Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

BELL’S PALSY

Disusun Oleh:

Mohamed Ikmal Bin A.Wahab

11-2016-395

Dokter Pembimbing:

Dr. Endang Sp.S(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT PANTI WILASA dr. CIPTO

PERIODE 24 SEPTEMBER 2018- 27 OKTOBER 2018


BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus fasialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma
paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir
Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering
di dunia.1

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan
tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang
dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia
di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1-2

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,


namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika
dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas
fisik (impairment) antara lain berupa wajah asimetris, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi
lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan
perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan
fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot
wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara
dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut
menjadi tidak percaya diri.3
BAB II

BELL’S PALSY

Definisi

Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan dampak


yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan
lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab
iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah
Bell’s palsy. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.1

Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu:


a. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.4

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-
tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus
traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui
nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar
melalui korda timpani.

Gambar 1 Percabangan N. Fasialis


Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan
VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis
masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok
tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat
dengan genu.5
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius
yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui
foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima
cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus
venter posterior.

Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang
sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat.6

Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih
diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu
Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian
otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada
cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara
axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.7

Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.8

Gambar 2 Perbedaan Lesi UMN dan LMN.


Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun.
Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut
korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.3
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala: kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
 Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
 Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
 Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n. stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n. stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N. VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering
pada kerusakan setinggi genikulatum adalah: Herpes Zoster, otitis media perforata dan
mastoiditis.9
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.4-6
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
 Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
 Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
 Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
 Mata kering.
 Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak
mengalami gangguan.
 Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan
gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya
dari otak ke wajah bagian lateral.
 Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
 Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
 Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
 Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.

Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui


kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi
saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan
uji stimulasi maksimal.

1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola
yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG
sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah
tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial
fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.

Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.

2. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi
90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka
kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan
bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada
88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan
respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.

Gambar 3 Ekspresi Wajah Penderita Kelumpuhan Saraf Fasialis


Klasifikasi Kelumpuhan Fasialis

Grade Penjelasan Karakteristik

I Normal Fungsi fasial normal

II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada


ringan inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan

III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan


sedang antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum

IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas


sedang dan asimetri
berat
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi Wajah tampak asimetris


berat
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total Tidak ada pergerakkan


parese

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan
1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan. Pada klasifikasi ini
grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit.

Tabel 1. Klasifikasi House-Brackmann

Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen
Barre syndrome.8
Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis
dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan
pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.5

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan


langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat


memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah


dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu


kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih
menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan
untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison
dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan
perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari
kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan
pasien.6

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek farmakologis


yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan
kompresi nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur,


jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak
lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan


klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);
monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat
diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat


resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat


menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia,
osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada
mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan
pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
 Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.
 Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika
air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
pandangan kabur selama pasien terbangun.
 Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.7

Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak
dapat diterima oleh pasien.10

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.


 Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa
otot wajah tersebut.
 Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air
mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
 Dysgeusia (gangguan rasa).
 Ageusia (hilang rasa).
 Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus
normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
 Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan
lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi
aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.
 Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan
volunter ini disebut synkinesis.

Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.


b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.6-10
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non-DM. Hanya 23%
kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.9
BAB III
KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang
akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah
edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke
arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan
antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis
pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan
rekurensi dapat terjadi.10
DAFTAR PUSTAKA

1. McCaul JA, Cascarini L, Godden D, Coombes D, Brennan PA, Kerawala CJ. Evidence
based management of Bell's palsy. Br J Oral Maxillofac Surg. 2014 May;52(5):387-91.
2. Teresa M. O. Medical Management of Acute Facial Paralysis, Otolaryngologic Clinics of
North America,2018.
3. Kavita V, Kalpesh V. Bell’s Palsy. Facial Plastic Surgery Clinics of North America, Vol
24(1);2016;1-10.
4. Arie Y. N, Shlomo V. Considerations and complications after Bells’ palsy. Journal of
Clinical Neuroscience. Vol 22(12);2015;1949-53.
5. Young M H, Sang H K, Junyang J, et all. Prognostic value of the blink reflex test in
Bell’s palsy and Ramsay-Hunt syndrome. Auris Nasus Larynx.Vol 45(5);2018; 966-70.
6. Ho Y L, Jae Y B, Moon S P, Seung G Y. Steroid-antiviral Treatment Improves the
Recovery Rate in Patients with Severe Bell's Palsy. The American Journal of Medicine.
Vol 126(4);2013;336-41.
7. H. Ben Brahim, N. Gader, W. Said, et all. Management and rehabilitation of Bell's palsy.
Annals of Physical and Rehabilitation Medicine.Vol 56(1);2013;187.
8. Nate Jowett. A General Approach to Facial Palsy. Otolaryngologic Clinics of North
America.2018;1-11.
9. Takashi F, Yasuharu H, Takuya M, et all. High-dose corticosteroids improve the
prognosis of Bell’s palsy compared with low-dose corticosteroids: A propensity score
analysis. Auris Nasus Larynx.Vol 45(3);2018;465-70.
10. A. Greco, A. Gallo, M. Fusconi, et all. Bell's palsy and autoimmunity. Autoimmunity
Reviews.Vol 12(2);2012;323-28.

Anda mungkin juga menyukai