BELL’S PALSY
Disusun Oleh:
11-2016-395
Dokter Pembimbing:
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus fasialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma
paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir
Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering
di dunia.1
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan
tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang
dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia
di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1-2
BELL’S PALSY
Definisi
Struktur anatomi
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-
tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus
traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui
nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar
melalui korda timpani.
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang
sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat.6
Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih
diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu
Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian
otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada
cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara
axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.7
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.8
Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.3
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala: kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n. stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n. stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N. VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering
pada kerusakan setinggi genikulatum adalah: Herpes Zoster, otitis media perforata dan
mastoiditis.9
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.4-6
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak
mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan
gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya
dari otak ke wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola
yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG
sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah
tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial
fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
2. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi
90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka
kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan
bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada
88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan
respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan
1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan. Pada klasifikasi ini
grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit.
Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen
Barre syndrome.8
Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis
dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan
pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.5
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
b. Kortikosteroid.
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada
mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan
pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika
air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.7
Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak
dapat diterima oleh pasien.10
Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.6-10
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non-DM. Hanya 23%
kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.9
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang
akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah
edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke
arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan
antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis
pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan
rekurensi dapat terjadi.10
DAFTAR PUSTAKA
1. McCaul JA, Cascarini L, Godden D, Coombes D, Brennan PA, Kerawala CJ. Evidence
based management of Bell's palsy. Br J Oral Maxillofac Surg. 2014 May;52(5):387-91.
2. Teresa M. O. Medical Management of Acute Facial Paralysis, Otolaryngologic Clinics of
North America,2018.
3. Kavita V, Kalpesh V. Bell’s Palsy. Facial Plastic Surgery Clinics of North America, Vol
24(1);2016;1-10.
4. Arie Y. N, Shlomo V. Considerations and complications after Bells’ palsy. Journal of
Clinical Neuroscience. Vol 22(12);2015;1949-53.
5. Young M H, Sang H K, Junyang J, et all. Prognostic value of the blink reflex test in
Bell’s palsy and Ramsay-Hunt syndrome. Auris Nasus Larynx.Vol 45(5);2018; 966-70.
6. Ho Y L, Jae Y B, Moon S P, Seung G Y. Steroid-antiviral Treatment Improves the
Recovery Rate in Patients with Severe Bell's Palsy. The American Journal of Medicine.
Vol 126(4);2013;336-41.
7. H. Ben Brahim, N. Gader, W. Said, et all. Management and rehabilitation of Bell's palsy.
Annals of Physical and Rehabilitation Medicine.Vol 56(1);2013;187.
8. Nate Jowett. A General Approach to Facial Palsy. Otolaryngologic Clinics of North
America.2018;1-11.
9. Takashi F, Yasuharu H, Takuya M, et all. High-dose corticosteroids improve the
prognosis of Bell’s palsy compared with low-dose corticosteroids: A propensity score
analysis. Auris Nasus Larynx.Vol 45(3);2018;465-70.
10. A. Greco, A. Gallo, M. Fusconi, et all. Bell's palsy and autoimmunity. Autoimmunity
Reviews.Vol 12(2);2012;323-28.