kepada
seluruh tim jika 1/3 atau dosis protamin telah diberikan. Pump sucker dapat
dimatikan
21. Setelah protamin selesai diberikan, dapat diberikan produk darah trombosit dan FFP
22. Periksa lagi ACT3 menit setelah pemberian protamin selesai
23. Matikan semua gas volatil sesaat sebelum transportasi pasien ke ICU
24. Prosedur selesai

Anestesia pada bedah anak


Batasan dan uraian umum
Anestesia bedah anak adalah tindakan anestesia yang dilakukan pada pediatri
Yang tergolong pediatri adalah:
newborn infant
neonatus (<1 bulan)
infant (1 bulan1 tahun)
pre-school children (2-5 tahun)
school age children (6-12 tahun)

Kebijakan
Dilakukan kunjungan pre anastesia sebelum operasi sesuai dengan kesempatan dan

waktu yang tersedia.


Sebelum dilakukan tindakan anestesia dan pembedahan harus sudah terdapat

informed consent tindakan.


Pre operatif harus sudah didapat informasi klinis mengenai:
- Riwayat usia kehamilan dan berat badan
- Proses persalinan (APGAR SCORE)
- Riwayat perawatan di rumah sakit
- Adanya kelainan kongenital ataupun metabolik
- Adanya kelainan jalan nafas
Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus mencakup:
- Keadaan umum , tanda vital, berat badan
- Gigi geligi dan keadaan yang mempengaruhi intubasi.
- Keadaan jalan nafas dan fungsi sistem kardiovaskular dan respirasi
- Tempat kanulasi vena perifer
Pemeriksaan laboraturium rutin yang harus ada: HB, Ht, lekosit, trombosit dan

analisa urin. Untuk keadaan khusus, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
antara lain foto thoraks, EKG, fungsi liver, fungsi ginjal dan gula darah sewaktu.
Persiapan pre-anestesia:
Puasa
Usia(bulan)

Susu/ makanan padat

Cairan jernih

4 jam

2 jam

6-36

6 jam

3 jam

>36

8 jam

3 jam

Bila memungkinkan selama waktu puasa sudah terpasang jalur intravena dengan infus
(N2/N4/RD sesuai umur) atau bila jadwal tertunda dan belum terpasang jalur
intravena, dapat diberi cairan jernih atau dipasang jalur intravena dan diberi cairan
intravena
Persiapan kamar operasi:

Sirkuit anestesi:
sirkuit terbuka Mapleson D(Jackson Rees), dengan FGF 2,5-3x ventilasi semenit untuk
mencegah rebreathing
Volume kantung sesuai besar kapasitas vital
Anak dengan BB 10-20kg dapat menggunakan sirkuit setengah tertutup dengan sirkuit
anestesia berdiameter kecil

Sarana kamar operasi:


Obat-obat anestesia termasuk obat resusitasi
Alat monitor berupa EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
Perangkat mesin anestesia beserta kelengkapan pasokan gas
Peralatan jalan nafas:
sungkup muka, ETT, guedel, laringoskop dengan bilah laringoskop anak,stylet dan
laryngeal mask
Peralatan untuk menghangatkan tubuh anak dan alat pemantau suhu
Stetoskop prekordial/esofageal untuk memantau bunyi nafas dan jantung anak
Alat untuk pemberian cairan intravena termasuk untuk kanulasi vena
Alat penghisap(suction)
Bilah laringoskop:

dianjurkan bilah lurus (Miller) untuk usia di bawah 2 tahun.

Standar ukuran bilah laringoskop


Umur

Bilah

Prematur dan neonatus

Miller 0

Bayi sampai 6-8 bulan

Miller 0-1

9 bulan sampai 2 tahun

Miller 1

2 sampai 5 tahun

Macintosh 1
Miller 1-1,5

ETT:

tanpa cuff dapat digunakan sampai dengan usia 10 tahun.

Prematur: 2,5-3,0 mm

Neonatus sampai 6 bulan: 3,0-3,5 mm

6 bulan sampai 1 tahun: 3,5-4,0 mm

1-2 tahun: 4,0-5,0 mm

Diatas 2 tahun: 4 + umur

Kedalaman tube dari mulut:

10+ usia(tahun)
2
Pengaturan suhu kamar operasi:

Suhu optimal antara 26-32oC

Terdapat blanket roll yang sudah dihangatkan

Cairan infus, darah dan cairan irigasi harus dihangatkan


Peralatan pemberian cairan intravena:

BB 10 kg menggunakan buret untuk mencegah pemberian cairan berlebihan

BB 10 kg digunakan set infus anak dengan 1cc sama dengan 60 tetes

Hindari adanya udara yang masuk intravena

Dapat digunakan three way untuk dapat memberikan obat cairan jarak jauh

Prosedur
Premedikasi dan teknik induksi:
Premedikasi:
Tidak perlu untuk usia dibawah 18 bulan,di atas 18 bulan dapat diberikan midazolam

atau diazepam per oral


Tidak perlu diberikan pada anak dengan kelainan mental
Terapi penyakit kronis harus tetap diberikan
Obat sedatif, narkotik, antiemetik dan antikolinergik dapat diberikan sesuai indikasi.
Teknik induksi :
Bayi berusia 8 bulan atau berat badan dibawah 7 kg dapat masuk kamar operasi tanpa
sedasi. Anestesia dilakukan dengan teknik inhalasi.
Induksi inhalasi:
Induksi inhalasi dapat dilakukan bila belum terdapat jalur intravena. Pada anak usia 8 bulan-5
tahun atau anak yang tidak kooperatif dapat dilakukan induksi inhalasi setelah disedasi
dengan midazolam. Dekatkan sungkup muka ke wajah dan gunakan arus rendah(13l/mnt)N2O dan O2. Konsentrasi anestetik volatil dinaikkan secara bertahap. Saat reflek bulu
mata hilang, lekatkan sungkup muka dan angkat rahang.
Induksi intramuskular:
Untuk anak yang tidak kooperatif atau dengan retardasi mental yang sulit dikendalikan,
dapat diinduksi dengan ketamin 4-8mg/kgBB IM. Dapat pula diberikan atropin 0,02mg/kgBB
IM untuk mencegah hipersalivasi.
Induksi intravena:
Untuk anak yang sudah terpasang jalur intravena atau berusia lebih dari 8 tahun dan belum
terpasang jalur intravena, dapat diinduksi dengan dengan propofol 3-4mg/kgBB IV.
Untuk anak berusia kurang dari 3 tahun, tidak dianjurkan dilakukan induksi intravena dengan
propofol.
Anak dengan lambung penuh:
Prinsipnya sama dengan pasien dewasa, dengan tambahan:
Atropin 0,02mg/kg dapat diberikan untuk mencegah bradikardia

Bayi dengan lambung penuh, dilakukan dekompresi dengan penghisapan pipa

nasogastrik atau orogastrik


Dapat diberikan ranitidin 2-4mg/kgBB IV untuk mengurangi volume lambung dan

meningkatkan pH
Bila dengan obsruksi usus, jangan diberikan metoklopramid

Intubasi sadar merupakan pilihan untuk bayi sakit berat atau bayi dengan kelainan jalan nafas
hebat dengan lambung penuh.
Intubasi dan pemeliharaan anestesia:
Intubasi:
Pemilihan antara pemasangan ETT atau laryngeal mask disesuaikan dengan

kebutuhan(jenis, lama dan lokasi operasi)


Pemasangan ETT atau LM bisa dilakukan dengan atau tanpa pelumpuh otot
Untuk anak 5 tahun, ETT tidak menggunakan cuff dan dipasang pack sebagai
pengganti
Pemeliharaan anestesia:
Dapat dilakukan dengan inhalasi (isofluran, sevofluran) sesuai kebutuhan dan tidak

ada kontra indikasi.


Pemeliharaan obat intra vena dan pelumpuh otot sesuai indikasi dan kebutuhan.

Pemberian cairan:
Diberikan cairan 4cc/kg/jam untuk 10 kg pertama BB, 2cc/kg/jam untuk 10 kg

berikutnya, dan 1cc/kg/jam untuk setiap kenaikan BB berikutnya


Cairan yang dapat digunakan adalah ringer asetat atau ringer laktat dan untuk

tambahan dapat diberikan cairan yang mengandung glukosa jika diperlukan, untuk
mencegah hipoglikemia.
Bila diperlukan diberi cairan infus atau transfusi sesuai dengan memperhitungkan
kebutuhan cairan perioperatif

Proses pemulihan dan perawatan pasca pembiusan:


Proses pemulihan:
Bila menggunakan pelumpuh otot non depolarisasi dapat dipertimbangkan

penggunaan penawar pelumpuh otot


Ekstubasi dilakukan setelah pernafasan adekuat dan mulut bersih dari cairan(saliva,

lendir, dll)
Ekstubasi dilakukan setelah pasien bangun dari pembiusan dan refleks protektif jalan

nafas sudah ada tetapi dapat pula dilakukan saat anestesia masih dalam Namun
tidak dilakukan pada pasien dengan abnormalitas jalan nafas atau tidak berpuasa
Laringospasme dapat terjadi selama proses bangun
Penggunaan oropharingeal airway bila pasien belum sadar
Pasca anestesia dilakukan pemberian O2 100%
Observasi pernafasan selama transportasi ke ruang pulih
Perawatan pasca pembiusan:

Adanya supervisi medis umum dan koordinasi pengelolaan pasien di ruang pulih yang

merupakan tanggungjawab dokter spesialis anestesiologi


Adanya perawat ruang pulih yang mampu mengenali tanda-tanda kegawatan pada

anak pasca anestesia


Tanda vital harus segera dinilai setiba di ruang pemulihan dan dibuat laporan tertulis

yang akurat selama di ruang pemulihan


Harus tersedia oksigen dan alat penghisap untuk setiap pasiennya.
Pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat bila sudah sadar penuh dan dapat
berkomunikasi

Anestesia untuk tindakan kateterisasi jantung


pediatrik
Pengertian
Anestesia untuk kateterisasi pediatrik meliputi pemberian sedasi, analgesia dan/atau anestesia
umum pada pasien pediatrik yang menjalani kateterisasi jantung maupun kardiologi
intervensi

Tujuan
Menjamin analgesia yang cukup dan keadaan relatif tidak bergerak (moveless)
Menjaga hemodinamik seoptimal mungkin
Menjamin ventilasi dan oksigenasi seoptimal mungkin

Kebijakan
Anestesia untuk kateterisasi jantung pediatrik dilakukan oleh dokter spesialis anestesia atau
anestesia kardiak, dibantu asisten.
Alat dan obat:
Monitor EKG dan saturasi O2
Mesin anestesia yang dilengkapi dengan ventilator universal (pediatrikdewasa),

modus ventilasi tekanan maupun volume (pressure and volume mode) dan vaporizer
untuk isofluran dan/atau sevofluran, serta sumber gas O2 dan compressed air
Laringoskop dengan bilah (blade) berbagai ukuran (sesuai usia pasien)
Endotracheal tube (ETT) berbagai ukuran dan intoduser (sesuai usia pasien)
Guedel airway berbagai ukuran
Forceps Magill
Stetoskop
Mesin suction beserta selang dan kateter berbagai ukuran
Infus set/blood set/buret beserta cairan infus
Venflon/abocath berbagai ukuran

Kapas alkohol, desinfektan, kassa steril dan plester


Adrenalin, 1 mg dalam 10 mL larutan
Sulfas atropin
Midazolam 1 mg/mL
Fentanyl 10 g/mL (untuk BB< 10kg) atau 50 g/ mL (BB > 0 kg)
Ketamin
Pelumpuh otot
Antiemetik
Analgetik pasca anesthesia

Prosedur
Pasien pra kateterisasi jantung menjalani persiapan pra anestesia sebagaimana

layaknya pasien kelainan jantung lain


Sebelum pasien masuk ruang tindakan, harus dipastikan tersedia sumber listrik dan
mesin anestesia disambungkan dengan sumber listrik tak terputus (UPS,
uninterrupted power supply)
Semua sumber gas disambungkan ke mesin anestesia
Mesin anestesia dicek fungsinya dan dipastikan tidak ada kebocoran pada sirkuit
nafas
Penyerap CO2 (CO2 absorber) diperiksa kelayakannya. Jika warna indikator telah
berubah harus segera diganti
Pasien yang belum mempunyai jalur intravena diberikan premedikasi oral sekitar 30
menit sebelum pembiusan
Pasien masuk ruang tindakan, dipasang monitor EKG dan SpO2. Nilai-nilai dicatat
dalam rekam anestesia
Pasien yang belum mempunyai akses intravena segera diinfus. Anak <2 th sebaiknya
menggunakan D5 N1/4, sedangkan yang> 2 th dapat menggunakan cairan yang
sama atau D5N1/2
Anak yang telah mempunyai akses intravena segera dihubungkan dengan cairan infus
Antibiotika diberikan intravena. Obat standar adalah cefazolin, 30 mg/kgBB
Induksi diberikan intravena. Pemakaian obat disesuaikan kondisi pasien
Intubasi dilakukan setelah relaksasi tercapai dan diberikan semprotan analgetik lokal.
Pastikan posisi ETT baik dan benar
Rumatan anestesia dilakukan dengan kombinasi anestesia balans dan inhalasi.
Ventilasi dikendali dan digunakan oksigen beserta compressed air. Tidak dianjurkan
menggunakan N2O, terutama pada pasien sianotik dan pasien dengan hipertensi
pulmonal
Pasien yang akan menjalani tes oksigen diberikan fraksi inspirasi oksigen (FiO2)
sedekat mungkin dengan udara kamar (21%). Jika tidak memungkinkan dapat 30%.
FiO2 harus dinaikkan jika pasien tidak dapat mentoleransi FiO2 yang rendah,
ditandai dengan penurunan cepat saturasi O2
Pada waktu tes oksigen, FiO2 dinaikkan menjadi 100% hingga 10 menit
Hipotermia dapat memicu spell. Selama prosedur, suhu pasien dijaga dalam kisaran
normal. Bila perlu dapat digunakan penghangat (radiant heater) atau suhu ruangan
dinaikkan.
Jika prosedur kateterisasi atau intervensi telah selesai, pasien dapat dibiarkan bernafas
spontan. Pasien tidak dibangunkan hingga semua kateter atau sheath telah dicabut
Analgetik pasca anestesia dan antiemetik dapat diberikan

Suction jalan nafas, pastikan tidak ada sekret yang memenuhi jalan nafas
Pasien diekstubasi jika telah sadar penuh dan memenuhi syarat ekstubasi
Pasca anestesia pasien diobservasi hingga mampu mendapatkan asupan oral tanpa

muntah
Pasca anestesia, pasien diletakkan dalam posisi supine. Tungkai tempat tusukan tidak
boleh ditekuk. Biasanya diletakkan bantal pasir untuk membantu kompresi. Kepala
diletakkan dalam posisi aman yang dapat mencegah obstruksi jalan nafas.

Kunjungan pra-anestesia
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Kunjungan pra-anestesia adalah suatu prosedur yang bertujuan untuk menilai dan mempersiapkan
kondisi medis pasien sebelum setiap tindakan anestesia

Tujuan
Mengusahakan pasien dalam kondisi optimal pada saat menjalani tindakan anestesia

pembedahan
Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian selama tindakan anestesia dan
pembedahan
Kebijakan
1.
Sebagai bagian dari standard dasar pengelolaan anestesia dimana ahli anestesia bertanggung
jawab untuk:
a.
Menentukan status medis pasien.
b.
Membuat rencana pengelolaan anestesi.
c.
Memberi informasi kepada pasien dan atau keluarganya.
2.
Standar ini berlaku bagi semua pasien yang akan mendapatkan pelayanan anestesia atau
pemantauan selama tindakan. Pada kondisi khusus misalnya kedaruratan atau pada RS pendidikan,
standar ini dapat dimodifikasi sesuai kondisi.
3.
Pembuatan rencana pengelolaan anestesi meliputi:
Mempelajari rekam medis.
Melakukan wawancara dan pemeriksaan khusus untuk:
Membahas riwayat penyakit, kebiasaan, pengalaman anestesia sebelumnya dan pengobatan
yang sedang dijalani
Menilai aspek kondisi fisik yang mungkin merubah keputusan dalam hal risiko dan
pengelolaan anestesia
Meminta dan mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi yang diperlukan

untuk tindakan anestesi

Menentukan obat-obat atau medikasi pra-anestesia yang diperlukan untuk tindakan

anestesia
Penjelasan yang adekuat tentang keadaan pasien kepada keluarga atau pasien

(dewasa) sendiri, meliputi diagnosis kerja, rencana tindakan, risiko dan faktor
penyulit anestesia serta kemungkinan komplikasi intra maupun pasca anestesia
Ahli Anestesiologi yang bertanggung jawab memeriksa kembali bahwa hal-hal
tersebut di atas sudah dilakukan secara benar dan dicatat dalam rekam medis pasien
4.
5.

Kunjungan pra-anestesi dapat dilakukan di ruang rawat, Poliklinik anestesi, tempat lain bila
kondisi mengharuskan
Setiap hasil kunjungan pra-anestesi yang dilakukan oleh residen/peserta di PPDS harus
dilaporkan kepada konsulen dengan sepengetahuan residen senior atau chief residen

Daftar pustaka
1.
2.

Buku Panduan Program PPDS Bagian Anestesiologi FKUI / RSCM


Standard Pelayanan Medis oleh IDSAI JAYA

Anestesia pada bedah saraf


Pengertian
Anestesia yang dilakukan pada pembedahan Susunan Saraf Pusat (SSP), Tulang Tengkorak,
Medula Spinalis, Tulang Belakang/Vertebra serta Saraf Perifer, untuk pembedahan yang
bersifat terapetik maupun diagnostik.

Tujuan
Mempertahankan keselamatan pasien melalui manajemen mekanisme homeostasis

tubuh, terutama intrakranial dan intratekal.


Menghilangkan sensasi pada daerah operasi dengan teknik anestesia umum maupun

analgesia regional.
Membuat lapangan operasi yang memadai untuk berbagai manuver tindakan bedah

oleh operator

Kebijakan
Indikasi:

Operasi pada SSP dan tulang tengkorak:


Tumor intrakranial (tumor fossa anterior, tumor fossa posterior, abses intrakranial, dll)
Perdarahan intrakranial (EDH, SDH, SAH, dll)
Kelainan kongenital (MEA, hidrosefalus kongenital, dll)
Trauma kepala (fraktur impresi, fraktur kompresi, laserasi serebri, kraniotomi
dekompresi, dll)
Operasi stereotaktik (biopsi, ablasi, dll)
Operasi tulang tengkorak (kranioplasti, tumor tulang tengkorak,dll)
Operasi vaskular SSP (clipping aneurisma, coiling aneurisma, AVM,dll)

Operasi pada Medula Spinalis dan tulang belakang/vertebra:

Tumor (tumor medula, meningomyelokel, dll)


Kelainan kongenital (spina bifida,dll)
Trauma (fraktur impresi vertebra, HNP, dll)

Operasi pada Saraf Perifer :


Trauma saraf perifer
Penekanan saraf perifer
Neurolitik

Operasi non-bedah saraf pada pasien dengan penyulit masalah SSP


Syarat:
Terdapat indikasi
Pihak pasien sudah mendapat informed consent kecuali pada keadaan gawat darurat
Pihak pasien sudah menandatangani surat persetujuan tindakan medik

Komplikasi dan morbiditas


Persiapan pasien:
Rutin:
Kunjungan pra-anestesia sesuai pedoman operasi umum
Evaluasi neurologis pra-anestesia untuk menentukan derajat kesadaran pasien, defisit
neurologis yang menyertai dan ada tidaknya peningkatan tekanan intrakranial.
Informed consent
Khusus:
Manajemen jalan nafas dan pernafasan (airway & breathing), terutama pertimbangan
intubasi pra bedah pada pasien dengan kesadaran GCS 8
Manajemen sedasi dan nyeri preoperatif
Manajemen tekanan intrakranial perioperatif dengan pendekatan fisiologik dan
farmakologik
Pasien telah terpasang jalur akses vena yang adekuat preoperatif
Menjaga stabilitas hemodinamik untuk menjamin perfusi serebral yang adekuat
Mencegah dan mengatasi kejang yang mungkin dapat terjadi
Memastikan ketersediaan ruang rawat pasca operasi di ICU/HCU bila diperlukan

Persiapan alat dan obat:

Sesuai alat-alat dan obat-obat anestesia umum


Manitol (sesuai indikasi)
Furosemide (sesuai indikasi)
Deksametason atau Metil Prednisolon (sesuai indikasi)
Lumbar CSF drainage (sesuai indikasi)
Obat pengontrol tekanan darah (sesuai indikasi)

Persiapan alat pemantauan umum (umum dan tekanan intakranial)

Pemantau tekanan darah non-invasif dan/atau invasif


EKG
Pulse oksimeter
Stetoskop
Termometer
CVP (bila tersedia & sesuai indikasi)

AGD (sesuai indikasi)


Gula darah sewaktu (sesuai indikasi)
Osmolaritas darah (sesuai indikasi)
ETCO2 (bila tersedia)
Pemantauan produksi urine (pemasangan kateter foley sesuai indikasi)
Pemantauan tekanan intrakranial (sesuai indikasi)
Pemantauan kedalaman anestesia/tingkat kesadaran (sesuai indikasi)

Pelaksana
Konsulen/dokter spesialis anestesi
PPDS semester V atau lebih, dan sudah melaporkan dan mendapatkan persetujuan

dari konsulen yang bertanggung jawab

Cara kerja
Sesuai dengan pedoman pelayanan medik anestesia umum.

Referensi

Dunn PF et al.Clinical Anesthesia Procedure of Massachhussetts General


Hospital 5 edition. Lippincot William & Wilkins, 2005
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK,eds. Clinical Anesthesia 3 rd edition.
Philadelphia: Lippincot Raven,1996
th

Layanan Sedasi Dewasa


Batasan dan uraian umum
Pengertian
1. Sedasi ringan adalah suatu keadaan dimana pasien masih memiliki respon normal
terhadap stimulasi verbal dan tetap dapat mempertahankan patensi jalan nafasnya,
sedang fungsi ventilasi dan kardiovaskuler tidak dipengaruhi.
2. Sedasi moderat adalah keadaan penurunan kesadaran dimana pasien masih memiliki
respon terhadap perintah verbal, dapat diikuti atau tidak diikuti oleh stimulasi tekan
ringan, namun pasien masih dapat menjaga patensi jalan nafasnya sendiri.
3. Sedasi dalam adalah suatu keadaan penurunan kesadaran dimana pasien tidak mudah
dibangunkan tetapi masih memberikan respon terhadap stimulasi berulang atau nyeri.
Respon ventilasi sudah mulai terganggu. Nafas spontan sudah mulai tidak adekuat dan
pasien tidak dapat mempertahankan patensi jalan nafasnya.

Tujuan
Mengoptimalkan keadaan pasien pra, intra dan pasca sedasi
Mempertahankan kondisi dan keselamatan pasien selama tindakan sedasi.
Peningkatan kualitas layanan anestesia.

Kebijakan
Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan sedasi harus melalui proses
kunjungan pra-anestesia dan proses penilaian pra-sedasi.
DPJP Anestesiologi dan Peserta didik yang sudah dinyatakan kompeten
melakukan kunjungan pra sedasi dan melakukan penilaian pra-sedasi.
Harus terdapat proses komunikasi antara dokter, pasien dan keluarga pasien
sedangkan pada kasus kedaruratan disesuaikan dengan kondisi saat itu.
Semua proses sedasi harus tercatat atau didokumentasikan secara terpisah
didalam status anestesia dan dimasukan dalam rekam medis pasien.
Proses sedasi dalam dan sedasi sedang dilakukan oleh DPJP atau peserta didik
Anestesiologi.
Layanan sedasi ringan dapat dilakukan oleh dokter non anestetis yang
memenuhi persyaratan dan skill yang telah ditentukan.

Prosedur
Tahap Pra Sedasi
Keputusan jenis tindakan sedasi yang akan dilakukan berdasarkan dari temuan
kunjungan pra anestesia oleh DPJP/ peserta didik anestesiologi/pelaku sedasi
non anestetis
Persiapan sedasi dilakukan di rumah berdasarkan instruksi dari klinik pre
operatif atau di ruang rawat inap berdasarkan instruksi saat kunjungan pra
anestesia.
Sebelum tindakan sedasi sedang dan dalam dimulai, DPJP/peserta didik
anestesiologi memberikan penjelasan dan edukasi serta diminta persetujuan
tindakan medis dalam Informed Consent oleh pasien atau keluarga pasien.
DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan evaluasi ulang perencanaan dan
persiapan sedasi.
2. Tahap Intra sedasi

DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan evaluasi ulang kelengkapan


status pasien, obat-obatan, peralatan anestesia, monitoring pasien, troli
emergensi dan peralatan resusitasi.
Dilakukan pemasangan infus, oksigen (bila diperlukan) dan alat monitoring
berdasarkan cek list kesiapan anestesia.
Pada pemberian sedasi sedang dan dalam yang memiliki risiko terkait patensi
jalan nafas, maka dilakukan pemantauan, persiapan serta manajemen
tatalaksana jalan nafas oleh DPJP dan peserta didik Anestesiologi.
a. DPJP atau peserta didik Anestesiologi bersama perawat melakukan proses sign in
b. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan penilaian pra sedasi untuk menilai
kesiapan pasien menjalani prosedur sedasi.
c. Seluruh tim yang terlibat melakukan proses time out, kemudian prosedur invasif dapat
dimulai.
d. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan pemantauan yang berkesinambungan
selama proses sedasi berlangsung dan bereaksi cepat terhadap segala kondisi pasien
akibat tindakan sedasi.
e. Apabila dilakukan pemeriksaan radiodiagnostik dengan risiko radiasi, maka tim yang
terlibat diwajibkan memakai apron.
f. Semua kondisi pasien selama sedasi dicatat dalam status anestesia dan
didokumentasikan dalam rekam medis
3. Tahap Pasca sedasi
a. Setelah pembedahan/prosedur invasif selesai, kedalaman sedasi pasien harus tetap
dipantau dan dicatat.
b. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan proses sign out
c. Sebelum masuk ke ruang pulih, DPJP/peserta didik anestesiologi menilai kembali
tanda vital pasien.
d. Setibanya pasien di ruang pulih, dilakukan serah terima pasien dari DPJP/peserta
didik anestesiologi dengan tim/staf ruang pulih. Petugas ruang pulih mencatat
waktu kedatangan pasien.
e. Selama pasien berada di ruang pulih dilakukan pemantauan sampai pulih
sepenuhnya dari sedasi yang dilakukan oleh DPJP dan peserta didik anestesiologi
atau perawat
f. DPJP/peserta didik anestesiologi mengidentifikasi keadaan pasien bila terjadi
keadaan sedasi yang berkepanjangan akibat komplikasi atau pemulihan sedasi
yang lambat. Bila terjadi keadaan sedasi yang berkepanjangan, maka DPJP
Anestesiologi membuat rencana pengelolaan keperawatan pasien selanjutnya dan
bila diperlukan pasien dapat langsung dipindahkan ke ruang rawat intensif.
g. DPJP/peserta didik anestesiologi menginformasikan kepada perawat bila pasien
sudah pulih dan siap dipindahkan ke ruang rawat inap atau dapat dipulangkan.
Waktu pemindahan pasien dari ruang pulih dicatat oleh petugas ruang pulih.
h. DPJP Anestesiologi harus menginformasikan mengenai rencana perawatan pasien
pasca sedasi kepada pasien dan keluarga pasien.

i. Sebelum meninggalkan ruang pulih dinilai kembali apakah pasien dapat


ditranspor ke ruang rawat inap. Bila perlu dipasang alat monitoring selama
transportasi pasien jika kondisi pasien tidak stabil.
j. Untuk pasien ODC:
Observasi pasca sedasi di ruang pulih dilakukan dengan penilaian secara
periodik menggunakan kriteria PADSS.
Pasien pasca sedasi harus diberikan instruksi tertulis atau verbal kepada
keluarga atau pasien berupa anjuran diet, nutrisi, aktivitas, komplikasi yang
mungkin terjadi serta tindakan yang harus dilakukan bila terjadi komplikasi.
k. Semua proses pasca sedasi harus terdokumentasi dan dimasukkan dalam rekam
medis pasien.

Obat-obatan sedasi

Lidokain Hidroklorida 4% Krim topical


Midazolam (0.5 mg/kilogram: max dose 20 mg) Per Oral pemberian sampai
tercapai tingkat sedasi yang diinginkan
Midazolam (0.02 - 0.1 mg/kilogram: dosis max 2 mg) IntraVena. pemberian
sampai tercapai tingkat sedasi yang diinginkan
Fentanyl (0.25 0.5 microgram/kilogram) IntraVena

Persiapan kamar operasi


1. Sirkuit anestesi
2. Volume bagging sesuai besar kapasitas vital

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sarana kamar operasi


Obat-obat anestesia termasuk obat resusitasi
Alat monitor berupa EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
Perangkat mesin anestesia beserta kelengkapan pasokan gas
Peralatan jalan nafas:
sungkup muka, ETT, guedel, laringoskop dengan bilah ,stylet dan laryngeal mask
Stetoskop
Alat penghisap(suction)
Peralatan pemberian cairan intravena:

Layanan Sedasi Pediatrik


Pengertian
Prosedur tindakan sedasi pada pasien pediatri yang meliputi penerimaan, perencanaan,
persiapan, pemantauan sedasi dan perawatan pasca sedasi.

Tujuan
1. Mengoptimalkan keadaan pasien pra, intra dan pasca sedasi
2. Mempertahankan kondisi dan keselamatan pasien selama tindakan sedasi.
3. Peningkatan kualitas layanan anestesia.
Kebijakan
1. Tindakan sedasi pediatri dilakukan oleh DPJP dan Peserta didik Anestesiologi yang sudah
dinyatakan kompeten melakukan tindakan pada anestesia pediatri.
2. Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan sedasi harus melalui proses kunjungan praanestesia dan proses penilaian pra-sedasi.
3. Hasil KPA menjadi dasar untuk menentukan jenis sedasi yang aman dan sesuai.
4. Harus terdapat proses komunikasi antara dokter, pasien dan orang tua/wali pasien diikuti
dengan persetujuan tindakan (informed consent) sedangkan pada kasus kedaruratan
disesuaikan dengan kondisi saat itu.
5. Semua proses sedasi harus tercatat atau didokumentasikan secara terpisah didalam status
anestesia
Persiapan kamar operasi

Sirkuit anestesi

sirkuit terbuka Mapleson D(Jackson Rees), dengan FGF 2,5-3x ventilasi semenit
untuk mencegah rebreathing
Volume kantung sesuai besar kapasitas vital
Anak dengan BB 10-20kg dapat menggunakan sirkuit setengah tertutup dengan
sirkuit anestesia berdiameter kecil

Sarana kamar operasi

Obat-obat anestesia termasuk obat resusitasi


Alat monitor berupa EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
Perangkat mesin anestesia beserta kelengkapan pasokan gas
Peralatan jalan nafas:
sungkup muka, ETT, guedel, laringoskop dengan bilah laringoskop anak,stylet
dan laryngeal mask
Peralatan untuk menghangatkan tubuh anak dan alat pemantau suhu
Stetoskop prekordial/esofageal untuk memantau bunyi nafas dan jantung anak
Alat untuk pemberian cairan intravena termasuk untuk kanulasi vena
Alat penghisap(suction)
Pengaturan suhu kamar operasi:
- Suhu optimal antara 26-32oC
- Terdapat blanket roll yang sudah dihangatkan
- Cairan infus, darah dan cairan irigasi harus dihangatkan

Peralatan pemberian cairan intravena:


- BB 10 kg menggunakan buret untuk mencegah pemberian cairan
berlebihan
- BB 10 kg digunakan set infus anak dengan 1cc sama dengan 60 tetes
- Hindari adanya udara yang masuk intravena
- Dapat digunakan three way untuk dapat memberikan obat cairan jarak jauh

Prosedur
1. Tahap Pra Sedasi
a. Keputusan jenis tindakan sedasi yang akan dilakukan berdasarkan dari temuan
kunjungan pra anestesia oleh DPJP/peserta didik anestesiologi
b. Persiapan sedasi dilakukan di rumah berdasarkan instruksi dari klinik pre operatif
atau di ruang rawat inap berdasarkan instruksi saat kunjungan pra anestesia.
c. Bila diperlukan, DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan konsultasi dengan
DPJP/peserta didik dari departemen Anak.
d. Sebelum tindakan sedasi dimulai, DPJP/peserta didik anestesiologi memberikan
penjelasan dan edukasi serta diminta persetujuan tindakan medis dalam Informed
Consent oleh orang tua/ wali pasien.
e. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan evaluasi ulang perencanaan dan
persiapan sedasi.
2. Tahap Intra sedasi
DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan evaluasi ulang kelengkapan status pasien, obatobatan, peralatan anestesia, monitoring pasien, troli emergensi dan peralatan resusitasi sesuai
daftar tilik kesiapan anestesia .

a. Kemudian dilakukan pemasangan kateter intravena, pemberian cairan intravena


bila diperlukan, pemasangan oksigen dan alat monitoring yang disesuaikan
dengan usia dan berat badan anak serta alat pemantauan suhu terutama pada ruang
prosedur dengan suhu rendah.
b. Khusus pada ruang prosedur dengan suhu rendah, pasien dihangatkan
menggunakan selimut penghangat.
c. Pada pemberian sedasi sedang dan dalam yang memiliki risiko terkait patensi
jalan nafas, maka dilakukan pemantauan, persiapan serta manajemen tatalaksana
jalan nafas oleh DPJP dan peserta didik Anestesiologi.
d. Dalam keadaan tertentu, orang tua/wali pasien dapat masuk ke ruang prosedur
pada saat tindakan sedasi akan dimulai.
e. DPJP atau peserta didik Anestesiologi melakukan proses sign in
f. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan penilaian pra sedasi untuk menilai
kesiapan pasien menjalani prosedur sedasi.
g. Seluruh tim yang terlibat melakukan proses time out, kemudian prosedur invasif
dapat dimulai.
h. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan pemantauan pasien pediatri
menggunakan alat monitoring yang disesuaikan dengan usia anak selama proses
sedasi berlangsung.
i. Semua kondisi pasien selama sedasi dicatat dalam status anestesia dan
didokumentasikan dalam rekam medis.
3. Tahap Pasca sedasi
l. Setelah pembedahan/prosedur invasif selesai, kedalaman sedasi pasien harus tetap
dipantau dan dicatat.
m. DPJP/peserta didik anestesiologi melakukan proses Sign out
n. Sebelum masuk ke ruang pulih, DPJP/peserta didik anestesiologi menilai kembali
tanda vital pasien.
o. Setibanya pasien di ruang pulih, dilakukan serah terima pasien dari DPJP/peserta
didik anestesiologi dengan tim/staf ruang pulih. Petugas ruang pulih mencatat
waktu kedatangan pasien.
p. Bagi pasien yang belum sadar setibanya di ruang pulih maka pasien harus
dipantau secara ketat oleh staf ruang pulih.
q. Setiap pasien pasca sedasi diobservasi di ruang pulih dengan penilaian secara
periodik menggunakan PEDIATRIC DISCHARGE CRITERIA (PDC).
r. Pasien dapat keluar dari ruang pulih bila skor PDC mencapai > 8 tanpa disertai
nilai 0.
s. DPJP/peserta didik anestesiologi mengidentifikasi keadaan pasien bila terjadi
keadaan sedasi yang berkepanjangan akibat komplikasi atau pemulihan sedasi
yang lambat.
t. Bila terjadi keadaan sedasi yang berkepanjangan, maka DPJP Anestesiologi
membuat rencana pengelolaan keperawatan pasien selanjutnya dan bila diperlukan
pasien dapat langsung dipindahkan ke ruang rawat intensif (PICU/NICU) (detail
pada IK KRITERIA PEMULANGAN/ DISCHARGE PASCA ANESTESIA DAN
SEDASI).
u. Setelah pasien dinyatakan pulih, orang tua/wali pasien dapat masuk ke ruang pulih
untuk menemani pasien.
v. DPJP Anestesiologi menginformasikan mengenai kondisi pasien saat ini dan
rencana perawatan pasien pasca sedasi kepada orang tua/wali pasien.

w. Sebelum meninggalkan ruang pulih dinilai kembali apakah pasien dapat


ditransport ke ruang rawat inap. Bila perlu dipasang alat monitoring jika kondisi
pasien tidak stabil.
x. Untuk pasien pediatri rawat jalan:
Observasi pasca sedasi di ruang pulih dilakukan dengan penilaian secara
periodik menggunakan PEDIATRIC DISCHARGE CRITERIA
Sedangkan kriteria pemulangan pasien menggunakan kriteria PADSS (detail
pada IK KRITERIA PEMULANGAN/ DISCHARGE PASCA ANESTESIA
DAN SEDASI).
Pasien pasca sedasi harus diberikan instruksi tertulis atau verbal kepada
keluarga atau pasien berupa anjuran diet, nutrisi, aktivitas, komplikasi yang
mungkin terjadi serta tindakan yang harus dilakukan bila terjadi komplikasi.
y. DPJP Anestesiologi atau asisten anestesiologi menginformasikan kepada perawat
bila pasien sudah pulih dan siap dipindahkan ke ruang rawat inap atau dapat
dipulangkan.
z. Waktu pemindahan pasien dari ruang pulih dicatat oleh petugas ruang pulih.
aa. Semua proses pasca sedasi harus terdokumentasi dan dimasukkan dalam rekam
medis pasien.
Obat-obatan
1. Midazolam (0.02 - 0.1 miligram/kilogram:
_____________________ miligram IntraVena

dosis

max

miligram)

2. Fentanyl (0.25 0.5 microgram/kilogram) = __________ miligram IntraVena

Pemantauan selama anestesia


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Tindakan pemantauan yang dilakukan personil anestesia selama tindakan anestesia, baik
anestesia umum, regional maupun monitored anesthesia care.
Tujuan
Peningkatan kualitas pelayanan anestesia terhadap pasien
Deteksi dini bila terjadi komplikasi dan penatalaksanaan segera bila terjadi

komplikasi atau perubahan yang biasanya terjadi cepat selama anestesia

Kebijakan
Tindakan pemantauan selama anestesia dimulai sebelum induksi anestesia dilakukan
Tindakan pemantauan selama anestesia dilakukan pada semua tindakan anestesia,

seperti anestesia umum, anestesia regional, monitored anesthesia care, dan tindakan
anestesia di luar kamar bedah
Pemantauan selama anestesia dilakukan oleh dokter anestesia atau residen anestesia
yang telah dinyatakan kompeten untuk melakukan pemantauan selama anestesia
Tindakan pemantauan standar meliputi pemantauan jalan nafas, ventilasi, oksigenasi,
kardiovaskular dan temperatur
Hasil pemantauan dicatat pada rekam medis anestesia pasien

Prosedur
Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia:
Pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada, observasi reservoir
breathing bag, dan auskultasi suara nafas
Bila tersedia ventilasi dapat dimonitor secara kuantitatif dengan pemantauan end tidal
CO2
Pada keadaaan ventilasi dikendalikan dengan memakai mesin anestesia, bila tersedia,
hidupkan alarm untuk mendeteksi adanya kebocoran sistem pernafasan
Pasien dalam anestesia regional atau MAC, adekwat tidaknya ventilasi diamati melalui
tanda klinis kualitatif seperti yang telah disebutkan terdahulu
Pemantauan adekuat tidaknya oksigenasi selama anestesia:
Pemantauan perubahan warna kulit pasien bila terjadi desaturasi dengan penerangan
cahaya yang baik
Bila tersedia, pemantauan oksimetri denyut (pulse oximetri)
Selama anestesia umum dengan menggunakan mesin anestesi, bila tersedia gunakan
oxygen analyzer untuk memantau konsentrasi oksigen pada sistem pernafasan pasien dan
hidupkan aliran low oxygen saturation
Pemantauan adekuat tidaknya fungsi sirkulasi pasien:
Pemantauan tekanan darah aterial dan denyut jantung, bila memungkinkan setiap 5 menit
Pemantauan EKG secara kontinu mulai dari sebelum induksi anestesia
Setiap pasien yang mendapat anestesi, selain dari metode pemantauan dengan perabaan
denyut nadi atau auskultasi bunyi jantung
Pemantauan suhu tubuh selama anestesia:
Bila perubahan suhu tubuh pasien diperlukan, atau diantisipasi akan terjadi, suhu tubuh
pasien sebaiknya dipantau selama anestesia
Bila diperlukan, tersedia alat yang dapat memantau suhu tubuh pasien
Hasil pemantauan diatas dicatat pada rekam medis anestesia pasien

Penatalaksanaan pasca bedah di ruang pulih


anestesi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Semua pasien setelah tindakan anestesi umum atau regional, memiliki risiko

gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi


Transport pasien antar unit di rumah sakit segera setelah anestesi dapat berbahaya
bagi pasien
Segera setelah anestesi umum atau anestesi regional, semua pasien dibawa ke ruang
pulih anestesi sampai pasien sadar dan dapat menjaga jalan nafasnya, serta
pernafasan dan kardiovaskular baik, kecuali pasien yang telah sejak awal
direncanakan masuk ke ICU pasca bedah
Tujuan
Memastikan pasien telah pulih dari anestesi sehingga dapat dikembalikan ke unit

rawatnya
Menentukan pasien yang membutuhkan perawatan dan pemantauan intensif di ICU
Menghindari terjadinya komplikasi akibat gangguan jalan nafas, pernafasan dan
kardiovaskular pasca anestesia

Kebijakan

Pasien pasca anestesi mulai dari kamar bedah, selama transport ke ruang pulih, selama

di ruang pulih mendapat pemantauan standar sampai pasien pulih dari anestesia
Pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih setelah memenuhi kriteria, yaitu skor

Aldrette >8
Pasien pasca bedah yang telah direncanakan masuk ICU pasca bedah, seperti pasien

bedah syaraf dsb dapat langsung di transport ke ICU tanpa melalui ruang pulih
anestesia
Pasien pasca bedah di ruang pulih anestesia yang ternyata kemudian membutuhkan
perawatan dan pemantauan intensif dapat masuk ke ICU

Prosedur
Pasien pasca bedah selama transport dari kamar bedah ke ruang pulih harus

didampingi oleh dokter anestesi atau residen anestesi yang mengetahui keadaan
pasien pra anestesia dan selama anestesia
Selama transport pasien secara kontinyu dipantau dan dievaluasi jalan nafas,
pernafasan dan kardiovaskularnya, bila perlu dilakukan tindakan
Dokter anestesi atau residen anestesi yang bertanggung jawab dalam melakukan
tindakan anestesi melakukan serah terima pasien dengan staf ruang pulih atau
dokter anestesi atau residen anestesi yang bertugas di ruang pulih:

Status atau keadaan umum pasien sewaktu tiba di ruang pulih di catat pada rekam medis
anestesi pasien
Informasi kondisi preoperatif, perjalanan operasi dan anestesi diberitahu pada staf/dokter
anestesi/residen anestesi yang bertanggung jawab di ruang pulih
Anggota tim anestesi harus tetap di ruang pulih sampai staf/dokter anestesi/residen
anestesi ruang pulih bersedia menerima tanggung jawab penatalaksanaan pasien

Selama di ruang pulih, kondisi pasien dievaluasi dan dipantau:


Monitor jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan temperatur pasien
Pada rekam medis anestesi dicatat:

Hasil pemantauan selama di ruang pulih

Skor ruang pulih (Aldrette) pada saat pasien masuk dan keluar ruang pulih
Pengawasan dan koordinasi pentalaksanaan medis pasien di ruang pulih merupakan

tanggung jawab dokter anestesi atau residen anestesi yang bertugas di ruang pulih
Selama di ruang pulih pasien juga mendapat penatalaksanaan nyeri dan mual muntah

yang efektif dan efisien bila diperlukan


Pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih ke unit rawat bila:
Jalan nafas, ventilasi, oksigenasi, sirkulasi dan temperatur dalam kondisi baik dan stabil
Tidak membutuhkan penatalaksanaan dan pemantauan intensif pasca bedah
Skor Aldrette >8
Disetujui oleh dokter anestesi dan ditandatangani pada rekam medis anestesi pasien

Layanan Anastesi Pada Kegawatdaruratan


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Anestesia pada kegawatdaruratan adalah suatu prosedur tindakan anestesia untuk
memenuhi keadaan amnesia, analgesia dan penekanan refleks pada pasien pada kondisi gawat
darurat. Rentang pasien yang memerlukan anestesi untuk operasi bedah atau obstetri
emergensi mengenai semua kelompok umur dan berbagai status fisisk. Sejumlah masalah
terdapat dalam setting emergensi yang memerlukan pertimbangan khusus bila dilakukan
anestesi untuk pasien-pasien ini. Tidak adekuatnya waktu untuk melakukan evaluasi prabedah
dan mengoptimalkan masalah medik prabedah. Kekurangan pengendalian masalah medik
prabedah merupakan faktor utama untuk tingginya mortalitas pada operasi emergensi
dibandingkan dengan operasi terencana.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan
lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri, sedasi, cemas, syok,
persalinan. Problem medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah diabetes,
obesitas, hiatal hernia, dan baru dilakukan dialisa.
Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol.
Hipoksia sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab hipoksia
adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru, cedera
kepala, cedera medulla spinalis, luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis,

overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin mengalami instabilitas hemodinamik, atau
cedera di berbagai tempat (multiple injury).
Langkah-langkah meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan anestesia, dan
pengakhiran anestesia. Penentuan ASA dalam anestesi kegawatdaruratan seperti biasa hanya
ditambahkan huruf E (1E,2E,3E,4E,5E) yang berarti emergency.

Tujuan
Mempertahankan kondisi dan keselamatan pasien selama tindakan operasi atau

tindakan lain yang menyebabkan pasien memerlukan anestesia

Prosedur
Kesiapsiagaan untuk operasi emergensi adalah persiapan kamar bedah dan
alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya:
1) mesin anestesi yang telah disiapkan, 2) alat-alat untuk ventilasi, oksigensi,
intubasi, dan suction, 3) alat monitor, 4) set untuk infus dan transfusi, 5)
pompa untuk pemberian darah dan penghangat darah, 6) selimut pemanas, 7)
label untuk obat dan 8) defibrilator.
Penilaian Pasien:
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebeleum pembedahan dan kadangkadang saat pasien didorong kemeja operasi. Penilaian harus mengikuti
prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan
ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia
jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, lakukan
observasi dan monitoring terus menerus. Anamnesa tentang penyakit yang
menyertai, riwayat alergi, komplikasi yang terjadi bila telah mengalami
anestesi dan tranfusi, obat yang dmakan, riwayat pengalam keluarga yang
telah mengalami pembedahan/anestesi, makan-minum terakhir.

Persiapan Pasien:
Perbaikan kondisi pasien dilakukan semampu mungkin karena kita berkejaran
dengan waktu bahwa pasien harus segera dilakukan tindakan pembedahan.
Persiapan ini, yang walaupun hanya tersedia waktu yang singkat, misalnya
pembedahan darurat untuk bedah sesar, harus dilakukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini terutama untuk pasien dengan gagal
jantung, penyakit jantung iskemik, dan gagal ginjal.
Premedikasi:

Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan karena


tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi,
premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betulbetul emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering
terlupakan oleh personail yang bekerja di kamar bedah emergensi. Dokter
anestesi dapat memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati,
pelahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi akan dilakukan.
Pemberian obat untuk menaikkan pH gaster, menurunkan volume gaster,
meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk
mengurangi kemungkinan terjadianya aspirasi cairan gaster. Obat yang
diberikan antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan
metoclopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu,
tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah
regurgitasi dan aspirasi selama induksi anestesi.

Obat

Keuntungan

Kerugian

Antasid

pH gaster meningkat

Volume gaster meningkat


Beberapa jenis partikulate
menyebabkan
sekuele
pulmonal bila teraspirasi

Antikholinerg
ik

H2-reseptor
blocker

Mungkin
meningkatkan
gaster

pH

Menurunkan tonus shincter


gastroeosophageal
Memperlambat pengosongan
lambung

Menurunkan
produksi
cairan
lambung
:
menurunkan volume
gaster, meningkatkan
pH gaster.

Tidak
mempengaruhi
volume atau pH isi gaster

Tidak
menurunkan
tonus
sphincter
gastrooesofageal

Cimetidin
menyebabkan
jantung
bila
intravena.

Efeknya baru ada bila


diberikan 60-90 menit bila
diberikan peroral atau IM.
dapat
aritmia
diberikan

Dapat
menimbulkan
bronkhopasme pada pasien
asthma
Metoclopram
id

Menurunkan volume
gaster

Tidak
gaster

meningkatkan

pH

Meningkatkan tonus
sphincter
gastroosophageal.

Dapat menimbulkan sedasi


dan gejala ekstrapiramidal.

Operasi emergensi untuk bedah saraf adalah untuk memindahkan space


occupying lesion dalam rangka untuk menghilangkan tekanan pada otak atau
medulla spinalis. Penting untuk diingat bahwa pasien dengan lesi massa
intrakranial melebihi 100 ml beresiko untuk terjadi hipertensi intrakranial bila
mengalami stres. Sasaran dokter anestesi adalah mencegah terjadinya stress
yang mempresipitasi atau memperburuk hipertensi intrakranial.
Kondisi yang memerukan opearsi emergensi mata adalah glaukoma malignan,
ablasi retina, trauma, dan transplantasi kornea.
Trauma pada muka dapat berupa kombinasi dari kontusio jaringan
lunak,laserasi, fraktur maksilofasial, dan kerusakan gigi. Bergantung pada
penyebab trauma, mungkin dihubungkan dengan terjadinya trauma pada mata,
laringotrakheal, atau serebrospinal. Disebabkan karena > 50% semua trauma
maksilofasial akibat kecelakaan lalau lintas, maka dapat juga diserta dengan
trauma dada, abdomen, tulang panjang sehngga pertimbangan umumnya
adalah pemeliharaan jalan nafas yang adekuat, pengendalian perdarahan, dan
lambung penuh. Operasi emergensi akibat tonsil bleeding memerlukan
perhatian pada masih adanya efek anestesi, hipovolemia akibat perdarahan,
dan lambung penuh darah yang tertelan sehingga ada bahaya aspirasi saat
induksi anestesi.

Prosedur Anestesia pada Kegawatdaruratan

Premedikasi
Midazolam 5 mg
+ Petidin 1-2 mg/kgBB
atau
Fentanil
g/kgBB

1-2

atau
Morfin
mg/kgBB

0,1

Induksi

iv, sebelum induksi (saat pasien


berada pada ruang persiapan atau
kamar operasi), perlu monitoring
tanda-tanda depresi nafas

Preinduksi:

Periksa mesin anestesi, alat penghisap, peralatan pemeliharaan


jalan nafas, obat-obatan.
Pasang monitor anestesia dan periksa fungsinya
Berikan O2 100% melalui sungkup muka selama 1-3 menit
Dapat diberikan obat-obatan tambahan untuk sedasi/analgesia
jika diperlukan seperti:
Fentanil 1-2 g/kgBB iv
Midazolam 0,03-0,1 mg/kgBB

Pemberian
obat induksi

Propofol

1-2,5 mg/kgBB iva

Etomidat

0,2-0,4 mg/kgBB ivb

Dosis

Awitan

Lama kerja

0,1 mg/kgBB iv

2-3 mnt

25-30 mnt

0,2 mg/kgBB iv

< 2 mnt

45-90 mnt

Atrakurium

0,5 mg/kgBB iv

1-2 mnt

10-20 mnt

Rokuronium

0,6-1,2 mg/kgBB iv

60-90
dtk

30 mnt

Pelumpuh otot
untuk intubasi
Vekuronium

a
b

nyeri saat disuntikkan


nyeri saat disuntikkan, mioklonus

Pemeliharaan anestesia
Anestesia inhalasi 30-100% O2
+ 0-70% N2O
+ Halotan (MAC=0,75%) titrasi
atau Enfluran (MAC=1,76%) titrasi
atau Isofluran (MAC=1,1%) titrasi
atau Sevofluran (MAC=2,0%) titrasi
atau Desfluran (MAC=6,0%) titrasi

Anestesia balans

30-100% O2
+ 0-70% N2O
+ Petidin 0,5-1,5
intermiten)

mg/kgBB/3-4

jam

(bolus

atau Fentanil 1-10 g/kgBB sesuai kebutuhan


+ Halotan atau anestetik inhalasi lainnya (titrasi)
atau Propofol 50-200 g/kgBB/mnt
Anestesia
intravena total

30-100% O2
+ Petidin

Bolus awal: 1-2 mg/kgBB


Pemeliharaan: 0,5-1,5 mg/kgBB/34 jam (bolus intermiten)

atau Fentanil

Bolus awal: 1-2 g/kgBB


Pemeliharaan: 1-10
sesuai kebutuhan

g/kgBB

Induksi: 1-2,5 mg/kgBB


+ Propofol

Pemeliharaan:
g/kgBB/mnt

50-200

(infus dihentikan 5 menit sebelum


operasi selesai)
Induksi: 1-2 mg/kgBB
atau Ketamin

Pemeliharaan: 1-2 mg/kgBB/


bolus intermiten tiap 15-20 mnt
atau sesuai kebutuhan

Jika diperlukan pelumpuh otot selama operasi maka beberapa pilihan yang dapat digunakan
adalah sebagai berikut:
Kerja singkat

Mivakurium

Bolus 0,1 mg/kgBB/10-20 mnt


atau infus1-15 g/kgBB/mnt

Kerja menengah

Vekuronium

Rokuronium

Bolus
mnt

0,01-0,025

mg/kgBB/30

atau infus 1-2 g/kgBB/mnt


Bolus 0,15-0,6 mg/kgBB/30 mnt

Atrakurium

atau infus 5-12 g/kgBB/mnt


Bolus 0,1 mg/kgBB/10-20 mnt
atau infus 5-10 g/kgBB/mnt

Kerja panjang

Pankuronium

Bolus 0,02 mg/kgBB/60-90 mnt

Pengakhiran anestesia
Pemulihan
dari : Jika diperlukan dapat diberikan obat reversal
pelumpuh otot
sebagai berikut:
Neostigmin 0,05-0,07 (dosis maksimum)
mg/kgBB+ Sulfas atropin 0,015 mg/kgBB iv
Analgetik
operasi

pasca : Jika diperlukan analgetik pasca operasi


diberikan sebelum pasien dibangunkan

Profilaksis
muntah

mual- : Dapat diberikan metoklopramid (10 mg iv),


atau droperidol (0,625mg iv) atau ondansetron
(4 mg iv) Dapat dipertimbangkan pemasangan
pipa lambung dan irigasi cairan lambung

Oksigen

: Pemberian N2O dan anestetik dihentikan dan


diberikan 100% oksigen

Penghisapan lendir

: Rongga orofaring
penghisap lendir

Ekstubasi

: Ekstubasi dilakukan jika refleks proteksi jalan


nafas sudah berfungsi kembali, pasien
bernafas spontan dan mampu mengikuti
perintah

dibersihkan

dengan

Ekstubasi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakea. Ekstubasi dilakukan pada saat yang
tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya reintubasi dan komplikasi lain
Tujuan
Minimalisasi komplikasi yang mungkin timbul
Pemantauan dini komplikasi dan penatalaksanaan segera dari komplikasi yang timbul
Keamanan dan kenyamanan pasien terjamin selama pelaksanaan prosedur

Kebijakan :
1. Pre ekstubasi
a. Persiapan Pasien
1) Pasien sadar penuh
2) Posisi semi fowler
3) Status pernafasan pasien adekuat, seperti : RR< 25x/mnt, tidak ada penggunaan
otot bantu nafas, tidak sesak, Tidal volume 5ml/kg, Minute ventilasi 10
L/mnt, FiO2 50%, HR dan TD stabil, tidak ada aritmia.
4) Hasil AGD baik
5) Pasien dapat batuk secara adekuat.
6) Pasien dipuasakan 4 jam, dan NGT dialirkan saat ekstubasi.
b. Edukasi pasien
1. Jelaskan pada pasien akan dilakukan pencabutan pipa endotraheal
2. Jelaskan pasien pentingnya batuk dan napas dalam

3. Jelaskan pasien bahwa beberapa saat suara tidak maksimal


4. Jelaskan pasien masih membutuhkan oksigen dan humadifikasi
c. Persiapan alat :
1) Mesin vakum suction
2) Alat pelindung diri (APD)
3) Suction kateter
4) Ambu bag yang telah disambung dengan O2 100%
5) Gunting
6) Nebulizer mask
7) Non-rebrething mask/simple mask
8) Spuit 10 cc untuk mengempeskan cuff
9) Trolley emergency
10) Set intubasi endotrakhea :
a) Laringoskop lengkap dengan blade dan handlenya
Pipa endotrakeal (ETT) dengan nomor yang sama
b) Stilet (introduser)
c) Forsep Magil
d) Xylocain spray
e) Stetoskop
2. Intra Ekstubasi
Langkah Langkah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Informasikan pasien atau keluarganya, tentang tindakan yang akan dilakukan


Cuci tangan dan gunakan APD
Hiperoksigenasi, suctioning ETT dan bersihkan jalan nafas pasien
Lepas fiksasi/plester pada endotracheal tube (ETT)
Instruksikan pasien untuk bernafas dalam
Saat pasien mencapai puncak inspirasi, pipa endotrakea dikempeskan dan dokter
anastesi mencabut ETT dalam satu gerakan saat inspirasi.
Saat ETT dicabut, perawat memonitor hemodinamik pasien
Motivasi pasien untuk bernafas dalam dan batuk
Suctioning dan bersihkan kembali jalan nafas pasien
Berikan nebulizer dan support dengan oksigen adekuat
Cuci tangan
Rapikan Alat
Dokumentasikan tindakan

3. Post Ekstubasi
a. Monitor vital signs, status respirasi, dan oksigenisasi 1 jam pertama atau menurut
kebijaksanaan
b. Berikan oksigenisasi sesuai kebutuhan
c. Anjurkan klien untuk nafas dalam dan batuk
d. Anjurkan klien untuk mengeluarkan sputum
e. Beri motivasi untuk bernafas tanpa bantuan ventilator
f. Pemeriksaan blood gass artery, tidak mutlak

Trakeostomi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Trakeostomi adalah tindakan pembuatan jalan napas dengan cara membuat lubang dari
trakea.

Tujuan :
1. Trakeostomi dilakukan sebagai penanganan jalan nafas sementara maupun permanen,
yang berguna untuk memastikan patensi jalan nafas dan mempermudah pembersihan
secret.
2. Mengurangi resiko ruang rugi jalan nafas , mengurangi trauma jalan nafas akibat
pemakaian ETT yang lama
Prosedur/Teknis Pelaksanaan :
Pasien dijelaskan mengenai indikasi dan resiko-resiko tindakan trakheostomi, dilakukan
pemeriksaan keadaan hemostasis pasien (PT/APTT).
Alat-alat dipersiapkan, antara lain:
1. Kanul trakheostomi dengan ukuran yang sesuai
2. Mempersiapkan alat-alat intubasi: ETT berbagai ukuran, laringoskopi, obat-obatan
sedasi, obat-obatan pelumpuh otot, plester, spuit cuff, orofarineal tube, ambu bag,
sungkup wajah yang sesuai, bougie.
3. Mempersiapkan alat-alat krikotirotomi.

4. Mempersiapkan peralatan dan obat-obatan resusitasi: sulfas atropin, adrenalin,


lidokain, efedrin.
5. Melakukan pengecekan peralatan monitoring: pengukur tekanan darah, EKG, saturasi
O2.
6. Mempersiapkan peralatan instrumentasi trakeostomi,lampu sorot, dan mesin suction.
7. Memastikan ketersediaan iv line
A. Pelaksanaan
1. Pelaksanaan tindakan trakheostomi dilakukan setelah seluruh persiapan terpenuhi.
2. Tindakan trakheostomi dilakukan oleh dokter yang berkompeten (Bedah/THT),
dengan didampingi dokter anestesi dan perawat ICU.
3. Selama tindakan trakeostomi, dilakukan pemberian analgesia lokal atau intra vena
pada pasien. Bila pasien tidak kooperatif, dapat dilakukan pemberian obat-obatan
sedasi.
4. Berikan O2 100 % selama tindakan trakeostomi.
5. Pencabutan ETT dilakukan bersamaan dengan insersi kanul trakeostomi ke dalam
trakhea.
6. Setelah kanul trakeostomi terpasang, kembungkan cuff trakeostomi. Beri oksigenasi
dengan menyambungkan ventilator atau ambu bag pada kanul trakeostomi.
7. Evaluasi keberhasilan tindakan trakeostomi: pergerakan dada saat bernafas, saturasi
O2, tidal volume pada ventilator.
B. Evaluasi Pasca Pemasangan Trakeostomi
Hal-hal yang perlu diperhatikan pasca pemasangan trakeostomi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas


Ada/tidaknya kebocoran di sekitar kanul trakeostomi
Adanya rembesan darah di sekitar kanul trakeostomi
Adanya pembengkakan/hematoma pada jaringan di sekitar kanul trakeostomi
Adanya tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitar kanul trakheostomi.
Lakukan pemeriksaan rontgen dada untuk melakukan evaluasi keadaan jalan nafas
pasca pemasangan trakeostomi.
7. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah.
8. Bila didapatkan rembesan darah masif/kebocoran/sumbatan pada jalan nafas, hubungi
segera operator yang melakukan trakeostomi untuk segera dilakukan perbaikan.

Sedasi Pasien di ICU


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Sedasi adalah tindakan pemberian obat-obatan yang bersifat mengurangi kepekaan pasien
terhadap rangsang. Sedasi diberikan pada pasien yang gelisah, misalnya pada pasien yang
menggunakan alat bantu napas.

Tujuan :
13. Memberikan rasa nyaman bagi pasien selama perawatan di ICU.
14. Mengurangi gejolak otonom, konsumsi oksigen dan sinkronisasi
menggunakan ventilator .
15. Memudahkan dalam melakukan tindakan asuhan keparawatan.

pada pasien yang

Kebijakan:
Persiapan alat dan obat yang akan diberikan serta menuliskan nama pasien. Alat yang dipakai
adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Syringe pump
Extension tube
Konektor three way
Spuit 20/50 cc
Akses IV line yang memungkinkan

Persiapan obat dan cairan :


a. Membuat perhitungan
b. Berat badan
c. Nama obat , dosis yang ditentukan ,dan pengenceran
Prosedur :

Mencuci tangan.

Mengambil cairan pelarut sesuai dengan indikasi obat dengan spuit 50


cc atau 20 cc sesuai dengan

Mengambil obat yang akan diberikan dengan spuit 5 cc atau 10 cc.

Masukkan obat kedalam spuit yang telah berisi cairan pelarut.

Mengeluarkan udara dari dalam spuit.

Menghubungkan spuit dengan manometer line.

Mengeluarkan udara dari dalam manometer line.

Memasang spuit pada syringe pump.

Mengatur syringe pump sesuai dengan spuit yang digunakan.

Mengatur jumlah cairan yang akan diberikan.

Menghubungkan manometer line dengan three way yang sudah


terpasang pada pasien setelah terlebih dahulu memberi desinfektan. Jika pelu
tambahan threeway stopcock hubungkan dengan manometer line dan hubungkan
dengan three way yang sudah terpasang pada pasien sesuai dengan jalurnya.

Pada saat dihubungkan, arah three way harus dalam keadaan tertutup
ke arah pasien.

Menyalakan syringe pump dan membiarkan cairan keluar keearah


udara

Membuka three way kearah pasien

Memasang label atau etiket obat pada spuit dan menempelkan kertas
perhitungan obat yang telah disiapkan.

Mendokumentasikan dalam catatan keperawatan mengenai : nama obat


dan pengencerannya, dosis obat, jam pemberian

Pemberian vasopresor
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pemberian vasopresor bertujuanu ntuk menangani pasien yang mengalami cardiac arrest,
syok kardiogenik, syok sepsis, gagal jantung kiri, gagal jantung akut, AMI atau hipotensi
berat.
Prosedur/Teknis Pelaksanaan :
Pemberian Vasopressure

1. Pemantauan sebelum pemberian


a. Sebelum pemberian obat-obatan vasopressure, harus sudah dilakukan resusitasi cairan
melalui infuse.
b. Berdasarkan criteria klinis, biasanya menggunakan MAP >60-70 (dapat termasuk
menggunakan PCWP & Cardiac Output)
MAP = [(2x diastolic) + sistolik)]/3
1. Pertimbangan khusus pada obat-obat inotropik atau bahkan vasopressure
a. Adrenalin : vasokonstriksi pada dosis tinggi, pemberian bolus hanya bila pada
kondisi cardiac arrest, tidak boleh dibolus walaupun tekanan darah sangat rendah.
b. Dobutamin : meningkatkan kebutuhan O2 jantung. Hipotensi sering menjadi
masalah.

c. Dopamin : dapat menyebabkan peningkatan ekstrim tekanan diastolik yang akan


meningkatkan kebutuhan O2 jantung, dapat menyebabkan renal shutdown pada
dosis yang tingg.
d. Norepinefrin: tidak boleh diberikan secara bolus walaupun pasien arrest atau
hipotensi berat, karena dapat menyebabkan iskemik perifer terutama daerah kaki
dan telinga. Perhatian khusus pada daerah tersebut terutama bila pasien berbaring
pada salah satu sisi.
2. Monitoring selama pemberian obat vasopresor dan inotropik
a. Saturasi O2 dan EKG secara kontinu diobservasi
b. Tekanan darah
1) Lebih diutamakan pengukuran dengan arterial line
2) NIBP dapat digunakan selama menunggu ketersediaan arterial line. Hatihati karena pengukuran tekanan darah dapt mengakibatkan cedera pada
otot
3) Jika tidak ada tekanan darah yang terekam gunakan denyut nadi femoral,
dengan perkiraan tekanan darah bila teraba denyut pada femoral antara
60-80 mmHg
4) Tentukan status cairan tubuh (pengukuran CVP bisa kurang dipercaya)
5) Penghitungan urin output dan balans cairan setiap jam
6) Tingkat kesadaran
7) Secara rutin jalur infus harus dicek
8) Cek cairan infus, syringe pump, atau jalur infus bila pasien tidak respons
atau semakin memburuk
2. Tindakan yang boleh dilakukan
a. Semua pemberian obat-obatan vasopresor dan inotropik harus menggunakan
syring pump.
b. Semua kecuali dobutamin harus diberikan via CVC.
c. Siapkan cairan infuse yang telah diencerkan sebelum cairan yang sedang berjalan
habis.
d. Jalur infuse dan syringe/infusion pump harus diberi label untuk menghindari
kesalahan.
e. Pastikan semua line dan konektor terpasang baik untuk menghindari adanya line
yang tercopot tidak sengaja (terutama pada saat transport).
3. Tindakan yang tidak boleh dilakukan
a. Tidak boleh melakukan bolus karena dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi
yang ekstrim dan dapat mengakibatkan perdarahan.
b. Menghentikan infus khususnya saat akan mengganti dengan sediaan yang baru
karena hal ini dapat mengakibat tekanan darah yang turun secara drastis.
c. Penggunaan PICC sebagai kateter terlalu panjang. Dapat digunakan untuk infus
dobutamin, namun tidak dapat digunakan untuk infuse yang lain.

Pemasangan arterial line


Batasan dan uraian umum
Tujuan

1. Meminimalisasi infeksi akibat pengambilan darah arteri yang berulang-ulang


2. Untuk mengevaluasi status oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam dan basa
3. Mencegah gangguan sirkulasi pada ekstremitas yang mendapat insersi jalur arterial
seperti hematoma, infeksi, nyeri, pendarahan spasme vena dan menurunnya
neurovaskuler selama di ICU
Prosedur:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pasien dijelaskan tentang tindakan medis yang akan dilakukan


Persiapkan alat-alat dan obat-obatan yang akan dipakai.
Dekatkan alat alat yang dibutuhkan
Hubungkan pressure monitoring kit dengan NaCl 0,9 % yang telah diberi heparin.
Sebelumnya pastikan semua koneksi luer lock pada monitoring kit terkoneksi baik.
Letakkan NaCl 0,9 % yang telah diberi heparin didalam pressure bag dan inflasikan
sampai 300 mmHg
7. Prime presure monitoring kit dengan larutan NaCl 0,9 % dan dari botol infus,
termasuk sample port juga diflush.
8. Pastikan three way tap untuk sample port dalam posisi off, dan tutup merah
ditempatnya.
9. Pertahankan sterilisasi ujung pressure monitoring kit dengan membiarkan tutup steril
tetap ditempatnya di ujung pressure monitoring kit.
10. Hubungkan kabel monitor ke pressure monitoring kit dan ke monitor bed side.
11. Nol kan pressure monitoring kit dengan tekanan atmosfir dengan jalan menekan
tombol zero (nol) pada monitor bed side.
12. Pada lapangan yang steril, siapkan insyte cannula 20G, syringe 5 ml 2 buah, basic
dressing pack, benang silk 2/0 dengan jarum cutting, fenestrated drape, jarum 23G
dan 19G, alkohol , povidion iodine, sarung tangan steril.
13. Siapkan juga diluar lapangan steril lidokain injeksi
14. Tentukan tempat pemasangan jalur arteri (dengan urutan arteri radialis, arteri
femoralis, atau arteri branchialis) dan konfirmasikan adanya sirkulasi kolateral yang
adekuat (Allen test). Posisikan ekstremitas yang akan dipunksi pada posisi yang baik
(dorsofleksi pergelangan tangan)

15. Preparasi tempat yang dipilih dengan tehnik a dan antisepsis.


16. Isi syringe dengan NaCl 0,9 % yang telah diberi heparin. Hubungkan stopcock dengan
syringe.
17. Beri anestesi lokal dengan lidocain bila perlu.
18. Punksi insyte cannula pada kulit dengan sudut 45 dengan aksis arteri. Bila perlu
punksi kulit terlebih dahulu dengan jarum 19G
19. Insyte cannula diteriskan sampai menembus arteri yang ditandai dengan adanya aliran
balik darah arterial pada jarum, pangkal jarum ditaham dan kanula untuk kontrol
perdarahan.
20. Cabut jarum, hubungkan stopcock pada syringe yang berisi NaCl 0.9% dan haparin
dengan ujung kanula. Aspirasi untuk memastikan adanya aliran darah yang baik.
Flush untuk mencegah terbentuknya bekuan. Tutup stopcock ke kanula.
21. Fiksasi, jahit dengan benang silk dan tutup dengan kassa steril. Dan povidon iodine
atau Opsite.
22. Hubungkan pressure monitoring kit dengan stopcock., pastikan koneksi dalam
keadaan baik. Flush dengan NaCl 0,9% dan Heparin dari pressure monitoring kit.
23. Dokumentasikan tindakan, catat tanggal dan waktu pemasangan pada status harian
pasien di ICU.
24. Catat komplikasi yang mungkin timbul (iskemi jari, perdarahan pada tempat punksi
dan jalur arteri, emboli arterial) pada status harian pasien di ICU.

Pemasangan Orofaringeal Tube

Batasan dan uraian umum


Orofaringeal tube adalah alat bantu jalan napas yang dipasang melalui mulut sampai ke
orofaring. Dipasang pada pasien sadar atau dengan penurunan kesadaran yang tidak mampu
menjaga jalan nafasnya , dengan tujuan untuk memudahkan evakuasi sputum.

Tujuan :
1. Untuk menjaga jalan nafas pasien adekuat dan terjaga dengan baik.
2. Untuk mengevakuasi sputum pada pasien tidak sadar

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :
1. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan terlebih dahulu sebelum melakukan pemasangan
pipa orofaring ke pasien.
2. Alat diukur dari mulai ujung daun telinga sampai ujung bibir.
3. Masukkan pipa orofaring ke mulut dengan lengkungan menghadap ke langit- langit.
4. Setelah masuk separuh panjangnya, alat diputar 180 hingga lengkungannya sekarang
berada menempel pada lengkungan lidah.
5. Pastikan setelah terpasang, udara pernafasan dapat lewat dengan bebas melalui pipa
orofaring

Pemasangan Kateter Vena Sentral


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pasien dengan indikasi pemasangan vena sentral yakni gangguan hemodinamik tidak stabil ,
pendarahan edema paru dan pasien dengan pemantauan dan monitoring cairan Dipasang oleh
dokter konsultan intensif atau dokter konsulen jaga Anestesiologi

Tujuan:
1. Mengukur tekanan vena central secara tidak langsung mengetahui kecukupan volume
intra vaskuler
2. Memudahkan pemberian obat obat intra vena terutama yang mengiritasi pembuluh
darah perifer
3. Pemberian nutrisi parenteral dan cairan osmolaritas tinggi
Prosedur
Alat-alat yang dibutuhkan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.

Set kateter vena sentral yang sesuai.


Set infus
Larutan antiseptik: povidon iodine dan alkohol.
Masker dengan baju panjang dan sarung tangan steril.
Handuk steril
Kain tutup steril
Kasa steril
Syringe 5 ml dan 3 ml.
Pisau bedah
Heparin
Lidokain injeksi
Benang silk 3-0
Set minor
Transparent dressing
Treeway
Clorhexidine 2 %
NaCL 0,9%
Medifix
Troly emergency
Manometer

u. Doek bolong
Persiapan pasien
a. Jelaskan pada pasien prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
b. Mempersiapkan pasien pertimbangkan pemasangan kateter vena sentral via vena
subklavia bila dijumpai status koagulasi sebagai berikut:
a)
Jumlah trombosit < 50.000/mm3
b)
Fibrinogen < 1,20 g/l
c)
PTT > 50 detik
d)
INR < 0.5
c. Bila dijumpai gangguan koagulasi pertimbangkan pemasangan kateter vena sentral
perifer (PICC) atau via vena femoralis.
d. Beri Posisi pasien Trendelenburg 15-25o dengan kepala berpaling 45o ke sisi
berlawanan.
Pelaksanaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

g.
h.

i.
j.

k.
l.
m.
n.

Cuci tangan
Pakai baju panjang steril dan sarung tangan steril.
Tempat punksi 1 cm di bawah pertengahan clavicula
Preparasi tempat punksi dan sekitarnya dengan povidone iodine dan alkohol.
Injeksikan anestesi lokal pada tempat punksi.
Sambungkan syringe dengan jarum punksi yang ada pada set kateter vena sentral.
Punksi dengan sudut 15o dari permukaan kulit ke arah atas hingga menyentuh
clavicula. Jarum diteruskan pelan di bawah clavicula ke arah takik suprasternal hingga
mencapai 3-5 cm dibawah kulit sambil membuat tekanan negative pada syringe. Vena
subklavia telah dicapai bila dijumpai adanya aliran balik darah pada syringe.
Bila aliran darah tidak berwarna merah segar dan tidak berdenyut sesuai denyut
jantung, guidewire dapat dimasukkan ke jarum. Pastikan sambungan antara jarum dan
unit dispenser guidewire dalam keadaan baik.
Masukkan guidewire sedalam 5-6 cm, cabut jarum punksi dengan tetap memegang
guidewire supaya posisi guidewire tidak berubah dan guidewire tidak terlepas masuk
mengikuti aliran darah. Kulit sekitar guidewire dapat dilebarkan dengan pisau bedah
(dengan hati-hati supaya tidak merusak guidewire).
Dilator dimasukkan melalui guidewire, diteruskan sampai mencapai vena.setelah itu
dicabut dilator.
Kateter vena sentral dimasukkan ke vena sentral melalui guidewire.Tanda pada kateter
vena sentral menunjukkan kedalaman vena sentral yang dimasukkan. Masukkan kateter
sedalam 10-15 cm pada jenis kateter yang dihubungkan dengan monitor EKG,
masukkan kateter sampai dijumpai adanya gelombang P pada monitor EKG.
Cabut guidewire dan periksa semua lumen kateter vena sentral untuk kemungkinan
obstruksi dengan larutan NaCl fisiologis.
Sayap fiksasi dipasang pada kateter vena sentral. Pastikan klip sayap terpasang baik
untuk minimalisasi keluarnya kateter vena sentral dari vena sentral.
Sayap fiksasi dijahit pada kulit
Bersihkan tempat fungsi dan ditutup dengan transparent dressing Hasil pemeriksaan
foto thoraks pasca pemasangan kateter vena sentral diusahakan sesegera mungkin
didapat.

o. Monitor tanda vital pasien pasca pemasangan kateter vena sentral dengan trolley
resusitasi tersedia dekat pasien.
p. Catat waktu, tempat pemasangan dan komplikasi yang dijumpai pada pemasangan
kateter vena sentral pada status harian pasien di ICU.

Pemakaian jalur kateter vena sentral


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Kateter vena sentral dengan lumen multipel memiliki beberapa jalur kateter vena sentral yang
harus dipakai sesuai indikasi.
Tujuan
1.

Mengukur tekanan vena central secara tidak langsung mengetahui kecukupan volume
intra vaskuler

2.

Memudahkan pemberian obat obat intra vena terutama yang mengiritasi pembuluh
darah perifer

3.

Pemberian nutrisi parenteral dan cairan osmolaritas tinggi

Kebijakan
Pasien dengan indikasi pemasangan vena sentral yakni gangguan hemodinamik tidak stabil ,
pendarahan edema paru dan pasien dengan pemantauan dan monitoring cairan

Prosedur
Penggunaan kateter vena sentral sebagai berikut:
Jalur proksimal:
Pengambilan contoh darah
Jalur pemberian obat
Transfusi darah
Jalur medial:
Nutrisi parenteral total
Jalur pemberian obat (hanya bila tidak dibutuhkan untuk nutrisi parenteral total)
Jalur distal:
Monitor tekanan vena sentral
Transfusi darah
Pemberian cairan dengan volume besar atau viskositas tinggi
Pemberian koloid

Jalur pemberian obat

Pencabutan Kateter Vena Sentral


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Kateter vena sentral dicabut bila tidak dibutuhkan lagi atau bila ada tanda-tanda infeksi
sistemik dilakukan oleh dokter dan perawat yang terlatih.

Tujuan
Minimalisasi resiko infeksi pasca pencabutan kateter vena sentral

Persiapan Alat :
Alat-alat yang dibutuhkan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Kasa steril
Povidon iodine
Sarung tangan steril.
Pinset dan gunting steril
Plester
Bila ujung kateter akan dikultur siapkan peralatan kultur .

Prosedur:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien bila pasien bila mungkin
Posisi pasien supine atau trandelenberg
Klem jalur infus yang ada
Preparasi kulit dengan larutan povidon iodine
Cuci tangan dan pakai sarung tangan steril.
Lepaskan jahitan yang menahan kateter vena vena sentral
Tarik kateter dengan sudut 90 derajat terhadap kulit. Selama penarikan kateter, pasien
diminta menarik nafas atau valsava manuver.
8. Segera tutup dengan kasa steril dan beri tekanan pada kulit tempat insersi
9. Plester oklusif sambil pasien masih menahan nafas
10. Pasien bernafas normal kembali dan reposisi pasien.

Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD)


Batasan dan uraian umum
Pengertian
WSD merupakan pipa yang menghubungkan rongga pleura ke udara luar pada pasien yang
mengalami gangguan pernafasan atau fungsi paru seperti hidrothoraks, hemothoraks,
pneumothoraks, tension pneumothoraks dilakukan oleh dokter spesialisasi bedah thoraks
kardiovaskuler/asisten bedah thoraks.

Tujuan
1. Mengurangi cairan, udara atau darah di dalam rongga pleura yang berlebih.
2. Mengembalikan pengembangan fungsi paru kembali normal.
Prosedur
1. Peralatan:
a. Masker dan kaca mata
b. Sterile gloves and clean gloves
c. Hypafix
d. Botol 1, botol 2 botol 3 atau botol 4
e. Satu set drain dada
f. Cairan sublimat, air steril atau normal saline
g. Kassa
i. clorhexidin spray
j. mesin penghisap
k. lampu
l. Set WSD berisi : duk bolong, bisturi, scapel no. 10/11, neddle holder, retraktor
kecil, klem mosquito,
klem kelly bengkok besar, gunting jaringan, gunting

benang, forsep jaringan dengan dan tanpa gigi, benang silkam 2.0/3.0 cutting,
plester dan gunting plester)
2. Persiapan Pasien
a. Beri penjelasan pada pasien tentang tindakan yang akan dilakukan, pastikan
pasien memahami tindakan yang akan dilakukan
b. Lakukan assessment pasien seperti mengobservasi tanda- tanda vital ( TD, RR,
HR,SO2, foto thorak AGD )
c. Berikan sedasi atau analgetik jika diperlukan
3. Penatalaksanaan
a. Cuci tangan dan pakai alat perlindungan diri
b. Buka alat steril
c. Letakkan atau pasang tabung dan tube sesuai atau disamping pasien
d. Buka tutup tabung atau konektor dari pipa atau tube yang sudah disediakan
dengan menggunakan spuit 50 cc dan tambahkan air steril atau Ns atau cairan
Sublimat kira-kira ketingkat 2 cm
e. Mengamankan sistem pompa drain tetap berdiri dengan menggunakan tali
gantungan di samping tempat tidur pasien
f. Sambungkan tube pasien yang sudah di insisi thorakal sampai ke rongga pleura ke
botol atau tabung yang sudah diisi cairan sublimat dan kemudian di gantung di
samping tempat tidur pasien
4. Monitor dasar dan perawatan untuk pasien :
a. Lihat kondisi pasien dan tanda2 vital tiap 1 jam
b. Lihat dan ukur produksi drain dari dada.
c. Ganti balut tiap hari dan lakukan fiksasi yang kuat dan tertutup pada daerah luka.

Pencabutan Selang WSD


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pencabutan drain dada (chest tube) yang terpasang pada intra pleura ataupun intra
mediastinum yang dilakukan bila produksi drain telah minimal, tidak ditemukan adanya
pneumothorax ataupun effusi pleura dan dilakukan oleh dokter bedah thorak
kardiovaskuler/asisten.

Persiapan Alat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sarung tangan steril


Kassa steril
Bethadine salep dan cair
Kidney dish
Klem
Bisturi
Plester
Gunting plester

Prosedur
1. Mencuci tangan
2. Perhatikan kondisi klien terutama pada produksi drain dan hasil foto rontgen thoraks
3. Beritahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
4. Menyiapkan alat alat
5. Pastikan slang WSD sudah terklem dengan baik
6. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan nafas panjang pada saat akan darin akan dicabut
7. Membuka balutan
8. Operator menggunakan sarung tangan steril
9. Lakukan desinfeksi daerah luka dan sekitarnya dengan larutan desinfektan
10. Buka benang jahitan pada drain dengan bisturi / gunting steril
11. Anjurkan pasien untuk melakukan tarik nafas dalam

12. Cabut drain pada saat akhir inspirasi bersamaan dengan melakukan fiksasi kulit pada
daerah bekas drain. Bila pasien terventilasi, drain dicabut pada awal tekanan positif
ventilator
13. Tutup luka dengan kassa dan betadine salep lalu di plester
14. Rapikan kembali alat alat
15. Cuci tangan
16. Siapkan untuk dilakukan foto thoraks untuk melihat kondisi rongga dada setelah
pencabutan drain WSD
17. Dokumentasikan pada lembar observasi harian

Penerimaan pasien baru di ICU


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pasien baru di ICU adalah pasien yang baru diterima masuk ke ICU yang akan mendapat
penatalaksanaan intensif oleh staf ICU selama masa perawatan di ICU.
Tujuan
Pemanfaatan tempat tidur yang optimal di ICU
Pasien baru di ICU mendapat penatalaksanaan intensif yang tepat dan benar

Kebijakan
Semua pasien yang akan masuk ICU harus mendapat persetujuan oleh konsultan ICU

yang bertugas pada hari tersebut:


Tindakan resusitasi di ICU ataupun penerimaan pasien kritis di ICU tidak boleh terlambat
dilakukan (misalnya pasien dengan syok atau hipoksia) kecuali bila ada ketentuan lain
yang tertulis
Masuknya pasien baru di ICU baru sesegera mungkin didiskusikan oleh residen ICU
dengan konsultan yang bertugas

Pasien yang diterima masuk ke ICU adalah pasien dengan gagal sistem organ vital

yang aktual atau potensial yang di harapkan bersifat reversible dengan perawatan
ICU
Pasien pasca bedah elektif yang membutuhkan perawatan ICU pasca bedah harus
mengkonfirmasi ketersediaan tempat di ICU pasca bedah sehari sebelum dan pada
hari pembedahan dilakukan
Penolakan pasien masuk ICU harus dilaporkan dan disetujui oleh konsultan ICU yang
bertugas pada hari tersebut

Prosedur
Dilakukan serah terima yang baik dengan dokter yang merujuk untuk perawatan di

ICU, usahakan mendapatkan informasi yang penting selengkap mungkin


Survei primer:

Pastikan jalan nafas dan pernafasan adekuat dan berikan pada pasien oksigen dengan
fraksi tertinggi (100%) sampai pemeriksaan analisa gas darah selesai dilakukan
Periksa sirkulasi dan akses vena

Survei sekunder: pemeriksaan pasien secara menyeluruh


Monitor dasar yang sesuai untuk pasien: Saturasi oksigen, EKG, arterial line, kateter

vena sentral
Instruksi penting yang harus ditulis distatus pasien:
Pola ventilasi
Sedasi/analgesia
Obat-obatan, infus
Cairan
Lakukan pemeriksaan dasar:
Darah rutin, kimia darah, kalau perlu profil koagulasi
Pemeriksaan mikrobiologi kalau perlu
Analisa gas darah
Foto toraks (setelah terpasangnya jalur kateter vena sentral atau arteri pulmonalis)
EKG
Jelaskan rencana penatalaksanaan pasien pada staf perawat
Informasikan pada konsultan harian ICU yang bertugas
Pemeriksaan tambahan lain kalau diperlukan
Monitor tambahan bisa dilakukan bila ada indikasi (kateter arteri pulmonalis, tekanan

intrakranial dan sebagainya)


Semua hasil pemeriksaan dan instruksi harus ditulis di status harian pasien di ICU

Pemasangan dan monitoring saturasi oksigen vena


jugular

Batasan dan uraian umum


Pengertian
Kateter saturasi oksigen vena jugular (SjvO2) digunakan untuk mengukur dan memantau
secara kontinyu saturasi oksigen dari hemoglobin dalam darah setelah perfusi Cerebral. Data
ini dapat menentukan pemakaian oksigen serebral, kebutuhan metabolik serebral, dan
kecukupan oksigen serebral yang didapat.
Monitoring saturasi oksigen vena juguler dilakukan pada Pasien yang mengalami gangguan
keseimbangan perfusi serebral atau gangguan oksigenasi serebral. Kateter vena sentral
dipasang pada vena jugolaris ekterna oleh dokter konsulen intensif

Sebelum dilakukan tindakan, pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan,
pastikan pasien memahami tindakan yang akan dilakukandan berikan sedasi atau analgetik
jika diperlukan
1. Prosedur
Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Posisikan kepala supine dengan posisi leher netral dan tinggikan kepla tempat tidur
30-45 derajat
3. Palingkan kepala pasien kearah yang jauh dari daerah yang akan diinsersi
4. Pastikan pemasang menggunakan APD ( googles, masker, dan sarung tangan
nonsteril)

5. Siapkan daerah insersi dengan cairan antiseptic


6. Pasang duk bolong
7. Siapkan USG untuk digunakan pemasang
8. Lakukan tindakan asistensi saat pemasangan (memasukkan anestesi local,
memasukkan kateter)
9. Aspirasi lumen, flush lumen dengan heparin,
10. Monitoring pasien saat pemasangan
11. Fiksasi
12. Lakukan dressing
13. Lakukan pengambilan sample SjVO2
14. Buang sampah ke dalam container yang telah disediakan
15. Cuci tangan
16. Dokumentasikan tindakan
2. PROSEDUR PENCABUTAN CATETER SpO2
Langkah-langkah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Siapkan APD, alat steril untuk pencabutan (sarung tangan steril, kassa steril)
Cuci tangan
Sediakan kassa steril yang sudah diberi cairan antiseptic
Cabut cateter, anjurkan pasien napas dalam jika pasien sadar
Lakukan dressing
Bereskan alat
Buang sampah ke dalam container yang telah disediakan
Cuci tangan
Dokumentasikan tindakan

3. MONITORING DAN PERAWATAN


Langkah-langkah :
1. Monitor tanda vital, pulse oksimetri, kesadaran sebelum dan sesudah pencabutan
2. Kaji adanya perdarahan 15 menit setelah pencabutan, dan tiap 15 menit untuk
selanjutnya jika terjadi perdarahan
3. Kaji integritas kateter
4. Observasi daerah pemasangan kateter terhadap tanda-tanda infeksi.
5. Lepaskan dressing dan kaji 24 jam setelah pencabutan

Prosedur konsultasi dan kriteria pasien masuk ICU


Pengertian
Kriteria pasien masuk ICU adalah persyaratan keadaan tertentu pada pasien yang diharapkan
akan memperoleh manfaat besar bila dirawat di ICU.

Tujuan
Pemanfaatan pelayanan ICU secara tepat dan benar.

Kebijakan
Indikasi masuk ICU adalah pasien dengan kondisi kritis mengancam nyawa yang

potensial dapat pulih atau dapat disembuhkan


Pasien tidak dalam kondisi terlalu baik
Prioritas 1:
pasien kritis tidak stabil, memerlukan terapi intensif, seperti bantuan ventilasi, infus

obat obat vasoaktif kontinyu


Prioritas 2:
pasien memerlukan pemantauan ketat fungsi vital karena kondisinya sewaktu waktu

dapat berubah buruk dan memerlukan terapi segera dan/atau terapi intensif
Prioritas 3:
pasien dengan penyakit primer berat atau terminal mengalami komplikasi penyakit

akut, kritikal yang memerlukan pertolongan untuk penyakit akutnya.Usaha terapi


tidak sampai intubasi dan tidak RJP
Pasien tidak dalam keadaan terlalu buruk atau tidak dalam kondisi terminal suatu
penyakit atau end state disease
Kepala ICU berwenang memutuskan masuk/tidaknya pasien untuk kasus kasus
khusus atau perkecualian yang kurang atau tidak memenuhi kriteria, seperti:
Brain death , kecuali dipersiapkan untuk donor organ
Untuk perawatan yang nyaman tetapi pasien menolak life support

Vegetatif permanent

Prosedur
ICU dewasa menerima pasien dari unit-unit dalam rumah sakit dari semua disiplin, maupun
dari rumah sakit luar:
Dokter primer pemilik pasien mengajukan permintaan rawat ICU secara tertulis,

walaupun dapat dilakukan secara lisan lebih dulu


Untuk pasien rujukan dari rumah sakit luar, dokter pengirim menyampaikan
kronologis kondisi pasien dan hasil laboratorium dan alasan merujuk pasien. Untuk
ini dokter ICU segera melakukan konsultasi dengan kepala ICU atau staf medis
tetap dan staf nurse tentang kemungkinan rawat ICU
Transportasi pasien dari rumah sakit luar merupakan tanggung jawab rumah sakit
yang merujuk/mengirim pasien
Untuk konsultasi dari unit perawatan dokter ICU sesegera mungkin datang untuk
melakukan penilaian pasien
Dokter konsulen ICU memutuskan pasien masuk atau tidak, memberikan jawaban
secara tertulis
Pasien indikasi masuk ICU berdasarkan prioritas (lihat atas)
Pasien atau keluarga harus menandatangani setuju rawat ICU dan memenuhi
peraturan peraturan yang berlaku di ICU
Pasien selama dalam transportasi pindah ke ICU harus diawasi oleh dokter ICU sesuai
standar transportasi pasien kritikal
Dilakukan serah terima pasien antara petugas unit rawat dengan perawat dengan/tanpa
bersama dokter ICU
Dokter ICU melakukan penatalaksaan pasien sesuai standar penerimaan pasien baru
ICU
Pada pasien pasca bedah berencana yang akan dimasukkan ICU, bila keadaan pasien
memungkinkan pasien dan keluarga orientasi ke ICU menjelang hari operasi.

Pengendalian Gula Darah


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pengendalian gula darah diberikan pada pasien yang mempunyai kadar gula darah tidak stabil
seperti penyakit DM yang memerlukan pemantauan ketat yang memiliki ketidakseimbangan
metabolik.

Tujuan:
1. Tercapainya kontrol gula darah pada pasien sakit kritis.
2. Membantu mengendalikan respon inflamasi.

Pencegahan Trombosis Vena


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pasien yang berisiko akan terjadi thrombosis vena dilakukan oleh dokter dan perawat yang
sudah tersertifikasi.

Tujuan:
1. Menilai risiko terjadinya thrombosis vena dalam pada pasien di unit perawatan intensif.
2. Mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada pasien sakit kritis.

Prosedur umum penggunaan ventilator


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Tata cara penggunaan ventilator secara umum, untuk single mode dasar volume atau pressure
mode
Tujuan
Upaya menggunakan ventilator secara benar
Membantu upaya pemeliharaan alat ICU yang mahal, mencegah kerusakan dini,

karena pemakaian tidak benar

Kebijakan

Gunakan ventilator yang paling familiar


Pelajari dulu dengan baik bila akan menggunakan ventilator yang belum familiar
Konsultasi kepada yang lebih tahu bila mendapat kesulitan
Untuk ventilator-mode lanjut konsultasi pada yang sudah tahu

Prosedur
Tempatkan ventilator di tempat dengan space cukup luas, disamping tempat tidur

pasien
Sebelum dihubungkan ke pasien persiapkan dulu ventilator dengan cermat dan test
ventilator lebih dulu pada test-lung Persiapkan ventilator:
Set up ventilator sesuai spesifikasi ventilator yang akan dipakai
Jalur (corrugated) inspirasi, alat humidifikasi dan pemanas, Y connector, test-lung,
jalur ekspirasi

Perhatikan apakah ada selang-selang diameter kecil untuk nebulizer, untuk flow-

sensor dan lain lain hubungkan ke tempat yang benar. Yakinkan hubungan tidak
bocor
Hubungkan selang ke sumber oksigen
Hubungkan selang ke udara tekan (compressed air) (beberapa ventilator memiliki
portable compressor)
Posisi ventilator dalam switch off
Periksa kabel listrik ke sumber listrik dan pastikan tegangan listrik yang sesuai.
Hubungkan ke sumber listrik
Nyalakan main switch on
Nyalakan ventilator dan atur sedemikian rupa sehingga parameter ventilator atau layar
monitor mudah dan jelas terlihat (pada ventilator dengan layar monitor digital)
Pilih mode of ventilation: controlled. Pilih single mode: volume atau pressure
Tentukan volume tidal atau minute volume bila menggunakan mode volume dan
tentukan level/tinggi pressure (cmH2O) bila menggunakan mode pressure
Tentukan RR (respiration rate)
Tentukan Inpiratory: Expiratory (I:E) ratio
Tentukan fraksi oksigen inspirasi (FiO2)
Jalankan mesin ventilator
Perhatikan gerakan pada tes-lung (kembang/kempis)
Periksa apakah humidifikasi berfungsi baik, hangat dan beruap air.
Atur dan periksa alarm untuk:

Alarm pressure bila menggunakan mode volume


Alarm volume bila menggunakan mode pressure
Alarm untuk obstruksi dan kebocoran
Alarm high dan low pressure
Alarm untuk FiO2
Alarm untuk apnea

Pertimbangkan pengunaan mode tambahan bilamana perlu seperti PEEP (positive end

expiratory pressure)
Hubungkan ventilator dengan pasien

Penyapihan Ventilator
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Dilakukan pada pasien ICU yang menggunakan bantuan nafas dengan ventilator untuk
proses penyapihan dan di kerjakan oleh dokter / perawat yang kompeten.

Proses penyapihan dari ventilator perlu dikomunikasikan dengan pasien, dan dilakukan bila
hemodinamik pasien stabil.

Pelaksanaan
Metode Weaning IMV dan SIMV
1. Turunkan bantuan IMV atau SIMV secara bertahap dan progresif
2. Kaji tanda tanda vital, gejala kelelahan, pertukaran gas yang inadekuat, dan
kegagalan pola napas pada setiap pemberian support IMV/SIMV
Metode Weaning Pressure Support
1. Mulai dengan pemberian support maksimum dan turunkan bantuan support secara
perlahan sesuai dengan protokol atau indikasi pasien secara klinis

2. Monitor respon pasien pada saat weaning. Kembalikan pasien pada pola napas
support ventilator secara penuh jika pasien menunjukan gejala intoleransi atau jika
waktu yang ditentukan untuk percobaan telah tercapai.
3. Ketika tujuan tercapai untuk weaning pressure support/PSV, rencana ekstubasi dapat
dipertimbangkan dengan seluruh tim.
Metode Weaning CPAP
1. Setting modus ventilator dengan CPAP. Anjurkan pasien untuk bernapas secara
normal. Monitor tanda dan gejala adanya intoleransi terhadap percobaan CPAP.
2. Setelah tercapainya interval waktu yang ditentukan untuk percobaan CPAP atau jika
ditemukan adanya gejala intoleransi pada saat weaning, kembalikan pasien kepada
modus yang sesuai untuk istirahat.
3. Beritahukan dokter, perawat ahli dan tim tentang hasil percobaan tindakan. Jika
hasilnya sesuai dengan protocol dan tujuan tercapai bisa dipertimbangkan untuk
ekstubasi.
Metode Weaning T-Piece
1. Cuci tangan, gunakan sarung tangan.
2. Sambungkan T-piece ke pasien dengan humidifier yang berfungsi sebagai aerosol
hangat . Instruksikan pasien untuk bernapas secara normal, monitor frekuensi, pola
napas, heart rate, gambaran ritme jantung, SaO2, dan penampilan umum pasien.
3. Setelah tercapainya interval waktu yang ditentukan untuk dicoba T-piece atau jika
ditemukan adanya tanda kegawatan yang menunjukan adanya intoleransi terhadap
proses weaning, kembalikan pasien pada ventilasi mekanis.
4. Jika pasien menunjukan keberhasilan dalam penggunaan T-piece pertimbangkan
ekstubasi.
Monitoring pasien :
1. Evaluasi stabilitas pasien secara keseluruhan (fisiologis, psikologis, dan mekanik)
2. Selama proses weaning, beri perhatian terhadap tanda dan gejala intoleransi dan
kelelahan otot pernafasan.jika hal ini terjadi, kembalikan ke pola ventilasi
sebelumnya.
Tanda intoleransi weaning :

Takipnea, dispnea, ketidaksesuaian pengembangan dada dan abdominal


Agitasi
Perubahan status mental
Penurunan SaO2 yang signifikan (SaO2 kurang dari 90% atau penurunan 10%)
Perubahan pada denyut dan ritme nadi
Penurunan atau peningkatan tekanan darah

Informed consent
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Informed consent adalah tindakan pemberian informasi kepada keluarga pasien yang
mencakup kondisi pasien, tindakan medis yang akan dilakukan.

Tujuan :
1. Memberikan informasi mengenai kondisi pasien, tindakan medis yang akan dilakukan.
2. Memberikan kejelasan hak pasien atas informasi sebelum tindakan medik dilakukan dan
meminta persetujuan tentang tindakan yang akan dilakukan pada pasien
3. Tertib administrasi.

Kebijakan :
1. DPJP ICU atau yang mewakili memberikan informasi tentang persetujuan tindakan
medik kepada keluarga pasien/orang yang bertanggung jawab terhadap pasien dan
perawat sebagai saksi
2. Dokter memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarganya bahwa dokter adalah orang
yang akan melakukan tindakan medik sesuai indikasi yang akan dilakukan .

3. Dokter tersebut memberitahu kepada pasien yang didampingi oleh 2 (dua) saksi yaitu
keluarga dan petugas kesehatan, sebelum pasien memberikan persetujuan informed
concent.
4. Informasi yang harus disampaikan oleh dokter adalah:
a. Alasan mengapa/ tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik harus dilakukan.
b. Tata cara tindakan yang akan dilakukan.
c. Akibat jika dilakukan tindakan
d. Risiko dan komplikasi yang kemungkinan dapat terjadi.
e. Penyulit yang mungkin terjadi sebelum tindakan dilakukan atau pada saat operasi
maupun segala akibat pasca tindakan.
f. Prognosis penyakit jika tindakan medis dilakukan
g. Diagnosis
5. Beri kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya atau mendapat penjelasan ulang
dari dokter.
6. Jika pasien atau keluarga telah mengerti atas penjelasan dokter, maka dapat ditindak
lanjuti dengan meminta persetujuan untuk menandatangani lembar persetujuan Tindakan
Medik.
7. Jika pasien atau keluarga belum mengerti, maka dokter harus memberikan penjelasan
ulang sampai pasien atau keluarga mengerti.
8. Pasien atau keluarga memberikan persetujuan tertulis dengan mengisi dan
menandatangani formulir persetujuan tindakan medik.
9. Saksi harus ikut menandatangani formulir persetujuan tindakan medik, saksi terdiri dari
2 (dua) orang, diantara salah satu saksi adalah Perawat.
10. Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan formulir persetujuan tindakan medik
sebagai bukti bahwa telah diberikan informasi dan penjelasan secukupnya.
11. Untuk kasus emergency maupun non emergency formulir persetujuan tindakan medik
harus sudah diiisi dan ditanda tangani sebelum tindakan medik dilakukan.
12. Formulir yang sudah diiisi dan ditandatangani diterima oleh perawat ruang rawat inap
dan disimpan dalam berkas rekam medik pasien

Memindahkan pasien ke rumah sakit lain


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Adalah pasien yang dikirim ke ICU rumah sakit lain karena permintaan pasien atau keluarga.
Tujuan
Memindahkan pasien ke ICU rumah sakit lain secara tepat, cepat, cermat dan aman

Kebijakan
Memindahkan pasien ICU untuk alih rawat rumah sakit dilakukan dengan kerja sama

tim yang baik sesuai standar


Dokter atau perawat dari rumah sakit pengirim tidak diharuskan mengantar ke rumah

sakit tujuan
Pemindahan dapat dilakukan oleh pemberi jasa profesional dalam evakuasi pasien
atau oleh petugas dari rumah sakit tujuan

Prosedur
25. Pasien yang akan pindah rawat harus dalam keadaan stabil dalam batas normal
26. Keluarga dianjurkan untuk memilih/mencari rumah sakit tujuan
27. Dokter atau perawat harus mengkonfirmasi kepastian ada tempat di rumah sakit
tujuan

28. Apabila pasien tidak dijemput oleh petugas dari rumah sakit tujuan,
perawat
membantu mencarikan ambulans beserta tenaga paramedik
terampil atau
mencarikan pemberi jasa evakuasi pasien yang profesional
29. Resume pasien yang sudah diisi oleh dokter, harus disertakan
30. Lakukan serah terima dengan petugas evakuasi pasien
31. Pengelolaan selama transportasi dilakukan sesuai standar transportasi pasien kritikal

Menerima rujukan pasien dari rumah sakit luar


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Menerima pemindahan pasien dari ICU rumah sakit diluar RSCM untuk mendapatkan
pelayanan ICU RSCM
Tujuan
Memberikan pelayanan ICU sesuai kondisi medik dan kondisi sosial pasien
Membina kerja sama antar rumah sakit guna peningkatan pelayanan pasien
Menjaga citra rumah sakit

Kebijakan
Penerimaan pasien rujukan dari rumah sakit luar dilakukan sesuai prosedur
Dokter primer (pemilik) pasien ditentukan sesuai diagnosis utama/primer

Prosedur

Dokter ICU rumah sakit yang merujuk, yang merawat pasien harus lebih dulu

memberitahu kepada dokter ICU RSCM tentang alasan merujuk pasien ke ICU
RSCM secara lisan dan tertulis
Resume tertulis tentang diagnosis penyakit primer, keadaan pasien secara kronologis
dan obat obatan yang diberikan harus disertakan dan menjadi bagian rekam medik
pasien
Pasien harus bersedia secara tertulis memenuhi peraturan-peraturan yang berlaku di
ICU RSCM dan
Bila dokter ICU RSCM setuju pemindahan dan persyaratan administratif telah
dipenuhi, maka pasien dapat ditransfer ke ICU RSCM
Transportasi pasien menjadi tanggung jawab yang merujuk pasien
Sesampai pasien di ICU, setelah serah terima penatalaksanaan ICU dilakukan sesuai
prosedur penerimaan pasien baru
Konsultasi kepada disiplin sesuai dengan diagnosis penyakit primer, guna
memudahkan pemindahan pasien ke ruang rawat

Prosedur pengisian rekam medis ICU


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Adalah tata cara mengisi rekam medis di ICU
Tujuan
Ada rekam dokumen tentang kondisi dan pengelolaan pasien selama di ICU
Dokumen diisi dengan baik dan benar dan dapat merupakan bagian dari rekam medis

rumah sakit

Kebijakan
ICU memiliki lembar khusus catatan medik dan catatan asuhan keperawatan (daily

chart)
Di rekam medis rumah sakit diisi resume perkembangan kondisi pasien selama di ICU

Prosedur
Lembar khusus catatan medis diisi oleh dokter ICU yang berwenang dan catatan

asuhan keperawatan oleh perawat yang berwenang

Catatan berisi riwayat penyakit, penyakit kronik yang sebelumnya sudah ada

(preexisting) pada waktu masuk ICU, kondisi klinik pasien tiap hari
Parameter fisiologis yang dimonitor dan dicatat: fungsi sistem susunan saraf pusat,

kardiovaskular, pernafasan, metabolik, renal, pencernaan, balans cairan


Interval pemantauan bergantung berat-ringan kondisi pasien, minimal satu kali tiap

jam
Catatan berisi hasil pemeriksaan laboratorium, dan data diagnostik lain
Resume dibuat saat pasien masuk ,secara berkala sesuai perkembangan penting
kondisi pasien yang terjadi, dan saat pasien keluar dari ICU
Resume ditulis dalam lembar khusus resume dan salinannya disimpan dalam rekam
medis
Resume berisi indikasi masuk, diagnosis, permasalahan medis penting, kondisi klinik
selama dirawat, apa yang dilakukan di ICU
Rekaman parameter fisiologis untuk analisis prognosis (prognostic score) dicatat
dalam lembar khusus yang lain
Daily chart disimpan di ICU
Resume disimpan di ICU sebagai arsip
Salinan resume disertakan dalam rekam medis rumah sakit
Resume pasien saat pasien keluar diserah-terimakan kepada dokter yang menerima

Transportasi pasien kritikal


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Transportasi pasien kritikal adalah pemindahan pasien dalam keadaan kritis dari ruang rawat, kamar
bedah, ruang UGD ke ICU atau dari ICU ke ICU lain atau dari ICU ke ruang rawat

Tujuan
Agar pasien terjamin (aman) selama transpotasi

Kebijakan
Transportasi dilakukan oleh personil yang terlatih
Selama transportasi dimonitor secara memadai
Alat dan obat emergency tersedia selama transportasi disesuaikan kondisi pasien dan

jarak/lama transportasi

Prosedur

Komunikasi dengan petugas tempat tujuan pasien tentang identitas, diagnosis, dan

kondisi pasien
Personil yang mengatar pasien minimal 2 orang dan harus terlatih, dokter, perawat

dan/atau petugas ambulans


Familiar dengan kondisi alat transportasi
Ada alat dan prosedur komunikasi yang aman dalam keadaan emergency
Tersedia alat pelindung personil, pemadam api/kebakaran
Jenis pasien:
Potensial mengalami perburukan
Kebutuhan untuk monitoring fisiologis dan intervensi akut
Kelanjutan terapi yang telah dilakukan selama transportasi

Alat alat untuk respirasi:


Monitor RR (respiration rate)
Monitor Et (End-tidal) CO2 (optional)
Kit intubasi (laringoskop, pipa endotrakeal)
Pipa orofaring, nasofaring
Resuscitator bag
Oksigen
Sungkup oksigen
Alat suction dengan perlengkapan
Ventilator portable (optional)
Alat drainage pleural (optional)
Laryngeal mask, combi-tube (optional)
Alat alat untuk sirkulasi:
Monitor tekanan darah
Pulse-oksimeter (SpO2)
Monitor EKG, heart rate (HR)
Defibrilator
External pacemaker (optional)
Alat untuk memberikan infuse intravena
Syringe/infusion pump (salah satu)
Alat alat lain:
Kateter urine dan bag (+ pengukur)
Pipa nasogastrik dan bag (+pengukur)
Alat bedah minor
Cervical collars, alat immobilisasi spinal
Obat obatan:
untuk penanggulangan nyeri, anafilaksis, aritmia jantung, cardiac arrest, edema paru,

hipotensi, spasme bronkus, depresi pernafasan, hipoglikemia, hiperglikemia. Obatobatan tersebut: aminofilin, (adenosine), atropine, (bretilium), Ca-chloride,
dexamethason, dextrose, dextrostick, digoxin, diphenhydramine, dobutamine,
dopamine, epinephrine, norepinephrine, furosemide, heparin, isoproterenol,
lidocaine, manitol, naloxone, NTG IV, NTG tablet, nitroprusside, (n)saline,
phenytoine, KCl, propranolol, Na bicarbonate, sterile water, verapamil, narcotics,
sedatives, neuromuscular blockers.
Persiapan pasien sebelum transportasi
Sedapat mungkin kondisi stabil, kecuali pasien memerlukan intervensi segera di rumah
sakit tujuan
Jalan nafas pasien harus aman, sendiri atau dengan intubasi dan bantuan ventilasi
manual/mekanik
Pasien sudah harus ada akses vena
Pasien harus dalam keadaan keamanan terjamin di stretcher dan terpasang monitor

Selama tranportasi terapi, monitoring dan dokumentasi harus terus dilakukan


Serah terima tentang kondisi pasien, terapi yang telah dan sedang dilakukan dokumen

resume rekam medik diserah terimakan pada petugas ditempat tujuan

Pulang Paksa
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Permintaan pulang paksa yang diajukan oleh keluarga pasien dengan alasan ketidakmampuan
biaya perawatan atau alasan lain dan tim ICU menfasilitasi hal tersebut

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :
1. Keluarga menyatakan ketidaksanggupan untuk melanjutkan perawatan dan pengobatan di
ICUdan meminta pulang paksa atas dasar ketidakmampuan biaya maupun alasan lain.
2. Tim ICU(dokter dan perawat ICU) mengadakan pertemuan dengan keluarga untuk
memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi pasien dan resiko yang akan
terjadi bila pasien pulang paksa.

3. Setelah keputusan pulang paksa diambil, keluarga mengisi format pulang paksa dan
ditandatangani oleh keluarga, dokter, dan saksi di atas meterai.
4. Dokter ICU menghubungi pihak komite medik untuk menginformasikan pasien yang
akan pulang paksa.
5. Pihak keluarga berkewajiban menyelesaikan dan melunasi administrasi serta menyiapkan
alat transportasi yang akan digunakan untuk membawa pasien pulang.
6. Tim ICU melepaskan semua alat invasif kecuali ETT
7. Tim ICU mengantar pasien dengan menggunakan brancard ke ambulance sambil
melakukan resusitasi manual pernafasan (bagging)
8. Tim ICU melakukan serah terima dengan keluarga dan mengempiskan cuff ETT serta
memberikan penjelasan cara melepaskan ETT
9. Keluarga melepas ETT dengan disaksikan oleh tim ICU
10. Pasien dibawa pulang oleh keluarga

Penilaian derajat nyeri pasien dewasa


Definisi:
Penilaian derajat nyeri pada pasien dewasa adalah metode penilaian nyeri yang dilakukan
pada pasien dewasa.
Tujuan :
Penilaian ini bertujuan untuk menilai derajat nyeri pasien secara tepat dan mencatatkan di
status nyeri dengan menggunakan metode kombinasi Numerical Rating Scale dan FACES
Scale. Hasil penilaian akan menjadi dasar untuk memberikan tatalaksana yang tepat
disesuaikan dengan derajat / intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien
Ruang lingkup:
Penilaian derajat nyeri pada pasien dewasa diberlakukan pada setiap pasien di RSUPN CM,
baik pasien rawat jalan, maupun pasien rawat inap.

Prosedur:
Metode penilaian derajat nyeri yang digunakan adalah metode kombinasi Numerical Rating
Scale dan FACES Scale. Penilaian nyeri dimulai dengan menanyakan apakah pasien
merasakan nyeri atau tidak.Jika pasien merasakan nyeri, minta pasien untuk menentukan
lokasi nyeri dan menandai lokasi nyeri pada dokumen status penilaian derajat nyeri
pasien.Kemudian pasien diminta untuk menilai derajat nyeri sesuai yang dirasakan
pasien.Meminta pasien menentukan derajat nyerinya dalam bentuk angka 0 -10 (Numerical
Rating Scale), di mana 0 adalah tidak nyeri dan 10 adalah nyeri teramat sangat yang tidak
tertahankan. Atau meminta pasien memilih dari gambar yang ada, gambar yang
menggambarkan derajat nyeri yang dirasakannya (Faces Scale / Skala Nyeri Berdasarkan
Ekspresi Wajah).

Numerical Rating Scale dan Faces scale

Hasil penilaian pasien tersebut harus tercatat pada status derajat nyeri pasien dan
mendapat tatalaksana yang tepat disesuaikan dengan derajat / intensitas nyeri yang dirasakan
oleh pasien.Pada pasien rawat inap, penilaian berikutnya dilakukan 8 jam kemudian dan
dicatat pada status terintegrasi serta catatan rawat inap pasien. Sedangkan pada pasien rawat
jalan / ODC, penilaian berikutnya dilakukan pada saat pasien melakukan kontrol atau apabila
pasien tetap merasakan nyeri yang tidak dapat ditangani dapat datang kembali ke UGD untuk
dilakukan penilaian ulang derajat nyeri dan tatalaksananya oleh DPJP, Tim tatalaksana nyeri,
dan dokter spesialis lain yang ditunjuk.

Penilaian derajat nyeri pasien neonatus


Definisi:
Penilaian derajat nyeri pada pasien neonatus adalah metode penilaian nyeri yang dilakukan
pada pasien neonatus, yaitu pasien dengan usia kurang dari 28 hari.
Tujuan:
Penilaian ini bertujuan untuk menilai derajat nyeri pasien neonatus secara tepat dan
mencatatkan di status nyeri dengan menggunakan Skala Newton. Hasil penilaian akan
menjadi dasar untuk memberikan tatalaksana yang tepat disesuaikan dengan derajat /
intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Ruang lingkup:
Penilaian derajat nyeri pada pasien neonatus diberlakukan pada setiap pasien neonatus (< 28
hari) di RSUPN CM, baik pasien rawat jalan, maupun pasien rawat inap.
Prosedur:
Metode penilaian yang digunakan adalah Skala Newton / Newton Scale.Skala penilaian nyeri
ini dengan melihat tanda-tanda fisik maupun tanda-tanda fisiologis neonatus, serta persepsi
penilai. Penilaian ini dilakukan dengan melibatkan keluarga dengan melakukan anamnesis
dan melakukan pengamatan pada bayi secara seksama. Pengamat memberikan skor pada tiap
item dan menjumlahkan skor-skor tersebut.
Skala Newton / Newton Scale
FISIK:
Postur/Tonus

Fleksi
tegang Ekstensi

2
1

Pola tidur

Gelisah
lemah Relaksasi

2
0

Ekspresi

Meringis
Tenang

2
1

Menangis

Ya
Tidak

2
0

Warna Kulit

Pucat /biru
Kemerahan
Pink

Apnea

FISIOLOGIS:
Respirasi

Tachypnea

Denyut Jantung

Fluktuasi
Takikardi

2
1

Saturasi

Desaturasi
Normal

2
0

Tekanan Darah

Hipo/Hipertensi
Normal

2
0

PERSEPSI
PENILAI:

Mengalami Nyeri
Tidak Nyeri

2
0

Dengan cara menjumlahkan skor tersebut maka akan didapatkan derajat nyeri pada neonatus.
Skala nyeri lebih dari 2 mengindikasikan adanya nyeri dan perlu diberikan tatalaksana nyeri
pada neonatus.

Penilaian derajat nyeri pasien bayi dan anak


Definisi:
Penilaian derajat nyeri pada pasien bayi dan anak adalah metode penilaian nyeri yang
dilakukan pada pasien bayi (usia28 hari sampai dengan 1 tahun) dan pasien anak (usia 1
tahun sampai dengan 12 tahun).
Tujuan:
Penilaian ini bertujuan untuk menilai derajat nyeri pasien bayi dan anak secara tepat dan
mencatatkan di status nyeri dengan menggunakan skala FLACCS (Face, Legs, Activity, Cry,
Consolability).Hasil penilaian akan menjadi dasar untuk memberikan tatalaksana yang tepat
disesuaikan dengan derajat / intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Ruang lingkup:
Penilaian derajat nyeri pada pasien bayi dan anakdiberlakukan pada setiap pasien bayi dan
anakdi RSUPN CM, baik pasien rawat jalan, maupun pasien rawat inap.
Prosedur:
Pada anak yang cukup kooperatif , mengerti instruksi dan dapat melaporkan derajat nyerinya
dapat digunakan FACES scale yang terdapat pada status integrasi.
Untuk anak dan bayi yang belum mengerti instruksi dan tidak dapat melaporkan derajat
nyerinya sendiri, metode penilaian yang digunakan adalah skala nyeri FLACCS (Face, Legs,
Activity, Cry, Consolability. Penilaian ini dilakukan dengan melibatkan keluarga dengan
melakukan anamnesis dan melakukan pengamatan pada bayi secara seksama. Pengamat
memberikan skor pada tiap item dan menjumlahkan skor-skor tersebut.
Hasil penilaian tersebut harus tercatat pada status derajat nyeri dan mendapat tatalaksana
yang tepat disesuaikan dengan derajat / intensitas nyeri yang dirasakan.
Skala Nyeri FLACCS

Wajah

Tidak ada ekspresi yang khusus (seperti 0


senyum)
Kadang meringis atau mengerutkan 1
dahi, menarik diri
Sering / terus menerus mengerutkan 2
dahi, rahang mengatup, dagu bergetar

Ekstremitas

Gerakan

Posisi normal / rileks

Tidak tenang, gelisah, tegang

Menendang atau menarik kaki

Berbaring tenang,
bergerak mudah

posisi

Menggeliat-geliat,
berpindah, tegang

normal, 0

bolak-balik 1

Posisi tubuh meringkuk, kaku / spasme 2


atau menyentak
Dengan

cara
Menangis

Tidak menangis

Merintih, merengek, kadang mengeluh

Menangis
menjerit
Kemampuan
Ditenangkan

tersedu-sedu,

terisak-isak, 2

Senang, rileks

Dapat ditenangkan dengan sentuhan, 1


pelukan, atau berbicara, dapat dialihkan.
Sulit/ tidak dapat ditenangkan dengan 2
pelukan, sentuhan atau distraksi.
menjumlahkan skor tersebut maka akan didapatkan derajat nyeri pada anak. Skala nyeri lebih
atau sama dengan 4 mengindikasikan adanya nyeri yang perlu diberikan tatalaksana nyeri
pada anak.
Metode penilaian derajat nyeri lain yang digunakan padaanak dengan penurunan kesadaran
adalah dengan menggunakan skala nyeriNon Verbal Pain Scale Revised. Biasanya skala ini
digunakan untuk anak yang dirawat di PICU.
Non Verbal Pain Scale Revised

Wajah

Tidak ada ekspresi / senyum


Sesekali meringis,
mengerutkan dahi

mengeluarkan

0
air

mata, 1
2

Sering meringis, mengeluarkan airmata, mengerutkan


dahi
Aktivitas

Posisi
Tubuh

Berbaring tenang, posisi normal

Mencari perhatian dengan gerakan berhati-hati

Gerakan gelisah dan atau gerakan melawan.

Berbaring tenang, tidak ada posisi tangan diatas 0


tubuh
1
Gerakan menggeliat, ketegangan pada tubuh
2
Kekakuan tubuh

Fisiol
ogis

TD & Nadi stabil, tidak ada perubahan dalam 4 jam

Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: tekanan darah 1


sistolik >20, nadi >20, laju pernafasan> 10
Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: sistolik >30, 2
nadi>25, pernafasan >20
Pernapasa
n

Pernafasan sesuai baseline, SpO2sesuai setting


ventilator

0
1

RR>10 diatas baseline atau SpO2 5%, tidak


sinkronringan dengan ventilator.
2
RR >20diatas baseline, atau SpO2 10%, tidak
sinkronisasi berat dengan ventilator

Nilai atau skor > 4 mengindikasikan perlunya tatalaksana nyeri pada pasien ini.

Penilaian derajat nyeri pasien deengan penurunan


kesadaran
Definisi:
Penilaian derajat nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran adalah metode penilaian
nyeri yang dilakukan pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan:
Penilaian ini bertujuan untuk menilai derajat nyeri pasien dengan penurunan kesadaran yang
tidak dapat dinilai dengan skala nyeri biasa. Hasil penilaian akan menjadi panduan dalam
memberikan tatalaksana yang efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien dengan penurunan
kesadaran.
Ruang lingkup:
Penilaian derajat nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran diberlakukan pada setiap
pasien dengan penurunan kesadaran di RSUPN CM.
Prosedur:
Penilaian nyeri pada pasien dengan penurunan keasadaran dilakukan dengan menggunakan
skala Non Verbal Pain Scale Revised yaitu dengan melihat ekspresi wajah, pergerakan atau
posisi ekstremitas atas, dan toleransi terhadap ventilasi mekanik.Pengamat memberikan skor
pada tiap item dan menjumlahkan skor-skor tersebut.Skor lebih dari 4 menandakan perlunya
tatalaksana nyeri.

Non Verbal Pain Scale Revised


Wajah

Tidak ada ekspresi / senyum


Sesekali meringis,
mengerutkan dahi

mengeluarkan

0
air

mata, 1
2

Sering meringis, mengeluarkan airmata, mengerutkan


dahi

Aktivitas

Posisi
Tubuh

Berbaring tenang, posisi normal

Mencari perhatian dengan gerakan berhati-hati

Gerakan gelisah dan atau gerakan melawan.

Berbaring tenang, tidak ada posisi tangan diatas 0


tubuh
1
Gerakan menggeliat, ketegangan pada tubuh
2
Kekakuan tubuh

Fisiol
ogis

TD & Nadi stabil, tidak ada perubahan dalam 4 jam

Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: tekanan darah 1


sistolik >20, nadi >20, laju pernafasan> 10
Perubahan dalam 4 jam dari salah satu: sistolik >30, 2
nadi>25, pernafasan >20
Pernapasa
n

Pernafasan sesuai baseline, SpO2sesuai setting


ventilator

0
1

RR>10 diatas baseline atau SpO2 5%, tidak


sinkronringan dengan ventilator.
2
RR >20diatas baseline, atau SpO2 10%, tidak
sinkronisasi berat dengan ventilator

Pemantauan derajat nyeri selama perawatan


Definisi:
Pemantauan derajat nyeri selama perawatan adalah monitoring berulang untuk melihat efek
dari tatalaksana nyeri yang sudah didapatkan
Tujuan:
Pemantauan derajat nyeri di perawatan bertujuan untuk memastikan pemberian tatalaksanan
di ruang rawat berjalan baik dan benar. Selain itu, pemantauan ini bertujuan untuk melihat
efek dari tatalaksana yang sudah diberikan. Jika terdapat perubahan derajat nyeri, dapat
dilakukan perubahan tatalaksana sesuai kondisi pasien terakhir.
Ruang lingkup:
Pemantauan derajat nyeri selama perawatan ini ditujukan untuk seluruh pasien di ruang
perawatan di RSUPN CM.
Prosedur:
Pemantauan derajat nyeri dilakukan setiap 8 jam secara berkala pada pasien dengan VAS < 4.
Sedangkan untuk pasien dengan derajat nyeri > 4, pemantauan dilakukan lebih sering. Dapat
setiap dua jam sampai nyeri teratasi. Pasien diminta untuk menyebutkan berapa skor nyeri
yang dialaminya. Selain itu, pasien diminta mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan
timbulnya nyeri, pada istirahat atau pergerakan (menarik nafas, batuk dan bergerak). Pasien
juga diminta untuk menyebutkan adanya efek samping seperti mual atau muntah, gatal-gatal,
gangguan berkemih, gangguan pergerakan pada panggul atau ekstrimitas. Untuk menilai
keberhasilan terapi, pasien juga diminta untuk menilai derajat kepuasannya terhadap terapi
nyeri yang sudah diberikan. Hasil pemantauan tersebut kemudian dicatat untuk dibandingkan
dengan penilaian sebelumnya. Jika terdapat perbaikan/perburukan hasil penilaian, tatalaksana
nyeri dapat segera diubah sesuai kondisi pasien.

Tatalaksana nyeri pada pasien rawat inap dengan


derajat nyeri >4
Definisi:
Tatalaksana nyeri pada pasien rawat inap adalah pasien dengan skala / derajat nyeri > 4,
pemberian terapi dimaksudakan untuk mengurangi dan atau menghilangan nyeri pada pasienpasien rawat inap di RSUPN CM.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri ini diharapkan dapat memberikan terapi nyeri yang optimal pada pasien
sesuai dengan derajat nyeri yang dirasakan.
Ruang lingkup:
Tatalaksana nyeri ini berlaku untuk seluruh pasien rawat inap yang membutuhkan terapi nyeri
dengan derajat nyeri > 4.
Prosedur:
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien harus dilakukan penilaian derajat nyeri
terlebih dahulu. Setiap DPJP berhak memberikan tatalaksana awal pada pasiennya dengan
derajat nyeri > 4. Pilihan obat yang dapat diberikan antara lain:

Obat

Dosis

Parasetamol
Ketorolac

3 x 500-1000 mg KI pada ggn fungsi hati


3 x 30 mg
Ki: hipersensitifitas, ulkus peptik aktif,
gangguan fgs ginjal
3 x 50-100 mg
Ki:
hipersensitif,
mendapatkan
penghambat MAO
Perhatian: peningkatan TIK, ggn fs
ginjal dan hati
3 x 100 mg
KI :hati-hati pada pasien dengan riwayat
alergi obat dan asma bronchial, ulkus
peptikum
aktif,
penyakit
tromboembolik,pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.
3 x 500 mg
KI : riwayat penyakit tromboembolik,
hipersensitifitas
2-3 x 40 mg
KI :analgetik post op CABG (Coronary
Artery Bypass Graft), gagal jantung,
ulkus peptik aktif, riwayat alergi setelah
mengkonsumsi NSAID atau asam

Tramadol

Profenid Suppositoria

Asam mefenamat
Parecoxib IV

Keterangan

salisilat
Jika setelah tatalaksana yang optimal dari DPJP diberikan, namun pada penilaian ulang masih
didapatkan derajat nyeri pasien> 4, maka pasien dapat dikonsultasikan ke tim penanganan
nyeri.
Tatalaksana nyeri oleh tim penanganan nyeri akan dimulai dengan penilaian derajat nyeri
pasien menggunakan metode yang sesuai dengan usia dan kondisi pasien. Tim tatalaksana
nyeri juga akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta melihat hasil-hasil
pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan derajat nyeri pasien dengan lebih
tepat. Selain itu, tim tatalaksana nyeri juga harus mengetahui terapi analgetik apa saja yang
sudah diberikan kepada pasien dan apa reaksi yang ditimbulkan dari terapi tersebut.
Obat

Dosis

Parasetamol

3 x 500-1000 KI : pada ggn fungsi hati


mg
3 x 30 mg
KI : hipersensitifitas, ulkus peptik aktif,
gangguan fungsi ginjal
3 x 50-100 mg
KI : hipersensitif, mendapatkan penghambat
MAO
Perhatian: peningkatan TIK, ggn fs ginjal dan
hati
3 x 100 mg
KI :hati-hati pada pasien dengan riwayat alergi
obat dan asma bronchial, ulkus peptikum aktif,
penyakit
tromboembolik,pasien
dengan
gangguan fungsi ginjal.
3 x 500 mg
KI : riwayat penyakit tromboembolik,
hipersensitifitas
2-3 x 40 mg
KI :analgetik post op CABG (Coronary Artery
Bypass Graft), gagal jantung, ulkus peptik aktif,
riwayat alergi setelah mengkonsumsi NSAID
atau asam salisilat

Ketorolac
Tramadol

Profenid
Suppositoria

Asam mefenamat
Parecoxib IV

Keterangan

Obat
golongan
NSAID,
opioid
lemah lainnya, dsb
yang
dibutuhkan
pasien sesuai
1. Pilihan obat analgesia sistemik bolus secara intravena yang digunakan antara lain
adalah sebagai berikut :

1. Patient Controlled Analgesia (PCA) intravena opioid


Obat
Morfin

Dosis
Bolus 1-5 mg
Interval : 5-10 menit

Keterangan
Dapat
disertai
morfin kontinu

infus
sesuai

Fentanyl

Pethidin

Dosis maksimal : 0,3 mg/kgBB/jam


(atau dapat lebih besar pada pasien
dengan intoleransi opioid)
Bolus 10-50 g
Interval : 5-10 menit
Dosis maksimal : 30 g/kgBB/jam
Bolus 10-50 mg
Interval : 5-10 menit
Dosis maksimal : 3 mg/kgBB/jam

kebutuhan

Dapat
disertai
infus
fentanyl kontinu sesuai
kebutuhan
Dapat
disertai
infus
pethidin kontinu sesuai
kebutuhan

2. Analgesia multimodal : kombinasi dari berbagai modalitas nyeri untuk mendapatkan


terapi nyeri yang efektif dan efek samping yang minimal .
3. Analgesia Epidural :
Dapat diberikan dalam bentuk injeksi dalam jangka waktu tertentu (6 sampai 12 jam)
berupa obat anesthesia lokal, opioid atau kombinasi anesthesia lokal dan opioid sesuai
kebutuhan pasien. Besarnya dosis ditentukan jenis epidural (torakal atau lumbal),
jumlah segmen yang akan diblok ), jenis operasi , keadaan umum pasien dan penyakit
penyerta pada pasien.
Anestesia Lokal
Opioid
Interval
Bupivakain 0.0625 Fentanyl 1 2 Setiap 6 12 jam
% - 0.125% 5 20 mikgr/ cc 5 20 cc
cc

Keterangan
Dosis pada dewasa,
pada
pediatrik
disesuaikan dengan
BB pasien.

Ropivakain 0.1% - Morfin 1 5 mg


0.25% 5 20 cc
Petidin 10 50 mg
Dapat diberikan dalam bentuk infus kontinu berupa obat anestesia lokal, opioid atau
kombinasi anestesia lokal dan opioid . Besarnya dosis ditentukan jenis epidural
(torakal atau lumbal), jumlah segmen yang akan diblok ), jenis operasi , keadaan
umum pasien dan penyakit penyerta pada pasien.
Anestesia Lokal
Bupivakain
0.0625%
0.125% 2 -12 cc/
jam

Opioid
Dosis
Fentanyl 1 2 2 12 ml / jam
mikgr/ cc 2
12 cc/ jam

Ropivakain 0.1 Morfin 0.05


% - 0.25% 2 12 0.5 mg/jam
cc/jam

Dosis max
Keterangan
Infus
Dosis
pada
bupivakain,
dewasa.
Bila
ropivakain
maks 14 ml/ dibutuhkan
dosis
dapat
jam
dinaikkan
sesuai
kebutuhan
pasien

Dapat juga diberikan dalam bentuk Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA)
Pada PCEA , regimen dapat diberi dalam bentuk bolus saja tanpa infus kontinu atau
infus kontinu dan bolus.
Bolus
Lock out interval
Infus kontinu
Dosis maks
Bupivakain 0.0625% - 10 30 menit
4 6 ml/ jam
14 ml/jam
0.125 % 2 4 cc +
fentanyl 1 -2 mkgr/cc
Ropivakain 0.1
0.25% 2 -4 cc +
fentanyl 1 -2 mikgr/cc
4. Analgesia Intratekal
Dapat diberikan dalam bentuk injeksi obat anestesia lokal , opioid atau kombinasi
anestesia lokal dan opioid dalam interval waktu tertentu.
Anestesia Lokal
Opioid
Bupivakain 0.0625 Fentanyl
% - 0.125% 0.5 5 25mikgr
cc

10

Interval
Setiap 6 12 jam

Ropivakain 0.125% Morfin 0.05 0.5


- 0.25% 0.5 5 cc
mg

Keterangan
Dosis pada dewasa,
pada
pediatrik
disesuaikan dengan
BB pasien.
Dosis opioid dapat
lebih
bila
dibutuhkan
pada
kasus tertentu

5. Analgesia Blok Perifer (Interskalenus, Supraklavikula, Femoralis, Sciatic)


Dapat diberikan dalam bentuk injeksi obat anestesia lokal dalam jangka waktu
tertentu.
Anestesia lokal
Dosis
Interval
Bupivakain
0.0625%
- 10 30 cc
6 12 jam
0.125%
Ropivakain 0.125% - 0.25% 10 30 cc
6 12 jam
Dapat juga diberikan dalam bentuk infus kontinu anestesia lokal
Anestesia Lokal
Bupivakain 0.0625%
0.125%
Ropivakain 0.0.125%
0.25%

Dosis
- 4 8 cc/jam
- 4- 8 cc/jam

Setelah tatalaksana yang diberikan olehtim tatalaksana nyeri, tim ini juga akan melakukan
evaluasi / penilaian ulang derajat nyeri pasien dan memantauhasil pemberian obat analgesia
secara kontinu. Interval pemantauan disesuaikan dengan jenis modalitas analgesia.Jika

didapatkan derajat nyeri masih > 4, dilakukan evaluasi kembali penanganan nyeri pasien oleh
tim penanganan nyeriuntuk penambahan / perubahan modalitas nyeri yang diberikan.

Tatalaksana nyeri pada pasien di IGD


Definisi:
Tatalaksana nyeri pada pasien di IGD adalah pemberian terapi untuk mengurangi dan atau
menghilangkan nyeri pada pasien yang datang ke IGD RSUPN CM.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri pada pasien di IGD bertujuan untuk memberikan tatalaksana nyeri yang
efektif pada pasien yang datang ke IGD. Selain itu diharapkan pula dapat dicegahnya
morbiditas akibat nyeri pada pasien IGD.
Ruang lingkup:
Tatalaksana nyeri pada pasien di IGD ini berlaku untuk seluruh pasien yang datang ke IGD
RSUPN CM.
Prosedur:
Pada pasien yang datang ke IGD, terlebih dahulu dilakukan triage oleh dokter dan perawat
triage. Penilaian derajat nyeri pada pasien IGD dilakukan dengan memperhatikan kondisi
klinis pasien. Pasien dengan keadaan mengancam jiwa segera dilakukan resusitasi oleh tim
IMET dan setelah pasien stabil dapat dilakukan penilaian derajat nyeri. Sedangkan pasien
yang stabil dilakukan penilaian derajat nyeri pada saat triage dan didokumentasikan pada
formulir triage di IGD.
Penatalaksanaan nyeri pasien di IGDakan ditindak lanjuti oleh dokterjaga APS yang
dikonsultasikan dokter jaga IGD untuk tatalaksana nyeri. Nyeri yang tidak tertahankan dapat
dikonsulkan ke Tim tatalaksana nyeri. Tim tatalaksana nyeri akan melakukan evaluasi
terhadap jenis nyeri (akut atau kronik), sumber nyeri (trauma,keganasan, pemasangan WSD
atau perawatan luka), derajat nyeri (menggunakan penuntun skala nyeri sesuai dengan
kondisi pasien, dan derajat nyeri pasien dengan menggunakan skala nyeri yang sesuai :
1. Pasien dewasa dan anak yang sudah mengerti instruksi dengan Numerical Rating
Scale dan FACES scale.
2. Pasien neonates dengan Newton Scale
3. Pasien bayi dan anak dengan FLACC scale

4. Pasien bayi dan anak, dewasa dan geriatrik dengan penurunan kesadaran dengan
Non Verbal Pain Scale Revised
Pemilihan obat dan teknik tatalaksana nyeri harus disertai pertimbangan terhadap
keadaan umum pasien, tanda vital, penyakit yang mendasari, gangguan organ yang ada,
efek samping serta kemungkinan alergi terhadap obat yang akan diberikan.

Penilaian dan tatalaksana nyeri pada pasien geriatri


Definisi:
Penilaian dan Tatalaksana nyeri pada pasien geriatri adalah melakukan penilaian derajat /
skala nyeri dan mempertimbangkan pemberian terapi untuk mengurangi dan/atau
menghilangkan nyeri pada pasien geriatri (usia > 65 tahun).
Tujuan :
Penilaian dan Tatalaksana nyeri pada pasien geriatri ini ditujukan untuk sedapat mungkin
mendapatkanpenilaian derajat / skala nyeri dengan tepat pada pasien geriatri serta
memberikan terapi nyeri pada pasien geriatri secara efektifdengan mempertimbangkan
perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien-pasien geriatri. Diharapkan dengan
tatalaksana yang optimal, akan teratasi atau berkurangnya keluhan nyeri pada pasien geriatri
yang menjalani perawatan di RSUPN CM.
Ruang lingkup :
Tatalaksana nyeri pada pasien geriatri ini berlaku pada setiap pasien geriatri di RSUPN CM,
baik pasien rawat jalan maupun rawat inap.
Prosedur :
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien geriatri harus dilakukan penilaian
derajat nyeri. Penilaian derajat / skala nyeri pada pasien geriatri dilakukan menggunakan
Numerical Rating Scale atau FACES pain scale.Hasil penilaian kemudian dicatat dalam
status penilaian derajat nyeri pasien.Pada pasien geriatrik dengan penurunan kesadaran dapat
digunakanNon verbal Pain Scale Revised.
Penentuan pilihan obat yang digunakan pada tatalaksana nyeri pada pasien geriatri harus
mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis pada pasien geriatri.Obat-obatan
analgesia yang umumnya diberikan pada pasien-pasien geriatri antara lain adalah: opioid
(dengan dosis opioid yang diberikan adalah setengah dari dosis dewasa muda), paracetamol
dan NSAID (dengan pemantauan efek samping). Dapat juga dengan metode PCA.

Pada pasien geriatri yang menjalani rawat inap, penilaian ulang derajat / skala nyeri serta
efektifitas terapi nyeri dilakukan tiap 8 jam, termasuk efek samping yang mungkin muncul
akibat pemberian terapi tersebut. Sedangkan pada pasien rawat jalan, penilaian ulang dapat
dilakukan pada saat kontrol. Apabila terdapat keluhan nyeri yang menetap / bertambah hebat
saat di rumah, pasien dapat datang ke IGD dan nyeri akan ditangani sesuai dengan Panduan
Tatalaksana Nyeri pada Pasien di IGD.

Tatalaksana nyeri pada ibu hamil dalam persalinan


(analgesia persalinan)
Definisi:
Tatalaksana nyeri pada ibu hamil adalah pemberian terapi untuk mengurangi dan/atau
menghilangkan nyeri pada pasien (ibu hamil) yang mejalani proses persalinan.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri pada ibu hamil bertujuan untuk memberikan kondisi yang nyaman pada
proses persalinan dimana ibu bersalin diberikan terapi yang menyebabkan
berkurang/hilangnya rasa nyeri selama proses persalinan.
Ruang lingkup:
Tatalaksana nyeri pada ibu hamil ini ditujukan untuk seluruh pasien ibu hamil yang akan
menjalani proses persalinan di RSUPN CM.
Prosedur:
Tatalaksana nyeri pada ibu hamil dimulai dengan penilaian kondisi pasien yang dapat
dilakukan pada kunjungan antenatal di poliklinik, maupun setelah permintaan analgesia
persalinan diterima oleh dokter anestesi di Kamar Bersalin. Saat kunjungan pra-anestesi,
konsulen DPJP atau residen senior (yang kemudian melaporkan kepada konsulen DPJP)
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian hasil pemeriksaan penunjang untuk
menetukan apakah terdapat indikasi/kontraindikasi analgesia persalinan.
Indikasi analgesia persalinan meliputi:
a. Permintaan pasien
b. Pasien yang hanya bisa sedikit mentolerir nyeri
c. Proses persalinan yang diduga berlangsung lama, misalnya persalinan kembar
Sedangkan kontraindikasinya meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penolakan pasien
Pasien tidak kooperatif
Kelainan neurologis
Gangguan faal koagulasi
Infeksi pada tempat penyuntikan
Kondisi hipovolemia

Pada pasien juga harus dijelaskan mengenai proses, urutan prosedur, efek samping yang
mungkin timbul, serta langkah-langkah untuk menangani efek samping tersebut. Pilihanpilihan analegesia persalinan yang tersedia adalah sebagai berikut :

1. ILA (Intra Labour Analgesia), spinal analgesia


2. Analgesia Epidural

3. Analgesia kombinasi spinal epidural ( CSEA : Combined Spinal Epidural Analgesia)

Pilihan tersebut dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan alat dan preferensi dokter
anestesia yang melakukan. Pelaksanaan tindakan harus didahului dengan informed
consent sebelum prosedur dan tercatat pada status pasien.

Tatalaksana nyeri persalinan dengan analgesia


epidural
Definisi:
Teknik analgesia epidural adalah menyuntikkan obat anestesia lokal dengan atau tanpa obat
tambahan lain ke ruang epidural untuk mengurangi nyeri pada proses persalinan.
Tujuan :
1. Mencegah nyeri yang ditimbulkan pada saat persalinan .
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan
Ruang lingkup:
Semua pasien dalam proses persalinan di RSUPN CM yang mendapatkan tatalaksana
analgesia epiduraluntuk nyeri persalinan.
Prosedur :
Diberikan dalam bentuk injeksi epidural dalam jangka waktu tertentu (6 sampai 12 jam)
berupa obat anestesia lokal, opioid atau kombinasi anestesia lokal dan opioid sesuai
kebutuhan pasien. Besarnya dosis ditentukan jenis epidural (torakal atau lumbal), jumlah
segmen yang akan diblok), keadaan umum pasien, dan penyakit penyerta pada pasien.
Bila diberikan dalam bentuk infus kontinu berupa obat anestesia lokal, opioid atau kombinasi
anestesia lokal dan opioid, besarnya dosis ditentukan jenis epidural (torakal atau lumbal),
jumlah segmen yang akan diblok ), keadaan umum pasien, dan penyakit penyerta pada
pasien.
Selain itu dapat juga diberikan dalam bentuk Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA).
Pada PCEA , regimen dapat diberi dalam bentuk bolus saja tanpa infus kontinu atau infus
kontinu dan bolus.
Regimen yang digunakan:
1. Induksi Analgesia:
a.
Usahakan mencapai sasaran level sensorik sampai sekitar T 10
b.
Untuk pasien dengan nyeri sedang sampai berat, sering diperlukan
dosis total ropivakain 0,2% 8-12 ml atau bupivakain 0,125% - 0,25% 8-12 mL
dengan fentanil 1-2 ug/mL
c.
Untuk pasien dengan nyeri ringan atau yang sedang menunggu induksi
dengan infus oksitosin, dapat digunakan solusi yang lebih cair, dengan
ropivakain 0,1 - 0,125% 8-12 ml atau bupivakain 0,0625%-0,125% 8-12 mL
dengan fentanyl 1-2 ug/ml.

d.

Seorang dokter anestesia dapat memberikan jenis dan campuran obat


yang lain sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang diharapkan.
e.
Selalu perlakukan setiap pemberian obat sebagai test dose, dengan
menginjeksi tidak lebih dari 5ml dalam sekali pemberian.
f.
Efek analgetik blok epidural seharusnya tampak dalam 10-20 menit
(tergantung jenis obat yang digunakan). Bila tidak, curigai penempatan yang
tidak benar dan lakukan reposisi kateter tersebut.
2. Pemeliharaan Analgesia, dapat dilakukan dengan cara infus kontinyu atau bolus
intermiten:
a. Infus kontinyu: ropivakain 0,1% + fentanyl 1-3 ug/ml atau bupivakain 0,1%
dengan kecepatan 8-12 ml /jam.
b. Bila pasien masih nyeri, singkirkan kemungkinan kandung kemih penuh dan
kondisi berbahaya lain, seperti ruptur uterus, terutama pada pasien yang sedang
menjalani trial of scar. Periksa ketinggian blok, blok unilateral, atau
perpindahan kateter.
c. Bolus intermiten dengan pemberian top-up: dosis top-up ropivakain atau
bupivakain 5-10ml setiap 1 jam
d. Pada pasien yang mendekati tahap ke-2 persalinan mungkin memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi, seperti ropivakain 0,5%, Pemberian tambahan
fentanyl sampai 50ug dapat membantu pada tahap ini.
e. Kateter harus diaspirasi sebelum semua pemberian dosis top-up dan tiap dosis
diberikan paling banyak 3ml. Perlakukan setiap dosis top-up seperti test dose

Tatalaksana nyeri persalinan dengan analgesia


spinal
Definisi :
Teknik analgesia spinal adalah menyuntikkan obat anestesia lokal dengan atau tanpa obat
tambahan lain ke ruang subarakhnoid untuk mengurangi nyeri pada proses persalinan.
Tujuan :
1. Mencegah nyeri yang ditimbulkan pada saat persalinan .
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan
Prosedur:
Umumnya pada pemberian analgesia spinal, sesaat sebelum tindakan anestesia spinal
dilakukan, pasein diberikan cairan kristaloid (co-loading), dan pasien diposisikan duduk atau
berbaring miring ke lateral dan fleksi maksimal, serta dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik pada area lumbal belakang sesuai protokol aseptik dan antiseptik standar.
Jenis dan campuran obat spinal yang dapat digunakan antara lain Bupivakain, Ropivakain,
Fentanyl, dan Morfin. Namun dokter anestesi dapat memberikan jenis dan campuran obat
yang lain sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang diharapkan. Apabila masih
didapatkan nyeri, dapat dilakukan ulangan spinal dengan dosis yang disesuaikan.

Tatalaksana nyeri persalinan dengan analgesia


CSEA (Combined Spinal Epidural Analgesia)
Definisi :
Teknik analgesia CSE adalah menyuntikkan campuran anestetik lokal dengan atau tanpa obat
tambahan lain ke ruang subarakhnoid dan epidural untuk mengurangi nyeri pada proses
persalinan.
Tujuan :
1. Mencegah nyeri yang ditimbulkan pada saat persalinan .
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan
Prosedur:
Regimen yang digunakan:
1. Induksi Analgesia:
a. Kombinasi bupivakain intratekal dan opioid dapat digunakan untuk
memberikan durasi analgesia yang lebih panjang.
b. Seorang dokter anestesia dapat memberikan jenis dan campuran obat yang lain
sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang diharapkan.
2. Pemeliharaan Analgesia:
a. Kateter epidural harus selalu diaspirasi sebelum memasukkan obat untuk
memastikan tidak masuk ke dalam ruang subarakhnoid atau ruang
intravaskular.
b. Untuk mencapai blok yang diinginkan untuk nyeri persalinan, total ropivacain
0,2% atau bupivacain 0,0625-0,125% 5-10 ml sudah adekuat. Penambahan top
up fentanyl 50 ug mungkin dibutuhkan mendekati fase kedua dari persalinan.
c. Analgesia dapat terpelihara dengan infusan epidural kontinyu dari ropivacain
0,1-0,2% atau bupivacain 0,0625-0,125% 5-10 ml/jam Fentanyl 1-3mcg/ml.

Monitoring pada pasien dengan analgesia persalinan harus baik. Hal-hal yang harus
diperhatikan antara lain:
1. Selalu jaga kontak verbal dan damping pasien minimal selama 20 menit setelah
pemberian dosis pertama dan tiap pemberian dosis top-up.
2. Tekanan darah harus diperiksa setiap 5 menit pada 20 menit setelah pemberian dosis
pertama, dan dilanjutkan setiap 30 menit.

3. Pastikan level blok yang diinginkan dengan menguji hilangnya sensasi dingin secara
bilateral.
4. Pasien diinstruksikan untuk selalu berbaring miring ke salah satu sisi, dan untuk
berpindah sisi setiap jam. Mereka juga diminta untuk memberitahu staf perawatan bila
timbul rasa baal di dada, atau sulit bernapas.
5. Perawat diminta tidak meninggalkan pasien tanpa pengawasan dan melaporkan
kepada anestesiologis bila pasien mengalami disorientasi, dispneu, hipotensi, atau
efek samping yang lain.
6. Persalinan harus dimonitor ketat, terutama monitoring denyut jantung janin.
Anestesiologis harus menilai secara berkala kecukupan blok dan efek samping atau
komplikasinya.
7.

Tatalaksana nyeri pada pasien dengan PCA IV


(Patient Controlled Analgesia Intravenous)
Definisi:
Patient-controlled analgesia intravena(PCA-IV) adalah modalitas pemberian obat-obatan anti
nyeri secara intravenadimana pasien memegang kontrol untuk pemberian obat yang ada.
Tujuan:
PCA-IV diberikan dengan tujuan mengatasi nyeri pasien secara efektif, dengan dosis obat
sesuai kebutuhan pasien.
Ruang lingkup:
PCA-IV diberikan pada pasien yang membutuhkan tatalaksana nyeri namun memenuhi
kriteria pemasangan PCA-IV yang sudah ditentukan, dan merupakan pasien RSUPN CM.
Pemberian terapi nyeri dengan menggunakan alat kontrol Patient Controlled Analgesia
(PCA)diberikan oleh dokter anestesiologi atau Tim Tatalaksana nyeri.
Prosedur :
Pilihan obat-obatan yang dapat digunakan dengan alat PCA-IV adalah opioid iv (morfin,
fentanyl, petidin) dan anestesi lokal epidural (bupivakain, lidokain, dan ropivakain) untuk
PCEA.
Indikasi terapi analgesia menggunakan PCA-IV meliputi:
1. Pasien dengan pembedahan di daerah leher, toraks, abdomen, ekstremitas yang
diprediksi akan mengalami nyeri berat pasca bedah (VAS > 50mm)
2. Nyeri kanker
3. Nyeri kronik
Kontraindikasi terapi analgesia menggunakan PCA-IV meliputi:
1. Pasien menolak
2. Pasien dengan keterbatasan mental dan fisik untuk mengaktifasi tombol alat PCA
3. Alergi terhadap obat analgesia intravena PCA
Kriteria tambahan lainnya yang harus dipenuhi pasien yang akan mendapat modalitas PCAIV meliputi:
1.
2.
3.
4.

Pasien sadar penuh


Usia diatas 12 tahun
Mengerti cara menggunakan alat PCA IV, hanya mengaktifkannya bila merasa sakit.
Tidak memiliki riwayat ketergantungan opioid

Pada pasien dengan nyeri atau pasien pasca bedah yang membutuhkan PCA-IV, dokter
spesialis anestesiologi akan memberikan instruksi regimen analgesia PCA-IV. Instruksi ini

akan meliputi jenis obat, dosis bolus inisiasi, dosis bolus, interval waktu, dan dosis maksimal
tiap jam. PCA-IV ini akan dihubungkan dengan jalur intravena pasien. Seluruh catatan
tersebut, beserta tanggal dan jam pemasangan PCA-IV harus dicatat dalam rekam medis
pasien yang bersangkutan.
Regimen PCA iv yang dapat digunakan :
Obat
Morfin

Fentanyl

Pethidin

Dosis
Bolus 1-5 mg
Interval : 5-10 menit
Dosis maksimal : 0,3 mg/kgBB/jam
(atau dapat lebih besar pada pasien
dengan intoleransi opioid)
Bolus 10-50 g
Interval : 5-10 menit
Dosis maksimal : 30 g/kgBB/jam
Bolus 10-50 mg
Interval : 5-10 menit
Dosis maksimal : 3 mg/kgBB/jam

Keterangan
Dapat
disertai
morfin kontinu
kebutuhan

infus
sesuai

Dapat
disertai
infus
fentanyl kontinu sesuai
kebutuhan
Dapat
disertai
infus
pethidin kontinu sesuai
kebutuhan

Pasien yang mendapat PCA-IV harus dimonitor secara periodik di ruang pulih dan ruang
rawat oleh dokter anestesio atau tim tatalaksana nyeri, dan atau dokter PPDS I anestesiologi,
maupun oleh perawat ruangan. Hal-hal yang harus dipantau meliputi:
1. Tanda vital pasien
2. Skala nyeri (dilakukan setiap 8 jam bila VAS < 4, setiap 2 jam bila VAS > 4)
3. A/D rasio (persentase keberhasilan penghantaran obat bolus dari sejumlah permintaan
pasien) setiap 12 jam
4. Pruritus, retensi urine, dan derajat sedasi setiap 24 jam
Hasil setiap kali observasi harus tercatat di dalam status pasien. Dan bila didapatkan kelainan
pada kondisi pasien, harus menghubungi DPJP pasien / dokter anestesi yang bersangkutan /
tim tatalaksana nyeri.
Pada pasien dengan tatalaksana PCA-IV dapat terjadi keadaan yang disebut dengan
breakthrough pain. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan skala nyeri (VAS > 4) pada
pasien dengan terapi analgesia PCA-IV. Dalam kondisi ini, tindakan yang harus dilakukan
adalah:
1. Pastikan alat PCA baik
a. Apakah IV line tercabut?
b. Pastikan setting PCA IV sesuai dengan regimen yang dipilih
2. Naikkan dosis bolus PCA IV berikutnya atau set background infusion
3. Tambahan analgesia intravena/oral
a. Golongan opioid : fentanyl, tramadol
b. NSAID : ketorolac, paracetamol
4. Hubungi dan laporkan DPJP bila didapatkan breakthrough pain
5. Kondisi pasien dan semua tindakan harus tertulis pada rekam medis yang
bersangkutan.

PCA-IV dapat pula memberikan efek samping dan komplikasi pada pemakainnya. Efek
samping/komplikasi yang dapat terjadi dan cara penanggulanannya antara lain:
1. Bila terjadi hipotensi :
a. Berikan cairan kristaloid atau koloid dengan jumlah sesuai keadaan umum
dan kondisi dasar pasien
b. Efedrin/vasopresor lainnya
c. Pertimbangkan untuk penyesuaian dosis PCA iv berikutnya
2. Bila terdapat bradikardia, :
a. SA
b. Adrenalin
c. Pertimbangkan untuk penyesuaian dosis PCA iv berikutnya
3. Bila sampai henti nafas dan henti jantung : berikan Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan
Hidup Lanjut
4. Mual muntah dapat diberikan Antiemetik : ondansetron atau granisetron dengan
dosis sesuai keadaan dan kondisi pasien
5. Bila terjadi pruritus berikan Naloxone, dengan dosis titrasi, mulai 0,2 mg pada dewasa
6. Bila terjadi retensi urine lakukan kateterisasi urin

Tatalaksana Nyeri dengan Blok Perifer

Tujuan :
Mengatasi nyeri pasien

Ruang lingkup :
Seluruh pasien yang memenuhi kriteria dan mendapatkan penatalaksanaan blok perifer di RSUPN
CM

Prosedur :
1. Blok saraf perifer sangat berguna untuk analgesia bedah maupun prabedah, selain itu blok ini
bisa juga dipakai untuk nyeri kronik dengan menggunakan teknik kateter.Beberapa prosedur
dapat dilakukan pada daerah lumbal dan sacral, pleksus brakialis dan paravertebral.
2. Pemberian infus obat anestesi lokal dapat diberikan melalui kateter intermitten, kontinyu
maupun denngan bolus PCA, pemberian infuse kontinyu maupun dengan PCA telah terbukti
lebih superior daripada teknik-teknik intermitten.
3. Pada setting ambulatory, seleksi pasien sangat penting: hanya pasien yang bisa menerima
tanggung jawab pemakaian kateter dan pompa. Pasien-pasien yang disertai perawat di rumah
dalam waktu 24-48 jam pertama yang akan berpartisipasi dalam penanganan analgesia.
4. Pemberian analgesia secara multimodal akan memberikan prosedur yang optimal dengan
menghambat nyeri pada bermacam-macam target nyeri. Kombinasi dari beberapa obat
analgesia akan memberikan efek sinergi dan aditif sehingga dapat mengurangi kebutuhan
individual obat-obat tersebut dan mengurangi efek samping.
5. Blok saraf femoralis dengan infus kontinyu, dengan Patient Controlled Analgesia atau sesuai
permintaan sendiri direkomendasikan dibandingkan blok femoralis suntikan tunggal karena
blok yang dihasilkan lebih baik dengan durasi analgesia yang lama. Telah diketahui bahwa
blok pleksus dan saraf perifer kontinyu memiliki resiko efek samping yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan opioid neuroaksial dan parenteral, untuk tatalaksana nyeri setelah
operasi ortopedi mayor.

Tatalaksana efek samping dan komplikasi pada blok


perifer
Tujuan :
1.Mencegah komplikasi yang dapat terjadi
2.Mendeteksi secara dini dan mengatasi komplikasi yang terjadi secara cepat
3.Meningkatkan keselamatan pasien

Ruang Lingkup :
Seluruh pasien dengan blok perifer kontinu yang mengalami komplikasi yang dirawat di RSUPN CM

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :

1. Beberapa komplikasi dan efek yang tidak diinginkan pada blok perifer kontinu:
1. inflamasi lokal pada tempat insersi
2. infeksi lokal dikonfirmasi dengan kultur pada kateter
3. defisit neurologis dapat transient maupun permanent, keluhan dapat berupa nyeri, kaku,
kelemahan, tegang
4. methemoglobinemia karena kadar saturasi oksigen rendah
5. dyspnea
6. horners syndrome
7. terkena pembuluh darah
8. keteter kinking

2. pasien setelah mendapat blok perifer kontinu sebaiknya dimonitor , kalau setelah
operasi monitoring pasien dapat dilakukan di ruang pemulihan sebelum pasien di
kirim ke ruang rawat untuk menilai kefektifan blok, efek samping yang tidak diingkan
secara akut
3. kemudian di isi chart pasien yang dapat berisi data pasien, tipe kateter, kedalaman
penetrasi jarum, dan lokasi fixasi kateter
4. kemudian follow up untuk menilai kefektifan blok untuk menilai keefektifan blok
dengan menilai visual analogue scale, kepuasaan pasien, untuk menilai kelanjutan
penatalaksanaan, untuk menilai respon sensorik dan motorik dan jika terjadi efek yang
tidak diinginkan
5. lakukan palpasi dan inspeksi pada tempat suntikan setiap hari untuk mendeteksi
adanya tanda-tanda inflamasi awal
6. kateter di lepas jika ditemukan tanda-tanda infeksi, atau pasien telah bebas dari nyeri.

Tatalaksana break-through pain pada blok perifer


kontinu
Tujuan :
Menatalaksana breakthrough pain yang terjadi pada analgesia dengan blok perifer secara baik dan
benar

Ruang Lingkup :
Seluruh pasien RSUPN CM yang menjalani analgesia blok perifer dan mengalami breakthrough pain

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :

1. Breakthrough pain ditandakan dengan : Numerical Rating Scale tiba-tiba > 4 mm


dalam terapi analgesia blok perifer kontiniu
2. Tatalaksana breakthrough pain :
a. Pastikan cateter blok perifer kontiniu baik
i. Apakah cateter blok perifer kontiniu tercabut
ii. Pastikan regimen yang dipilih telah sesuai
b. Naikan dosis bolus
c. Tambahan analgesia intravena/oral
i. Golongan opioid : fentanyl, tramadol
ii. NSAID : ketololak, paracetamol
3. Hubungi DPJP bila didapatkan kesulitan pada tatalaksana breakthrough painKondisi
pasien dan semua tindakan harus tertulis pada rekam medis yang bersangkutan.

Pemasangan blok perifer

Tujuan :
Memastikan pelaksanaan blok perifer sudah baik dan benar sesuai dengan prosedur yang berlaku

Ruang Lingkup :
Seluruh pasien yang menjalani analgesia dengan blok perifer kontinyu

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :

A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.
A.

Persiapan
1. Mempersiapkan peralatan-peralatan blok perifer
a. Nerve Stimulator
b. Doek Steril
c. Baju steril (gown)
d. Kassa steril
e. Betadine 10% atau Spray chlorhexidine 5%
f. Jarum blok perifer dengan ukuran sesuai prosedur dan lokasi penyuntikan
g. Hanschoon steril
h. Obat anestesi lokal
i. Vasokonstriktor
j. Spuit 3cc, 20 cc
k. Penggaris
l. Spidol
m. Monitor standart (NIBP, Pulse Oximetry, EKG)
n. Oksigen
o. Obat-obat emergency (Efedrin, lidocain, sulfas atropine, emulsi lipid)
p. Alat-alat emergency (self-inflating bag, Oksigen,ETT dan laringoskop)
q. Ruangan yang cukup memadai untuk melakukan blok perifer
2. Pastikan alat Nerve Stimulator terisi dengan batre ukuran A2 yang masih
berfungsi
3. Pasien diberikan premedikasi selama tindak ada kontraindikasi
B. Tatacara melakukan blok perifer
1. Pasien dimasukan ke ruang operasi atau ruang induksi yang memadai yang
memungkinkan untuk dilakukan blok perifer
2. Pasien dipasang alat monitoring standar seperti NIBP, EKG dan pulse oximetry
sehingga dapat dimonitor apabila terjadi reaksi toksisitas obat anetsesi lokal
3. Pasien diposisikan seoptimal mungkin yang memudahkan untuk dilakukannya
blok perifer.
4. Pasien diberikan premedikasi untuk mengurangi rasa cemas dan nyeri di tempat
penyuntikan, memberikan rasa nyaman saat dilakukan blok perifer.

Pemantauan nyeri dengan blok kontinu

Tujuan :
1. Menilai derajat nyeri pasien secara tepat untuk pencatatan di status nyeri
2. Sebagai dasar penatalaksanaan nyeri

Ruang Lingkup :
Seluruh pasien yang menjalani analgesia dengan blok perifer kontinyu di RSUPN CM

1. Mempe
rkenalk
an diri
dan

Prosedur/Teknis Pelaksanaan :
menerangkan pada pasien dan keluarga pasien penilaian yang akan dilakukan
2. Mengevaluasi tanda vital termasuk suhu dalam 24 jam
3. Meminta pasien memilih sesuai derajat nyerinya dalam bentuk angka 0 -10 (Numerical
Rating Scale), di mana 0 adalah tidak nyeri dan 10 adalah nyeri teramat sangat yang tidak
tertahankan. Atau meminta pasien memilih dari gambar yang ada, gambar yang
menggambarkan derajat nyeri yang dirasakannya (Faces Scale / Skala Nyeri Berdasarkan
Ekspresi Wajah)
4. Menentukan derajat nyeri dengan Numerical Rating Scale atau dengan melihat angka yang
sesuai dengan gambar yang dipilih pasien
5. Mencatat pada status penilaian derajat nyeri pasien
6. Melakukan pengecekan terhadap perubahan terapi yang dapat mempengaruhi kerja blok
perifer kontinu, contohnya anti koagulan dan analgetik tambahan.
7. Mengevaluasi apakah pasien dapat tidur, derajat nyeri, dan kepuasan pasien terhadap
penanganan nyeri.
8. Menginspeksi dan palpasi tempat insersi kateter untuk adanya perubahan posisi, dan infeksi.
9. Memastikan obat anestetik lokal yang diberikan pada pasien yang tepat.
10. Mengkonfirmasi kecepatan infuse, bolus, dan volume anestetik lokal yang tersedia.
11. Mengenali tanda dan gejala toksisitas abat anestetik lokal. Menentukan kelayakan
penghentian pelayanan penanganan nyeri dan pencabutan kateter.
12. Mengamati apakah pasien memerlukan analgetik tambahan.
13. Menentukan kelayakan penghentian pelayanan penanganan nyeri dan pencabutan kateter.

Tatalaksana nyeri dengan analgesia epidural


Tujuan :

1.
2.
3.
4.
5.

Mencegah komplikasi yang ditimbulkan oleh nyeri pasca bedah


Mempercepat mobilisasi pasien dan memperpendek masa rawat
Meningkatkan kepuasan pasien
Menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dari analgesia epidural
Mengatasi terjadinya komplikasi analgesia epidural yang mungkin terjadi

Ruang lingkup:

Semua pasien rawat inap RSUPN CM yang mendapatkan tatalaksana analgesia epidural
Prosedur :

1. Nilai derajat nyeri pasien


2. Apabila diputuskan pasien akan mendapatkan analgesia epidural, lakukan pemasangan
analgesia epidural sesuai dengan IK yang ada
3. Lakukan pemantauan analgesia epidural sesuai dengan IK yang ada
4. Apabila terjadi komplikasi atau efek samping analgesia epidural, tatalaksana sesuai
dengan IK yang ada.

Tatalaksana efek samping dan komplikasi pada


analgesia epidural

Tujuan :
Memastikan penatalaksanaan komplikasi dan efek samping analgesia epidural berjalan baik dan benar

Ruang lingkup :
Seluruh pasien yang menjalani analgesia epidural dan mengalami efek samping dan atau komplikasi
analgesia epidural yang dirawat di RSUPN CM

Prosedur :

1. Jika terjadi Hipotensi, maka diberikan cairan kristaloid/koloid dan diberikan


Efedrin/vasopresor
2. Jika terjadi Bradikardia, maka pasien diberikan SA (Sulfas Atropin) dan Adrenalin
3. Jika terjadi henti nafas dan henti jantung maka dilakukan BHD dan BHL
4. Jika terjadi mual muntah, pasien diberikan Antiemetik
5. Jika terjadi pruritus, maka tatalaksana pasien diberikan Naloxone
6. Jika dosis opioid terlalu besar, maka diberikan Naloxone
7. Jika pada pasien terjadi retensi urine maka dilakukan pemasangan kateter
8. Jika terjadi hematome epidural, maka dilakukan pemeriksaan MRI / CT Scan
9. Jika pada pasien terjadi infeksi , maka dilakukan pencabutan kateter

Tatalaksana break-through pain pada analgesia


epidural

Tujuan :
Menatalaksana breakthrough pain pada analgesia epidural secara baik dan benar

Ruang lingkup :
Seluruh pasien yang menjalani analgesia epidural dan mengalami breakthrough pain yang dirawat di
RSUPN CM

Prosedur :
1. Skala nyeri pasien, tanda vital dan efek samping blok epidural kontinu dipantau
2. Regimen blok epidural baik secara bolus dan infus kontinu diberikan sesuai instruksi DPJP
anestesiologi
3. Breakthrough Pain terjadi bila dijumpai VAS > 4 pada pasien dalam analgesia epidural
4. Bila terjadi breakthrough pain , dipastikan bahwa ujung kateter epiduralmasih berada pada
tempatnya dengan cara memberikan bolus 10 cc obat anestesia lokal konsentrasi rendah. Bila
VAS tidak membaik , kemungkinan terjadi migrasi kateter epidural. Berikan analgesia intravena
sebagai pengganti.
5. Bila kateter masih ada di tempatnya, evaluasi dan sesuaikan dosis, interval waktu pemberian
dan kemungkinan ada komplikasi lain yang terjadi.
6. Kateter blok epidural dilepas bila derajat nyeri sudah jauh berkurang atau bila terjadi
komplikasi (migrasi kateter, infeksi)
7. Analgesia pengganti diberikan setelah kateter blok perifer diganti (NSAID, paracetamol, COX
2 inhibitor, tramadol ).

Tatalaksana nyeri dengan analgesia intratekal


Pengertian

Analgesia intratekal adalah salah satu jenis pemberian obat analgesia melalui ruang
intratekal.
Obat obat analgesia yang bisa diberikan antara lain : analgesia lokal, opioid, alpha
agonist dsb.

Tujuan

Mencegah komplikasi yang ditimbulkan oleh nyeri pasca bedah


Mempercepat mobilisasi pasien dan memperpendek masa rawat
Meningkatkan kepuasan pasien
Menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dari analgesia intratekal
Mengatasi terjadinya komplikasi analgesia intratekal yang mungkin terjadi

Kebijakan

Analgesia intratekal dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi atau oleh dokter
PPDS I Anestesiologi yang telah dinyatakan kompeten .
Analgesia intratekal dilakukan di kamar bedah / ruang tindakan yang memenuhi
syarat , yaitu adanya sumber gas oksigen, alat monitor sesuai standar, alat dan obat
resusitasi.
Pemasangan kateter intratekal dilakukan dengan tehnik sepsis dan antiseptik yang
baku
Sebelum dilakukan tindakan , dilakukan informed consent terlebih dahulu, kecuali
pada keadaan emergensi.
Kateter intratekal diberi tanda dekat port pemberian obat untuk membedakannya
dengan kateter lain dan untuk menghindari kesalahan pemberian obat.
Kontra indikasi untuk analgesia intratekal :
Pasien menolak
Infeksi pada tempat penyuntikan
Gangguan koagulasi
Hipovolemia berat
Indikasi analgesia intratekal :
Pasien dengan pembedahan di daerah leher, toraks, abdomen, ekstremitas yang
diprediksi akan mengalami nyeri berat pasca bedah (VAS > 50mm)
Nyeri kanker
Nyeri kronik
Bila analgesia intratekal dipakai untuk pembedahan juga, maka selama pembedahan
harus selalu dimonitor tanda vital (sesuai standar monitor anestesia) dan derajat serta
ketinggian blok.
Pasca bedah dokter spesialis anestesiologi akan memberikan instruksi regimen
analgesia intratekal pasca bedah yang meliputi :
Jenis obat, dosis, cara pemberian, interval waktu
Pemantauan yang harus dilakukan
Tatalaksana kompikasi dan efek samping
Tatalaksana breakthrough pain

Yang harus dihubungi bila terjadi komplikasi


Dokter spesialis anestesiologi akan menghubungi Acute Pain Service Team untuk
tatalaksana pasien di luar kamar bedah.
Komplikasi/ efek samping yang terjadi di luar kamar bedah akibat intratekal analgesia
merupakan tanggung jawab dokter spesialis anestesiologi yang melakukan
pemasangan analgesia intratekal.
Pasca bedah pasien dikembalikan ke ruang rawat bila :
Skor Aldrette > 8
Blok intratekal minimal
Di ruang rawat, selama pasien mendapat analgesia intratekal , pasien harus selalu
memiliki jalur intra vena. Pasien dimonitor secara periodik di ruang rawat : tanda
vital, skala nyeri, derajat blok motorik,pruritus, retensi urine, derajat sedasi baik oleh
dokter anestesiologi, dokter PPDS I Anestesiologi maupun oleh perawat ruangan.
Analgesia intratekal kontinu untuk tatalaksana nyeri pasca bedah dilakukan selama 3
sampai 5 hari pasca bedah.
Analgesia intratekal untuk tatalaksana nyeri kanker dapat diteruskan sampai di rumah
(home care) setelah didapat dosis obat yang adekuat dan aman untuk pasien dan
setelah pasien / keluarga pasien diberi edukasi untuk tatalaksana kateter di rumah.
Pasien diberi instruksi tatalaksana kateter intratekal di rumah , nomor telepon yang
dapat dihubungi dan kapan harus melakukan kontrol kateter ke RSUPNCM
Analgesia intratekal untuk tatalaksana nyeri pasca bedah dilakukan selama 3 sampai 5
hari pasca bedah.
Pencabutan kateter intratekal dilakukan dengan memperhatikan status koagulasi
pasien oleh dokter anestesiologi, dokter PPDS I anestesiologi maupun perawat yang
telah terlatih untuk itu. Setelah kateter tercabut diperhatikan ujung /tip kateter untuk
memastikan tidak ada bagian kateter yang tertinggal di pasien.
Tindakan dan obat obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis pasien.

Tatalaksana nyeri pada pasien dengan penurunan


fungsi ginjal

Definisi:

Tatalaksana nyeri pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal adalah pemberian terapi untuk
mengurangi dan atau menghilangkan nyeri pada pasien yang sudah mengalami penurunan
fungsi ginjal hingga pada tahap gagal ginjal.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bertujuan untuk memberikan
tatalaksana nyeri yang efektif pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dengan
menghindari efek samping dan komplikasi yang tidak diinginkan akibat fungsi ginjal yang
menurun.
Ruang lingkup :
Tatalaksana nyeri pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal ini ditujukan untuk seluruh
pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang membutuhkan penanganan nyeri yang menjalani
pengobatan di RSUPN CM, baik pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap.
Prosedur :
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, setiap
pasien harus dilakukan penilaian derajat nyeri terlebih dahulu. Pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, dilakukan anamnesis mengenai riwayat penurunan fungsi ginjal yang dimiliki
pasien dan terapi apa saja yang sedang digunakan. Selain itu, mungkin juga diperlukan pula
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui sejauh mana gangguan atau penurunan fungsi
ginjal yang terjadi.
Analgesia yang dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal, antara lain:
a. Fentanyl, ketamin, parasetamol.
b. Tramadol
c. Bupivakain, levobupivakain, lidokain digunakan dengan hati hati dengan mengurangi
total dosis yang diberikan
d. Amitriptilyne, klonidin, gabapentin, kodein, morphin, dihindarkan pada pasien
gangguan ginjal berat.
e. NSAID dan petidine sebaiknya dihindarkan pemberiannya pada pasien-pasien dengan
penurunan fungsi ginjal yang signifikan.

Tatalaksana nyeri pada psien kritis di ICU


Definisi:
Tatalaksana nyeri pada pasien kritis di ICU adalah pemberian terapi untuk mengurangi dan
atau menghilangkan nyeri pada pasien-pasien dalam kondisi kritis yang mendapat perawatan
di ICU.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri pada pasien kritis di ICU bertujuan untuk memberikan tatalaksana nyeri
yang efektif pada pasien kritis sehingga mencegah morbiditas yang dapat terjadi pada pasien
yang dirawat di ICU.
Ruang lingkup:
Tatalaksana nyeri pada pasien kritis di ICU ini ditujukan untuk seluruh pasien yang dirawat di
ICU RSUPN CM.
Prosedur:
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien harus dilakukan penilaian derajat nyeri
terlebih dahulu. Penilaian nyeri pada pasien kritis mengalami nyeri segera dilakukan
penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri BPS (Behavioral Pain Scale), dan
dikonfirmasi dengan keadaan klinis pasien (misalnya frekuensi nadi atau tekanan darah).
Dilakukan pula evaluasi sumber dan jenis nyerinya, apakah memang memiliki sumber nyeri
yang menetap (misalnya keganasan), akut (pada luka pasca pembedahan), atau bersifat
prosedur medis (suction, perawatan luka, pemasangan ETT, kateter atau drainage,
dll).Tatalaksana obat-obatan yang sudah didapat sebelumnya oleh pasien juga perlu
dievaluasi.
Pemilihan obat yang akan digunakan juga harus disertai pertimbangan terhadap keadaan
umum pasien, tanda vital, penyakit yang mendasari, gangguan organ yang ada serta keadaan
alergi terhadap obat yang akan diberikan. Pilihan obat yang dapat digunakan antara lain:
1. NSAID untuk nyeri ringan, seperti asetaminophen, ketoprofen atau dexketoprofen.
2. Penggunaan NSAID yang disertai adjuvan opioid lemah seperti tramadol
3. Penggunaan opioid untuk nyeri yang bersifat menengah sampai berat. Opioid yang
dapat digunakan baik yang alami seperti morfin ataupun yang sintetik seperti fentanyl,
remifentanyl atau golongan pethidin
4. Anestesia lokal
Teknik pemberiannya adalah dengan menggunakan jalur intravena, patient controlled
analgesia (PCA), epidural analgesia, ataupun blok perifer .

Tatalaksana Nyeri pada pasien psikiatri


Definisi:
Tatalaksana nyeri pada pasien psikiatri adalah pemberian terapi untuk mengurangi dan atau
menghilangkan nyeri pada pasien dengan gangguan kejiwaan.
Tujuan:
Tatalaksana nyeri pada pasien psikiatri ini ditujukan untuk memberikan tatalaksana yang
efektif pada pasien psikiatri dengan memperhatikan interaksi obat-obat nyeri dengan
tatalaksana obat-obat pasien psikiatri.
Ruang Lingkup:
Tatalaksana nyeri pada pasien psikiatri ini berlaku pada setiap pasien psikiatri di RSUPN
CM, baik pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan.
Prosedur:
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien harus dilakukan penilaian derajat nyeri
terlebih dahulu. Untuk pasien yang masih dapat berinteraksi dengan dokternya, penilaian
derajat nyeri dilakukan dengan skala nyeri numeric rating scale/FACES scale.
Untuk pasien yang memiliki derajat nyeri <4, pasien dan/atau keluarga diberi edukasi untuk
tatalaksana nyeri yaitu bila merasakan nyeri harus segera melaporkan ke perawat, DPJP atau
anggota tim tatalaksana nyeri. Pasien dan atau keluarga juga diingatkan untuk meminum obat
atau regimen anti nyeri yang diberikansecara teratur.
Pada pasien dengan derajat nyeri >4, dilakukan tahapan-tahapn sebagai berikut:
1. Evaluasi Psikiatri, meliputi:
a. Gejala gangguan psikiatri yang ada saat ini, mencari tahu adanya hubungan
yang bermakna antara factor komorbid gangguan psikiatri dan terjadinya nyeri
.
b. Evaluasi interaksi tatalaksana psikiatri yang sudah didapat dengan tatalaksana
nyeri yang akan diberikan. Untuk mencegah timbulnya gejala psikiatri seperti
sedasi dan depresi akibat penggunan obat untuk tatalaksana nyeri.
2. Selama pemberian tatalaksana nyeri, tatalaksana terhadap gangguan psikiatri harus
tetap dilanjutkan atau dimulai, baik berupa terapi konseling maupun dengan obatobatan.
3. Edukasi psikologis yang dapat diberikan pada pasien :
a. Relaksasi untuk mengurangi ansietas dan respon stress terhadap nyeri
b. Meningkatkan kualitas tidur
c. Membangun perilaku dan sikap psoikologis yang positif terhadap nyeri
4. Penjelasan mengenai resiko, manfaat dan terapi-terapi alternatif perlu dijelaskan
kepada pasien dan/atau keluarganya :
a. Obat-obatan yang digunaan rentan menimbulkan penyalahgunaan.
b. Kemungkinan Interaksi obat-obatan untuk tatalaksana nyeri dengan
tatalaksana gangguan psikiatri juga perlu dijelaskan agar pasien dan/atau

keluarganya dapat menilai dengan baik apabila interaksi tersebut


menimbulkan efek yang tidak diharapkan.
c. Faktor Resiko mengenai multimodal terapi, akumulasi obat, interaksi obat,
penggunaan alkohol dan intoksikasi.
Pilihan obat-obatan yang dapat digunakan untuk memberikan tatalaksana nyeri pada pasien
psikiatri antara lain sebagai berikut:
1. Obat-obat golongan antidepresan dan anticonvulsant :
a. SNRI (serotonin-norepinefrin reutake inhibitor)
b. Amitriptilin dan nortriptilin
2. Penggunaan opioid sebagai terapi adalah mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan
secara perlahan.
3. NSAID
4. Tramadol
5. Paracetamol

Tatalaksana nyeri pada pasien end of life care


Definisi:
Tatalaksana nyeri pada pasien end of life care adalah tatalaksana nyeri pada pasien yang
masuk dalam stadium terminal.
Tujuan :
Tatalaksana ini untuk memastikan bahwa pasien end of Life Care di RSUPNCM
mendapatkan tatalaksana nyeri dengan baik sehingga didapatkan kualitas hidup yang lebih
baik.
Ruang Lingkup :
Tatalaksana nyeri pada pasien end of Life Careini berlaku untuk seluruh pasien end of life
care di lingkungan RSUPNCM, baik rawat jalan maupun rawat inap.
Prosedur:
Tatalaksana nyeri pada pasien end of life care dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
1. Farmakologis
Tatalaksana ini diberikan melalui obat-obatan analgesi, sedasi, dan obat-obat
tambahan yang dapat mengurangi ketidaknyamanan.Secara umum obat-obat narkotik
untuk menghilangkan nyeri, benzodiazepine untuk agitasi dan ansietas.
2. Non farmakologis
Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain memastikan adanya pendampingan baik
keluarga / teman / pemuka agama sesuai yang dianut pasien, menyesuaikan ruang
rawat pasien agar lebih tenang dan privasi pasien dapat terjaga, serta memberikan
perawatan sehari-hari agar terakomodasinya perawatan pasien yan sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
Pada tatalaksana dengan pendekatan farmakologis, penentuan dosis awal didasarkan pada
hal-hal berikut:
a. Paparan pasien terhadap terapi narkotik sebelumnya karena toleransi dapat
muncul dengan cepat
b. Umur
c. Riwayat penyalahgunaan obat dan alcohol sebelumnya
d. Penyakit yang diderita
e. Adanya gangguan organ yang dialami pasien
f. Tingkat kesadaran pasien
g. Ketersediaan dukungan psikologis dan spiritual
h. Keinginan pasien terhadap pemberian sedasi
Penggunaan obat-obatan farmakologis membutuhkan titrasi dosis sampai didapatkan dosis
optimal, Titrasi dilakukan disesuaikan dengan keinginan pasien, tanda-tanda depresi napas,
tanda-tanda fisiologis, juga tanda-tanda nyeri lainya seperti wajah yang menahan nyeri
(menyeringai), menangis atau melalui kata-kata pasien.

Tatalaksana pada nyeri kronis


Definisi
Nyeri kronik adalah nyeri dengan berbagai etiologi, yang tidak berhubungan langsung
dengan penyakit keganasan, tetapi berhubungan dengan kondisi medik kronik tertentu atau
nyeri akibat trauma jaringan yang durasinya lebih lama dari yang biasa diderita pasien, serta
mengganggu fungsi atau kesejahteraan individu tersebut.
Tujuan
Tatalaksana nyeri kronis ini bertujuan untuk mengoptimalisasi tatalaksana nyeri, dengan
menyadari bahwa keadaan pain- free kadang akan sulit dicapai pada nyeri kronik.
Diharapkan pasien dapat mengalami perbaikan kemampuan fungsional, fisik , psikologis
serta kesejahteraan individu. Selain itu, tatalaksana ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien dengan meminimalisasi efek samping yang mungkin terjadi.
Ruang lingkup
Tatalaksana ini digunakan untuk pasien dengan nyeri neuropatik non-kanker, nyeri somatik
(misalnya miofasial) atau sindrom nyeri viseral.
Prosedur
Evaluasi pasien
Semua pasien dengan dugaan nyeri kronik dilakukan evaluasi melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Pada anamnesis terdapat beberapa hal yang harus digali, yaitu:
a. Riwayat medis secara umum dengan penekanan pada kronologi dan simptomatologi
nyeri yang dikeluhkannya.
b. Riwayat nyeri yang diderita pasien: onset, kualitas, distribusi, durasi, komponen
sensorik dan afektif nyeri, keadaan yang mencetuskan nyeri dan keadaan yang
menghilangkan nyeri.
c. Simptom tambahan yang ada, misalnya perubahan motorik, sensorik dan otonomik.
d. Pemeriksaan diagnostik terdahulu, terapi yang sudah didapat dan terapi yang saat ini
masih didapat pasien.
e. Catatan medik terdahulu, riwayat pembedahan, riwayat sosial termasuk penyalah
gunaan obat, riwayat keluarga, alergi.
f. Penyebab dan akibat nyeri (misalnya keterbatasan kemampuan fisik dan psikososial,
pengaruh terhadap mood, tidur, hubungan interpersonal, perubahan tingkah laku).
Pemeriksaan fisik rutin tetap dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran kesehatan fisik pasien
dan adakah gangguan anatomis yang kemungkinan memberikan pengaruh pada muncul nyeri
pada pasien.Selain itu dibutuhkan pula pemeriksaan neurologik dan muskuloskeletal
menyeluruh.

Pada pasien dengan nyeri kronis, dibutuhkan pula pemeriksaan psikososial.Hal ini untuk
memberikan tatalaksana yang holistik karena penyebab nyeri dapat pula diakibatkan oleh
gangguan pada psikologis.Pemeriksaan psikososial mencakup ada tidaknya gejala psikologis
(ansietas, depresi, marah), gangguan psikiatri, dan mekanisme coping.
Untuk kasus tertentu, terkadang diperlukan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dalam
penegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan sebelum pemberian tatalaksana
pada kasus nyeri kronis antara lain:
a. Non intervensional : CT scan. Radiologis dan sebagainya
b. Intervensional sesuai evaluasi pasien, misalnya: blok radiks saraf selektif, medial
branch block, facet joint injection, atau sacroiliac joint injection

Tatalaksana
Pada pasien dengan nyeri kronis, sebaiknya selalu menggunakan tatalaksana multimodal.
Jenis-jenis tatalaksana yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Farmakologi
a.Antikonvulsan (2-delta-calcium channel antagonist seperti gabapentin dan
pregabalin, sodium channel antagonist dan membrane stabilizing agent seperti
lidokain) dapat menjadi bagian tatalaksana multimodal pada pasien nyeri kronik.
b. Antidepresan (tricyclic anti depressants dan serotonin norepinephrine
reuptake inhibitor) juga merupakan bagian tatalaksana multimodal pada nyeri
kronik. Selective serotonin reuptake inhibitor dapat digunakan pada pasien
dengan neuropati diabetik.
c.Non Steroid Anti Inflammation drug (NSAID)
d. Opioid kuat hanya dapat diberikan pada pasien tertentu setelah seleksi ketat,
misalnya: extended release oral morphin, transdermal fentanyl
e.NMDA antagonis hanya dapat diberikanpada pasien tertentu setelah melewati
seleksi ketat (dekstrometorphan, ketamin, nementine)
f. Skeletal muscle relaxants
g. Benzodiazepin
h. Obat topikal : lidokain, capsaicin
2. Terapi fisik atau restoratif, dapat digunakan sebagai komponen dalam terapi
multimodal pada nyeri kronik tertentu seperti low back pain.
3. Terapi psikologisseperti cognitive behavioral therapy, biofeedback, atau relaxation
training,
dapat digunakan juga sebagai bagian terapi multimodal nyeri kronik.
Demikian juga dengan psikoterapi, group therapy atau konseling.
4. Injeksi trigger point, dapat dipergunakan untuk terapi nyeri pada nyeri myofascial
dan bagian dari komponen multimodal pada nyeri kronik lain.
5. Terapi ablatif, bisa dipertimbangkan setelah modalitas lain gagal memberikan hasil :
a. Denervasi kemikal (dengan alkohol, fenol atau anestesia lokal konsentrasi tinggi
) tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien nyeri kronik non kanker.
b. Cryoablation dapat dilakukanpada pasien tertentu , misalnya low back pain,
sindrom nyeri pasca torakotomi dan nyeri saraf perifer.

c. IDET dapat dipertimbangkan pada pasien muda aktif dengan single level
degenerative disc dan well maintained disc height.
d. Ablasi radiofrekwensi :
- ablasi radiofrekwensi konvensional (80C) atau termal (67C) dapat
dilakukan pada saraf medial branch dilakukan pada kasus facet joint
pain bila injeksi diagnostik terdahulu pada saraf tersebut memberikan
hasil baik..
- ablasi radiofrekwensi konvemsional dapat dilakukan pada kasus neck
pain

6. Akupunktur, baik tradisional akupunktur maupun elektroakupunktur, merupakan


terapi ajuvan terhadap terapi konvensional (obat, latihan dan physical therapy) pada
low back pain nonspesifik dan non inflammasi.
7. Blok :
a. Blok sendi:
i. Injeksi intraarticular sendi facet dapat digunakan untuk menghilangkan
nyeri pada facet mediated pain.
ii. Injeksi sendi sacroiliac dapat digunakan menghilangkan nyeri pada
sacroiliac joint pain .
b. Blok saraf dan radiks saraf:
i. Blok pleksus celiac menggunakan anestesia lokal dengan atau tanpa
steroid dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pada pankreatitis
kronik.
ii. Blok simpatetik lumbal atau blok ganglion stelatum dapat merupakan
salah satu dari komponen terapi multimodal pada CRPS (Complex
Regional Pain Syndrome) bila setelah blok dijumpai perbaikan klinis yang
konsisten dan pemanjangan durasi bebas nyeri. Blok simpatetik tidak
dianjurkan digunakan untuk terapi jangka panjang CRPS atau pada nyeri
neuropatik non- CRPS.
iii. Blok medial branch dapat digunakan untuk tatalaksana facet mediated
spine pain.
iv. Blok saraf somatik perifer tidak digunakan untuk terapi nyeri kronik.
8. Toksin botulinumdapat digunakan sebagai ajuvan pada sindrom piriformis. Untuk
nyeri miofasial, toksin botulinum tidak dianjurkan digunakan secara rutin.
9. Stimulasi saraf elektrik, termasuk di dalamnya neuromodulasi dengan stimulus
elektrik (stimulasi saraf perifer subkutaneus dan stimulasi medula spinalis) dan
stimulasi elektrik saraf transkutaneus (TENS : transcutaneous electrical nerve
stimulation)
a.Stimulasi saraf perifer subkutaneus dapat digunakan sebagai salah satu
komponen multimodal pada nyeri akibat cedera saraf perifer yang tidak
memberikan respon terhadap terapi lain.
b. Stimulasi medula spinalis dapat digunakan sebagai salah satu komponen
multimodal dari nyeri radikular yang menetap, CRPS, nyeri neuropatik perifer,
penyakit vaskular perifer atau neuralgia post herpetik yang tidak memberikan
respon terhadap terapi lain.

c.TENS dapat digunakan sebagai salah satu komponen terapi multimodal pada
pasien dengan nyeri pinggang kronik, nyeri leher dan phantom limb pain.
10. Steroid epidural dengan atau tanpa anestesia lokal dapat digunakan sebagai
komponen terapi multimodal pada pasien tertentu dengan nyeri radikular atau
radikulopati. Untuk injeksi epidural transforaminal, penyuntikan dilakukan dengan
mempertimbangkan komplikasi yang mungkin terjadi, dan hanya dapat dilakukan
dengan panduan radiologis untuk memastikan letak jarum dan penyebaran kontras
yang tepat sebelum menginjeksikan steroid.
11. Injeksi intratekal :
a.Blok neurolitik intratekal dengan alkohol dan fenol bukan merupakan
tatalaksana rutin pada pasien dengan nyeri kronik non kanker.
b. Injeksi obat non opioid intratekal : steroid bebas preservatif untuk neuralgia
post herpetik yang tidak respon dengan terapi lain.
c.Injeksi opioid intratekal dapat diberikan pada pasien nyeri kronik non kanker
dengan mempertimbangkan risiko yang dapat terjadi.
12. Prosedur spinal minimal invasif (seperti vertebroplasti) dapat digunakan untuk
terapi nyeri kronik yang berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra.

Edukasi tatalaksana nyeri kepada pasien


Definisi:
Edukasi tatalaksana nyeri pada pasien adalah pemberian informasi mengenai tatalaksana
nyeri yang diberikan kepada pasien baik pada saat nyeri, sebelum nyeri, atau setelahnya.
Tujuan:
Pemberian edukasi tatalaksana nyeri kepada pasien adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai persiapan, prosedur, manfaat, efek samping dan komplikasi yang mungkin timbul
dari pemberian tatalaksana nyeri terhadap pasien.
Ruang Lingkup :
Edukasi tatalaksana nyeri ini diberikan kepada seluruh pasien yang menjalani tatalaksana
nyeri di RSUPN CM, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Prosedur:
Edukasi mengenai tatalaksana nyeri ini diberikan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
pasien. Dalam pemberian edukasi sebaiknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis terapi yang akan dilakukan.
2. Obat-obatan analgesia yangakan digunakan, meliputi penjelasan mengenai kelebihan
maupun kegunaan serta kekurangan maupun komplikasi dari obat-obatan yang
digunakan.
3. Penjelasan tindakan pencegahan terhadap efek samping dan komplikasi yang
mungkin terjadi oleh karena obat-obatan tatalaksana nyeri.
4. Khusus bagi pasien yang akan pulang juga diberikan edukasi tatalaksana nyeri untuk
di rumah.
Pada pasien dengan derajat nyeri < 4, edukasi yang perlu disampaikan meliputi:
1. Bila merasakan nyeri harus segera melaporkan ke perawat, DPJP atau
anggota tim tatalaksana nyeri.
2. Obat atau regimen anti nyeri yang diberikan, diminum secara teratur.
Pemberian edukasi mengenai tatalaksana nyeri dilakukan oleh dapat dilakukan oleh perawat,
DPJP atau anggota tim tatalaksana nyeri. Edukasi yang diberikan kemudian
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Setelah menerima penjelasan dan mengerti, pasien berhak menyetujui atau menolak tindakan
medis yang akan dilakukan. Jika pasien menyetujui dilakukan tindakan medis seperti yang
sudah dijelaskan, maka pasien akan menandatangani lembar Persetujuan Tindakan Medis /
Informed Concent. Jika pasien tidak menyetujui tindakan medis yang akan dijalani,maka
pasien akan diminta untuk menandatangani lembar Penolakan Tindakan Medis.Persetujuan
atau penolakan tindakan medis ditandatangani oleh pasien dan keluarga yang
bertanggungjawab, saksi, dan dokter yang memberikan penjelasan di atas.

Bantuan Hidup Dasar


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Bantuan hidup dasar adalah pertolongan pertama yang segera dilakukan bila diduga adanya
keadaan berkurangnya perfusi ke otak, henti nafas, atau henti jantung.
Tujuan

Memperbaiki perfusi oksigen sambil menunggu bantuan hidup lanjut dan bantuan
definitif dapat diberikan.
Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat berkurangnya perfusi oksigen ke otak

Kebijakan

Bantuan hidup dasar dilakukan oleh dokter atau perawat yang telah terlatih untuk itu
Dokter anestesi atau residen anestesi yang ada memimpin tindakan resusitasi
Bantuan hidup dasar terdiri atas:
Pengenalan segera dari henti jantung dan aktivasi Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC)
Kompresi jantung/paru segera
Defibrilasi cepat

Prosedur
Tidak responsif
Tidak bernapas atau
tidak bernapas normal
Aktivasi Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC)
Siapkan defbrilator

Cek nadi:

Teraba nadi
dalam 10 detik ?

Berikan 1 kali
napas tiap 5-6
detik
Ulangi
pemeriksaan
nadi setiap 2

Mulai siklus kompresi : 30 kali kompresi dan


2 kali bantuan napas

AED/defibrilator
datang

Cek ritme :
Shockable?
Shockabl
Berikan 1 shock
Segera lanjutkan
kompresi
jantung/paru

Not

Segera lanjutkan
kompresi
jantung/paru selama
2 menit
Cek ritme setiap 2
menit, lanjutkan
sampai TMRC

Prosedur Memulai dan Mengakhiri Resusitasi


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Resusitasi adalah tindakan penyelamatan nyawa yang dapat meningkatkan harapan hidup
setelah henti jantung.

Tujuan
Mengembalikan fungsi napas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh sebab yang

datangnya tiba-tiba.

Kebijakan
Tindakan memulai dan mengakhiri resusitasi dilakukan oleh dokter konsultan atau

residen atau perawat yang telah terlatih dan dinyatakan mampu melakukan
tatalaksana dengan segera dan tepat
Tindakan penatalaksanaan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis
pasien

Prosedur
Resusitasi dimulai jika kriteria terpenuhi tetapi diragukan apakah kedua fungsi itu

telah berhenti secara pasti (irreversibel) atau tidak.


Resusitasi tidak dilakukan pada:
Kematian normal
Stadium terminal penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi
Hampir pasti fungsi serebral tidak akan pulih kembali setelah 0,5-1 jam resusitasi
pada keadaan normotermia, tidak dalam pengaruh obat, dan tidak ada gangguan
metabolik
Pasien dengan kriteria Do Not Resuscitate (DNR)
Resusitasi dapat diakhiri pada:
Fungsi sirkulasi dan ventilasi telah kembali spontan efektif dan tekanan sistolik > 60
mmHg.
Penolong telah terlalu lelah.
Pasien telah dinyatakan mati oleh dokter, dengan kriteria:
Henti jantung dan nafas telah berlangsung selama 30 menit sejak dimulainya
Resusitasi Jantung Paru (RJP) tanpa respon
Tidak adanya refleks motorik
Tidak adanya refleks pupil, kornea, muntah, batuk dan nafas
dipastikan pasien tidak akan meraih kembali fungsi serebralnya.
Penghentian bantuan hidup (withdrawing) hanya dilakukan dengan setting ICU. Pada
setting ruang resusitasi dilakukan hanya resusitasi atau penghentian resusitasi.
Pasien DNR tetap mendapatkan suplementasi oksigen, pembersihan jalan nafas
dengan suction, memberikan posisi yang nyaman bagi pasien, imobilisasi, kontrol
perdarahan, pemberian obat nyeri, serta dukungan emosional meskipun tidak

dilakukan kompresi dada, pemberian jalan nafas buatan, pemberian obat-obat


resusitasi, defibrilasi, memberikan alat bantuan pernafasan (selain penghisap lendir
dan suplementasi oksigen), inisiasi resusitasi intravena atau monitoring
kardiovaskular.

Pemasangan Jalur Arteri


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Jalur arteri adalah alat yang dimasukkan ke dalam arteri.Bila terpasang dengan benar,
berfungsi untuk memantau tekanan darah sistemik secara kontinyu dan memudahkan
pengambilan sampel darah guna pemeriksaan analisis gas darah (AGD) dan elektrolit.
Tujuan

Pemantauan kontinyu tekanan darah sistemik.


Memudahkan pengambilan sampel darah guna pemeriksaan analisis gas
darah (AGD) dan elektrolit.
Kebijakan
Pemasangan jalur arteri dilakukan oleh dokter konsultan atau residen yang telah

terlatih dan dinyatakan mampu melakukan tatalaksana dengan segera dan tepat
Tindakan penatalaksanaan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis
pasien
Prosedur
Alat dan bahan:
1. Umum
- Kanul intravena (20G untuk dewasa dan 22G untuk anak-anak).
- NaCl 0.9% yang diberi heparin 500-1000 U / 500 mL.
- Larutan antiseptic.
- Kassa steril.
- Sarung tangan steril.
- Plester.
- Lidokain 2% dalam spuit 1 mL.
2. Tambahan khusus untuk pemantauan kontinu tekanan darah sistemik:
- Kantung bertekanan (pressure bag).
- Tansduser yang dihubungkan dengan monitor.
- Pressure monitoring kit yang dihubungkan dengan transduser.
- Three-way panjang (6 inci), kecuali jika pressure monitoring kit telah dilengkapi
dengan three-way ini.
Prosedur:
-

Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarganya tentang prosedur yang akan


dilakukan.

Pressure monitoring kit dihubungkan dengan NaCl 0,9% berheparin yang dimasukkan
dalam kantung bertekanan.*
Pastikan tidak ada udara di sepanjang selang kit.*
Pompa kantung hingga tekanan 300 mmHg.*
Daerah yang akan dipunksi diekspos dengan cara mengganjal.
A dan antisepsis.
Infiltrasi lidokain pada tempat punksi.
Punksi pada arteri yang dimaksud menggunakan kanul intravena yang sesuai.
Setelah kanul terinsersi dengan baik, sambungkan dengan three-way panjang.
Tutup three-way ke arah proksimal, biarkan darah mengalir kaluar melalui port pada
three-way.
Tutup three-way ke arah distal (arah pasien).
Bilas (flush) cairan NaCl berheparin ke arah luar. Pastikan tidak ada udara lagi
sepanjang selang.
Tutup three-way ke arah port, bilas NaCl berheparin ke arah pasien.
Kalibrasi nilai tekanan.*
Fiksasi dengan plester, tutup tempat punksi dengan kassa steril setelah diberi
antiseptik.
Prosedur selesai.

*Prosedur khusus untuk monitoring hemodinamik

Pemasangan Kateter Vena Sentral


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Kateter vena sentral adalah alat yang dimasukkan ke dalam vena sentral. Bila terpasang
dengan benar, berfungsi untuk mengukur tekanan vena sentral, memudahkan pemberian obatobat intravena, dan untuk pemberian nutrisi parenteral serta cairan dengan osmolaritas tinggi.
Tujuan

Untuk pengukuran tekanan vena sentral (TVS).


Untuk memudahkan pemberian obat-obat intravena terutama yang
mengiritasi pembuluh darah perifer.
Untuk pemberian nutrisi parenteral serta cairan dengan osmlaritas
tinggi.
Kebijakan
Pemasangan kateter vena sentral dilakukan oleh dokter konsultan atau residen yang

telah terlatih dan dinyatakan mampu melakukan tatalaksana dengan segera dan tepat
Tindakan penatalaksanaan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis

pasien
Prosedur
Alat dan bahan:
3. Umum
- Kanul intravena (20G untuk dewasa dan 22G untuk anak-anak).
- Kateter vena sentral.
- Guide wire.
- NaCl 0.9% yang diberi heparin 500-1000 U/ 500 mL.
- Manometer line atau pressure monitoring kit.
- Gaun dan sarung tangan steril.
- Duk bolong steril.
- Cairan antiseptik.
- Anestetik lokal dan spuit 3 mL.
- Spuit 3 mL.
- Needle holder.
- Benang silk 2.0.
- Penutup kepala dan masker.
- Kassa dan plester.
Tambahan untuk pengukuran TVS dengan alat monitor

Kantung bertekanan (pressure bag).


Transduser atau manometer.

Prosedur:
1. Lihat kondisi pasien.
2. Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarganya tentang prosedur yang akan
dilakukan. Pastikan ada persetujuan tindakan medik tertulis.
3. Pasang monitor, minimal EKG dan oksimeter denyut. Bila perlu dapat diberikan
suplemen oksigen pada pasien.
4. Pelaku menggunakan tutup kepala, masker, mencuci tangan dan menggunakan gaun
serta sarung tangan steril.
5. Semua lumen kateter harus diperiksa patensinya dengan cara memasukkan NaCl 0.9%
yang telah diheparinisasi ke dalam setiap lumen, sekaligus menghilangkan ruang
udara dan mencegah bekuan darah di dalam lumen kateter.
6. Asisten memposisikan pasien sesuai lokasi pemasangan Jika vena subklavia atau vena
jugularis, pasien diposisikan head down 15-30 (jika perlu).
7. A dan antisepsis daerah insersi dan sekitarnya.
8. Lokasi insersi ditutup dengan duk bolong steril.
9. Pemberian anestetik lokal pada tempat insersi.
10. Pemasangan KVS dengan teknik Seldinger:
-

Setelah punksi vena, guide wire dimasukkan melalui jarum atau kanul intravena
sampai 20 cm atau sampai terlihat gambaran aritmia pada monitor EKG.
Setelah jarum atau kanul dicabut, dilator dimasukkan dengan panduan guide wire
setelah dilakukan insisi kulit seperlunya.
Setelah dilator dicabut, KVS dimasukkan dengan panduan guide wire.
Guide wire dicabut, dilakukan aspirasi darah, lalu dilakukan flushing dengan NaCl
berheparin. Prosedur diulangi untuk semua lumen.
KVS kemudian difiksasi dengan penjahitan pada kulit.
Beri daerah insersi cairan antiseptik, tutup dengan kassa steril.
Kateter disambungkan dengan transduser atau manometer.
Kalibrasi tekanan vena sentral.
Konfirmasi posisi kateter dengan foto toraks.

Defibrilasi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Defibrilasi adalah terapi syok listrik dalam energi tertentu yang diberikan secara langsung
atau tidak langsung pada aritmia jantung.
Tujuan
Pemberian terapi yang efektif, dengan dosis yang sesuai
Mendapatkan hasil maksimal dari defibrilasi

Kebijakan
Defibrilasi merupakan terapi utama pada fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel

tanpa nadi
Lingkungan sekitar pasien harus dipastikan bebas dari pasien saat dilakukannya syok
Defibrilasi harus segera dilaksanakan bila didapati adanya VF atau pulseless VT
Pada penatalaksanaan VF/VT pada henti jantung hipotermik, syok diberikan sampai 3
kali. Ulangi syok kembali bila suhu tubuh telah naik di atas 30 C
Bila pasien terpasang implant pacu jantung, paddle atau pad diletakkan beberapa inci
dari generator pacu jantung pasien

Prosedur
Defibrilator konvensional (manual) monofasik atau bifasik
Hidupkan defibrillator
Pilih level energi 360 j untuk monofasik, atau yang sesuai untuk bifasik
Lead monitor pada I, II atau III bila telah terpasang lead monitor
Bila belum, pilih lead pada paddle
Berikan gel pada paddle
Posisikan paddle pada pasien (apex-sternum)
Cek monitor pada defibrilator, pastikan jenis irama jantung. Bila VF/VT siap untuk
defibrilasi
Umumkan pada anggota tim resusitasi: Charging defibrilator- stand clear
Tekan tombol charge pada paddle apex atau pada kontrol defibrilator
Bila proses charge telah selesai, umumkan sebelum syok dilakukan (atau yang sejenis
dengan di bawah ini):

Shock on three, One, Im clear. (periksa untuk memastikan bahwa operator tidak
kontak dengan pasien, tempat tidur pasien dan alat-alat)

Two, you are clear. (Periksa secara visual untuk memastikan bahwa tidak ada
yang kontak dengan pasien atau tempat tidur pasien. Pastikan bahwa pemberi
ventilasi tidak menyentuh alat-alat ventilasi, termasuk endotracheal tube)

Three, everybody clear. (Pastikan sekali lagi operator tidak kontak)


Berikan tekanan sebesar lebih kurang 10 kg pada kedua paddle
Tekan tombol discharge bersamaan

Cek monitor. Bila VT/VF menetap, segera recharge defibrilator


Syok berikutnya menggunakan level energi yang sama 360 j (monophasic), dengan

mengulangi langkah-langkah diatas


Seluruh langkah terdokumentasi secara tertulis.

Intubasi Endotrakea
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Intubasi endotrakea adalah tindakan pemasangan pipa endotrakea ke dalam trakea.
Indikasi:
Pemberian ventilasi mekanik
Mempertahankan jalan nafas:
Obstruksi jalan nafas atas:

Potensial: luka bakar dini

Nyata: epiglotitis, trauma


Transportasi pasien
Melindungi jalan nafas
Pasien dengan resiko aspirasi
Gangguan kesadaran
Hilangnya refleks glottis
Tracheal toilet
Jalur masuk obat melalui pipa endotrakea

Tujuan
Minimalisasi komplikasi yang mungkin timbul akibat intubasi endotrakea
Pemantauan dini komplikasi akibat intubasi endotrakea dan penatalaksanaan segera

dari komplikasi yang timbul


Keamanan dan kenyamanan pasien terjamin selama pelaksanaan prosedur
Didapatnya keuntungan klinis yang jelas dengan intubasi endotrakea

Kebijakan
Intubasi endotrakea dilakukan oleh dokter anestesi atau residen yang telah dinyatakan

terlatih dan mampu oleh konsultan anestesi untuk melakukan intubasi endotrakea.
Residen anestesi yang belum terlatih dapat melakukan prosedur tersebut dengan
supervisi dokter konsultan anestesi atau residen anestesi yang telah terlatih
Dibutuhkan asisten yang telah terlatih selama prosedur
Bila ditemukan kesulitan intubasi, segera minta bantuan dari yang ahli
Intubasi orotrakea adalah tehnik intubasi standar di RSCM
Intubasi nasotrakea dapat dilakukan bila ada indikasi untuk itu
Metode intubasi:

Visualisasi langsung dengan rapid sequence intubation


Bronkoskopi serat optik (awake intubation)
Intubating laryngeal mask (Fastrac)

Sebelum melaksanakan prosedur, dijelaskan terlebih dahulu pada pasien bila mungkin

dan pada keluarga pasien, kecuali pada keadaan emergensi atau pada tindakan
resusitasi. Izin tindakan tertulis dilengkapi dan ditandatangani pasien atau keluarga
pasien
Komplikasi:

Selama tindakan intubasi

Aspirasi

Kerusakan gigi

Perforasi oropharing dan atau laring

Epistaxis

Hipoksemia

Iskemik miokard

Edema paru

Intubasi endobronkial

Intubasi esofagus

Stimulasi vagal: bradikardia dan hipotensi

Laringospasm

Pasien dengan fraktur servikal dapat mengalami paralisis


Intubasi lama:

Ulserasi mukosa trakea

Pipa endotrakea tersumbat atau kinking

Intubasi endobronkhial
Pasca ekstubasi:

Nyeri tenggorokan

Kerusakan pita suara

Suara serak

Stridor

Stenosis trakea

Laringospasm

Prosedur
Intubator merupakan koordinator tindakan intubasi, dibantu beberapa asisten yang

bertugas:
Memasukkan obat
Memberikan tekanan krikoid bila dibutuhkan
Melakukan in line cervical immobilisation bila diperlukan

Pastikan akses intravena yang adekuat telah terpasang dengan baik


Alat- alat yang dibutuhkan:
Oropharyngeal airway
Suction unit yang bekerja baik dengan kateter suction yang sesuai
Bag valve mask yang sesuai
Oksigen 100% dengan flowmeter pada 15 liter/menit
2 set laryngoskop yang bekerja baik
Forsep Magill
Introducer
2 ukuran pipa endotrakea (ukuran normal dan 1 ukuran lebih kecil). Pastikan cuff pipa
endotrakea baik
Plester
Syringe untuk cuff
Stetoskop

Akses bila terjadi kesulitan intubasi

Sesuai protokol kesulitan intubasi

Alat-alat krikotirotomi/krikotiroidotomi

Pada pasien terpasang monitor:


Saturasi denyut oksigen
Tekanan darah
EKG
Bila ada: kapnografi, tekanan darah invasif
Obatobatan yang disediakan:
Obat induksi: propofol, fentanyl, midazolam, ketamin dsb
Pelumpuh otot: atrakurium, rokuronium dsb
Adrenalin
Obat-obat resusitasi yang lain
Intubasi orotrakea dengan rapid sequence induction:
Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 34 menit
Preload dengan cairan kristaloid 250-500 ml bila tidak terdapat kontra indikasi dan jika
diperlukan
Berikan obat induksi dan pelumpuh otot sesuai keadaan pasien bila tidak terdapat kontra
indikasi
Asisten memberikan tekanan pada krikoid
Visualisasi langsung pita suara dengan laringoskop dan intubasi trakea
Pasien dengan dugaan trauma servikal dilakukan pada posisi netral dengan in line axial
stabilization
Inflasi cuff pipa endotrakea sampai tidak terjadi kebocoran
Konfirmasi letak ujung pipa endotrakea:

Auskultasi dada kiri dan kanan pada saat ventilasi manual

End tidal CO2 bila tersedia


Lepaskan tekanan pada krikoid
Fiksasi pipa endotrakea
Beri ventilasi tekanan positif dengan bag valve mask atau dengan ventilator
Pastikan sedasi dan pelumpuh otot yang adekuat
Lakukan foto toraks
Catat pada rekam medis:

Panjang pipa endotrakea di gigi pasien

Keadaan pasien selama intubasi endotrakea

Obat-obatan yang diberikan

Komplikasi yang terjadi selama pemasangan pipa endotrakea

Hasil pemeriksaan foto toraks

Mengganti Pipa Endotrakea


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Sama dengan intubasi endotrakea, mengganti pipa endotrakea juga adalah tindakan dengan
risiko tinggi.

Tujuan
Minimalisasi komplikasi yang mungkin timbul.
Pemantauan dini komplikasi dan penatalaksanaan segera dari komplikasi yang timbul.
Keamanan dan kenyamanan pasien terjamin selama pelaksanaan prosedur.

Kebijakan
Tindakan mengganti pipa endotrakea membutuhkan tenaga terlatih, asisten, obat-obatan dan
monitoring yang sama dengan standard intubasi endotrakea terdahulu.

Prosedur
Berikan FiO2 100%, pasien dengan pola ventilasi SV (sponatenous ventilation)

diubah ke SIMV atau ventilasi kendali


Pastikan anestesi yang cukup pada pasien (fentanyl/ propofol/midazolam/pelumpuh

otot sesuai keadaan pasien)


Lakukan laringoskopi dan identifikasi patensi jalan nafas setelah melakukan

suctioning yang cukup, anatomi laring, derajat edema dan eksposure laring
Bila visualisasi laring baik dan edema laring minimal:
Asisten memberikan tekanan pada krikoid dan secara hati-hati dengan visualiasi langsung
pada saat laringoskopi dilakukan ekstubasi
Pertahankan laringoskopi dan ganti pipa endotrakea dengan visualisasi langsung
Bila visualisasi laring terganggu:
Gunakan ventilasi bougie/mandrene
Pada saat laringoskopi, asisten memasukkan bougie ke dalam pipa endotrakea sampai
diperkirakan ujung bougie terletak di distal ujung pipa endotrakea (lebih kurang 30 cm
dari pangkal pipa endotrakea)
Asisten mengontrol bougie untuk memastikan bougie tidak bergerak bila pipa endotrakea
digerakkan
Asisten yang lain memberikan tekanan pada krikoid dan dengan hati-hati dilakukan
ekstubasi

Pertahankan laringoskopi dan pastikan bahwa bougie tetap berada di bawah pita suara
pada saat ekstubasi
Pipa endotrakea dimasukkan dengan panduan bougie dan diteruskan sampai laring dan
trakea dengan visualisasi langsung
Cabut bougie
Inflasi cuff, dan pastikan letak ujung pipa endotrakea dengan auskultasi dan end tidal
CO2 bila ada
Lepaskan tekanan pada krikoid
Fiksasi pipa endotrakea
Hubungkan pipa endotrakea dengan ventilator
Foto toraks
Analisa gas darah

Catat pada rekam medis :


Panjang pipa endotrakea di gigi pasien
Keadaan pasien selama penggantian pipa endotrakea
Obat-obatan yang diberikan
Komplikasi yang terjadi selama penggantian pipa endotrakea
Hasil pemeriksaan foto toraks dan analisa gas darah

Pemasangan Pipa Orofaring


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pipa orofaring adalah alat yang dimasukkan melalui mulut, yang ujung distal nya akan
terletak di orofaring bila terpasang dengan benar, berfungsi untuk menahan lidah agar tidak
jatuh ke belakang (menutupi hipofaring)
Tujuan
Pemasangan pipa orofaring yang benar dan tepat, sehingga jalan nafas pasien dapat terjaga
baik.

Kebijakan
Indikasi pemasangan pipa orofaring adalah: pasien yang tidak mampu menjaga jalan

nafasnya
Pipa orofaring terpasang dengan ukuran sesuai untuk pasien, yaitu pipa orofaring
yang panjangnya sesuai dengan jarak antara ujung mulut pasien ke telinga bawah
pasien. Ukuran terlalu besar atau kecil akan menutup jalan nafas pasien
Pada pasien sadar atau setengah sadar pemasangan pipa orofaring dapat merangsang
muntah
Hati-hati pemasangan alat ini pada anak karena dapat merangsang muntah

Prosedur
Masukkan pipa orofaring ke mulut dengan lengkungan menghadap ke langit-langit
Setelah masuk separuh panjangnya, alat diputar 180 derajat hingga lengkungannya

sekarang berada menempel pada lengkungan lidah


Pastikan setelah terpasang, udara pernafasan dapat lewat dengan bebas melalui pipa

orofaring

Pemberian Adrenalin untuk Resusitasi


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Adrenalin atau epinefrin adalah salah satu obat penting dalam resusitasi jantung paru.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Adrenalin diindikasikan untuk:
Henti jantung:
VF, VT tanpa denyut, asistol, pulseless electrical activity
Bradikardi simtomatik: setelah atropine, dopamine dan transcutaneus pacing
Hipotensi berat
Reaksi anafilaksis, reaksi alergi berat: diberikan bersamaan dengan pemberian cairan
dalam jumlah banyak, kortikosteroid dan antihistamin

Prosedur
Henti jantung:
Dosis intravena:
1 mg adrenalin diberikan setiap 3 sampai 5 menit selama resusitasi. Setiap pemberian
diikuti dengan pemberian flush 20 ml NaCl 0,9%
Infus kontinu:
0,05 2 g/kg BB/menit ke dalam 250 ml NaCl 0,9% atau dekstrose 5%, titrasi sesuai
respon
Melalui pipa endotrakea:
2 sampai 2,5 mg dilarutkan dalam 10 ml NaCl0, 9%
Bradikardi atau hipotensi berat:
Infus dengan kecepatan 2 sampai 10 g/menit (atau 1 mg larutan 1:1000 dimasukkan ke
dalam 500 ml NaCl0,9%, beri dengan kecepatan 1-5ml/menit)

Pemberian Adrenalin untuk Resusitasi


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Adrenalin atau epinefrin adalah salah satu obat penting dalam resusitasi jantung paru.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Adrenalin diindikasikan untuk:
Henti jantung:
VF, VT tanpa denyut, asistol, pulseless electrical activity
Bradikardi simtomatik: setelah atropine, dopamine dan transcutaneus pacing
Hipotensi berat
Reaksi anafilaksis, reaksi alergi berat: diberikan bersamaan dengan pemberian cairan
dalam jumlah banyak, kortikosteroid dan antihistamin

Prosedur
Henti jantung:
Dosis intravena:
1 mg adrenalin diberikan setiap 3 sampai 5 menit selama resusitasi. Setiap pemberian
diikuti dengan pemberian flush 20 ml NaCl 0,9%
Infus kontinu:
0,05 2 g/kg BB/menit ke dalam 250 ml NaCl 0,9% atau dekstrose 5%, titrasi sesuai
respon
Melalui pipa endotrakea:
2 sampai 2,5 mg dilarutkan dalam 10 ml NaCl0, 9%
Bradikardi atau hipotensi berat:
Infus dengan kecepatan 2 sampai 10 g/menit (atau 1 mg larutan 1:1000 dimasukkan ke
dalam 500 ml NaCl0,9%, beri dengan kecepatan 1-5ml/menit)

Pemberian Digoksin
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Digoksin adalah salah satu obat penting dalam kegawatdaruratan kardiak.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan

Indikasi untuk memperlambat respon ventrikel pada fibrilasi atrium atau flutter atrium
Obat alternatif untuk PSVT
Toksisitas dapat terjadi ditandai dengan timbulnya aritmia
Hindari kardioversi pada pasien yang mendapat terapi digoksin kecuali mengancam
jiwa, dengan menggunakan arus listrik rendah (10 sampai 20 joule)

Prosedur
Diberikan intravena atau infus pelan 0,25 mg atau 10 sampai 15 g/kg BB ideal

sampai didapat efek terapeutik dengan toksisitas rendah


Dosis pemeliharaan tergantung pada berat badan dan fungsi ginjal

Penatalaksanaan Intoksikasi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Intoksikasi adalah perubahan fisiologis atau tingkah laku yang disebabkan oleh substansi
kimia.
Tujuan
Memberikan pertolongan segera bagi pasien-pasien yang mengalami intoksikasi

dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat intoksikasi

Kebijakan
Penanganan intoksikasi dilakukan oleh dokter yang telah terlatih untuk itu

Prosedur
1. Lakukan penilaian terhadap pasien yang mengalami intoksikasi.
2. Lakukan stabilitasi dan pertahankan jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation) terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran.
3. Identifikasi terhadap penyebab pasti keracunan.

Pemberian Dobutamin
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Dobutamin salah satu obat penting dalam kegawatdaruratan
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi:
Kegagalan pompa jantung (gagal jantung kongestif, udem paru) dengan tekanan darah
sistolik 70100 mmHg dan tidak ada gejala syok
Hindari pemberiannya pada tekanan darah <100 mmHg dengan gejala syok
Efek samping: takiaritmia, fluktuasi tekanan darah, sakit kepala, mual
Pemberiannya tidak dicampurkan dengan bikarbonat

Prosedur
250 mg dobutamin dicampurkan dengan NaCl 0,9% atau Water For Injection (WFI),

atau dekstrose 5% sesuai kebutuhan

Diberikan secara infus intravena dengan kecepatan 2 sampai 20 g/kg/menit


Titrasi sesuai kebutuhan pasien
Monitoring hemodinamik selama pemakaian dobutamin

Pemberian Dopamin
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Dopamin adalah salah satu obat penting dalam kegawat daruratan
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi:
Obat kedua setelah atropine untuk bradikardi simptomatik
Hipotensi (sistolik <70-100 mmHg) dengan tanda dan gejala syok
Dapat digunakan pada pasien hipovolemik setelah pemberian cairan adekuat
Pemberiannya tidak dicampur dengan natrium bikarbonat
Efek samping: takiaritmia, vasokonstriksi hebat

Prosedur
Dopamin 400 800 mg dicampurkan dalam NaCl 0,9%, atau Ringer laktat, atau

dekstrose 5%
Diberikan dengan infus kontinu, dititrasi sesuai respon pasien
Dosis rendah: 1-5 g/kg/menit
Dosis sedang: 50 g/kg/menit (dosis kardiak)
Dosis tinggi: 1020 g/kg/menit (dosis vasopresor)

Pemberian Heparin
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Heparin adalah salah satu antikoagulan yang sering dipakai
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Terapi lanjutan pada infark miokard akut, didahului pemberian fibrin-specific lytic

(misalnya alteplase)
Kontra indikasi:
Perdarahan aktif
Baru saja menjalani pembedahan intrakranial, intraspinal atau bedah mata
Hipertensi berat
Gangguan pembekuan darah
Perdarahan gastrointestinal
Dosis dan target laboratorium disesuaikan bila bersamaan dengan terapi fibrinolitik
Reversal efek heparin:
Protamine 25 mg , diberikan secara infus pelan selama 10 menit atau lebih
Tidak digunakan bila jumlah trombosit <100 000 atau pada pasien dengan riwayat

heparin-induced-thrombocytopenia

Prosedur
Drip intravena: Dewasa : 10.000 IU 20.000 IU/24 jam.
Anak
: disesuaikan dengan berat badan.
Teruskan infus 12 IU/kg/jam
Sesuaikan sampai didapat activated partial thromboplastin time (aPTT) 1,5 sampai 2

kali nilai kontrol


aPTT dicek setiap6 jam
Dosis dapat diubah sesuai keadaan pasien

Pemberian Kalsium Klorida dan Kalsium Glukonas


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Kalsium klorida dan kalsium glukonas adalah salah satu obat penting dalam resusitasi jantung
paru.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi:
Hiperkalemia (misalnya pada gagal ginjal)
Hipokalsemia (misalnya setelah transfusi berulang)
Antidotum terhadap efek toksik dari overdosis calcium channel blocker
Profilaksis terhadap hipotensi sebelum penyuntikan calcium channel blocker
Hipermagnesemia
Tidak digunakan rutin pada keadaan henti jantung
Tidak boleh tercampur dengan natrium bikarbonat
Pemberian terlalu cepat dapat mengakibatkan bradikardia atau asistole (terutama bila

pasien mendapat digoksin)

Prosedur
Diberikan secara intravena bolus pelan 8 sampai 16 mg/kg BB (biasanya sekitar 5-10

ml) pada keadaan hiperkalemia dan overdosis calcium channel blocker. Dapat
diulang bila dibutuhkan
2 sampai 4 mg/kgBB (biasanya 2 ml) intravena pelan sebagai profilaksis pemberian
calcium channel blocker

Pemberian Natrium Bikarbonat untuk Resusitasi


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Natrium bikarbonat adalah salah satu obat penting dalam resusitasi jantung paru.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi pemberian natrium bikarbonat:
Obat utama bila diketahui adanya hiperkalemia
Asidosis yang respon terhadap pemberian bikarbonat (diabetic ketoasidosis) atau
overdosis obat (overdosis antidepresan trisiklik, kokain, diphenhidramin, aspirin)
Resusitasi jantung paru lama dengan ventilasi yang efektif, atau setelah kembalinya
sirkulasi normal setelah periode henti jantung lama
Tidak bermanfaat dan tidak efektif diberikan pada asidosis hiperkarbi (misalnya pada

henti jantung dan resusitasi jantung paru tanpa intubasi)


Tidak direkomendasikan untuk digunakan rutin pada pasien henti jantung

Prosedur
Diberikan melalui infus 1 mEq/kg BB intravena bolus
Setengah dosis ini dapat diulang setiap 10 menit kemudian
Bila tersedia cepat, gunakan hasil pemeriksaan analisa gas darah sebagai panduan

pemberian natrium bikarbonat

Pemberian Norepinefrin
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Norepinephrine adalah salah satu obat penting dalam kegawatdaruratan kardiak.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi pemberiannya pada syok kardiogenik berat atau hipotensi signifikan (tekanan

darah sistolik <70 mmHg) dengan resistensi perifer total rendah


Ekstravasasi dapat menimbulkan nekrosis jaringan

Prosedur
Larutkan 4 mg norepinefrin dalam dekstrose 5% atau dekstrose5% NaCl0,9% atau

Water For Injection (WFI)


Diberikan melalui infus intravena 0,05 sampai 2 g/kg/menit dititrasi sampai didapat
perbaikan tekanan darah
Tidak boleh diberikan dalam satu jalur dengan larutan basa

Pemberian Oksigen
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Terapi oksigen adalah terapi penting dalam kegawatdaruratan kardiopulmoner.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Oksigen diberikan berasal dari tabung oksigen atau sumber oksigen yang telah

diinstal melalui pipa di dinding ruangan, dan dihantarkan ke pasien melalui alat
penghantar khusus
Oksigen diindikasikan untuk:

Setiap dugaan kegawatdaruratan kardiopulmoner, terutama (tapi tidak terbatas) pada


keluhan sesak nafas atau dugaan nyeri dada iskemik

Oksimetri denyut, bila tersedia, merupakan salah satu cara memantau dan mentitrasi

pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen fisiologis tubuh


Observasi ketat harus dilakukan bila oksigen diberikan pada pasien yang tergantung

pada hypoxic respiratory drive untuk bernafas


Oksimetri denyut mungkin tidak akurat pada pasien curah jantung rendah atau pasien

dengan vasokonstriksi

Prosedur

Alat

Flow

Kanul hidung

6 24 44%
liter/menit

Venturi mask

6 24 40%
liter/menit

Sungkup muka

610
liter/menit

35 60%

15 liter/menit

sampai
100%

Partial
rebreathing
Bag mask
Ventilator

O2 %

sampai
100%

Pemberian Sulfas Atropin untuk Resusitasi


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Sulfas atropin (SA) adalah salah satu obat penting dalam resusitasi jantung paru.
Tujuan
Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai dan dengan cara pemberian

yang tepat
Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada rekam medis pasien

Kebijakan
Indikasi:

Obat utama untuk sinus bradikardi simptomatik


Mungkin bermanfaat bila terdapat AV blok pada level nodal. Tidak efektif bila yang
terjadi adalah blok infranodal (Mobitz type II)

Penggunaan yang berhati-hati pada iskemik miokard dan hipoksia, karena

meningkatkan kebutuhan oksigen miokard


Hindari pada bradikardia hipotermi
Pada pasien dengan AV blok infranodal (type II) dan blok derajat tiga dengan
kompleks QRS yang lebar tidak efektif, malah dapat menimbulkan perlambatan
denyut paradoksial

Prosedur
Bradikardi:
0,5 sampai 1 mg intravena setiap 3 sampai 5 menit sesuai kebutuhan, tidak melebihi dosis
maksimal 0,04 mg/kg BB
Dapat digunakan interval dosis yang lebih singkat (setiap 3 menit) dengan dosis maksimal
yang lebih tinggi (0,04 mg/kg BB) pada keadaan klinis yang berat

Via pipa endotrakea:


2 sampai 3 mg dilarutkan dalam 10 ml larutan NaCl 0,9%

Penatalaksanaan Bradikardi Tanpa Henti Jantung


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat bradikardi.
Tujuan
Penatalaksanaan segera dan tepat kasus bradikardi.
Menurunkan mortalitas akibat bradikardi.

Kebijakan
Penatalaksanaan bradikardi dilakukan oleh dokter atau residen yang telah dinyatakan

kompeten untuk itu


Semua tindakan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis pasien

Prosedur
Pasien dengan denyut jantung < 50x/menit, lakukan penilaian klinis untuk

menentukan kebutuhan terapi.


Terapi diberikan jika salah satu symptom ada: nyeri dada, perubahan status mental,

sinkop, dyspnea, hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg), kerusakan fungsi organ
karena hipoperfusi, atau syok kardiogenik.
Berikan 0.5 mg atropine IV dan nilai ulang perbaikan klinis.
Jika bradikardi menetap, ulangi sampai dosis maksimum 3 mg.
Jika ada perbaikan, observasi pasien dan konsultasi dengan spesialis kardiologi.
Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan pacu jantung. Konsultasi dengan spesialis
kardiologi.
Jika pacu jantung tidak tersedia, pertimbangkan pemberian infuse epinefrin (2 10
g/min), dopamin (2 -10 g/kg/min), dan theophyilin (100 200 mg, bolus lambat).
Pasien yang stabil atau merenspon terhadap atropine harus dirawat di ICU dan
pertimbangkan pemasangan pacu jantung jika ada resiko asistol, seperti:
Riwayat asistol
Mobitz tipe II AV block
Complete block dengan wide QRS complex
Ventricular pause > 35 detik.

Penatalaksanaan Fibrilasi Ventrikel dan Takikardi


Ventrikel Tanpa Nadi
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel tanpa nadi adalah keadaan gawat darurat

kardiak yang mengancam jiwa, membutuhkan penatalaksanaan segera


Tujuan
Penatalaksanaan segera dan tepat fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel tanpa

denyut
Menurunkan mortalitas akibat fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel tanpa denyut

Kebijakan
Penatalaksanaan fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel tanpa denyut dilakukan

oleh dokter konsultan atau residen atau perawat yang telah terlatih dan dinyatakan
mampu melakukan tatalaksana dengan segera dan tepat
Tindakan penatalaksanaan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis
pasien

Prosedur
ALGORITMA AHA 2010

Penanganan Syok Kardiogenik


Batasan dan uraian umum
Definisi
Syok kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi yang diakibatkan oleh keadaan yang
mengakibatkan gangguan fungsi jantung sebagai pompa seperti infark miokard berat dan
kardiomiopati berat.
Tujuan

Untuk dapat memberikan pertolongan segera bagi pasien-pasien yang


mengalami syok kardiogenik di tempat kejadian
Menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat syok kardiogenik.
Kebijakan
Penatalaksanaan syok kardiogenik dilakukan oleh dokter atau residen yang telah

dinyatakan kompeten untuk itu


Semua tindakan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis pasien

Penanganan Syok Anafilaktik


Batasan dan uraian umum
Definisi
Syok anafilaktik adalah kegagalan sirkulasi yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas
terhadap alergen seperti obat, protein asing, atau toksin.
Tujuan

Untuk dapat memberikan pertolongan segera bagi pasien-pasien yang


mengalami syok anafilaksik di tempat kejadian
Menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat syok anafilaktik.
Kebijakan
Penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan oleh dokter atau residen yang telah

dinyatakan kompeten untuk itu


Semua tindakan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis pasien

Prosedur
4. Penilaian awal yang cepat harus dapat dilakukan dan dilanjutkan dengan penghentian
penggunaan obat atau alergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis tersebut.
5. Pertahankan jalan nafas, pernafasan, berikan oksigen.
6. Baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung (preload).
7. Penilaian awal yang cepat harus dapat dilakukan dan dilanjutkan dengan penghentian
penggunaan obat atau alergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis tersebut.
8. Pemasangan IV line dengan diameter yang besar. Jika terdapat tanda syok, resusitasi
dengan cairan kristaloid 20cc/kg BB.
9. Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa secara
subcutan/ intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan
membaik.
10. Pemberian antialergi diphenhidramin 50 mg IV.
11. Jika disertai dengan spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 46 mg/kgBB IV dilarutkan dalam 10 ml
NaCl 0,9%.
12. Dapat juga diberikan kortikosteroid hidrokortison 7-10 mg/ KgBB
13. Setelah syok sudah teratasi, penderita harus tetap diawasi/diobservasi untuk
mengantisipasi timbulnya syok kembali.

Penanganan Perbaikan Hemodinamik


Batasan dan uraian umum
Tujuan

Mempertahankan hemodinamik pasien.


Kebijakan
Penanganan perbaaikan hemodinamik dilakukan oleh dokter yang telah terlatih untuk

itu

Prosedur
1. Optimalisasikan oksigenasi dan ventilasi dengan mentiitrasi FiO2 untuk
mempertahankan saturasi O2 94%
2. Asses dan perbaiki syok persisten:
- Identifikasi dan tangani faktor-faktor pendukung yang mungkin terjadi, seperti
Hipovolemia,
Hipoksia,
Hydrogen
ion
(asidosis),
HipoglikemiaHipo/hiperkalemia, Hipotermia, Tension Pneumotoraks, Tamponade
Jantung, Toksin, Trombosis pulmoner, Trombosis koroner, Trauma.
- Pertimbangkan pemberian krisitaloid isotonic 20 ml/KgBB IV atau 10 ml/KbBB
jika ada kecurigaan gangguan jantung.
3. Bila syok hipotensi, masukkan Epinefrin atau Dopamin atau Norepinefrin
4. Bila syok Normotensi, masukkan Dobutamin atau Dopamin
5. Monitor dan tangani hipoglikemia
6. Asses Analisa Gas Darah, elektrolit, dan Kalsium
7. Jika Pasien tetap dalam kondisi koma setelah resusitasi dari henti jantung,
pertimbangkan terapi hipotermia (32 oC 34 oC)

Penatalaksanaan Takiaritmia
Batasan dan uraian umum
Pengertian
Mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat takiaritmia.
Tujuan
Penatalaksanaan segera dan tepat kasus takiaritmia.
Menurunkan mortalitas akibat takiaritmia.

Kebijakan
Penatalaksanaan aritmia dilakukan oleh dokter atau residen yang telah dinyatakan

kompeten untuk itu


Semua tindakan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis pasien

Prosedur
Penilaian awal pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan jantung dari riwayat

penyakit dahulu dan pemeriksaan fisik.


Pemeriksaan EKG 12-Lead untuk menilai jenis aritmia yang terjadi.
Penangananaia dengan denyut & TerapiIntensif dilakukan sesuai dengan algoritme:

takikardi aritmia atau bradikardi artimia. (lihat flow chart)

Penatalaksanaan Pulseless Electrical Activity


Batasan dan uraian umum
Pengertian
Pulseless electrical activity adalah keadaan gawat darurat kardiak yang mengancam

jiwa, membutuhkan penatalaksanaan segera


Tujuan

Penatalaksanaan segera dan tepat pulseless electrical activity


Menurunkan mortalitas akibat pulseless electrical activity

Kebijakan
Penatalaksanaan pulseless electrical activity dilakukan oleh dokter konsultan atau
residen atau perawat yang telah terlatih dan dinyatakan mampu melakukan
tatalaksana dengan segera dan tepat
Tindakan penatalaksanaan dan obat-obatan yang diberikan dicatat pada rekam medis
pasien

Prosedur
ALGORITMA AHA 2010

Anda mungkin juga menyukai