BELLS PALSY
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
BELLS PALSY
1.2.6
1.2.7
1.2.8
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang penyakit Bells Palsy.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
Mahasiswa perawat dapat mengetahui tentang penyakit Bells Palsy lebih
dalam sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan pada penyakit Bells
Palsy tersebut dengan benar.
BELLS PALSY
BAB 2
PEMBAHASAN
visero-motorik
(parasimpatis)
yang
datang
dari
nukleus
palatum,
rongga
hidung,
sinus
paranasal,
dan
glandula
BELLS PALSY
akar desenden dan inti akar desenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Nervus fasialis
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk
mersarafi otot- otot wajah. (Maria S.Ked, 2012)
BELLS PALSY
BELLS PALSY
BELLS PALSY
atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu
penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabangcabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN
tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik
ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan
dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak
bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
2.6 Manifestasi Klinis Penyakit Bells Palsy
Pasien Bells Palsi mengeluhkan hemiparalisis wajah nonprogresif. Gejala lainnya
meliputi :
a. Mati rasa di wajah, telinga, dan lidah
b. Gangguan pengecapan
c. Wajah terkulai pada bagian yang terkena
d. Ketidakmampuan untuk mengontrol gerakan pada otot wajah
e. Kesukaran untuk menutup sebelah mata
f. Kekeringan pada sebelah mata
BELLS PALSY
g. Kesukaran untuk merasa bagian hadapan lidah pada bagian yang diserang,
perubahan pada jumlah air liur
h. Bunyi pendengaran yang lebih kuat dari pada biasanya pada satu bagian
telinga.
i. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata.
j. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh.
k. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
l. Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat
pada sisi yang sehat. (Dika Supranata, 2013)
2.7 Penatalaksanaan Penyakit Bells Palsy
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah
dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan
bahwa keadaan yang terjadi bukan stroke, hal ini menjadi penting karena
penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
Penatalaksanaan medis yang dilakukan meliputi :
a. Terapi kortikosteroid (Prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau
1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang
pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan
perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi
kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat,
mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalkan
denervasi.
b. Pemberian obat- obat antivirus
Acyclovir (400 mg selama 10 hari). Penggunaan Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.
c. Penanganan mata
BELLS PALSY
Pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata
harus digunakan setiap malam. Satu kerugiannya adalah pandangan
kabur.
d. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase (teknik untuk
memasase dengan gerakan lembut ke atas) beberapa kali sehari untuk
mempertahankan tonus otot. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi,
menggembungkan pipi luar, dan bersiul dapat dilakukan dengan
menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot.
(Arif Muttaqin, 2011)
2.8 Komplikasi Penyakit Bells Palsy
Beberapa komplikasi yang mungkin dapat muncul, meliputi:
a. Hilangnya rasa (ageusia)
b. Kerusakan saraf wajah yang permanen
c. Spasme wajah kronis (kontraksi kedutan spontan pada saraf yang
mengontrol otot-otot wajah seperti alis, kelopak mata, mulut, bibir)
d. Infeksi kornea mata
e. Kebutaan penuh atau sebagian
10
BELLS PALSY
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
11
BELLS PALSY
DAFTAR PUSTAKA
Megarisky.
2011.
Askep
Bells
Palsy.
http://musyrihah-
megarezky.blogspot.com/2011/11/askep-bells-palsy.html.
Diakses Tanggal 29 Oktober 2013
Supranata,
Dika.
2013.
Askep
Bells
Palsy.
http://dikasuccess.blogspot.com/2013/09/askep-bells-palsy.html.