Anda di halaman 1dari 28

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Gangguan Sistem Persyarafan: Bell’s Palsy


Definisi BELL’S PALSY

1) Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dlm buku saku dari Brunner & Suddarth
mendefinisikan,  Bell’s palsy (paralisis parsial) adlh kondisi yg diakibatkan oleh kerusakan saraf
cranial ketujuh bagian perifer pd satu sisi, yg mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.

2) Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial ketujuh pd salah satu sisi, yg
mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor wajah (Arif Muttaqin, 2012).

3) Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adlh kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara
akut, dan penyebabnya tdk diketahui atau tdk menyertai penyakit lain yg dpt mengakibatkan lesi
nervus fasialis (Harsono, 2009).

4) Priguna Sidharta (1985) mendefinisiskan bahwa ‘Bells’s Palsy’ adlh kelumpuhan fasialis perifer akibat
proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pd bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yg mulainya akut dan dpt sembuh sendiri tanpa pengobatan.
ETIOLOGI
Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat
meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herper simplek, herpes
zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini (Smeltzer
dan Bare, 2002).

Menurut Harsono (2009) paralisis fasial perifer dpt terjadi pd penyakit-


panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat,
anestesi local pd pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah,
sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester terakhir, meningitis,
perdarahan, dan trauma. Apabila factor penyebabnya jelas maka
disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis Bell.
PATOFISIOLOGI
 Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dgn beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan
edema saraf pd titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pd titik yg menyebabkan nekrosis iskemik dlm
kanal yg sangat sempit. Ada kelainan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi
nyeri pd wajah, belakang telinga, dan terdat kesulitan bicara pd sisi yg terkena karena kelemahan atau otot wajah.
Pada kebanyakan klien, yg pertama kali mengetahui paresis adlh teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.

 Pd observasi dpt terlihat juga bhw gerakan kelompok yg tdk sehat lebih lambat jika dibandingkan dgn gerakan
kelopak mata yg sehat lebih lambat jika dibandingkan dgn gerakan kelopak mata yg sehat. Lipatan nasolabial pd asisi
kelumpuhan mendatar. Dlm mengembungkan pipi terlihat bahwa pd sisi yg lumpuh tdk mengembung. Saat mencibir,
gerakan bibir tersebut menyimpan ke sisi yg tdk sehat. Jika klien diminta utk memperlihatkan gigi geliginya atau
diminta meringis, sudut mulut sisi yg lumpuh tdk terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yg sehat.

 Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdpt gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses
regerasi yg salah, sehingga timbul gerakan fasial yg berasosiasi dgn gerakn otot kelompok lain. Gerakan yg mengikuti
gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yg mengikuti gerakan otot kelopak lain itu disebut sinkinetik.
Adapun gerakan sinkinetik adlh ikut terangkatnya sudut mulut pd waktu mata ditutup dan fisula  palpebra sisi yg
pernah lumpuh menjadi sempit, pd waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau
mengunyah. Dlm hal ini, di luar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yg pernah lumpuh tampak lbh tinggi
kedudukannya dari pd sisi yg sehat. Oleh karena itu, byk kekeliruan mengenai sisi yg memperlihatkan paresis fasialis,
terutama jika klien yg pernah mengalami Bell’s Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.
MANIFESTASI KLINIS
1) Menurut Harsono (2009), pada awalnya, penderita merasakan
ada kelainan disaat bangun tidur, menggosok gigi atau
berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan didaerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dgn mengunakan cermin.

2) Mulut tampak mencong terlebih pa saat meringis kelopak mata


tdk dpt dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola matanya makan bola
mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak dpt
bersiul atau menutup, apabila berkumur atau minum makan
air akan keluar melalui sisi mulut yg lumpuh. Selanjutnya
gejala dan tanda klinis lainnya berhubungan dgn tempat/lokasi
lesi.
1. LESI DI LUAR FORAMEN STILOMASTOIDEUS
Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan
gusi, dan sensasi dlm (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yg terkena tdk tertutup atau tdk dilindungi maka air
mata akan keluar terus-menerus.

2. LESI DI KANALIS FASIALIS (MELIBATKAN KORDA TIMPANI)


Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dgn hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yg terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pd lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dgn nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala tanda klinis seperti pda (1) dan (2), ditambah dengan adanya
hiperakusis.

4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)


Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di
membrane timpani dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

5. Lesi di matus akustikus internus


Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlihatnya
nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus
aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
paralisis Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis
menginervasi glandula lakrimalis dan granua salivarius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya terjadi
“salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.
PEMERIKSAAN DIAGNOSIK

Setelah 10 hari, elektromiografi membantu


memprediksi tingkat kesembuhan yang
diharapkan dengan membedah kerusakan
konduksi sementara dengan interupsi patologis
serabut saraf ( Wiliam & Wilkins, 2008).
PENATALAKSANAAN

Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dlm buku saku dari Brunner &
Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adlh utk mempertahanakan tonus otot
wajah dan utk mencegah atau meminimalkan penyimpangan.

1) Tenangkan pasien bahwa tdk terjadi stroke pd dirinya dan pemulihan secara spontan akan
terjadi dlm 3-5 minggu pd kebanyakan pasien.
2) Mungkin diberikan terapi steroid utk mengurangi inflamasi dan edema, yg akan menurunkan
kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan sirkulasi darah pd saraf. Pemberian steroid
awal tampaknya utk mengurangi keparahan, menghilangkan nyeri, dan meminimalkan
penyimpangan.
3) Nyeri fasial diatasi dgn analgesic atau pemasangan kompres hangat pd bagian wajah yg sakit.
4) Mungkin dilakukan stimulus listrik pd wajah utk mencegah atrofi otot.
5) Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat adanya tumor;
pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi pembedahan dari wajah yg mengalami
paralisis.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s Palsy meliputi keluahan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian
psikososial.

KELUHAN UTAMA
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adlh berhubungna dgn kelumpuhan otot
wajah terjadi pd satu sisi.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena utk menunjang keluhan utama klien. Tanyakan
dgn jelas ttg gejala yg timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, dan bertambah buruk. Pd
pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didptkan keluhan kelumpuhan otot wajah pd satu sisi. Kelumpuhan
fasialis ini melibatkan semnua otot wajah satu sisi. Jika dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak
pd sisi yang sehat saja. Jika klien diminta memejamkan kedua mata, maka pd sisi yg tdk sehat, kelopak
mata tdk dpt menutupi bola mata dan terlihat berputarnya bola mata ke atas.Fenomena tersebut dikenal
sebagai tanda Bell.
PENGKAJIAN PSIKOSOSIASPIRITUAL

 Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yg


memungkinkan perawat utk memperoleh persepsi yg jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien.

 Pengkajian mekanisme koping yg digunakan klien  juga penting utk menilai respon
emosi klien terhdp kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dlm
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dlm kehidupan sehari-
harinya baik dlm keuarga ataupun dlm masyarakat.

 Apapun ada dampak yg timbul pd klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan utk melakukan secara optimal, dan
pandangan terhdp dirinya yg salah (gangguan citra tubuh).

 Pengkajian mengenai mekanisme koping yg secara sadar biasa digunakan klien


selama kesehatan saat ini yg telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
PEMERIKSAAN FISIK
B1 (Breathing)
 Jika tidak ada penyakit lain yg menyertai, pemeriksaan sistem pernafasan klien dlm batas
normal.

 Pd palpasi biasaanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.

 Perkusi didapatkan resonan pd seluruh lapangan paru.

 Auskultasitdk terdengar bunyi nafas tambahan.

B2 (Blood)
Bila tdk ada penyakit lain yg menyertai pemeriksaan nadi dan frekuensi dan ritme yg normal,
tekanan darah dlm batas normal, dan tdk terdengar bunyi jantung tambahan.

B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pd sisitem lainnya.
Pengkajian tingkat kesadaran
Pada Bell’s Palsy biasanya kesadaran klien komposmentis.

Pengkajian fungsi serebral


 Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
 Pada klien Bell’s Palsy tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
PENGKAJIAN SARAF KRANIAL

PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL MELIPUTI PEMERIKSAAN PADA


SARAF KRANIAL I-XII.

1. Saraf I, bisanya pada klien Bell’s Palsy tidak ada kelaianan pada fungus


penciuman.

2. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi.

3. Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).

4. Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
1. Saraf VII, berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema saraf fasialis
di tingkat foramen srtilomastoideus meluas sampai bagian saraf fasialis, di mana
khorda timpani menggabungkan diri padanya.

2. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

3. Saraf IX dan X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan


menelan, kemampuan menelan kurang baik, sehingga menggangu pemenuhan
nutrisi via oral.

4. Saraf XI, tidakada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan


mobilisasi leher baik.

5. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
indra pengecapan pada dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
PENGKAJIAN SISTEM MOTORIK
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
kesimbangan dan koordinasi pada Bell’s Palsy tidak ada kelainan.

PENGKAJIAN REFLEKS
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat refleks pada respon normal. Gerakan Involunter, tidak ditemukan adanya
tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan tic fasialis.

PENGKAJIAN SISTEM SENSORIK


Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Bledder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan penurunan volume
pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.

B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungakan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena anoreksia dan kelemahan
otot-otot penguyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan
nutrisi via oral menjadi menurun.

B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.
PENGKAJIAN PENATALAKSANAAN MEDIS

 Tujuan penatalaksaan adlh utk mempertahankan tonus otot wajah dan utk mencegah atau
meminimalkan denervasi. Klien hrs diyakinkan bhw keadaan yg terjadi bukan stroke dan pulih dgn
spontan dalam 3 sampai 5 minggu pD kebanyakan klien.

 Terapi kostikosteroid (prednisone) dpt diberikan utk menurunkan inflamasi dan edema, yg pd
gilirannya mengurangi kompresi vakular dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf
tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan utk mengurangi penyakit semakin berat,
mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalakan denervasi.

 Nyeri wajah dikontrol dgn analgetik. Kompres panas pd sisi wajah yg sakit dpt diberikan utk
mengurangi kenyamanan dan aliran darah sampai ke otak tersebut.

 Stimulasi listrik dpt diberikan utk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun byk klien pulih
dgn pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pd saraf wajah dpt dilakukan pd klien
melalui pembedahan dan pembedahan utk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.
PENDIDIKAN KLIEN
 Mata hrs dilindungi krn paralisis lanjut dpt menyerang mata. Sering kali, mata klien tdk dpt menutup
dgn sempurna,dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang hewan kecil dn benda
asing. Iritasi kornea dan luka adlh komplikasi potensial pd klien ini. Kadang-kadang keadaan ini
mengakibatkan keluarnya air mata yg berlebihan (epifora) krn keratis akibat kornea kering dan tdk
adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bwh menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Utk
menangani masalah ini, mata hrs ditutup dgn melindunginya dari cahaya silau pd mlm hari. Kotoran
mata dpt merusak kornea, meskipun hal ini disebabkan krn beberapa kesulitan dlm mempertahankan
mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yg dpt digunakan pa mata saat tidur dpt
diletakkan di atas mata agar kelopak mata menempel satu dgn yg lainnya dan ttp tertutup selama
tidur.

 Klien dianjurkan utk menutup kelopak mata yg mengalami paralisis secara manual sebelum tidur.
Gunakan penutup mata dgn kacamata hitam utk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika
saraf tdk terlalu sensitive, wajah dpt dimasase beberapa kali utk mempertahankan tonus otot. Teknik
utk memasase wajah adlh dgn gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengkerutkan dahi,
mengembungkan pipi ke luar dan bersiul, dpt dilakukan dengan mengguanakan cermin dan dilakukan
teratur utk mencegah atrofi otot. Hindari wajah terhdp udara dingin.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin (2012), yaitu:

 Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan pada
satu sisi pada wajah.
 Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
 Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
 

INTERVENSI KEPERAWATAN
Sasaran dari klien ini meliputi adanya peningkatan konsep diri klien dank lien memperlihatkan kemampuan
pemahaman yang adekuat tentnag penyakit yang diderita serta pengobatannya.

 Diagnosa : gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan
satu sisi pada wajah.
 Tujuan : dalam waktu1x24 jam konsep diri klien meningkat.

 Kriteria hasil: klien mampu menggunakan koping positif.


INTERVENSI RASIONAL

1.  Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan 1.   Intervensi awal bisa mencegah distress psikologis
paralisis wajahnya. pada klien.
2.  Mekanisme koping yang positif dapat membantu
2.   Bantu klien menggunakan mekanisme koping klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap
yang positif. tindakan yang akan dilakukan, dan mencegah
terjadinya kecemasan tambahan.
 3.  Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan
aktivitas yang diharapkan. 3.  Orientasikan dapat menurutkan kecemasan.

4.  Libatkan sistem pendukung dalam perawatan 4.  Kehadiran support sistem meningkatkan citra diri


klien. klien.
 Diagnosa: Ansieta yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
Tujuan: ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria hasil: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan mengatakan
ansietas berkurang atau hilang.
Intervensi Rasional

1.   Ansietas berkelanjutan memmberikan dampak serangan jantung


selanjutnya.
2.    Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan
1. Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut. gelisah.

2.  Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas, damping klien dan lakukan  3.  Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak. mungkin memperlambatkan penyembuhan.

3.  Hindari konfrontasi. 4.  Mengurangi rangsangan  eksternal yang tidak perlu.

 4. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri  5.  Kontrol sensasi klien dengan cara memberikan informasi tentang keadaan
lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. klien,  menekankan pada penghargaan sumber-sumber koping
(pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik-
5.   Tingkatkan control sensasi klien. teknik pengalihan dan memberikan respons yang balik tang positif.

 6. Orientasikan kien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang 6.    Orientasi dapat menurunkan ansietas.
diharapkan.
 7.  Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
7. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya. diekspresikan.

 8.      Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. 8.  Memberikan waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan
cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang
dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan akan menurunkan
perasaan terisolasi.
 Diagnosa: deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
 Tujuan: dalam waktu 1×30 menit klien akan memperlihatkan
kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan
pengobatannya.
 Kriteria hasil: klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara
sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi Rasional

1.      Indikasi progresif atau reaktivitas penyakit atau


1.      Kaji kemampuan belajar, tingkat kecemasan,
efek samping pengobatan, serta untuk evaluasi
partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.
lebih lanjut.
2.      Meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang
 2.     Identifikasi tanda dan gejala yang perlu
perawatan diri untuk meminimalkan
dilaporkan ke perawat.
kelemahan.
 3.      Jelaskan instruksi dan informasi misalnya
3.       Meningkatkan kerja sama atau partisipasi
penjadwalan pengobatan.
terapetik dan mencegah putus obat.
 4.     Kaji ulang risiko efek samping pengobatan.
4.      Dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari
 5.      Motivasi klien mengekspresikan pengobatan untuk perbaiki kondisi klien.
ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi
5.      Memberikan kesempatan untuk mengkoreksi
yang dibutuhkan.
kesalahan persepsi dan mengurangi kecemasan.
 

DAFTAR PUSTAKA

1. Brughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah:


Buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC. 60-
61.

2. Harsono (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press. 297-300.

3. Muttaqin Arif (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan


Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika.108-116.

4. Williams & Wilkins (2011). Nursing: Memahami Berbagai


Macam Penyakit. Jakarta Barat: Permata Puri Media. 47-48

Anda mungkin juga menyukai