Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang

disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa

adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada

tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis,

2012).Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan Di dunia insiden tertinggi ditemukan di

Seokori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997

Di Amerika Serikat insiden Bell’s Palsysetiap tahunnya terjadi sekitar 23 kasus

per 100.000 orang. Enam puluh tiga persen mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s

Palsyrata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.Data yang dikumpulkan dari empat

rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19.55% dari seluruh

kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-50 tahun, peluang untuk terjadinya pada

pria dan wanita sama.

Bell’s Palsy pada laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun yang lebih sering terjadi pada umur

20-50 tahun (Harsono, 1996).Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih

rentan terkena Bell’s Palsydari pada laki-laki dengan kelompok umur yang sama.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun yang lebih sering terjadi pada umur

20-50 tahun (Harsono, 1996).Bell’s Palsy Indonesia, sulit ditentukan. Tidak ditemukan

perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita

ditemukan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan. Biasanya
mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang (Silva,

2010).

Dengan modalitas yang akan digunakan oleh penulis untuk mengatasi kasus

pada kondisi Bell’s Palsy berupa Infrared (IR), Electrical Stimulation, Massage, Mirror

exercise
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus Bell’s Palsy

1. Definisi Bell’s Palsy

Menurut asal katanya yaitu “Bell” diambil dari nama belakang Sir Charles

Bell ( 1833 ) yang telah membuktikan bahwa otot wajah disarafi oleh nervus

facialis, bukannya oleh nervus trigeminus sebagaimana anggapan sebelumnya.

Sedangkan “Palsy” berarti kelumpuhan. Jadi Bell’s Palsy adalah kelumpuhan

facialis perifer akibat proses non –supratif, non neo –plastic, non degeneratif

primer namun sangat mungkin akibat oedema jinak pada bagian nervus facialis di

foramen stilomastoideus atau sedikit ke proksimal dari foramen tersebut, yang

mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 19)

Bell’s palsy adalah kelainan dan ganguan neurologi pada nervus cranialis

VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Paralyse Bell ini hampir selalu terjadi unilateral, namun demikian dalam jarak

satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat

berulang atau kambuh, yang menyebabkaan kelemahan atau paralisis,

ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas muscular pada kedua sisi wajah (kanan dan

kiri), serta distorsi wajah yang khas.

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-

supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin

akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh

sendiri tanpa pengobatan.

2. Anatomi Dan Fisiologi Bells Palsy

Saraf otak ke VII ( nervus facialis ) mengandung 4 macam serabut, yaitu

1. Serabut somato motorik, yang mensyarafi otot –otot wajah kecuali m.levator

palpebrae( N III ), otot plastima stilohioid, digastrikus bagian posteriordan

stapeideus bagian tengah;

2. Sistem somatosensori adalah sistem kompleks neuron sensorik dan jalur yang

merespons perubahan di permukaan atau di dalam tubuh.Akson (sebagai serabut

saraf aferen ) neuron sensorik terhubung dengan, atau merespons, berbagai sel

reseptor.

3. Serabut visero –motorik ( parasimpatis )yang datang dari nucleus salivatorius

superior.Serabut saraf ini mengurus glandula dan mucosa faring, palatum, rongga

hidung, snus para nasal, dan glandula submaksilarserta sublingualdan lakrimalis;

4. Serabut visero –sensorik yang rasa nyeri dari sebagian daerah kulit dan mukosa

yang disarafi oleh nervus irigeminus. Daerah overlapping ( disarafi oleh lebih dari

satu saraf ) initerdapat di lidah, palatum, meatus, akustikus eksterna dan bagian

luar gendang telinga ( Lumbantobing, 2006 )

a. Otot-otot wajah
Gambar 1.1

Otot- otot wajah

Otot –otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir semua berorigo

pada tulag craniumserta berinsersio ke kulit.Lubang –lubang pada wajah yaitu

orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebrae, nares, dan labia

oris.Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur

3struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah.

Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis (

Richard, 1997 ).Otot –otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua

sisi. Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhannervus facialis jenis

sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat

persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari

wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang

berjalan bersama nervus facialis ( Lumbantobing, 2006 ).Kerusakan sesisi pada

upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi traktus piramidalis atau korteks

motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot –otot wajah bagian bawah,

sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir ( upper motor neuron ) nervus

facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada

stroke. Pada lesi lower motor neuron,semua gerakan otot wajah, baik yang

volunter, maupun yang involunter lumpuh ( Lumbantobing, 2006 )

a. Nervus Facialis

Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar

sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai


saraf intermedius atau pars intermedius wisberg. Ada pakar yang menganggap

sebagai saraf terpisah, namun pada umumnya saraf intermedius ini di anggap

sebagai bagian dari saraf fasialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion

genikulatum, pada lekukan saraffacialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari

2/3 bagian depan lidah di hantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan

kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar

sensasi eksteroseptifmempunyai badan sel nya di ganglion genikulatum dan

berakhir pada desendens dan inti akar desendens dari saraf trigeminus (nV).

Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.

b. Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral tegmentum

pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan dari

arah sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus vestibulokoklearis.12Saraf

intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis dan nervus

vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus

vestibulokoklearis berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam

meatus internus, nervus fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus

vestibulokoklearis.12 Nevus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis

kemudian ke ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis

keluar dari cranium melalui foramen stilomastoideus. Dari foramen

stilomastoideus, serabut motorik menyebar ke wajah dan beberapa melewati

kelenjar parotis.
3. Etiologi

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy,

yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih

banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini.

1. Teori iskemik vaskuler

Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari

bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII.

Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik,

kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat,

dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan

dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar

cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis

sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus.

Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan

kontinuitas yang terputus.

2. Teori infeksi virus

Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak

langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga

dikatakan perjalanan klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf

perifer lainnya. Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak diketahui, penyakit ini

dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum.

Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh infeksi

herpes simpleks yang laten.


Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena

proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes

simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion

sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, sehingga

terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour,

lokasi nyeri dapat terjadi di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli

berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah

sekitar foramen stilomastoideum.

Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk

mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam

cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s

palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami

et al. menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan

paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan

pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah

paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran

patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan

gangguan vaskular saraf.

Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk

membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative,

berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus.

3. Teori herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bell’s palsy yang kausanya

herediter yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang

sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi

untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang

timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka

penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk

mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai

immunosupressor .

4. Patofisiologi

Salahsatu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasipada nervus fasialis yang

menyebabkan peningkatandiameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresidari

saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal(Mardjono,2003, Davis,2005).

Perjalanan nervusfasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalisfasialis yang

mempunyai bentuk seperti corongyang menyempit pada pintu keluar sebagai

foramenmental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,adanya inflamasi,

demyelinisasi atau iskemik dapatmenyebabkan gangguan dari konduksi.

Impulsmotorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisamendapat gangguan di

lintasan supranuklear, nukleardan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak

didaerah wajah korteks motorik primer atau di jaraskortikobulbar ataupun di

lintasan asosiasi yangberhubungan dengan daerah somatotropik wajahdi korteks

motorik primer (Mardjono,2003).Nervus fasialis terjepit di dalam


foramenstilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhanfasialis LMN. Pada lesi

LMN bisa terletak di pons,di sudut serebelo-pontin, di os petrosum ataukavum

timpani, di foramen stilomastoideus danpada cabang-cabang tepi nervus fasialis.

Lesi dipons yang terletak di daerah sekitar inti nervusabdusens dan fasikulus

longitudinalis medialis.Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akandisertai

kelumpuhan muskulus rektus lateralis ataugerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,

paralisisnervus fasialis LMN akan timbul bergandengandengan tuli perseptif

ipsilateral dan ageusia (tidakbisa mengecap dengan 2/3 bagian depan

lidah).Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebabutama Bell’s palsy adalah

reaktivasi virus herpes(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerangsaraf

kranialis. Terutama virus herpes zoster karenavirus ini menyebar ke saraf melalui

sel satelit. Padaradang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervusfasialis bisa

ikut terlibat sehingga menimbulkankelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003).

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy

adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP

sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu “entrapment

syndrome”.

Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy,

oleh George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Tipe 1:

Pada tipe ini mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami

kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan

yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis) adalah akibat dari
kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh

adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.

Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang

menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya.

Bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi

terhambat.

2. Tipe 2:

Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang

mungkin akibat degenerasi saraf sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu

akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot

lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu

terjadi “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami

kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot

pada saat bersamaan.

3. Tipe 3:

Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi

akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini terjadi akibat

kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion genikulatum dan

berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke

korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar

akson kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.

Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya, menerangkan

virus akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu menyebabkan peradangan
dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui

membran, merusak autoimun untuk sel membran saraf.

5. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy yaitu adanya

kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan

melakukan gerakan volunter seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat

mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat

(mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping

hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m.

orbicularis oris, m. zigomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi

gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior,

sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil

(2000) adalah:

a) Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai

berikut : mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi

dan gusi, sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila

mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar

terus menerus.

b) Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan

gejala sama seperti penjelasan di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya

daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,


sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani

bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c) Lesi yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus

stapedius. Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah

dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).

d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti

penjelasan ketiga poin diatas disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang

telinga dan di belakang telinga.

e) Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti

kerusakan pada ganglion genikulatum, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli

sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.

f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala

sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus

abducens, nervus vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.


B. Tinjauan tentang Pengukuran Fisioterapi Pada Kasus Bell’s Palsy

1. Manual Muscle Testing (MMT)

Manuall muscle testing adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui

kemampuan seorang dalam mengkontraksikan otot atau grup secara voluntary.

Untuk pemeriksaan MMT ini dengan sistem manual yaitu dengan cara terapis

memberikan tahanan kepada pasien dan pasien disuruh melawan tahanan dari

terapis dan saatitu terapis menilai sesuai dengan kriteria nilai kekuatan otot

Untuk melakukan test kekuatan otot wajah, mimik wwajah pasien tergambar pada

ekspresi wajahnya dan digambarkan kedalam penulilsan nilai otot wajah. Dalam

melakukan test ini, tentunya ada tigkatan-tingkatan yang digunakan ketika akan

mengevaluasi otot yang ditest. Adapun tingkatan-tingkan penilaian pada otot

wajah menurut Nancy Berryman Resse dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Nilai Otot Wajah Gerakan yang dihasilkan

Nilai Otot 0 Tidak ada gerakan atau kontaksi

yang terjadi

Nilai Otot 1 Tidak ada gerakan, tetapi ada

kontaksi yang terjadi

Nilai Otot 3 Gerakan bisa dilakukan tetapi masih

sedikit

Nilai Otot 5 Pasien melakukan dengan sempurna

tanpa ada kesulitan

Adapun gerakan-gerakan pada otot wajah yang akan ditest untuk menilai kekuatan

otot wajah pasien yaitu:


a. M.Frontalis

pasien diminta untuk mengangkat alis

b. M.Corrugator Supercili

pasien diminta untuk mengerutkan dahinya

c. M.Orbicularis Oculi

pasien diminta untuk menutup mata

d. M.Nasalis

pasien diminta untuk mengembang-kempiskan lubang hidung

e. M.Zygomaticum Major

pasien diminta untuk tersenyum

f. M.Orbicularis Oris

pasien diminta untuk mencucu

2. Skala Ugo Fish Scale

Ugo Fish Scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motoeik dan megevaluasi

kemajuan motorik otot wajah pada penderita Bells Palsy. Penilaian dilakukan

peda 5 posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum

dan bersiul.

Angka presentase masing-masing posisi harus diubah menjadi score dengan

kriteria sebagai berikut:

1) saat istirahat : 20 point

2) mengerutkan dahi : 10 point

3) menutup mata : 30 point


4) tersenyum : 30 point

5) bersiul : 10 point

C. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

a) Infra Red (IR)

Terapi infra red adalah radiasi dari panjang gelombang yang lebih

panjang daripada ujung merah spectrum yang terlihat, meluas ke wilayah

microwave , dari 770 nm menjadi sekitar 12500 nm. Infra red sangat bermanfaat

karena meningkatkan sirkulasi dan dengan demikian mengurangi tekanan

edema. Aplikasi infra red menghasilkan vasodilatasi local dari bagian yang

diradiasi dan karena pasien mendapatkan sirkulasi yang lebih baik yang

menyebarkan eksudat inflamasi (Banu et al., 2013).

Infra red dapat menembus hingga 5 cm melebihi jaringan lunak dan

tulang dan secara teoritis dapat mencapai saluran wajah saat diterapkan secara

transkutan. Infra red juga aman untuk diterapkan secara transcranial. Aplikasi

sinar infra red dengan tingkat 250 mW/cm2 tidak berbahaya. Ini menghasilkan

panas yang tidak berarti dan tidak ada kerusakan fisik (Ng & Chu, 2014).

b) Massage

Massage merupakan stimulasi pada jaringan lunak dengan menggunakan

teknik secara manual untuk meningkatkan fleksibilitas, memberika efek

rileksasi, dan mengurangi spasme pada wajah dengan merangsang reseptor

sensoris jaringan pada kulit (Prentice, 2012). Pemberian massage diawali dengan

efflurage, dan disetiap pernggantian teknik massage diselingi dengan efflurage.


Massage dilakukan selama 10-15 menit, dan pengulangan 7-10 kali untuk setiap

gerakan (Prentice, 2012)

c) Mirror exercise

Mirror exercise adalah intervensi terapeutik yang relatif baru yang

berfokus pada menggerakkan anggota tubuh yang tidak rusak. Ini adalah bentuk

citra di mana cermin digunakan untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak

melalui pengamatan bagian tubuh yang tidak terpengaruh saat ia melakukan

serangkaian gerakan (Sengkey, 2014) Latihan dilakukan untuk memasukkan

kedua sisi wajah menggunakan cermin untuk meningkatkan simetris dan umpan

balik (biofeedback).

Jika ada gerakan yang abnormal yang dihasilkan, pasien diminta untuk

bersantai atau tenang dan mencoba lagi dengan sedikit usaha. Latihan yang

termasuk dalam program rumah diajarkan kepada pasien, pemenuhan pasien ke

program rumah menggunakan lembar data (Alakram & Puckree, 2011).


BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien

Nama : Tn.M

Umur : 66 th

Agama : islam

Alamat : maros

Jenis kelamin : laki-laki

Pekerjaan : petani

B. Anamnesis Khusus

Keluhan utama : wajah merot ke sebelah dextra

Lokasi keluhan : wajah sisi sinistra

Riwayat perjalan penyakit : sekitar 2 bulan yang lalu pasien merasakan

bengkak di telinga dan seperti ada air yang keluar, kemudian pasien periksa ke

dokter saraf lalu pasien dirujuk ke dokter THT dan hasil yang keluar semuanya

normal setelah beberapa hari pasien m,erasakan ada perubahan pada wajah dengan

kondisi wajah merot ke sebelah dextra dan dokter megatakan kemungkinan

bengkak pada telinga mempengaruhi sarah pada wajah sehingga pasien di rujuk

oleh dokter ke Fisoterapi

Vital Sign : - tekanan darah : 120/70

- denyut nadi : 65x.menit\

- pernapasan : 22x/menit

- suhu : 36oC
C. Inspeksi/Observasi

Statis : - wajah merot ke arah dextra

- Ada bengkakpada bagian telinga

- Alis tidak simetris

Dinamis : - pasien kesulitan pada saat meminum air

D. Pemeriksaan gerak aktif

 Mengangkatalis mata

Hasil : Pasien sulit melakukan pada alis sebelah kiri

Interpretasi : Kelemahan M. Frontalis kanan

 Mengerutkandahi/kening

Hasil : Pasien sulit melakukan pada dah isebelah

kiri

Interpretasi : kelemahan M. Curogator Supercili kiri

 Menutup mata

Hasil : Pasien sulit menutup mata dengan rapat

Interpretasi : kelemahan M. Orbicularis Oculi kiri

 Mengembang kembiskan lubang hidung

Hasil : Pasiensulitmelakukannya

Interpretasi : Kelemahan M. Nasalis k

 Menyuruh tersenyum

Hasil : Pasien sulit melakukannya

Interpretasi : Kelemahan M. Zigomaticum Mayor kiri

 Menggembungkan pipi

Hasil : Pasiensulitmelakukannya
Interpretasi : Kelemahan M. Bucinator kiri

 Bersiul

Hasil : Pasiensulitmelakukannya

Interpretasi : Kelemahanotot M. Orbocularis Oris kiri

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

Palpasi : - nyeri tekan : tidak ada

- suhu : normal

- spasme : tidak ada

 Tes sensorik

TesTajamTumpul

Instrumen : Peniti

Hasil : Pasienmampumembedakan

 Tes Panas Dingin

Instrumen : Tabung panas dan tabung dingin

Hasil : Pasien mampu membedakan

 Tes Rasa Raba

Instrumen : Kapas

Hasil : Pasien dapat merasakan

 Skala Ugi Fish Scale

1. Saat diam dan istirahat : 20 x 0 =0

2. Mengangkat alis : 10 x 30% =3


3. Menutup mata : 30 x 100% = 30

4. Tersenyum : 30 x 30% =9

5. Mencucu : 10 x 30% =3

E. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

Penatalalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional sisi sinistra et cause bells

palsy

a) Impartment

- Adanya kelemahan pada otot wajah

- Wajah tidak simetris

b) Activity limitation

- Kesulitan saat makan dan minum

- Kesulitan ADL wajah

c) Participation restriction

- Rasa percaya diri berkurang

- Kurang sisoalisasi dengan lingkungan sekitar

F. Tujuan Intervensi Fisioterapi

 Jangkapendek : Meningkatkan kekuatan otot wajah dan mencegah kontaktur

 Jangka panjang : Mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional

wajah kanan pasien.

G. Program Intervensi Fisioterapi

1. INFRA RED
Tujuan : Memperlancar aliran darah, merileksasikan otot, meningkatkan

metabolisme jaringan dan elastisitas otot

Prosedur Pelaksanaan :

Pasien tidur terlentang di atas bed lalu tutup mata pasien menggunakan tissu lalu

arahkan IR ke arah wajah pasien

Dosis : F : 2x perminggu

I : 15-30cm

T : Lominous

T : 10 menit

2. MASSAGE

Pelaksanaan : Pasien dalam keadaan tidur terlentang di atas bad, dimana

fisioterapi berdiri disamping bad di atas bagian kepala pasien.

Tujuan : merileksasikan otot

Dosis : F : 2 kali seminggu

I : Toleransi pasien

T : Manual Kontak

T : 10 menit

3. PNF WAJAH

Pelaksanaan : Pasien dalam keadaan tidur terlentang di atas bad, dimana

fisioterapi bediri di samping bad atau di ujung bad. Kemudian terapis


memberikan gerakan pasif dan meminta pasien untuk menahan dan mencoba

untuk menggerakannya. Contohnya : goresan dengan es, menyikat, menekan

atau membelai dengan cepat yang diterapkan sepanjang otot zygomaticus.

Dosis: F : 2 kali seminggu

I : 30 kali pengulangan

T : Manual Kontak

T : 10 menit

4. Evaluasi Fisioterapi
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/36613/4/BAB%20I.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56135/Chapter%20I.pdf?sequen

ce=5&isAllowed=y

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48697/Chapter%20II.pdf?seque

nce=3&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai