Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

BELL’S PALSY

Disusun Oleh:
Ranti Agustin
G99181053

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan alut pada bagian saraf wajah yang
tidak diketahui jels penyebabnya. Kelainan ini bisa terjadi akibat dari
kelainan traumatis, yekanan, inflamasi, atau kelainan metabolik yang
menyerang saraf di bagian wajah, predisposisi genetik, dan reaksi autoimun.
Kelumpuhan bisa terjadi di sebagian atau seluruh saraf di wajah. Penyebab
lain dari dari kelainan bell’s palsy ini masi belum diketahui secara jelas,
namun beberapa penulis menyebutkan bahwa virus merupakan salah satu
penyebabnya, dan virus herpes disebutkan sebagai agen infektif yang dapat
menyebabkan peradangan atau inflamasi pada saraf. Bell’s palsy sering
terjadi pada dewasa daripada anak-anak.
Bentuk wajah penderita bell palsy biasanya menjadi tidak simetris,
dan penderita tidak dapat menutup mata cengan sempurna. Selain itu
penderita juga akan mengalami kesulitan ketika makan ataupun minum
karena kondisinya tersebut.
Pengobatan pada bell’s palsy bertujuan untuk mencegah sisa-sisa
gejala yang mungkin akan muncul kembali dan juga untukmengobati
peradangan atau inflamasi yang terjadi akibat infeksi virus herpes yang
didasarkan pada patofisiologi infeksi virus herpes tersebut di wajah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Paralisis bell (bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus
fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
Dapat mengenai semua umur , namun sering terjadi pada usia 20-50 tahun.
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu misalnya
diabetes mellitus, hipertensi berat, anastesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga bagian tengah, sindrom gullain bare, kehamilan trimester akhir,
meningitis, perdarahan, dan trauma. Apabila faktor penyebabnya jelas maka
disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis bell.

B. Etiologi
Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini
dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy
meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier
yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS,
trauma) atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan
sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lyme disease dan otitis media, atau
trauma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat
menyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII) dapat memicu
terjadinya bell’s palsy.

3
C. Patofisiologi
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik
vaskuler dan teori infeksi virus.
1. Teori iskemik vaskuler
Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang
menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon
simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan
stasis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini
menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis
flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah.
2. Teori infeksi virus
Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat
ditemukan pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media,
meningitis bakteri, penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun
1972 McCromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada
ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh
menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi
kematian sel saraf karena saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang
cukup. Pada beberapa kasus yang ringan hanya terdapat kerusakan
selubung myelin saraf.
3. Teori kombinasi

4
Teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa
kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi
virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis sekunder atau
karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan
saraf perifer ipsilateral.

5
Fisiologi saraf fasialis

Nervus fasialis merupakan saraf motorik yang mengontrol gerakan


volunteer dari otot-otot wajah. Saraf ini juga terdiri dari komponenn sensorik.
Serat sensorik mensarafi sensari pengecapan dari dua pertiga depan lidah.
Serat lain mengantarkan sensasi dari kanalis auditorius eksternus. Serat
autonon mengontrol sekresi dari kelenjar mandibula, sublingual dan lakrimal.
Jalur sistem saraf pusat yang terlibat dalam pergerakan wajah mulai dari
korteks kedua hemisfer dan turun sepanjang serat piramidalis untuk
membentuk sinaps pada intik nucleus di batang otak. Nervus fasialis keluar
dari nucleus pada dasar pons di batang otak. Kemudian melewati meatus
akustikus internus terus ke kanalis fasialis tulang petrosus temporal bersama
nervus akustikus. Saat melewati tulang petrosus tempolal, nervus fasialis
berbelok ke posterior untuk memberi cabang yang mengontrol fungsi kelenjar
lakrimal. Kemudian berjalan ke belakang dan lateral mengelilingi vestibulum
telinga tengah dan mengirim cabang ke otot strapedius yang mengatur reflex
stapedius. Kerusakan nervus fasialis di proksimal cabang ini menyebabkan
hiperakusis (hipersensitivitas yang nyeri terhadap suara keras).
Nervus fasialis mempunyai cabang yang menyuplai chorda timpani, yang
mengontrol sekersi kelenjar submandibula dan sublingual dan sensasi rasa dua
pertiga depan lidah. Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen
stilomastoideus dan kemudian berjalan melalui kelenjar parotis, dimana
berakhir di cabang temporal, zigomatikum, buccal, mandibula dan servikal
untuk mensuplai otot-otot ekspresi wajah dan penutupan kelopak mata.

6
Dahi menerima inervasi dari kedua hemisfer serebri. Lesi unilateral pada
sistem saraf pusat di atas inti nervus fasialis melibatkan badan sel atau serat
saraf yang berhubungan dengan inti fasial akan menyebabkan paralisis hanya
pada setengah bagian bawah wajah saja. Sebaliknya, lesi di inti fasial batang
otak atau pada saraf itu sendiri akan menyebabkan paralisiswajah bagian
bawah dan juga dahi.

7
D. Manifestasi klinis

a. Tanda
- Saat pasien diminta untuk mengerutkan dahi  bagian yang
mengalami parese tidak dapat mengerutkan dahi.
- Saat pasien diminta untuk menutup mata dengan kuat  bagian yang
mengalami parese tidak dapat menutup mata dengan kuat.
- Saat pasien diminta untuk meringis / tersenyum  sudut mulut yang
mengalami parese akan terkulai.
b. Gejala
- Gejala utama yang terjadi tiba-tiba. Biasanya onsetnya terjadi malam
hari atau setelah bangun dari tidur malam dengan kelemahan wajah
unilateral komplit selama 24-72 jam.
- Gejalanya meliputi kelemahan pada satu sisi wajah. Sudut mulut yang
terkulai, mata yang tidak dapat menutup kuat (lagophtalmus), tidak
dapat mengerutkan dahi, terdapat tanda bell (bola mata berputar
keatas).
- Gejala lain dapat berupa tebal wajah ipsilateral, telingan terasa sakit,
hilangnya rasa pada bagian lidah (ageusia), hipersensitivitas terhadap
suara atau suara terdengar keras (hiperakusis karena stapedius palsy),
dan kesulitan makan.
- Patologi atau gejala lain bisa berupa gejala bilateral, adanya tanda-
tanda UMN, neuropati saraf cranial lainnya (N.V atau N.XII, tapi

8
hanya terdapat pada 8% kasus idiopatik), kelemahan ekstremitas,
dan ruam.

Tabel 2 : Manifestasi Klinis Bell’s palsy


Gejala pada sisi wajah ipsilateral Gejala pada mata ipsilateral
- Kelemahan otot wajah ipsilateral - Sulit atau tidak mampu menutup mata
- Kerutan dahi menghilang ipsilateral
ipsilateral
- Tampak seperti orang letih
- Air mata berkurang
- Tidak mampu atau sulit mengedipkan
- Alis mata jatuh
mata - Kelopak mata bawah jatuh
- Hidung terasa kaku - Sensitif terhadap cahaya
- Sulit berbicara
- Sulit makan dan minum
- Sensitif terhadap suara (hiperakusis)
- Salivasi yang berlebihan atau berkurang
- Pembengkakan wajah
- Berkurang atau hilangnya rasa kecap
- Nyeri di dalam atau disekitar telinga
- Air liur sering keluar
Residual
- Mata terlihat lebih kecil
- Kedipan mata jarang atau tidak
sempurna
- Senyum yang asimetri
- Spasme hemifasial pascaparalitik
- Otot hipertonik
- Sinkinesia
- Berkeringat saat makan atau saat
beraktivitas
- Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
- Otot menjadi kaku saat letih atau
kedinginan

Pada kasus bell’s palsy gejala dapat bervariasi dari yang ringan, tidak jelas,
hingga cukup jelas.

E. Klasifikasi Parese Fasialis

9
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik
dari parese ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980. Sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan.
Pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6
merupakan parese yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda
penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas
dalam Tabel 2.

Grade Penjelasan Karakteristik


I Normal Fungsi fasial normal

II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi


dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
sedang kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
Hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
Maksimum

IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan


sedang berat Asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna

10
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris


Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total parese Tidak ada pergerakkan

F. Diagnosis banding
a. Lesi perifer
- Otitis media
Disebabkan oleh bakteri pathogen, onset perlahan, nyeri pada telinga,
demam, dan gangguan pendengaran konduktif.
- Ramsay Hunt Syndrome
Disebabkan oleh virus Herpes Zooster. Sindroma ini terjadi ketika
terjadi reaktivasi virus varicella zooster yang latent di ganglion
genikulatum N.VII. Gejala yang muncul seperti erupsi vesikular yang
nyeri pada kanalis auditorius (herpes zooster oticus), ear-drum, pinna,
lidah, atau palatum durum. Selain itu juga terdapat gejala kelemahan
wajah ipsilateral, hilangnya sensasi rasa, mulut kering, mata kering,
vertigo, tinnitus, atau ketulian.
- Penyakit Lyme
Disebabkan oleh Borrelia burgdorfery, riwayat adanya tanda bercak
atau nyeri sendi, kontak di daerah endemik penyakit Lyme.
- Polineuropati (GBS, sarkoidosis)
Disebabkan oleh proses autoimun, sering terjadi bilateral.
- Tumor
Onset terjadi perlahan.
b. Lesi sentral
- Multiple sklerosis
Proses demyelenasi, ditemukan defisit neurologis lain.
- Stroke
Ditemukan defisit neurologi lain.

11
- Tumor
Metastase atau primer di otak, onset kronik progresif, perubahan status
mental, adanya riwayat keganasan.

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT-
Scan dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf serta
pemeriksaan laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana
tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi parese nervus
fasialis. Pemeriksaan ENMG ini dilakukan terutama untuk menentukan
prognosis.
Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan IgG), gula
darah atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan titer serum HSV.
Pada pemeriksaan MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat
ganglion genikulatum. Sedangkan pemeriksaan CT-Scan tulang temporal
dilakukan jika memiliki riwayat trauma.

H. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan
kerusakan N.VII dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan antiviral
sesegera mungkin. Menurut Canadian Society of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery and Canadian Neurological Sciences Federation
pemberian kortikosteroid dapat menurunkan risiko terjadinya gejala sisa
akibat bell’s palsy dan menurunkan kejadian sinkinesis. Kortikosteroid
diberikan pada semua pasien bells palsy dengan derajat manapun.
Kortisteroid memberikan hasil yang baik jika diberikan kurang dari 48 jam
dari onset terjadinya bell’s palsy.
Pemberian antivirus dikombinasikan dengan kortikosteroid pada
pasien bell’s palsy dengan derajat berat atau paresis total. Pada banyak
studi antivirus yang digunakan adalah acyclovir 5x400 mg per hari atau
valacyclovir 3x1 g per hari.
Pemberian obat pelindung mata diberikan pada pasien palsy yang tidak
bisa menutup mata dengan sempurna. Jika tidak diberika, mata menjadi

12
kurang terhidrasi sehingga dapat menyebabkan keratitis, ulserasi kornea,
bahkan kehilangan penglihatan.

Algoritma penatalaksanaan bells palsy menurut Canadian Society of


Otolaryngology – Head and Neck Surgery and Canadian Neurological Sciences
Federation

1. Kortikosteroid
Prednison 60 mg/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10
mg/hari dan berhenti pada hari ke 10.

2. Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 10 hari, atau
dapat juga menggunakan Valaciclovir 1 gram yang diberikan 3 kali per
hari.

13
Tabel 4 : Dosis Antiviral
Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-
Nama Obat
1. HSV-2, dan VZV
400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.
Dosis dewasa
<2 tahun : belum dipastikan
Dosis Anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari
Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal

3. Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam
proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari.
4. Obat pelindung mata
Bisa diberikan artifisial tears untuk menghidrasi mata
b. Non medikamentosa
- Tindakan fisioterapi direkomendasikan untuk bells palsy dengan
kelumpuhan yang persisten
- Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian
kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang
diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja.
- Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas.
- Istirahat
- Pembedahan jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan
lateral tarsorrhaphy.

BAB III
ILUSTRASI KASUS

14
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Umur : 19 tahun
Agama : Islam
Alamat : Banjarsari, Surakarta
Pekerjaan : Pengemudi ojek online
Status : Belum menikah
No RM : 0431xxxx
Tanggal masuk RS : 10 Januari 2019

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama : Wajah jatuh sebelah kanan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien datang dengan keluhan wajah jatuh sebelah kanan
sejak 3 jam yang lalu. Keluhan dirasakan tiba-tiba setelah bangun tidur,
sebelumnya pasien mengaku sering tidur dengan posisi kipas angin
dihadapkan langsung ke wajah pasien, begitu pula pada saat bekerja
dimana sering terpapar dengan kipas angin langsung dari jam 8 pagi
sampai 8 malam. Mulut pasien mencong ke kiri, pipi kanan terasa tebal,
mata kanan pasien tidak bisa menutup dan terasa pedih, keluhan air mata
nerocos disangkal. Pasien masih dapat makan dan merasakan rasa
makanan. Keluhan lumpuh dianggota gerak, demam, pendengaran lebih
sensitif disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat herpes zooster : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat kolesterol : disangkal
Riwayat jantung : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat jantung : disangkal
Riwayat DM : disangkal
E. Riwayat Pribadi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal

15
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang driver (Go-jek). Kebiasaan pasien setiap hari
adalah bekerja dari jam 8 pagi sampai 8 malam dan hanya menggunakan
helm half face. Pasien sering tidur di lantai dan menggunakan kipas angin
karena cuaca sangat panas. Biaya pengobatan dengan BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : Tampak sehat
B. Kesadaran : Compos mentis
C. BB : 60 kg
D. TB : 170 cm
E. Vital sign
1. TD : 110/70 mmHg
2. Nadi : 82 kali/menit (regular, isi dan tegangan cukup)
3. RR : 20 kali/menit
4. Suhu : 36,8oC
F. Status Internus
1. Kepala : kesan mesosefal, rambut hitam lurus, luka (-)
2. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
central, reguler dan isokor 3mm, reflek pupil direk (+/+),
reflek pupil indirek (+/+),
3. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
4. Telinga : serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid
(-/-)
5. Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi
berdarah (-), bibir tampak tertarik ke arah kiri.
6. Leher : pembesaran kelenjar limfe (-),pembesaran kelenjar
tyroid (-), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-), tes lhermite
(tidak bisa dilakukan).
7. Thorax :
a. Retraksi (-), simetris
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 1 cm ke arah lateral
linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra

16
Kiri bawah : SIC VI 1 cm ke arah lateral linea
midclavicularis sinistra
Kanan bawah: SIC V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (+) sistolik grade III/IV di spatium
intercostalis II
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara vesikuler (+/+), suara nafas tambahan (-/-)
8. Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di sekitar,
ikterik (-)
Auskultasi: Bising usus normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, Pekak sisi (+) normal,
pekak alih (-), Tidak terdapat nyeri ketok ginjal
dextra/sinistra
Palpasi : Nyeri tekan epigastrum (-), Tidak teraba pembesaran
hepar, Lien dan ginjal tidak teraba

IV. STATUS NEUROLOGIS


UMUM
A. Kesadaran : GCS E4V6M5
B. Fungsi luhur : dbn
C. Fungsi sensorik : dbn
D. Nervi craniales :
1. N. I : pupil isokor (3mm/3mm), Refleks Cahaya (+/+)
2. N. II, III : lapang pandang dalam batas normal
3. N. II, IV, VI : gerak bola mata dalam batas normal
4. N. V : reflek kornea (+/+), otot pengunyah dalam batas
normal
5. N. VII : Kerutan kulit dahi (-/+)

17
Kedipan mata (-/+)
Lipatan nasolabial (mendatar/+)
Sudut mulut (-/ke arah kiri)
Mengerutkan dahi (-/+)
Mengangkat alis (-/+)
Menutup mata (-/+)
Meringis (-/+)
Tik fasial (-/-)
Lakrimasi (-/-)

6. N.VIII : pendengaran dalam batas normal, keseimbangan


dalam batas normal
7. N. IX, X : reflek menelan baik
8. N. XI : dalam batas normal
9. N. XII : dalam batas normal

E. Kekuatan motorik : Kesan normal


555 / 555
555 / 555
F. Reflek Fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps +2 +2
Triceps +2 +2
Patella +2 +2
Achilles +2 +2

G. Reflek Patologis
Dextra Sinistra
Hoffmann-Tromner - -
Babinsky - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Stransky - -
Rosolimo - -
Mendel-Beckhterew - -

18
H. Tonus
Tonus ekstremitas atas : normotonus/normotonus
Tonus ekstremitas bawah : normotonus/normotonus

I. Tanda Meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinki III (-)
Brudzinki IV (-)

J. Tes Provokasi Nyeri


Laseque (-)
Patrick (-)
Contra patrick (-)

FUNGSI VEGETATIF
1. Miksi : inkontinensia urin (-), retensio urin (-), anuria (-), poliuria
(-)
2. Defekasi : inkontinensia alfi (-), retensio alfi (-)

V. DIAGNOSIS
Bells palsy dextra house brackmann grade V

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Dilakukan bila tidak ada tanda perbaikan/ kesembuhan sempurna
- CT-scan cranial
- MRI cranial

VI. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa :
Tujuan : menghentikan proses inflamasi, menghentikan infeksi virus,
memproteksi saraf, perlindungan terhadap mata
a. Menghentikan proses inflamasi

19
Prednison 60 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan
bertahap 10 mg/hari dan berhenti pada hari ke 10
b. Proteksi saraf
Mecobalamin 1x500 µg/hari
c. Perlindungan terhadap mata
Tetes mata Cendo lyteers 1 atau 2 tetes 3-4 x/hari
d. Antivirus
Acyclovir tab 5x400mg / hari

dr. Ranti
SP/SIP 999.181.053
Alamat : Jalan Kartika, Jebres, SKA
Telp (021) 899566

Surakarta, 14 Januari 2019


R/ Prednison tab mg 20 No. XV
ʃ 3 dd tab 1

R/ Cendo lyteers eye drops No. I


ʃ 4 dd gtt 1-2

R/ Acyclovir tab mg 400 No. L


ʃ 5 dd tab 1 omni 4 hora

R/Mecobalamin cap mcg 500 No. X


ʃ 1 dd cap 1
2. Non-medikamentosa
a. Perawatan mata dengan pemberian air mata buatan dan melindungi
Pro : Tn. B (19 th)
mata dengan kapas yang diberikan air
b. Pemijatan wajah disertai kompres
c. Istirahat
3. Edukasi
a. Perawatan mata dengan pemberian air mata buatan dan melindungi
mata dengan kapas yang diberikan air
b. Pemijatan wajah disertai kompres
c. Istirahat

VII. KETERANGAN OBAT


A. Prednison
1. Mekanisme Kerja
Prednison merupakan glukokortikoid sintetik atau analog
sintetik kortisol. Bekerja dengan cara menghambat migrasi sel
PMN. Prednison mengurangi inflamasi dengan cara menginhibisi
migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan mengurangi peningkatan

20
permeabilitas kapiler. Prednisone mensupresi sistem imun dengan
cara mengurangi aktifitas dan volume sistem limfe.
Absorpsi prednison sangat baik setelah konsumsi per oral.
Konsentrasi puncak dalam plasma darah tercapai sekitar 1─3 jam
pada sediaan immediate release, dan sekitar 6 jam pada
sediaan delayed release. Bioavailabilitas obat per oral adalah
92%. Metabolisme terjadi di hati dengan cara hidroksilasi
menjadi metabolit aktif, prednisolon. Prednison diekskresikan ke
dalam urin. Waktu paruh biologis setelah konsumsi per oral
adalah sekitar 3-4 jam. Pada anak-anak waktu tersebut lebih
pendek, yaitu sekitar 1-2 jam.
Apabila terapi prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat
terjadi penekanan fungsi adrenal, artinya tubuh tidak dapat
mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada
prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah
diberikan lebih dari 7 hari, penghentian terapi prednison tidak
boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan
perlahan-lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan
selama beberapa hari, jika pemberian terapinya hanya beberapa
hari, tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau bahkan
berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan
terapi jangka panjang. Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat
menyebabkan krisis Addisonian: yang dapat membawa kematian.
2. Indikasi
- Penyakit inflamasi akut
- Penyakit inflamasi pada kulit
- Penyakit inflamasi pada mata
- Penyakit rematik sendi
- Penyakit asma bronkhial
- Penyakit sistemik lupus eritematosus
- Penyakit keganasan sistem limfatik
3. Kontraindikasi
- Infeksi jamur sistemik
- Hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-komponen
obat lainnya
4. Efek samping

21
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Gangguan jantung kongestif
- Hipertensi
- Gangguan muskuloskeletal
- Osteoporosis
- Ulkus peptikus disertai perforasi dan perdarahan
- Gangguan penyembuhan luka (kulit menjadi tipis dan rapuh)
- Petechiae dan ecchymoses
- Tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema (pseudo
tumor cerebri) biasanya setelah terapi
- Gangguan endokrin (menstruasi tak teratur, cushingoid
5. Interaksi Obat
- Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti
fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin dapat meningkatkan klirens
kortikosteroid.
- Obat-obat seperti troleandomisin dan ketokonazol dapat
menghambat metabolisme kortikosteroid, dan akibatnya akan
menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid.
- Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi
yang diberikan secara kronis
- Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi

B. Acyclovir
1. Mekanisme kerja
Adalah zat antivirus yang sangat aktif secara in vitro melawan virus
herpes simpleks tipe I dan II, serta virus varicella zoster. Acyclovir
bekerja dengan cara mencegah sintesis DNA virus tanpa
mempenaruhi proses sel normal.
2. Indikasi

- Pengobatan infeksi virus herpes simplex pada kulit dan


selaput lender, termasuk herpes genitalis inisial dan rekuren.
- Pengobatan infeksi herpes zoster dan varicella.

3. Kontra Indikasi

Penderita yang hipersensitif terhadap acyclovir

4. Interaksi obat

22
- Probenecid, cimetidine, mycophenolate mofetil; karena
berisiko meningkatkan kadar acyclovir dalam darah.

- Ciclosporin, tacrolimus, atau obat lainnya yang


mempengaruhi kerja ginjal; karena dapat meningkatkan
toksisitas pada ginjal.

5. Efek Samping

- Reaksi hipersensitifitas : anafilaksis, angioedema, sindroma


steven johnson, nekrolisis epidermal toksik. pruritus, rasa
terbakar, dan urtikaria
- Gastrointestinal : diare, mual, muntah, nyeri abdomen,
anoreksia
- Neuromuskuloskeletal : pusing, mialgia, nyeri kepala
- Lainnya : alopesia, elevasi transaminase, hematuria,
malaise, phlebitis

2. Cendo lyteers eye drop


Mengandung sodium chloride dan kalium chloride, bisa
dimanfaatkan sebagai air mata buatan (artifisial). Pada penderita
bell palsy berguna sebagai pelindung mata, karena pada penderita
bell palsy pasien kesulitan menutup mata.

3. Mecobalamin
Secara biokimia, Mecobalamin adalah koenzim yang
mengandung vitamin B12 yang ikut berpartisipasi dalam reaksi
transmetilasi. Mecobalamin adalah homolog vitamin B12 yang
paling aktif di dalam tubuh. Mecobalamin bekerja dengan
memperbaiki jaringan syaraf yang rusak. Mecobalamin juga
terlibat dalam maturasi eritroblast, mempercepat pembelahan
eritroblast dan sintesis heme sehingga dapat memperbaiki status
darah pada anemia megaloblastik. Uji klinis tersamar ganda

23
menunjukkan bahwa Mecobalamin tidak hanya efektif untuk
anemia megaloblastik, namun juga untuk neuropati perifer.

24
DAFTAR PUSTAKA

Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press

Maria, Bernard L. Bell’s Palsy in Current Management in Child Neurology, Third


Edition. All Rights Reserved, BC Decker Inc. 2005 ; 366 – 369

Roob, G dkk. 1999. Peripheral Facial Palsy : Etilogy, diagnosis, and treatment.
European Neurology 41:3-9. Austria : Department of Neurology, Karl Franzens
University

Murtagh, J. 2010. Bell’s Palsy. Australia : Australian Doctor

Dalhar, M. dan Kurniawan, S.N. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi Staf Medis
Fungsional Neurologi. Malang : RSUD Dr.Saiful Anwar/FKUB

Dewanto, G dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta :


penerbit Buku Kedokteran EGC

25

Anda mungkin juga menyukai