Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologis yang mempengaruhi


sarafkranialis danpaling sering terjadi diseluruh duniayang menyebabkan
kelumpuhan wajah. Bell‘s palsy juga dikenal sebagai Idiopatic Facial Paralysis
(IFP) termasuk paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang bersifat akut, perifer,
dan unilateral. Gangguan ini di tandai dengan paresis flasidpada semua otot
ekspresi wajah (termasuk otot-otot dahi), serta manifestasi lain yang sesuai
dengan lokasi lesi.1,2

Insidensi Bell’s palsy diperkirakan sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan


wajah akut unilateral. Persentase antara wanita dan pria sama dan dapat
menyerang berbagai kelompok usia dan meningkat sesuai pertambahan usia.
Bell’s palsy terjadi sekitar 25 dari 100.000 orang per tahun. Insiden meningkat
pada penderita diabetes melitus dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3

Diagnosis banding penting pada kasus kelumpuhan wajah akut, karena tidak
semua kasus bersifat idiopatik, 10% kasus terjadi akibat herpes zoster optikus, 4%
akibat otitis media, dan 2% akibat berbagai jenis tumor (tumor parotis, neurinoma,
dan lainnya).2 Perhatikan bahwa diagnosis Bell’s palsydibuat hanya setelah
penyebab lain dari kelumpuhan perifer akut telah disingkirkan. Sebuah lesi yang
melibatkan upper motor neuron mengakibatkan kelemahan wajah bagian bawah,
berbeda dengan lesi di lower motor neuron. Anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan
saraf kranial, harus dilakukan.3,4

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STRUKTUR ANATOMI

Saraf otak ke VII yaitu nervus fasialis mengandung 4 macam serabut saraf,
yaitu :1,4
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus fasialis terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg
yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi
kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa
pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus
mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.5

2
Nukleus motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar
ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus
bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di
dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.5
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus

3
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.6
Inti nervus facialis juga dapat dibagi menjadi atas dan bawah. Inti bagian
atas mempersarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mempersarafi otot
wajah bagian bawah. Inti bagian bawah mendapat inervasi kontralateral dari
korteks somatomotorik dan inti nervus facialis bagian atas mendapat inervasi dari
kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada parese nervus facialis
UMN (kerena lesi di korteks dan atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah
aja yang paresis, sedangkan otot wajah atas jelas tidak lumpuh. Sebaliknya, pada
lumpuh nervus facialis LMN (karena lesi infranuklearis), otot wajah atas dan
bawah jelas keduanya mengalami kelumpuhan.5

4
2.2 DEFINISI

Bell’s palsy adalah penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus
fasialis (Nc. VII)perifer yang menyebabkan suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan akut dan idiopatik, saat saraf ini berjalan di dalam kanalis fasialis,
kelainan ini biasanya bersifat unilateral, tapi banyak pendapat yang mengatakan
bahwa terdapat reaksi autoimun setelah terjadinya infeksi oleh virus sehingga
menyebabkan udem pada myelin saraf fasialis.Lokasi disfungsi menentukan aspek
fungsional nervus fasialis yang tidak bekerja.7

Menurut pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan


patologi anatomi menunjukkan bahwa Bell’s palsybukan penyakit tersendiri tetapi
berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit
lain.3

2.3 ETIOLOGI

Bell’s palsy disebabkan adanya udema saraf di dalam kanalis fasialis yang
menekan serabut-serabut saraf, keadaan ini menyebabkan hilangnya fungsi saraf
sementara dan menimbulkan tipe paralisis fasialis lower motor neuron. Penyebab
Bell’s palsy tidak diketahui. Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.2
Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya
pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab
Bell’s palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada
beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR
(Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy
berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf
sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.1,2,6

5
2.4 PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik


vaskuler dan teori infeksi virus, teori kombinasi.6,7
1. Teori iskemik vaskuler. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada tahun
1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan
respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol
dan statis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini
menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis
flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah.6,7
2. Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi
yang dapat ditemukan pada kasus saraf fasialis adalah otitis media,
meningitis bakteri, penyakit limfe, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun
1972 Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada
ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh
menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terejadi
kematian sel saraf karena sel saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang
cukup.6,7
3. Teori kombinasi, teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan
bahwa kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau
reaktivitas virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis
sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan
penekanan saraf perifer ipsilateral.6,7
2.5 Manifestasi Klinis
Bell’s palsy seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam dan
khas yaitu wajah yang tidak simetris, kelemahan atau paralisis otot, kerutan dahi
menghilang, tampak seperti orang letih, hidung terasa kaku terus - menerus, sulit
berbicara, kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada
pengecapan, ,serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah.Pada kasus yang
lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang

6
berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Keluhan
yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap
sebagai infeksi.8

Gejala kelumpuhan perifer yang ditimbulkan tergantung dari lokalisasi


kerusakan.8
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala: Kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi. Kelumpuhan ini
adalah berupa tipe flaksid, LMN, pengecapan dan sekresi air liur masih
baik.
 Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
 Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
 Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis
fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah
dan gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.
Lokasi yang paling sering ditemui ialah kerusakan setinggi foramen
stilomastoideus dan setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering
pada kerusakan setinggi genikulatum adalah: Herpes Zoster, otitis media perforata
dan mastoiditis.Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah
dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system merupakan
suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini

7
diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti
progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan. Beberapa
sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading
system,Sunny brook scale, dan Yanagihara grading system. Dari ketiga sistem ini
yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di
Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann
gradingsystem telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery dan telah digunakan. Sistem ini
didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi
motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele. Yanagihara grading system,
diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara
terpisah pada beberapa otot fasial yang berbeda. Masing - masing fungsi diberi
skor 0 - 4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4),
paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis tota l (0).
Sistem skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan
sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi saraf
fasial pada Bell’s palsy herpes zoster oticus, dan follow up pembedahan neuroma
akustikus.9

8
2.6 Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan berdasarkan dari anamnesis dan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Pemeriksaan fisik yang lengkap
dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang serupa dan kemungkinan
penyebab lain. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan
ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan kelemahan pada seluruh
wajah sisi yang terkena. Tes yang dilakukan dengan meminta pasien untuk
melakukan beberapa hal berikut:6,10
 Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator
 Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter
 Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot tertarik
pada sudut mulut
 Menguji pengecapan
 Pasien diminta untuk meniup udara, menahan udara di dalam mulut dan
bersiul.
Beberapa kriteria diagnosis pada Bell’s palsy:
 Menurut Teverner (1954)
- Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi
wajah
- Onset yang tiba- tiba
- Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
- Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine
angle
 Menurut Rhonthal dkk (2012)
- Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang
digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atautanpa
kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atausekresi
yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.

9
- Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit
progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam
3minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat;
danpenyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.

a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
 Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
 Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
 Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.

10
 Mata kering.
 Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus
facialis tidak mengalami gangguan.
 Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan
gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya
dari otak ke wajah bagian lateral.
 Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
 Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
 Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
 Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.

11
c. Pemeriksaan penunjang
1. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
kerusakan it fasialis ireversibel.

2. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)


Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot-otot wajah.
4. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap
dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil
kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan
yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap
rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan
letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan
atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air
mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

6. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan

12
namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut
berasal.
7. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnosisBell’s palsy maka diperlukan pemeriksaan radiologi untuk
menyingkirkan penyebab yang lain. Bila tidak ada perbaikan ataupun
mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin
dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,
meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-
Scan harus dilakukan.
8. Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan
pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan
neuroma akustikus.

2.7 Diagnosis banding


Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), Miller Fisher Syndrom, infeksi tuberculosa pada mastoid ataupun
telinga tengah, Guillen Barre syndrome.8,9
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya
yang belum jelas. Secara umum pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan dengan
menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan.11
1. Istirahat terutama pada keadaan akut.
2. Medikamentosa
Penatalaksanaan pada Bell palsymasih kontroversional, penggunaan steroid
dan antivirus pada awal gejala klinis akan memberikan perbaikan secara
lengkap.Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa sakit,mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf dikanalis fasialis
yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam
dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.Dosis

13
pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal
70mg) adalah 1 mg per kg berat badan per hari peroralselama enam hari diikuti
empathari tappering off.11
Penggunaan anti virus pada pasien Bell’s palsy didasari oleh dugaan
virusHerpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster sebagai penyebab. Reaktivasi
dari virus tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Anti virus
yang paling sering digunakan adalah asiklovir. Pada beberapa studi bahkan
dilakukan kombinasi pemakaian dengan prednisolon. Keuntungan penggunaan
anti virus masih diragukan,sehingga telah dilakukan beberapa studi. Pada studi
tersebut disimpulkan bahwa tidakterdapat manfaat signifikan dari antivirus
dibandingkan placebo pada pengobatanBell’s palsy. Studi lain juga menemukan
bahwa tidak ditemukan perbedaan padatingkat perbaikan klinis dengan
prednisolon dan kombinasi prednisolon dan asiklovir.10
Pada pasien Bell’s palsy yang etiologinya diduga akibat dari komplikasi
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, perlu dilakukan kontrol terhadap
kadargula darah. Pasien yang kadar gula darahnya terkontrol memiliki prognosis
yanglebih baik.9
Selain pemberian kortikosteroid dan antivirus juga perlu perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga
pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi
dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
 Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti
air mata yang kurang atau tidak ada.
 Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun
jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu
kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
 Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.

14
3. Fisioterapi

Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan


terapipanas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan
untukdiberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada
pasienBell’s palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur.
Akupunturdan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi
perawatan Bell’spalsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
melihat efisiensinya.11

4. Pembedahan

Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy diajukan untuk dilakukan karena


hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi
patologis akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan
dapat mengurangioedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan
fossa tengah dan lebihdibaik dilakuakan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan
serabut saraf tidak dapat diperbaiki.11

Penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi menjadi dua bagian yaitu


manajemen primer dan manajemen sekunder. Manajemen primer terdiri dari
perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau transposisi saraf.
Sedangkanmanajemen sekunder bertujuan untuk mengembalikan fungsi wajah
atau perbaikanestetis wajah.Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan sebagai
penatalaksanaan primeradalah neurorrhaphy dan graft neurorrhaphy. Direct
neurorraphy diindikasikan padalaserasi benda tajam yang melibatkan nervus
fasial. Prosedur ini diharapkan dapatmemberikan pengembalian fungsi nervus
fasial dengan baik. Prosedur graftneurorrhaphy mirip dengan perbaikan saraf
langsung, yang membedakan adalahdibutuhkannya anastomosis tambahan untuk
setiap cabang saraf yang dirawat.Donoryang umumnya digunakan untuk prosedur
graft neurorrhaphy adalah great auricularnerve, sural nerve, dan antebrachial
cutaneous nerve.11

15
Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi
wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada
pembedahandianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan
dan hanyamembutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari
pembedahandengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat
kembali sudut mulutyang turun.Selain terapi yang telah diuraikan diatas,
perlindungan pada mata dan ototwajah juga perlu dilakukan. Kornea mata
memiliki risiko mengering dan terpaparbenda asing. Perlindungan dapat dilakukan
dengan penggunaan air mata buatan(artificial tears), pelumas pada saat tidur, kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopakmata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan
bagian lateral kelopak mata atas danbawah).8
2.9 Prognosis
Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik. Bell’s palsy biasanya dapat
sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. Deformitas
pada Bell’s palsy dapat berupa :12
 Regenerasi motorik inkomplit
Hal ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis.
Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot
ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan
kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas
ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.
 Regenerasi sensorik inkomplit
Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.
 Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut
saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan
serabut saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat
menyebabkan terjadinya gerakan involunter yang mengikuti gerakan
volunter (sinkinesis).

16
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Wagiatik
Umur : 43 Tahun
Alamat : Pongkai
Pekerjaan : Karyawan PT. Padasa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Konsultasi : 15 Juli 2017

B. ANAMNESIS : Autoanamnesis
I. Keluhan Utama:
Mulut tertarik ke kanan sejak 1 minggu SMRS.
II. Riwayat Penyakit Sekarang:
Ny. W, 43 tahun datang ke poli saraf RSUD Bangkinang dengan
keluhanmulut tertarik ke kanan sejak 1 minggu SMRS.Keluhan tersebut
mulai dirasakan ketika pasien merasakan sulit untuk minum air setelah
pasien bangun dari tidur 1 minggu yang lalu.Air yang diminumnya seakan-
akan tidak masuk ke dalam mulutnya. Untuk makan tidak ada gangguan
menelan.
Pada waktu bersamaan, mata kanan pasien dirasakan sangat perih,
lebih berair dibandingkan mata kiri dan sulit untuk menutupnya, juga
mengeluhkan wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang, dan
kerutan dahi hilang ketika dahi diangkat.

17
III. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- 1 minggu sebelum mulut pasien tertarik ke kanan pasien mengeluhkan
batuk pilek
- Tidak ada riwayat nyeri dan keluar cairan pada telinga
- Riwayat trauma kepala di sangkal
- Riwayat DM disangkal
- Kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada
- Riwayat herpes simplex disangkal
IV. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Riwayat DM disangkal
- Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal serupa
V. Riwayat Pribadi dan Sosial:
- Pasien sering terpapar udara dingin saat pulang dari bekerja

C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (E4M5V6)
Status gizi : Baik
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 55 kg
Rambut : Tidak mudah dicabut
Tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 78 x/menit
- Frekuensi pernafasa : 22 x/menit
- Suhu : 36,5oC
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak ada pembesaran

18
- Aksila : Tidak ada pembesaran
- Inguinal : Tidak ada pembesaran
Thoraks
a. Paru-paru
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, bentuk dada
normal
- Palpasi : Fremitus suara +/+, simetris kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
- Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari lateral linea midclavicula
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar
dan lien
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), kelemahan (-)
Inferior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), kelemahan (-)

19
II. Status Neurologis
A. Tanda Rangsangan Selaput Otak:
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig Sign : Negatif
B. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial:
Pupil : Isokor
C. Pemeriksaan Nervus Kranialis:
N.I (N. Olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Dalam batas normal Dalam batas normal
Obyektif dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II (N. Optikus)


Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III (N. Okulomotorius)


Kanan Kiri
Bola mata Normal Normal
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan bulbus Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endophtalmus Tidak ada Tidak ada

20
Diplopia Tidak ada Tidak ada
Pupil :
 Bentuk Normal Normal
 Refleks cahaya Positif Positif
 Rrefleks akomodasi Normal Normal

 Refleks konvergensi Normal Normal

N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri

Gerakan mata ke bawah Normal Normal

Sikap bulbus Normal Normal

Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
 Membuka mulut Normal Normal
 Menggerakkan rahang Normal Normal
 Menggigit Normal Normal

 Mengunyah Normal Normal

21
Sensorik :
 Divisi Optalmika
 Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Divisi Maksila
 Refleks masseter Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Divisi Mandibula
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Sensibilitas

N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. VII (N. Facialis)


Kanan Kiri
Raut wajah Simetris Tidak simetris
Sekresi air mata Normal Berlebih

Fisura palpebral Normal Sulit ditutup

Menggerakkan dahi Normal Tidak mengkerut

Menutup mata Normal Sulit

Mencibir/bersiul Normal Sulit

Memperlihatkan gigi Normal Sulit

Sensasi lidah 2/3 depan Tidak dilaukan Tidak dilaukan

22
N. VIII (N. Vestibulocochlearis)
Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal

Detik arloji Normal Normal

Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Webber test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Scwabach test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Memanjang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Memendek Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus :
 Pendular Tidak ada Tidak ada
 Vertikal Tidak ada Tidak ada
 Siklikal Tidak ada Tidak ada
Hiperakusis Tidak ada Tidak ada

N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks muntah/Gag reflek Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal

23
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal

Menoleh ke kiri Normal Normal

Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal

Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (N. Hipoglossus)


Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Normal Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada

D. Pemeriksaan Keseimbangan dan koordinasi

Keseimbangan Koordinasi
Cara berjalan Normal Tes jari – hidung Normal
Romberg test Normal Tes jari – jari Normal
Stepping tes Normal Tes tumit lutut Normal
Tandem Walking tes Normal Disgrafia Tidak ada
Ataksia Tidak dilakukan Supinasi – pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak dilakukan

24
E. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
Gerakan spontan Normal Normal

Tremor Negatif Negatif


Atetosis Tidak ada Tidak ada
Mioklonik Tidak ada Tidak ada
Khorea Tidak ada Tidak ada
Bradikinesia Tidak ada Tidak ada

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Menurun
Sensibilitas nyeri Menurun
Sensibilitas termis Tidak dilakukan
Sensibilitas kortikal Tidak dilakukan
Stereognosis Tidak dilakukan
Pengenalan 2 titik Menurun
Pengenalan rabaan Menurun

25
G. Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Laring Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Maseter Normal Normal
Dinding perut
 Atas Normal Normal
 Bawah Normal Normal
 Tengah Normal Normal
Biseps Normal Normal
Triseps Normal Normal
APR Normal Normal
KPR Normal Normal
Bulbokavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan
Sfingter Tidak dilakukan

2. Refleks Patologis Kanan Kiri


Lengan
Hoffman Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tungkai
Babinski Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Chaddoks Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Oppenheim Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gordon Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Schaeffer Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Klonus kaki Tidak dilakukan Tidak dilakukan

26
3. Fungsi Otonom
 Miksi : Normal
 Defekasi : Normal
 Sekresi keringat : Normal
4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
 Reaksi bicara Normal  Reflek glabella Tidak ada
 Fungsi intelek Normal  Reflek snout Tidak ada
 Reaksi emosi Normal  Reflek menghisap Tidak ada
 Reflek memegang Tidak ada
 Refleks palmomental Tidak ada

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rencana pemeriksaan tambahan :
 Laboratorium
- Darah rutin :-
- Kimia klinik :-
- Urin :-
- Feses :-

MASALAH
Diagnosis
 Diagnosis Klinis :Bell’s Palsy
 Diagnosis Topik : Foramen Stilomastoideus
 Diagnosis Etiologi : Idiopatik
 Diagnosis Sekunder : Proses infeksi

27
RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan titer serum HSV
- Kadar gula darah
- MRI
PEMECAHAN MASALAH
Nonfarmakologi
- Edukasi
o Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan
yang diberikan.
o Massage wajah kearah atas dan mneggembungkan pipi dengan mulut
tertutup
o Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi
o Mata ditutup saat tidur dan siang hari menggunakan kaca mata hitam
Farmakologi
- Mecobalamin 500 mcg tablet 3x1 perhari
- Metilprednisolon 3 x 16 mg tablet selama 3 hari, tapering off setengan dosis
3 hari selanjutnya
- Cendo Cenfresh 3x1 tetes OS
PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosis pada pasien ini dilakukan melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pada anamnesis ditemukan faktor resiko bell’s palsy yaitu
batuk pilek. Keluhan yang ditemukan yaitu mulut tertarik ke kanan, mata kiri
pasien dirasakan sangat perih, terasa lebih berair di banding mata kanan, dan
kelopak mata kiri terasa sulit untuk menutup, juga mengeluhkan wajah sebelah
kiri terasa tebal dan kurang terasa atau baal bila dipegang, kerutan dahi hilang,
sulit untuk minum dan makanan keluar dari sudut mulut sebelah kiri.

Hal tersebut terjadi karena paralisis nervus VII kiri yang mempersarafi otot-
otot wajah kecuali otot-otot yang terlibat dalam mengunyah. Oleh itu pasien
mengalami kesulitan dalam makan dan minum karena sudut mulut kiri melonggar,
mata kiri sering berair karena nervus VII juga berperan dalam persarafan visceral
kelenjar lakrimal dan mata terasa perih karena mata sulit untuk menutup. Otot
untuk menutup mata yaitu M.Orbicularis Oculi yang dipersarafi oleh nervus VII
sehingga menimbulkan gejala mata kering. Pasien juga mengeluh kulit di wajah
kiri terasa tebal dan baal karena NVII dan NV mempunyai nucleus somatosensory
yang sama.

Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran


composmentis dengan GCS 15, karena paralisis saraf pada Bell’s palsy tidak
mengenai pusat kesadaran di sentral, hanya melibatkan saraf VII perifer. Pada
pemeriksaan tanda vital, didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan
nervus VII, didapatkan raut wajah sebelah kiri tidak simetris, mata kiri pasien
mengalami lagoftalmus, yaitu mata tidak dapat menutup sempurna sehingga
menimbulkan gejala mata kering dan perih sehingga mata sering berair. Kerutan
dahi kiri pasien ini menghilang karena terdapat kelumpuhan otot-otot dahi kanan
yang dipersarafi oleh nervus VII, bila disuruh menggembung pipi, kemudian
ditekan dengan jari, penggembungan mudah untuk mengempes karena hal yang

29
sama, disuruh menyeringai, terlihat mulut mencong ke kanan, sudut mulut kiri
menghilang dan bila disuruh angkat kedua alis, yang sisi kirinya tidak terangkat.

Diagnosa ditegakkan adalah Bell’s palsy sinistra sesuai dengan definisi


Bell’s palsy yaitu kelumpuhan ataukelemahan ototpada satusisi wajahakibat
kerusakanNVII satu sisi yang mengendalikanotot-ototwajahdisisi tersebut dan
menyebabkan wajah terasa baal dan berat. Sesuai dengan keluhan pasien, maka
diagnosis topikanya terletak di saraf motorik NVII perifer dengan paralisis
motorik dan foramen stylomastoideus. Dilihat dari teori patofisiologi Bell’s palsy,
maka diagnosis patologinya adalah karena inflamasi.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini berupa:Pemberian kostikosteroid
yaitu metilprednisolon. Pada ball’s palsy kortikosteroid ditemukan dapat
mempercepat penyembuhan, dan perlu dilakukan tapering off supaya tidak
menyebabkan withdrawal syndrome steroid. Dosis metilprednisolon 16 mg tablet,
hari pertama 2x2 tablet, hari kedua 1x2 tablet, hari ketiga 1x1 tablet. Setelah itu
diturunkan lagi dosis ke tablet 4 mg selama 3 hari, hari pertama 2x2 tablet, hari
kedua 1x2 tablet, dan hari ketiga 1x1 tablet. Juga diberikan mecobalamin sebagai
neuroprotektor dan memperbaikan serabut mielin, dosisnya tablet 1500mcg dibagi
3 dosis selama 2 bulan. Pada pasien diberikan edukasi tentang perawatan mata
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena
kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang
berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear
solution. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar rumah.
Pada pasien ini juga dilakukan fisioterapi. Tujuan fisioterapi adalah untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Terapi ini diberikan setiap hari sampai
terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya
penyembuhan yang komplit. Disamping itu juga dapat dilakukan massage pada
otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.

30
BAB V
KESIMPULAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologis yang mempengaruhi


saraf kranialis dan paling sering terjadi diseluruh dunia yang menyebabkan
kelumpuhan wajah. Bell‘s palsy juga dikenal sebagai Idiopatic Facial Paralysis
(IFP) termasuk paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang bersifat akut, perifer,
dan unilateral. Gangguan ini di tandai dengan paresis flasidpada semua otot
ekspresi wajah (termasuk otot-otot dahi), serta manifestasi lain yang sesuai
dengan lokasi lesi.

Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan berdasarkan dari anamnesis dan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya


yang belum jelas. Secara umum pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan dengan
menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan dapat juga dilakukan
pembedahan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. May M, Klein SR. Differential diagnosis of facial nerve palsy.Otolaryngol


Clin North Am 1991;24:613–41.
2. Snell RS. Bell’s palsy. Neuroanatomi Klinik, 7th ed. Jakarta: EGC, 2011.
369
3. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi Duus, 4th ed. Jakarta:
EGC, 2010. 151
4. Ropper AH, Samuels MA (2009). Bell's palsy section of Diseases of the
cranial nerves. In Adams and Victor's Principles of Neurology, 9th ed., pp.
1330-1331. New York: McGraw-Hill.
5. Peitersen E. Bell’s palsy: the spontaneous course of 2500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002;549:4–
30.
6. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi
Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
7. Budiman RY. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar Prosedur
Operasional Neurologi. Jakarta: PT Refika Aditama, 2013. 295-296
8. Holland NJ, Weiner GM (2004). Recent developments in Bell's palsy. BMJ,
329: 553-557.
9. Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Doi T, Hato N,Yanagihara N.
Bell’s palsy and herpes simplex virus: identificationof viral DNA in
endoneurial fluid and muscle. Ann InternMed 1996;124:27–30.
10. Alford BR. Anatomy of the 7th cranial nerve. Baylor College of Medicine.
2010
11. Evans AK, Licameli G, Brieztzke S, Whittemore K, Kenna M. Pediatric
facial nerve paralysis: patients, management andoutcome. Int J Pediatr
Otolaryngol 2005;69:1521–8.
12. Patel DK, Levin KH. Bell palsy: Clinical examination and management.
Cleveland clinic journal of medicine. 2015; 82 (7): 419-426

32

Anda mungkin juga menyukai