Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Bells palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum yang
mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum kelumpuhan
wajah di seluruh dunia. Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang
meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari
7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya
membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik
untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis,
submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :
1. Segmen supranuklear
2. Segmen batang otak
3. Segmen meatal
4. Segmen labirin
5. Segmen timpani
6. Segmen mastoid
7. Segmen ekstra temporal
Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf
fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000
populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada
penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat
keluarga pernah menderita penyakit ini.

II. DEFINISI
Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.

BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan
nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi
dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.

III.

EPIDEMIOLOGI
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang,
dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells
palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi
pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang
yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.

IV.

ETIOLOGI
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih
diperdebatkan. Paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir
mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells
palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy, karena
telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi.
Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah
secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress,
akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.

V. PATOFISIOLOGI
Pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, atau di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
2

melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentuk kanalis tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus
dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian
depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang
saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui
sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

VI.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien
juga mengeluhkan nyeri di

sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah

walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang-kadang


berkurangnya produksi

diikuti oleh hiperakusis,

air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan.

Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan
parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.
Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
4

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat


Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan

sekresi air liur masih baik.


Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis
fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan

VII.

gangguan salivasi.
Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan
sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja,
otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan
kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

a. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan
adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka.
Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan
terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
6

b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus fasialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang.
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Antivirus
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua
ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus
fasialis

memungkinkan

digunakannya

agen-agen

antivirus

pada

penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan
yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan
pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam
penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari
pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
Nama obat

Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan


langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.

Dosis dewasa

4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik

< 2 tahun : tidak dianjurkan.

Kontraindikasi
Interaksi obat

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.


Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat
memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

Kehamilan

acyclovir terhadap SSP.


C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

Perhatian

dilaporkan.
Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
7

b. Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan
suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai
keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih
cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda
asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung
mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air
mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun
jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu
kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.

IX.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
8

60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan
gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, dan kadang spasme hemifasial.

DAFTAR PUSTAKA

Hafilah,

Nur.

2011.

Presentasi

Kasus

Bells

Palsy.

http://www.slideshare.net/icaira07/75401691-bellspalsy.
Sjahrir.

Agustus 2014
2014.
BAB

II

Tinjauan

Pustaka.

Dari

Akses

18

Dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39715/4/Chapter
%20II.pdf. Akses 18 Agustus 2014
Triana, Wahyu, Jacky Munilson, dkk. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Bells

Palsy.

Dari

http://repository.unand.ac.id/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSA
NA_BELLS_PALSY_.pdf. Akses 18 Agustus 2014

10

Anda mungkin juga menyukai