Anda di halaman 1dari 6

KONSEP DASAR

1. Definisi

Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2018) dalam

buku saku dari Brunner & Suddarth mendefinisikan,  Bell’s palsy (paralisis

parsial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh

bagian perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis

otot fasial.

Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial

ketujuh pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis

otor wajah (Arif Muttaqin, 2019).

Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus

fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak

menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis

(Harsono, 2020) 

2. Etiologi

Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat

meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herper simplek, herpes zoster),

penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini (Smeltzer dan Bare,

2018).

Menurut Harsono (2020) mengatakan paralisis fasial perifer dapat

terjadi pada penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi

berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah,

sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester terakhir, meningitis, perdarahan,

1
dan trauma. Apabila factor penyebabnya jelas maka disebut paralisis fasialis

perifer dan bukannya paralisis Bell.

3. Patofisiologi

Menurut Arif Muttaqin (2019) paralisis Bell dipertimbangkan dengan

beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik

kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menyebabkan

nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit. Ada kelainan wajah berupa

paralisis otot wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi nyeri pada

wajah, belakang telinga, dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena

karena kelemahan atau otot wajah. Pada kebanyakan klien, yang pertama kali

mengetahui paresis adalah teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.

Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat

lebih lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih

lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan

nasolabial pad asisi kelumpuhan mendatar.

Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh

tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpan ke sisi

yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya atau

diminta meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga

mulut tampaknya mencong kearah yang sehat. Setelah paralisi pasial perifer

sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya gejala itu

merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang

berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti

gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti gerakan

2
otot kelopak lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut

terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisula  palpebra sisi

yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas

atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal ini, di

luar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak

lebih tinggi kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu,

banyak kekeliruan mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis,

terutama jika klien yang pernah mengalami Bell’s Palsy kemudian

memperoleh ‘stroke’.

4. Manifestasi klinis

Menurut Harsono (2020), mengatakan pada awalnya, penderita

merasakan ada kelainan disaat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur,

minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan didaerah mulut

maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan mengunakan

cermin. Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata

tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup

kelopak matanya maka bola matanya makan bola mata tampak terputar ke atas

(tanda Bell). Penderita tak dapat bersiul atau menutup, apabila berkumur atau

minum makan air akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya

gejala dan tanda klinis lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

a. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi

dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan

3
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak

dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya

ketajaman pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi

yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan

terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah

antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus

fasialis di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala tanda klinis seperti pda (1) dan (2), ditambah dengan adanya

hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri

di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi

pascaherpes di membrane timpani dan konka. Syndrome Ramsay Hunt

adalah paralisis fasialis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes

zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetic terlihat di membrane

timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

e. Lesi di matus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat

dari terlibatnya nervus akustikus.

4
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda

terlihatnya nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga

nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus. Sindrom air

mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa paralisis

Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata

bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus

fasialis menginervasi glandula lakrimalis dan granua salivarius

submandibularis. Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi dalam

perkembangannya terjadi “salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.

5. Pemeriksaan diagnosik

Setelah 10 hari, elektromiografi membantu memprediksi tingkat

kesembuhan yang diharapkan dengan membedah kerusakan konduksi

sementara dengan interupsi patologis serabut saraf ( Wiliam & Wilkins, 2021).

6. Penataksaaan

Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2018) dalam buku

saku dari Brunner & Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adalah

untuk mempertahanakan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau

meminimalkan penyimpangan.

a. Tenangkan pasien bahwa tidak terjadi stroke pada dirinya dan pemulihan

secara spontan akan terjadi dalam 3-5 minggu pada kebanyakan pasien.

b. Mungkin diberikan terapi steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema,

yang akan menurunkan kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan

sirkulasi darah pada saraf. Pemberian steroid awal tampaknya untuk

5
mengurangi keparahan, menghilangkan nyeri, dan meminimalkan

penyimpangan.

c. Nyeri fasial diatasi dengan analgesic atau pemasangan kompres hangat

pada bagian wajah yang sakit.

d. Mungkin dilakukan stimulus listrik pada wajah untuk mencegah atrofi

otot.

e. Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat

adanya tumor; pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi

pembedahan dari wajah yang mengalami paralisis.

Anda mungkin juga menyukai