Anda di halaman 1dari 23

BAB III

Tinjauan pustaka
A. Pendahuluan
Bell’s palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang
paling umum yang mempengaruhi saraf kranial, dan
merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah
di seluruh dunia. Sir Charles Bell (1774-1842) adalah
orang pertama yang meneliti tentang sindroma
kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama
Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf
fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.Saraf
fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf
yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-
otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya
membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang
berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3
anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer
parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf
fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :
1. Segmen supranuklear
2. Segmen batang otak
3. Segmen meatal
4. Segmen labirin
5. Segmen timpani
6. Segmen mastoid
7. Segmen ekstra temporal
Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari
semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi
rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000
populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan
umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan
wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan
riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Selain
itu insidensi secara umum wanita dan laki-laki sama.
B. Definisi
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis
perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak
diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal. BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau
paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang
tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan.
C. Anatomi
Nervus kranialis terdiri dari 12 nervus, dan nervus
fasialis merupakan saraf nomor VII yang berpasangan
kanan dan kiri.[2] Fungsi dari nervus fasialis adalah

 Motorik: inervasi dari otot ekspresi wajah, bagian


posterior abdomen digestif, otot stylohyoid,
dan stapedius.
 Sensorik: sebagian kecil area konka pada aurikula
dan sensasi pengecap pada 2/3 anterior lidah
 Parasimpatik: beberapa kelenjar kepala dan leher
yaitu submandibular, sublingual,
nasopalatine, mucus pharyngeal, dan kelenjar
lakrimal. 
Perjalanan Anatomis Nervus Fasialis
Secara anatomis, nervus fasialis dimulai saat keluar
dari pons dan memasuki kanal fasialis melalui meatus
akustikus internus pada tulang temporal. Di dalam
tulang temporal, nervus fasialis memberikan
percabangan kepada 3 saraf :
1. N. petrosus major sebuah saraf
parasimpatik kelenjar mukus dan lakrimal
2. N. stapedius yang mempersarafi gerakan
motorik otot stapedius di telinga tengah
3. Chorda Tympani yaitu serabut saraf sensorik
yang mempersarafi 2/3 lidah anterior dan
serabut parasimpatik dari kelenjar
submandibular dan sublingual.
Nervus fasialis kemudian keluar dari kanalis fasialis,
meninggalkan kranium melewati foramen
stylomastoid dan memberikan percabangan
kepada N. auricular posterior yang menginervasi otot
telinga, dan serabut saraf motorik yang berjalan ke
otot digastrikus di abdomen dan otot stylohyoid.
Nervus fasialis kemudian berakhir di kelenjar parotis
sebagai 5 cabang motorik yaitu cabang temporal,
zygomatic, buccal,
marginal mandibular dan cervical yang menginervasi
otot wajah dan memberikan ekspresi wajah.

Jaras Corticobulbar Nervus Fasialis


Jaras corticobulbar adalah jaras desenden yang
bertanggung jawab dalam inervasi beberapa saraf
kranialis dan jalan bersamaan dengan
jaras corticospinal. Nervus fasialis merupakan salah
satu dari saraf kranialis yang dipersarafi oleh
jaras corticobulbar. Setiap gerakan motorik dari
nervus facialis dimulai dari sinyal yang diberikan pada
cerebral cortex, terutama primary motor cortex pada
otak, melewati kapsula interna lalu memasuki crus
cerebri dan masuk ke nukleus di pons.

Pada nukleus di pons (batang otak)


jaras corticobulbar melakukan persilangan atau
dekusasio. Serabut saraf yang mempersarafi wajah
bagian bawah akan melakukan persilangan atau
dekusasio ke bagian kontralateral wajah. Sedangkan
serabut saraf yang mempersarafi wajah bagian atas
mempunyai jalur yang berbeda. Sebagian saraf akan
melakukan persilangan untuk menginervasi wajah
atas bagian kontralateral, sedangkan sebagian lainnya
tidak melakukan persilangan sehingga dapat
menginervasi wajah bagian atas ipsilateral. Maka dari
itu, dahi dan mata akan mendapat inervasi dari kedua
hemisfer, sedangkan wajah bagian bawah hanya
mendapat inervasi dari sisi kontralateral
Penyebab Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis sentral terjadi jika ditemukan
lesi di upper motor neuron (UMN), yaitu jika lesi
terjadi di cerebral cortex ataupun pada
jaras corticobulbar, selama jaras belum memasuki
nukleus pons. Lesi UMN bisa disebabkan oleh
beberapa hal seperti stroke, tumor intrakranial, dan
multipel sklerosis.
Sebaliknya, paralisis nervus fasialis perifer terjadi jika
terdapat lesi di lower motor neuron (LMN). Lesi LMN
terjadi jika lesi mengenai nukleus pada pons, ataupun
setelah keluar batang otak. Penyakit yang dapat
menyebabkan lesi LMN adalah Bells’s palsy, stroke
batang otak, otitis media, Lyme disease, trauma seperti
fraktur os temporal, sindrom Guillain-Barre, dan
sarcoidosis.
Dari seluruh etiologi di atas, sebuah studi prospektif
pada tahun 2017 melihat penyebab tersering dari
parese nervus fasialis yang disebabkan lesi LMN pada
83 pasien usia 3-70 tahun di Sudan. Dilaporkan bahwa
penyebab tersering adalah Bell’s Palsy (33.7%),
diikuti oleh trauma (24.1%) dan otitis media supuratif
kronis (18.1%). Masih belum ada data mengenai ini di
Indonesia
Perbedaan Paralisis Nervus Fasialis karena Lesi
Sentral dan Perifer
Dikarenakan perjalanan jaras nervus fasialis yang
berbeda, saat pasien datang dengan kelemahan pada
otot wajah, pemeriksaan fisik yang cermat dapat
menjelaskan letak lesi pasien dan kemungkinan
penyakit yang mendasari.
Jika lesi terdapat di motor korteks (UMN), pasien
hanya akan mengeluhkan adanya kelemahan pada
wajah bagian bawah kontralateral. Otot-otot wajah
bagian atas tidak ikut terkena dikarenakan otot wajah
bagian atas juga mendapat inervasi dari jaras saraf
ipsilateral (kecuali jika lesi terjadi di korteks bilateral).
Sehingga pasien masih dapat mengerutkan dahi,
mengangkat alis, dan menutup kelopak mata secara
simetris, namun mempunyai wajah bagian bawah yang
asimetris saat tersenyum.
Sebaliknya, pada lesi LMN, pasien tidak akan bisa
menggerakan seluruh otot wajah ipsilateral baik otot
wajah bagian atas maupun bawah. Pasien tidak akan
bisa mengerutkan dahi, menutup mata secara rapat,
ataupun tersenyum pada satu sisi wajah yang sama

Tabel 1. Perbedaan Gejala Motorik Paralisis Nervus


Fasialis Sentral dan Perifer [9]

Gejala Sentral/UMN Perifer/LMN


(Gejala (Gejala
Kontralateral Ipsilateral dari
dari Lesi) Lesi)

Tidak dapat Tidak Ya


mengerutkan dahi
Tidak dapat Tidak Ya
menutup mata
secara sempurna
Mulut akan tampak Ya
jatuh (Asimetris)
Selain gejala motorik, paralisis nervus fasialis perifer juga
akan disertai dengan gejala lain seperti gejala sensorik,
penurunan produksi saliva, gejala okular (lagoftalmus,
lakrimasi berkurang, dan ektropion), serta timbulnya gerakan
involunter sinkinetik dari otot wajah (spasme wajah saat
menutup mata).

LMN
UMN
Gambar. Inervasi motorik (A) dan parasimpatetik (B)
dari nervus fasialis

D. Etiologi
Etiologi pasti dari Bell’s palsy belum diketahui dan
umumnya adalah idiopatik. Hipotesis mengenai etiologi
penyakit ini antara lain adalah akibat gangguan iskemik
vaskular, infeksi virus atau bakteri, herediter, dan
imunologis.
 Infeksi
Virus yang dilaporkan berhubungan dengan
timbulnya Bell’s palsy adalah herpes .Pendapat ini
didukung oleh temuan virus herpes HSV-1 pada
cairan endoneural setelah prosedur dekompresi pada
kasus Bell’s palsy oleh Murakami et al (1996) dan
dalam saliva pasien dengan Bell’s palsy oleh
Lazarini et al (2006). Meskipun demikian, hasil
penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan
kausatif di antara keduanya. Virus lain yang
mungkin berhubungan dengan kasus Bell’s
palsy adalah HSV-2 dan virus varicella zoster .
Virus ini diperkirakan dapat berpindah
secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel
ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan
lokal pada myelin. Hubungan dengan virus-virus
lain seperti cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr
virus (EBV), mumps, rubella, dan HIV juga pernah
dilaporkan sebelumnya
 Imunologi
Etiologi lain yang bisa menyebabkan Bell’s
palsy melibatkan cell mediated immune
response terhadap myelin. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya perubahan persentase limfosit
T dan B dalam darah perifer, peningkatan
konsentrasi chemokine, dan reaktivitas terhadap
protein myelin secara in-vitro pada sampel darah
yang diambil dari pasien dengan Bell’s palsy 
 Iskemia
Penurunan suplai darah ke nervus fasialis akan
menyebabkan iskemia dan bisa memicu
terjadinya Bell’s palsy. Penurunan suplai darah bisa
disebabkan oleh berbagai gangguan vaskular dan
metabolik yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, seperti atherosclerosis,
dislipidemia. Meskipun struktur epineurium kaya
akan vaskularisasi, namun jaringan saraf sendiri
merupakan jaringan avaskular sehingga mudah
mengalami iskemi

Selain itu juga dapat disebabkan Paparan


suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC,
atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)
E. Faktor Risiko
Proses infeksi, imunologis, dan iskemia diperkirakan
sebagai faktor yang mendasari terjadinya Bell’s palsy.
Faktor risiko timbulnya Bell’s palsy termasuk kehamilan,
eklampsia berat, obesitas, hipertensi, diabetes, dan
gangguan pada saluran nafas bagian atas. Pada pasien
usia tua, gangguan ini sering kali berhubungan dengan
penyakit metabolik, seperti diabetes dan aterosklerosis.
F. Patofisiologi
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salahsatu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut pada saat melalui tulang tempora.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti
corong
yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah
wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di
korteks motorik primer (Mardjono,2003).
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus
fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli
perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa
penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes
zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui
sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

G. Manifestasi klinis
Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan
atau kelumpuhan pada separuh wajahnya pada sisi yang
sakit. Keluhan berupa sudut mulut yang jatuh/tidak
dapat terangkat, ketika makan/minum keluar dari sisi
mulut, pengecapan terganggu, kebas pada separuh
wajahnya, nyeri pada telinga, sensitif/peka terhadap
suara yang normal tidak menyakitkan (hiperakusis), rasa
berdenging pada telinga (tinitus), produksi air mata
berkurang sehingga mata menjadi kering. Tanda yang
dapat ditemukan, mencerminkan kelumpuhan otot
fasialis, seperti tidak mampu mengerutkan dahi, kelopak
mata tidak dapat menutup dengan rapat, fenomena Bell
yaitu ketika pasien berusaha memejamkan kelopak
matanya bola mata berputar ke atas, sulkus nasolabialis
yang mendatar, sudut mulut yang tidak dapat
terangkat/jatuh dan pengecapan 2/3 lidah depan
menurun (hipogeusia).2,4,9
Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan
tanda tersebut muncul. Terdapat lima letak lesi yang
dapat memberikan petunjuk munculnya gejala dan
tanda Bell’s palsy yaitu
1) bila lesi setinggi meatus akustikus internus
menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan
gangguan keseimbangan.
2) Pada lesi yang terletak setinggi ganglion
genikulatum akan terjadi kelemahan seluruh otot
wajah ipsilateral serta gangguan pengecapan,
lakrimasi dan salivasi.
3) setinggi nervus stapedius menyebabkan kelemahan
seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan
pengecapan dan salivasi serta hiperakusis.
4) Selanjutnya pada lesi setinggi kanalis fasialis (diatas
persimpangan dengan korda timpani tetapi
dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi
kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan
pengecapan dan salivasi.
5) lesi yang terletak setinggi foramen stylomastoid
akan menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral

H. Diagnosis
Dalam mendiagnosis suatu kelemahan atau kelumpuhan
pada wajah yang disebabkan oleh lesi nervus fasialis
maka perlu dibedakan antara lesi sentral dan perifer.
Pada lesi sentral, terdapat kelemahan unilateral otot
wajah bagian bawah dan biasanya disertai
hemiparese/hemiplegia kontralateral namun tanpa
disertai gangguan otonom seperti gangguan pengecapan
atau salivasi, seperti yang terlihat pada stroke. Lesi
perifer memberikan gambaran berupa kelemahan wajah
unilateral pada seluruh otot wajah baik atas maupun
bawah, seperti pada Bell’s palsy.
Diagnosis Bell’s palsy biasanya dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain
itu, awitan yang cepat (kurang dari 72 jam) dan tidak
ditemukan etiologi yang menyebabkan kelemahan
perifer pada wajah yang diakibatkan oleh lesi nervus
fasialis dapat mendukung diagnosis Bell’s palsy.
 Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat
darurat merasa bahwa mereka menderita stroke
atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan
yang disampaikan adalah kelemahan pada salah
satu sisi wajah.
 Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita
nyeri di regio mastoid. Nyeri sering muncul secara
simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
 Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh
mengenai aliran air mata mereka. Ini disebabkan
akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang
dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi
kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
 Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh
tentang gangguan rasa, empat per lima pasien
menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
 Mata kering.
 Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan
tertentu pada hidung akibat peningkatan iritabilitas
mekanisme neuron sensoris.

 Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Kelamahan dan/atau paralisis akibat
gangguan pada nervus fasialis (nervus 7) tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan
bawah) pada sisi yang diserang.
Dalam menilai derajat keparahan dan memprediksi
kemungkinan kesembuhan kelemahan nervus
fasialis, dapat digunakan skala modifikasi House-
Brackmann (disebut juga sistem Sunnybrook).
Selain untuk menilai keparahan, sistem ini juga bisa
digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Derajat
yang dipakai dalam skala ini dari 1 sampai 6,
dengan derajat 6 yang paling berat yaitu terdapat
kelumpuhan total.
Skala house- Brackmann

I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap kelemahan/ kelumpuhan
nervus fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer.
Penyebab yang terletak di lokasi perifer yaitu:
 otitis media supuratif dan mastoiditis, sindrom
Ramsay-Hunt, sindrom Guillain-Barre, tumor sudut
serebelopontin dan tumor kelenjar parotis,
gangguan metabolik seperti diabetes melitus, serta
penyakit Lyme.

Penyebab yang lokasinya sentral yaitu :


 stroke, sklerosis multipel, tumor otak primer atau
metastasis, infeksi HIV, fraktur basis kranii atau
fraktur pada tulang temporal pars petrosus karena
trauma
J. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan seperti
foto polos kepala, CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan
tersebut dilakukan jika terdapat perburukan atau
tidak ada perbaikan gejala klinis setelah tiga
minggu terapi.
 Pemeriksaan elektrodiagnostik/neurofisiologi pada
Bell’s palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai
acuan pada penentuan kandidat tindakan
dekompresi intrakanikular.
 Elektromiografi (EMG) dan elektroneurografi (ENG)
telah digunakan sebagai pemeriksaan penunjang
dalam diagnostik Bell’s palsy. Selain itu keduanya
memiliki nilai prognostik yang dapat digunakan
untuk meramalkan keberhasila n terapi. Grosheva
et all melakukan penelitian untuk membedakan
pengaruh pemakaian elektromiografi (EMG)
dengan elektroneurografi (ENG) pada Bell’s palsy.
Ternyata pemakaian EMG dapat memberikan
prognosis lebih baik. Hasil pemeriksaan EMG pada
hari ke-15 memiliki positive-predictive-value (PPV)
100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%.
Menurut panduan yang dikeluarkan oleh American
Academy of Otolaringology-Head and Neck Surgery
Foundation (AAO-HNSF) tahun 2013, penggunaan
elektrodiagnostik dapat dipertimbangkan pada
Bell’s palsy dengan skala House-Brackmann 6
(complete paralysis)
 Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pungsi lumbal sangat meningkatkan keandalan
pekerjaan diagnostik dan direkomendasikan oleh
ahli saraf sebagai bagian standarnya. Dalam 10–
40% kasus awalnya didiagnosis secara klinis
sebagai perifer idiopatik kelumpuhan saraf wajah,
ditemukan adanya LCS yang abnormal dengan
implikasi khusus untuk pengobatan.
Parameter laboratorium CSF utama yang akan diuji
adalah sel hitung, protein, sitologi, laktat, antibodi
borrelia indeks spesifisitas (ASI), VZV (PCR), dan
CXCL13. Investigasi CSF memungkinkan deteksi
herpes zoster oticus dengan sensitivitas 85% dan
borreliosis dan infeksi lain dengan sensitivitas
100%.

K. Penatalaksanaan
Kebanyakan penderita dengan Bell’s palsy dapat
mengalami perbaikan klinis tanpa intervensi dalam
waktu 2-3 minggu setelah awitan dan pulih sempurna
dalam waktu 3-4 bulan. Tanpa pengobatan, fungsi wajah
dapat
mengalami perbaikan sempurna pada 70% pasien
paralisis wajah komplit. Sementara pada paralisis wajah
yang inkomplit perbaikan mencapai 94%. Sebanyak 30%
penderita tidak mengalami perbaikan sempurna.
Pertimbangan mengenai segi kosmetik/penampilan,
kualitas hidup dan faktor psikologis bagi penderita
menyebabkan terapi medikamentosa perlu diberikan.
Kortikosteroid dan antiviral merupakan terapi yang
sekarang direkomendasikan untuk pengobatan Bell’s
palsy. Tatalaksana yang diberikan untuk penderita Bell’s
palsy meliputi terapi non farmakologi dan farmakologi
yang akan dibahas dibawah ini.
A. Farmakologi
 Kortikosteroid
Karena umumnya gejala dipicu oleh edema dan pembengkakan
nervus fasialis, maka bisa diberikan antinflamasi kortikosteroid,
kecuali bila ada kontraindikasi. Baugh, et al.
merekomendasikan bahwa pemberian kortikosteroid sebaiknya
diberikan dalam 72 jam setelah onset. Terapi bisa dimulai
dengan 50 mg prednisone selama 50 mg atau dengan 60 mg
selama 5 hari kemudian ditappering off 10 mg per hari pada 5
hari berikutnya. Kedua metode ini dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sama. Atau 1mg/kgbb/hari dengan maximun
dosis Dari sudut pandang
80mg/hari.
endokrinologis, dosis harian tunggal
glukokortikoid paling baik dikonsumsi di
pagi hari, karena ini menekan sumbu
adrenal ke tingkat yang lebih rendah (29).
Dalam meta-analisis uji klinis acak, yang
terbaru oleh Madhok et al. (2016),
pengobatan glukokortikoid ditemukan
membawa hasil yang signifikan
pemulihan fungsi saraf wajah yang lebih
baik dan lebih cepat.

 Anti virus
Meskipun pada penelitian yang pernah
dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s
palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus
disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang
logis sebagai penatalaksaan farmakologis
dan sering dianjurkan pemberiannya.
Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s
palsy. Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset
penyakit untuk mencegah replikasi virus.
Menurut beberapa literatur antivirus lain
juga dapat digunakan seperti obat asiklovir (5–
10 mg / kg BB IV 3xsehari) atau 800 mg po 5 × / hari),
valacyclovir (1000 mg po 3xsehari ),
brivudine (125 mg po 4xsehari), dan famcyclovir
(250–500 mg po 3xsehari)

B. Non farmakologi

L.

Anda mungkin juga menyukai