Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN BELL’S PALSY

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DI RSUD dr. CHASBULLAH ABDULMAJID BEKASI

DISUSUN OLEH:

Ombun Fajar M Lubis (1032161030)

FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI

SARJANA KEPERAWATAN UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI

THAMRIN TAHUN 2019


A. Definisi
Bell's palsy adalah suatu bentuk kelumpuhan wajah sementara yang diakibatkan oleh
kerusakan atau trauma pada saraf wajah. Saraf wajah juga disebut saraf kranial ke-7
berjalan melalui kanal tulang yang sempit (disebut kanal Fallopian) di tengkorak, di
bawah telinga, ke otot-otot di setiap sisi wajah. Untuk sebagian besar perjalanannya, saraf
terbungkus dalam cangkang bertulang ini. Setiap saraf wajah mengarahkan otot-otot di
satu sisi wajah, termasuk yang mengontrol mata yang berkedip dan tertutup, dan ekspresi
wajah seperti tersenyum dan mengerutkan kening. Selain itu, saraf wajah membawa
impuls saraf ke kelenjar lakrimal atau air mata, kelenjar air liur, dan otot-otot tulang kecil
di tengah telinga yang disebut stapes. Saraf wajah juga mentransmisikan sensasi rasa dari
lidah. Ketika Bell's palsy terjadi, fungsi saraf wajah terganggu, menyebabkan gangguan
pada pesan yang dikirim otak ke otot-otot wajah. Gangguan ini menghasilkan kelemahan
atau kelumpuhan wajah. Kata Bell's Palsy diambil dari nama seorang dokter dari abad
19, Sir Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan
dengan kelainan pada saraf wajah. Umumnya, Bell's palsy hanya memengaruhi satu dari
saraf wajah yang dipasangkan dan satu sisi wajah, namun, dalam kasus yang jarang
terjadi, Bell dapat memengaruhi kedua sisi. (National Institute of Neurological Disorders
and Stroke 2019)
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau kelemahan pada salah satu sisi otot di wajah yang
bersifat sementara. Kondisi ini menyebabkan salah satu sisi dari wajah akan terlihat
“melorot”. Meski belum diketahui penyebab pastinya, Bell’s palsy lebih umum terjadi
pada wanita hamil, penderita diabetes, dan HIV. Saraf yang rusak pada bagian wajah
akan berdampak kepada indera perasa dan cara tubuh menghasilkan air mata dan air liur.
Bell’s palsy datang secara tiba-tiba dan umumnya kondisi ini akan membaik dalam
hitungan minggu. Pada kebanyakan kasus Bell’s palsy, kelumpuhan pada salah satu sisi
wajah bisa pulih sepenuhnya. (Payne, J. Patient 2016)

B. Etiologi
Etiologi pasti dari Bell’s palsy belum diketahui dan umumnya adalah idiopatik. Hipotesis
mengenai etiologi penyakit ini antara lain adalah akibat gangguan iskemik vaskular,
infeksi virus atau bakteri, herediter, dan imunologis.
Infeksi virus yang dilaporkan berhubungan dengan timbulnya Bell’s palsy adalah herpes.
Pendapat ini didukung oleh temuan virus herpes HSV-1 pada cairan endoneural setelah
prosedur dekompresi pada kasus Bell’s palsy oleh Murakami et al (1996) dan dalam
saliva pasien dengan Bell’s palsy oleh Lazarini et al (2006). Meskipun demikian, hasil
penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan kausatif di antara keduanya. Virus
lain yang mungkin berhubungan dengan kasus Bell’s palsy adalah HSV-2 dan virus
varicella zoster. Hubungan dengan virus-virus lain seperti cytomegalovirus (CMV),
Epstein-Barr virus (EBV), mumps, rubella, dan HIV juga pernah dilaporkan sebelumnya.
Imunologi etiologi lain yang bisa menyebabkan Bell’s palsy melibatkan cell mediated
immune response terhadap myelin. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya perubahan
persentase limfosit T dan B dalam darah perifer, peningkatan konsentrasi chemokine, dan
reaktivitas terhadap protein myelin secara in-vitro pada sampel darah yang diambil dari
pasien dengan Bell’s palsy.
Iskemia penurunan suplai darah ke nervus fasialis akan menyebabkan iskemia dan bisa
memicu terjadinya Bell’s palsy. Penurunan suplai darah bisa disebabkan oleh berbagai
gangguan vaskular dan metabolik yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah,
seperti atherosclerosis, dislipidemia. Meskipun struktur epineurium kaya akan
vaskularisasi, namun jaringan saraf sendiri merupakan jaringan avaskular sehingga
mudah mengalami iskemia.
Faktor Risiko proses infeksi, imunologis, dan iskemia diperkirakan sebagai faktor yang
mendasari terjadinya Bell’s palsy. Faktor risiko timbulnya Bell’s palsy termasuk
kehamilan, eklampsia berat, obesitas, hipertensi, diabetes, dan gangguan pada saluran
nafas bagian atas. Pada pasien usia tua, gangguan ini sering kali berhubungan dengan
penyakit metabolik, seperti diabetes dan aterosklerosis.

C. Manifestasi klinis
Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau kelumpuhan pada separuh
wajahnya pada sisi yang sakit. Keluhan berupa sudut mulut yang jatuh/tidak dapat
terangkat, ketika makan/minum keluar dari sisi mulut, pengecapan terganggu, kebas pada
separuh wajahnya, nyeri pada telinga, sensitif/peka terhadap suara yang normal tidak
menyakitkan (hiperakusis), rasa berdenging pada telinga (tinitus), produksi air mata
berkurang sehingga mata menjadi kering. Tanda yang dapat ditemukan, mencerminkan
kelumpuhan otot fasialis, seperti tidak mampu mengerutkan dahi, kelopak mata tidak
dapat menutup dengan rapat, fenomena Bell yaitu ketika pasien berusaha memejamkan
kelopak matanya bola mata berputar ke atas, sulkus nasolabialis yang mendatar, sudut
mulut yang tidak dapat terangkat/jatuh dan pengecapan 2/3 lidah depan menurun
(hipogeusia). Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut
muncul. Terdapat lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya gejala dan
tanda Bell’s palsy yaitu bila lesi setinggi meatus akustikus internus menyebabkan
kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan
gangguan keseimbangan. Pada lesi yang terletak setinggi ganglion genikulatum akan
terjadi kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral serta gangguan pengecapan, lakrimasi
dan salivasi. Sementara itu lesi setinggi nervus stapedius menyebabkan kelemahan
seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis.
Selanjutnya pada lesi setinggi kanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda timpani
tetapi dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi. Yang terakhir, lesi yang terletak setinggi
foramen stylomastoid akan menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral.

D. Patofisiologi
Bell’s palsy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Saraf yang radang
dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik
yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik
sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan
lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien
mengalarni kesukaran bicara dan kelemahan atau otot wajah pada sisi yang terkena. Pada
kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui paresis fasialisnya ialah teman sekantor
atau orang terdekat/keluarganya. Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa
gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibanding dengan gerakan
kelopak mata yang sehat. Fenomena tersebut dikenal sebagai lagoftalmos. Lipatan
nasolabial pada sisi kelumpuhan, mendatar. Pada saat mengembungkan pipi terlihat
bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan
bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk
memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak
terangkat sehingga mulut tarnpaknya mencong ke arah yang sehat. Selain kelumpuhan
seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya
benar-benar bersifat Bell’s palsy. Tetapi dua hal harus disebut sehubungan dengan ini.
Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada
2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. Gejala tersebut pertama timbul karena
konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah
mendapat iritasi angin, debu, dan sebagainya. Berkurangnya ketajaman pengecapan,
rnungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai
bagian nervus fasialis, di mana khorda timpani rnenggabungkan diri padanya. Setelah
paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya gejala
itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang
berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot
kelompok lain itu dinamakan sinkinesis. Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut
terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah
lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti
sewaktu berbicara atau mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh
perifer itu dapat terlampau giat berkontraksi tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai pada
spasmus fasialis. Dalam hal ini, di luar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi yang
pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Karena
itu banyak kekhilafan dibuat mengenai sisi mana yang rnemperlihatkan paresis fasialis,
terutama apabila klien yang pernah mengidap Bell’s palsy kemudian mengalami stroke.
Berbeda sekali dengan Bell’s palsy, di mana kelemahan otot wajah sesisi timbul tanpa
diketahui, adalah paresis fasialis unilateral akibat otitis media, di mana nyeri di dalarn
telinga sudah mendorong orang sakit untuk berobat. Setelah itu, kelumpuhan otot wajah
sesisi dapat terjadi. Jadi, dalam hal paresis fasialis akibat otitis media, klien dapat
membantu perawat dengan memberikan informasi bahwa mulut mengok-nya
bersangkutan dengan penyakit di dalarn telinga. Tidak semua otitis media menimbulkan
paresis fasialis. Terlibatnya nervus fasialis dalam proses radang di kavum timpani harus
melalui pengrusakan tulang yang mendindingi kanalis fasialis. Otitis media akut
merupakan penyakit pada anak ataupun bayi. Bayi dan anak kecil belum dapat mengeluh,
tetapi demam dan tangisan (karena sakit kepala atau nyeri di dalam telinga) sudah cukup
indikatif untuk meneliti membrane timpani. Jika pada bayi atau anak dengan otitis media
akut terjadi paresis fasialis, maka secara langsung dapat disimpulkan bahwa infeksi
bacterial yang dihadapi ialah infeksi streptokokus mukosus, oleh karena kuman tersebut
mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum
timpani. Pada otitis media, akut membran timpani memperlihatkan tanda-tanda inflamasi
tanpa perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di dalam kavum timpani. Dalam keadaan
itu, proses infeksi dapat rnelibatkan perios dan kemudian menimbulkan pengrusakan
tulang. Bila dilakukan paresentesis, cairan berdarah encer yang
meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan. Otitis media akut
yang disebabkan oleh kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada umumnya jarang
menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media akut dapat
berkembang menjadi otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan evakuasi
sekresi dan kavum timpani rnasih terdapat demam dan nyeri tekan di tulang mastoideus,
kendatipun antibiotik diberikan, maka mastoiditis harus dicurigai. Melalui antrum, proses
radang berpindah dan kavum timpani ke mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi,
sehingga pengrusakan tulang rnudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis fasialis
yang ikut rusak oleh proses matoiditis, nervus fasialis mengalami gangguan dan
tirnbullah paresis fasialis. Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf
fasialis dan olfaktorius dapat terlihat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit dikuasai
seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-
vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinnitus serta tuli perseptif
dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga. Saraf orak yang paling sering jejas atau putus
karena trauma kapitis ialah saraf olfaktorius. Nomor dua dalam ururan ialah saraf fasialis.
Lesi traumatic tersebut hampir selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur os
temporal, yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto Rontgen. Perdarahan dan liquor
mengiringi paresis fasialis perifer traumatik. Dengan jalan auroskopi dapat disaksikan
adanya hematotimpani dengan/tanpa tersobeknya membrane timpani. Pada leukemia,
paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit mengeluh tentang lesu-letih dan
demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama beberapa minggu.
Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukemia diketahui. Baru
setelah pemeriksaan darah dilakukan leukemia akan dikenal. Gejala-gejala yang
mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembengkakan
kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapar terjadi
di susunan saraf dan tulang tengkorak. Pada karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang
menjadi manifestasi awal. Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan
sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltrative
karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan
lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan
menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular). Tumor intracranial yang
paling sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor disudut serebelopontin, yaitu
neurinoma akustikus. Gejala awal tumor tersebut ialah tuli sesisi yang bersifat tuli
perseptif yang hampir selalu disertai tinnitus dengan gangguan vestibular. Kemudian
timbul getaran akibat gangguan terhadap traktus desendens saraf trigeminus yang dapat
berupa hemihipestesia ipsilatelar atau neuralgia trigeminus. Paresis fasialis yang dapat
timbul pada tahap berikutnya jarang bersifat berat. Yang paling sering dijumpai ialah
kombinasi paresis fasialis yang ringan sekali dengan ‘kedutan’ fasialis.

E. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk
mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang
terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3 - 5 minggu pada kebanyakan
klien. Terapi kortikosteroid (Prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan
edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskular dan memungkinkan
perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid
ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu
mencegah atau meminimalkan denervasi. Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik.
Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan
kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut. Stimulasi listrik dapat diberikan
untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun hanyak klien pulih dengan
pengobatan konservatif., namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat
dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf
wajah melalui pumbedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis
wajah.
Pendidikan Klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata.
Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan refleks berkedip
terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-henda asing. Iritasi
kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada kiien ini. Kadang-kadang keadaan ini
mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang
disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian
hawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ¡ni, mata
harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Benda-benda
yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat diletakkan di atas mata agar
kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup selama tidur. Klien
diajarkan unruk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum
tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan
normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase beberapa kali
sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan
gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, menggembungkan pipi
ke luar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur
untuk mencegah atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

F. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk
wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan
informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

G. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

Riwayat penyakit saat ini


Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama
klien. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya
didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan
kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata
dan berputarnya bola mata ke atas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai
tanda Bell.

Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan
atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami
penyakit iskemia vaskular, otitis media, tumor intrakranial, trauma kapitis, penyakit virus
(herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana
kiien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dan riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.

Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada kiien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
secara sadar biasa digunakan kiien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku
akibat stress.

Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dan pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan persistem (B1—B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dan
klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

B1 (Breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak
batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi
pernapasan dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapang paru. Auskultasi tidak terdengar
bunyi napas tambahan.

B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan
irama yang nomal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih Iengkap dihandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran kiien compos mentis.

Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya
status mental klien mengalami perubahan.

Pemeriksaan saraf kranial


Saraf I. Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
Saraf V. Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VII. Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis
di tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda
timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan
kurang tajam.
Sistem motorik
Bila tidak rnelibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.
Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respons normal.

Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan seiring
ditemukan Tic fasialis.

Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nycri, dan suhu tidak ada kelainan.

B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.

B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan
otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.

B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh
orang lain.
H. Intervensi

I. Sumber
Edho Yuwono, Agus Yudawijaya. 2016. Bell’s palsy: from Anatomy to Medical Treatment
MAJALAH KEDOKTERAN UKI VOL XXXII

NINDS. 2019. Bell’s palsy. National Institute of Neurological Disorders and Stroke

Arif Muttaqin. 2008. BUKU AJAR ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN. Jakarta. Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai