PENDAHULUAN
Diagnosis banding penting pada kasus kelumpuhan wajah akut, karena tidak
semua kasus bersifat idiopatik, 10% kasus terjadi akibat herpes zoster optikus, 4%
akibat otitis media, dan 2% akibat berbagai jenis tumor (tumor parotis, neurinoma,
dan lainnya).2 Perhatikan bahwa diagnosis Bell’s palsydibuat hanya setelah
penyebab lain dari kelumpuhan perifer akut telah disingkirkan. Sebuah lesi yang
melibatkan upper motor neuron mengakibatkan kelemahan wajah bagian bawah,
berbeda dengan lesi di lower motor neuron. Anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan
saraf kranial, harus dilakukan.3,4
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Saraf otak ke VII yaitu nervus fasialis mengandung 4 macam serabut saraf,
yaitu :1,4
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus fasialis terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg
yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi
kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa
pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus
mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.5
2
Nukleus motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar
ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus
bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di
dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.5
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus
3
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.6
Inti nervus facialis juga dapat dibagi menjadi atas dan bawah. Inti bagian
atas mempersarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mempersarafi otot
wajah bagian bawah. Inti bagian bawah mendapat inervasi kontralateral dari
korteks somatomotorik dan inti nervus facialis bagian atas mendapat inervasi dari
kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada parese nervus facialis
UMN (kerena lesi di korteks dan atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah
aja yang paresis, sedangkan otot wajah atas jelas tidak lumpuh. Sebaliknya, pada
lumpuh nervus facialis LMN (karena lesi infranuklearis), otot wajah atas dan
bawah jelas keduanya mengalami kelumpuhan.5
4
2.2 DEFINISI
Bell’s palsy adalah penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus
fasialis (Nc. VII)perifer yang menyebabkan suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan akut dan idiopatik, saat saraf ini berjalan di dalam kanalis fasialis,
kelainan ini biasanya bersifat unilateral, tapi banyak pendapat yang mengatakan
bahwa terdapat reaksi autoimun setelah terjadinya infeksi oleh virus sehingga
menyebabkan udem pada myelin saraf fasialis.Lokasi disfungsi menentukan aspek
fungsional nervus fasialis yang tidak bekerja.7
2.3 ETIOLOGI
Bell’s palsy disebabkan adanya udema saraf di dalam kanalis fasialis yang
menekan serabut-serabut saraf, keadaan ini menyebabkan hilangnya fungsi saraf
sementara dan menimbulkan tipe paralisis fasialis lower motor neuron. Penyebab
Bell’s palsy tidak diketahui. Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.2
Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya
pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab
Bell’s palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada
beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR
(Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy
berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf
sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.1,2,6
5
2.4 PATOFISIOLOGI
6
berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Keluhan
yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap
sebagai infeksi.8
7
diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti
progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan. Beberapa
sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading
system,Sunny brook scale, dan Yanagihara grading system. Dari ketiga sistem ini
yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di
Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann
gradingsystem telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery dan telah digunakan. Sistem ini
didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi
motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele. Yanagihara grading system,
diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara
terpisah pada beberapa otot fasial yang berbeda. Masing - masing fungsi diberi
skor 0 - 4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4),
paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis tota l (0).
Sistem skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan
sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi saraf
fasial pada Bell’s palsy herpes zoster oticus, dan follow up pembedahan neuroma
akustikus.9
8
2.6 Diagnosis
9
- Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit
progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam
3minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat;
danpenyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
10
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus
facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan
gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya
dari otak ke wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.
11
c. Pemeriksaan penunjang
1. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan it fasialis ireversibel.
6. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan
12
namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut
berasal.
7. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnosisBell’s palsy maka diperlukan pemeriksaan radiologi untuk
menyingkirkan penyebab yang lain. Bila tidak ada perbaikan ataupun
mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin
dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,
meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-
Scan harus dilakukan.
8. Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan
pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan
neuroma akustikus.
13
pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal
70mg) adalah 1 mg per kg berat badan per hari peroralselama enam hari diikuti
empathari tappering off.11
Penggunaan anti virus pada pasien Bell’s palsy didasari oleh dugaan
virusHerpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi
dari virus tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus
yang paling sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan
dilakukan kombinasi pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan
anti virus masih diragukan,sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi
tersebut disimpulkan bahwa tidakterdapat manfaat signifikan dari antivirus
dibandingkan placebo pada pengobatanBell’s palsy. Studi lain juga menemukan
bahwa tidak ditemukan perbedaan padatingkat perbaikan klinis dengan
prednisolon dan kombinasi prednisolon dan asiklovir.10
Pada pasien Bell’s palsy yang etiologinya diduga akibat dari komplikasi
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, perlu dilakukan kontrol terhadap
kadargula darah. Pasien yang kadar gula darahnya terkontrol memiliki prognosis
yanglebih baik.9
Selain pemberian kortikosteroid dan antivirus juga perlu perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga
pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi
dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti
air mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun
jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu
kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.
14
3. Fisioterapi
4. Pembedahan
15
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada
pembedahandianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan
dan hanyamembutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari
pembedahandengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat
kembali sudut mulutyang turun.Selain terapi yang telah diuraikan diatas,
perlindungan pada mata dan ototwajah juga perlu dilakukan. Kornea mata
memiliki risiko mengering dan terpaparbenda asing. Perlindungan dapat dilakukan
dengan penggunaan air mata buatan(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopakmata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan
bagian lateral kelopak mata atas danbawah).8
2.9 Prognosis
Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik. Bell’s palsy biasanya dapat
sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. Deformitas
pada Bell’s palsy dapat berupa :12
Regenerasi motorik inkomplit
Hal ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis.
Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot
ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan
kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas
ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.
Regenerasi sensorik inkomplit
Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.
Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut
saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan
serabut saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat
menyebabkan terjadinya gerakan involunter yang mengikuti gerakan
volunter (sinkinesis).
16
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Wagiatik
Umur : 43 Tahun
Alamat : Pongkai
Pekerjaan : Karyawan PT. Padasa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Konsultasi : 15 Juli 2017
B. ANAMNESIS : Autoanamnesis
I. Keluhan Utama:
Mulut tertarik ke kanan sejak 1 minggu SMRS.
II. Riwayat Penyakit Sekarang:
Ny. W, 43 tahun datang ke poli saraf RSUD Bangkinang dengan
keluhanmulut tertarik ke kanan sejak 1 minggu SMRS.Keluhan tersebut
mulai dirasakan ketika pasien merasakan sulit untuk minum air setelah
pasien bangun dari tidur 1 minggu yang lalu.Air yang diminumnya seakan-
akan tidak masuk ke dalam mulutnya. Untuk makan tidak ada gangguan
menelan.
Pada waktu bersamaan, mata kanan pasien dirasakan sangat perih,
lebih berair dibandingkan mata kiri dan sulit untuk menutupnya, juga
mengeluhkan wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang, dan
kerutan dahi hilang ketika dahi diangkat.
17
III. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- 1 minggu sebelum mulut pasien tertarik ke kanan pasien mengeluhkan
batuk pilek
- Tidak ada riwayat nyeri dan keluar cairan pada telinga
- Riwayat trauma kepala di sangkal
- Riwayat DM disangkal
- Kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada
- Riwayat herpes simplex disangkal
IV. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Riwayat DM disangkal
- Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal serupa
V. Riwayat Pribadi dan Sosial:
- Pasien sering terpapar udara dingin saat pulang dari bekerja
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (E4M5V6)
Status gizi : Baik
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 55 kg
Rambut : Tidak mudah dicabut
Tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 78 x/menit
- Frekuensi pernafasa : 22 x/menit
- Suhu : 36,5oC
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak ada pembesaran
18
- Aksila : Tidak ada pembesaran
- Inguinal : Tidak ada pembesaran
Thoraks
a. Paru-paru
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, bentuk dada
normal
- Palpasi : Fremitus suara +/+, simetris kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
- Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari lateral linea midclavicula
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar
dan lien
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), kelemahan (-)
Inferior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), kelemahan (-)
19
II. Status Neurologis
A. Tanda Rangsangan Selaput Otak:
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig Sign : Negatif
B. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial:
Pupil : Isokor
C. Pemeriksaan Nervus Kranialis:
N.I (N. Olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Dalam batas normal Dalam batas normal
Obyektif dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
20
Diplopia Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Bentuk Normal Normal
Refleks cahaya Positif Positif
Rrefleks akomodasi Normal Normal
N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Normal Normal
Menggerakkan rahang Normal Normal
Menggigit Normal Normal
21
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Divisi Maksila
Refleks masseter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Divisi Mandibula
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas
N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
22
N. VIII (N. Vestibulocochlearis)
Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal
N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
23
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Keseimbangan Koordinasi
Cara berjalan Normal Tes jari – hidung Normal
Romberg test Normal Tes jari – jari Normal
Stepping tes Normal Tes tumit lutut Normal
Tandem Walking tes Normal Disgrafia Tidak ada
Ataksia Tidak dilakukan Supinasi – pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak dilakukan
24
E. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
Gerakan spontan Normal Normal
F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Menurun
Sensibilitas nyeri Menurun
Sensibilitas termis Tidak dilakukan
Sensibilitas kortikal Tidak dilakukan
Stereognosis Tidak dilakukan
Pengenalan 2 titik Menurun
Pengenalan rabaan Menurun
25
G. Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Laring Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Maseter Normal Normal
Dinding perut
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps Normal Normal
Triseps Normal Normal
APR Normal Normal
KPR Normal Normal
Bulbokavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan
Sfingter Tidak dilakukan
26
3. Fungsi Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Sekresi keringat : Normal
4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Normal Reflek glabella Tidak ada
Fungsi intelek Normal Reflek snout Tidak ada
Reaksi emosi Normal Reflek menghisap Tidak ada
Reflek memegang Tidak ada
Refleks palmomental Tidak ada
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rencana pemeriksaan tambahan :
Laboratorium
- Darah rutin :-
- Kimia klinik :-
- Urin :-
- Feses :-
MASALAH
Diagnosis
Diagnosis Klinis :Bell’s Palsy
Diagnosis Topik : Foramen Stilomastoideus
Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Sekunder : Proses infeksi
27
RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan titer serum HSV
- Kadar gula darah
- MRI
PEMECAHAN MASALAH
Nonfarmakologi
- Edukasi
o Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan
yang diberikan.
o Massage wajah kearah atas dan mneggembungkan pipi dengan mulut
tertutup
o Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi
o Mata ditutup saat tidur dan siang hari menggunakan kaca mata hitam
Farmakologi
- Mecobalamin 500 mcg tablet 3x1 perhari
- Metilprednisolon 3 x 16 mg tablet selama 3 hari, tapering off setengan dosis
3 hari selanjutnya
- Cendo Cenfresh 3x1 tetes OS
PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Hal tersebut terjadi karena paralisis nervus VII kiri yang mempersarafi otot-
otot wajah kecuali otot-otot yang terlibat dalam mengunyah. Oleh itu pasien
mengalami kesulitan dalam makan dan minum karena sudut mulut kiri melonggar,
mata kiri sering berair karena nervus VII juga berperan dalam persarafan visceral
kelenjar lakrimal dan mata terasa perih karena mata sulit untuk menutup. Otot
untuk menutup mata yaitu M.Orbicularis Oculi yang dipersarafi oleh nervus VII
sehingga menimbulkan gejala mata kering. Pasien juga mengeluh kulit di wajah
kiri terasa tebal dan baal karena NVII dan NV mempunyai nucleus somatosensory
yang sama.
29
sama, disuruh menyeringai, terlihat mulut mencong ke kanan, sudut mulut kiri
menghilang dan bila disuruh angkat kedua alis, yang sisi kirinya tidak terangkat.
30
BAB V
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32