Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku
saku dari Brunner & Suddarth mendefinisikan, Bell’s palsy (paralisis parsial)
adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh bagian
perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.
Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial
ketujuh pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor
wajah (Arif Muttaqin, 2012).
Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus
fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis (Harsono,
2009).
Priguna Sidharta (1985) mendefinisiskan bahwa ‘Bells’s Palsy’ adalah
kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-
degeratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut,
yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

B. ETIOLOGI
Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat
meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herper simplek, herpes zoster), penyakit
autoimun, atau kombinasi semua factor ini (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Harsono (2009) mengatakan paralisis fasial perifer dapat terjadi
pada penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat,
anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom
Guillain Barre, kehamilan trimester terakhir, meningitis, perdarahan, dan trauma.
Apabila factor penyebabnya jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan
bukannya paralisis Bell.
C. PATOFISIOLOGI
Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dengan
beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan,
atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis
iskemik dalam kanal yang sangat sempit. Ada kelainan wajah berupa paralisis otot
wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang
telinga, dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena karena kelemahan
atau otot wajah. Pada kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui paresis
adalah teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak
sehat lebih lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan
nasolabial pad asisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat
bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir
tersebut menyimpan ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk
memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut mulut sisi yang
lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang sehat.
Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa.
Pada umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul
gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang
mengikuti gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti
gerakan otot kelopak lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah
ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisula palpebra sisi
yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas
atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal ini, di luar
serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih
tinggi kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak
kekeliruan mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien
yang pernah mengalami Bell’s Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.
D. PATHWAY
E. Manifestasi klinis
Menurut Harsono (2009), mengatakan pada awalnya, penderita merasakan
ada kelainan disaat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau
berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka penderita
biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan mengunakan cermin.
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak
matanya maka bola matanya makan bola mata tampak terputar ke atas (tanda
Bell). Penderita tak dapat bersiul atau menutup, apabila berkumur atau minum
makan air akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinis lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi
dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit
dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus-menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala tanda klinis seperti pada (1) dan (2), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri
di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes
di membrane timpani dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
5. Lesi di matus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat
dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlihatnya nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus
abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
paralisis Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis
menginervasi glandula lakrimalis dan granua salivarius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya
terjadi “salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell’ s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis.
1) Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan
keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2) Pemeriksaan MRI
Dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak,
glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3) Pemeriksaan neurofisiologi
Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor
kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan
dekompresi intrakanikular.
4) Pemeriksaan elektromiografi (EMG
Mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-
neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari
ke-15 mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan negative-predictive-
value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
amplitudo Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis.
5) Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Pemanjangan gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan blink reflex ini
sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnor-malitas
gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

G. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali
lipat .
H. PENATALAKSANAAN
Terapi Non-farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas
(saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi
lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat
wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya
efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah
onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi
fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan
program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai
dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan
relaksasi.
a. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat
istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang
digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara
aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan
wajah berlebih.
b. kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih
agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan
melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal
20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
c. kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-
sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori
fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian
wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
d. strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang
parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu
meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per
hari.

Terapi Farmakologis

1. Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bell’ s palsy. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72
jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari
pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian
prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik
dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih
dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing
syndrome.
2. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral
dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa
diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali
pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar
dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari
secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa
adalah mual, diare, dan sakit kepala.
I. KOMPLIKASI
Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf
parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme
nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan
kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada
kornea.
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s Palsy meliputi
keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah
berhubungna dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
b. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti
kapan mulai serangan, sembuh, dan bertambah buruk. Pada pengkajian klien
Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu
sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semnua otot wajah satu sisi. Jika dahi
dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Jika klien
diminta memejamkan kedua mata, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan terlihat berputarnya bola mata ke
atas. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami penyakit iskemia vascular, otitis media, tumor intracranial, trauma
kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zozter), penyakit autoimun, atau
kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pamakaian obat-obatan yang sering
digunakan klien, pengkajian tindakan medis yan gdidapatkan klien dapat
mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan memberikan tindakan selanjutnya.
d. Pengkajian psikososiaspiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap
kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keuarga ataupun dalam masyarakat. Apapun ada dampak yang
timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama kesehatan
saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
e. Pemeriksaan fisik
1. B1 (Breathing)
Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan sistem pernafasan
klien dalam batas normal. Pada palpasi biasaanya taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
2. B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan
frekuensi dan ritme yang normal, tekanan darah dalam batas normal, dan
tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sisitem lainnya.
f. Pengkajian tingkat kesadaran
Pada Bell’s Palsy biasanya kesadaran klien komposmentis.
g. Pengkajian fungsi serebral
Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Bell’s Palsy tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
h. Pengkajian saraf kranial
Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan pada saraf kranial I-XII.
1. Saraf I, bisanya pada klien Bell’s Palsy tidak ada kelaianan pada fungus
penciuman.
2. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi.
3. Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
4. Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, lipatan nasolabial pada
sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
5. Saraf VII, berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema
saraf fasialis di tingkat foramen srtilomastoideus meluas sampai bagian
saraf fasialis, di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
6. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7. Saraf IX dan X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah
dan menelan, kemampuan menelan kurang baik, sehingga menggangu
pemenuhan nutrisi via oral.
8. Saraf XI, tidakada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius,
kemampuan mobilisasi leher baik.
9. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra pengecapan pada dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang
tajam.
i. Pengkajian sistem motorik
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
kesimbangan dan koordinasi pada Bell’s Palsy tidak ada kelainan.
j. Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal. Gerakan Involunter, tidak
ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering
ditemukan tic fasialis.
k. Pengkajian sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.
1. B4 (Bledder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan penurunan
volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
2. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungakan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot penguyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan nutrisi via oral menjadi menurun.
3. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak
dibantu oleh orang lain.

2. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan body image berhubungan dengan: Biofisika (penyakit kronis),
kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional,
trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)
2. Kecemasan berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress,
perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri,
kurang pengetahuan dan hospitalisasi
3. Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan : keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

3. Intervensi
1. Gangguan Body Image berhubungan dengan : Biofisika (penyakit kronis),
kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional,
trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi).
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil

Gangguan body image berhubungan NOC: NIC :


dengan: 1. Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit kronis), 2. Self esteem a. Kaji secara verbal dan no
kognitif/persepsi (nyeri kronis), Setelah dilakukan respon klien terhadap tubuh
kultural/spiritual, penyakit, krisis tindakan b. Monitor frekuensi men
situasional, trauma/injury, pengobatan keperawatan selama dirinya
(pembedahan, kemoterapi, radiasi) beberapa hari c. Jelaskan tentang peng
DS: gangguan body perawatan, kemajuan
1) Depersonalisasi bagian tubuh image pasien prognosis penyakit
2) Perasaan negatif tentang tubuh teratasi dengan d. Dorong klien mengung
3) Secara verbal menyatakan kriteria hasil: perasaannya
perubahan gaya hidup a) Body image e. Identifikasi arti pengu
DO : positif melalui pemakaian alat ban
1. Perubahan aktual struktur dan b) Mampu f. Fasilitasi kontak dengan i
fungsi tubuh mengidentifikasi lain dalam kelompok kecil
2. Kehilangan bagian tubuh kekuatan
3. Bagian tubuh tidak berfungsi personal
c) Mendiskripsikan
secara faktual
perubahan fungsi
tubuh
d) Mempertahankan
interaksi sosial
2. Kecemasan berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress,
perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang
pengetahuan dan hospitalisasi.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Intervensi
Kriteria Hasil

Kecemasan berhubungan dengan NOC : NIC :


- Kontrol Anxiety Reduction (penurunan
Faktor keturunan, Krisis situasional, kecemasan kecemasan)
Stress, perubahan status kesehatan, - Koping 1) Gunakan pendekatan yang
ancaman kematian, perubahan konsep Setelah dilakukan menenangkan
diri, kurang pengetahuan dan asuhan selama 2) Nyatakan dengan jelas harapan
hospitalisasi nenerapa hari, klien terhadap pelaku pasien
kecemasan teratasi 3) Jelaskan semua prosedur dan apa
dgn kriteria hasil: yang dirasakan selama prosedur
DO/DS: 1) Klien mampu 4) Temani pasien untuk memberikan
mengidentifikasi keamanan dan mengurangi takut
1. Insomnia dan 5) Berikan informasi faktual
2. Kontak mata kurang mengungkapkan mengenai diagnosis, tindakan
3. Kurang istirahat gejala cemas prognosis
4. Berfokus pada diri sendiri 2) Mengidentifikas 6) Libatkan keluarga untuk
5. Iritabilitas i, mendampingi klien
6. Takut mengungkapkan 7) Instruksikan pada pasien untuk
7. Nyeri perut dan menggunakan tehnik relaksasi
8. Penurunan TD dan denyut nadi menunjukkan 8) Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Diare, mual, kelelahan tehnik untuk 9) Identifikasi tingkat kecemasan
10. Gangguan tidur mengontol 10) Bantu pasien mengenal situasi
11. Gemetar cemas yang menimbulkan kecemasan
12. Anoreksia, mulut kering 3) Vital sign dalam 11) Dorong pasien untuk
13. Peningkatan TD, denyut nadi, RR batas normal mengungkapkan perasaan,
14. Kesulitan bernafas 4) Postur tubuh, ketakutan, persepsi
15. Bingung ekspresi wajah, 12) Kelola pemberian obat anti cemas
16. Bloking dalam pembicaraan bahasa tubuh
17. Sulit berkonsentrasi dan tingkat
aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
3. Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan : keterbatasan kognitif, interpretasi
terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi,
tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Kurang Pengetahuan NOC: NIC :


Berhubungan dengan : keterbatasan 1. Kowlwdge : a) Kaji tingkat pengetahuan pasien
kognitif, interpretasi terhadap informasi disease process dan keluarga
yang salah, kurangnya keinginan untuk 2. Kowledge : health b) Jelaskan patofisiologi dari penyakit
mencari informasi, tidak mengetahui Behavior dan bagaimana hal ini
sumber-sumber informasi. Setelah dilakukan berhubungan dengan anatomi dan
tindakan keperawatan fisiologi, dengan cara yang tepat.
selama …. pasien c) Gambarkan tanda dan gejala yang
DS: Menyatakan secara verbal adanya menunjukkan biasa muncul pada penyakit,
masalah pengetahuan tentang dengan cara yang tepat
DO: ketidakakuratan mengikuti proses penyakit d) Gambarkan proses penyakit,
instruksi, perilaku tidak sesuai dengan kriteria hasil: dengan cara yang tepat
1) Pasien dan e) Identifikasi kemungkinan
keluarga penyebab, dengan cara yang tepat
menyatakan f) Sediakan informasi pada pasien
pemahaman tentang kondisi, dengan cara yang
tentang penyakit, tepat
kondisi, prognosis g) Sediakan bagi keluarga informasi
dan program tentang kemajuan pasien dengan
pengobatan cara yang tepat
2) Pasien dan h) Diskusikan pilihan terapi atau
keluarga mampu penanganan
melaksanakan i) Dukung pasien untuk
prosedur yang mengeksplorasi atau mendapatkan
dijelaskan secara second opinion dengan cara yang
benar tepat atau diindikasikan
3) Pasien dan j) Eksplorasi kemungkinan sumber
keluarga mampu atau dukungan, dengan cara yang
menjelaskan tepat
kembali apa yang
dijelaskan
perawat/tim
kesehatan lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Harsono (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Muttaqin Arif (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Williams & Wilkins (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit.


Jakarta Barat: Permata Puri Media.

Anda mungkin juga menyukai