Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bells palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan
nervus VII jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum di
ketahui, tanpa adanya kelainan neurologic lain. Pada sebagian besar penderita
bells palsy kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala
sisa ini dapat berupa kontraktur, sinkinesia, atau spasme spontan ( Lumbang
Tobing, 2006).
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Didunia insiden tertinggi ditemukan di seokori, jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di swedia tahun 1997. Di amerika serikat
insiden bells palsy setiap tahunnya terjadi sekitar 23 kasus per 100,000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden bells palsy rata-rata 15-30 kasus per
100,000 populasi. Bells palsy mengenai wanita dan laki-laki dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena bells palsy dari pada laki-laki dengan kelompok
umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 20-50 tahun. (Harsono, 1996).
Bells palsy atau prosopelgia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis
nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik), di luar sistem saraf pusat tanpa di sertai adanya penyakit
neurologis lainnya. Paralisis fasial idiopatik atau bells palsy ditemukan oleh
Sir Charles Bell, dokter dari skotlandia. Lokasi cidera nervus fasialis pada
bells palsy adalah bagian perifer nucleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi
didekat ganglion genikulantum. Salah satu gejala bells palsy adalah kelopak
mata sulit tertutup dan penderita berusaha menutup kelopak matanya, mata
tersebut memutar ke atas dan tetap kelihatan. Gejala ini disebut fenomena
bell. Pada obsevasi dapat dilihat juga pada gerakan kelopak mata yang tidak

1
2

sehat lebih lambat jika di bandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat.
(lagoftalmos), (harsono, 1996).
Modalitas fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan bells palsy
berupa infra red, massage, electrical stimulation. Modalitas ini berperan dalam
kelemahan otot dan gangguan fungsional pada otot wajahakibat bells palsy
(foster, 1981)

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum: Mahasiswa mampu mengetahui konsep dan asuhan
keperawatan tentang bell;s palsy secara keseluruhan.
2. Tujuan khusus:
a. Diketahuinya definisi paralisis bell
b. Diketahuinya anatomi paralisis bell
c. Diketahuinya etiologi paralisis bell
d. Diketahuinya Patofisiologi paralisis bell
e. Diketahuinya manifestasi klinis paralisis bell
f. Diketahuinya asuhan keperawatan umum paralisis bell
g. Diketahuinya asuhan keperawatan kasus paralisis bell
h. Diketahuinya perbandingan askep umum dengan askep kasus paralisis
bell
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Defenisi Paralisis Bell


Bells pallsy adalah paralisis nervus fasialis akibat suatu proses inflamasi
yang terjadi pada sepanjang nervus fasialis perifer setinggi pons hingga distal
dan sering kali bersifat unilateral (Jurnal vol 3 No 11, 2012).
BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang
tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan
(Berg, 2009).
Bells palsy adalah sebuah kelainan dan gangguan neurogi pada nervus
cranialis VII (saraf facialis) didaerah tulang temporal yang menyebabkan
kelemahan atau paralisis otot wajah disekitar foramen stylomastoideus.
3

Penyebanya tidak diketahui iskemia vaskuler, penyakit virus (Herpes simplex,


Herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini (Smeltzer
dan Bare,2002).
Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif,
non-neoplasmatik, non degeneratif primer namun sangat mungkin akibat
edema jinak ada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sediit
proxsimal dan foramen tersebut (Sidharta, 1999).
Bells Palsy adalah suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan
kelemahan atau kelumpuhan tiba tiba pada otot di satu sisi wajah dan
menyebabkan wajah miring atau mencong. Berbeda dari Gangguan Peredaran
Darah Otak, kelumpuhan wajah sesisi ini tidak dibarengi dengan kelumpuhan
anggota badan/tubuh lainnya.
4

B. Anatomi Saraf Fasialis (Nervus VII)


Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf,
yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil
dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan
berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah.
Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa
serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan
sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk
pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis
auditori eksterna dan pinna (gambar 2) (Monkhouse, 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara
lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang
1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal
dkk, 2012; Berg, 2009).
5

Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis


Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and
Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology:
a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis


Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology,
and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, In Press.

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)


memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang
berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara
vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal
paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm),
6

maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan


kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang
terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal
meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara
ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju
ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina
(gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding
medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya
ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak 6 mm diatas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari
kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut
kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan
didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse
2006).
7

Gambar 3. Saraf fasialis

Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2 nd


Edition. Lippincott Williams&Wilkins. Batimore
8

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar


sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan,
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion
genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius
(gambar 4) (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya


Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and
Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology:
a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk


cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m.
stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna)
dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf
fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu
temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima
kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan
9

mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi,


orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk,
2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial


Dikutip dari: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy.
Cambridge University Press. New York.

C. Etiologi
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab
proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai
penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi
dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009; Kanerva 2008).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak
fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada
seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva
2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan Cochrane database,
10

yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas


tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada
plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells palsy.
Karena tidak efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy
sehingga perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bells palsy yang lain
(Lockhart dkk, 2010).
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells
palsy, terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance
(Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan
objektif tentang dasar genetik dari BeIIs palsy, dan kebanyakan terpusat pada
sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif
yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

D. Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot
wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara
terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May, 2000).
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian
patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai
saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada
Bells palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari
trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada
transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur
tulang temporal yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau
ganas yang tumbuh dengan cepat.
Pada Bells palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10 hari. Pada
otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang
11

mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf


tetap sama seperti pada Bells palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali
dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan
selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan
cepat terjadi kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan
derajat ketiga dari trauma. Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan
atau semua endoneural tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada
derajat keempat trauma, dan prineurium dan epineurium pada pada trauma
derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama
(tabel 1) (May 2000).
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson- akson
yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson
normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang
menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu
menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum
terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau
kedutan involunter (May, 2000).
12

Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma


saraf fasialis
Derajat Patologi Neurobiologi Onset HB grading system -
Trauma Trauma Saraf Perbaikan Kesembuhan Spontan

Klinis
1 Kompresi. Tidak ada 1-4 minggu Grade 1 : lengkap: tidak
Aksoplas perubahan dijumpai regenerasi yang
ma morfologi salah
menggem
bung.
Tidak ada
perubahan
morfologi
(neuroprak
sia)
2 Kompresi Akson- akson 1-2 bulan Grade II: agak baik:
menetap. tumbuh ke dalam beberapa perbedaan pada
Tekanan tabung myelin gerakan volunter dan
intraneural kosong yang intak gerakan spontan. Sedikit
meningkat pada kecepatan 1 ditemukan regenerasi
. mm/ hari yang yang salah
Kehilanga memungkinkan
n akson kesembuhan
tetapi dalam jangka
endoneura waktu yang lebih
l tube lama
masih dibandingkan
intak derajat 1, lebih
13

(aksonome sedikit sembuh


tsis) lengkap karena
beberapa serabut
mengalami
derajat 3
3 Tekanan Dengan hilangnya 2-4 bulan Grade lll-IV: sedang-
intraneural tabung myelin, buruk: tampak
meningkat akson- akson baru penyembuhan tidak
. memiliki lengkap hingga
Kehilanga kesempatan untuk deformitas yang lemah
n myelin bercampur dan dengan komplikasi
(neuromet membelah sedang hingga bermakna
sis) menyebabkan dari regenerasi yang
terjadinya salah
gerakan mulut
sewaktu menutup
mata, yang
disebut
sinkinesia.
4 Derajat 3 Selain gangguan 4-18 bulan Grade V: gerakan hampir
+ yang terjadi pada tidak tampak
gangguan derajat 2 dan 3,
pada sekarang akson-
perineuriu akson dihambat
m oleh skar yang
(transeksi memperburuk
parsial) regenerasi
5 Derajat 4 Kerusakan Tidak terjadi Grade VI: tidak ada
+ lengkap dengan kesembuhan
14

kerusakan skar mengisi


pada celah menjadi
epineuriu suatu penghalang
m yang tidak dapat
(transeksi diatasi hingga
lengkap) pertumbuhan
kembali akson-
akson dan
anastomosis
kembali
neuromuskular.

Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari
gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada
myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-
faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang
paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri (May, 2000).
15
16

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada penderita bells palsybiasanya timbulsecara
mendadak, pada awalnya pasien merasakan kelainan padamulutnya, saat
bangun tidur, menggosok gigi berkumur, minum, atauberbicara
(Harsono,2005).
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya
mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi
lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda
yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius,
tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi
sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani
(Finsterer 2008).
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun,
dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak
bola mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak,
dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air
mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada dua
pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).
Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan
yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri postauricular dapat
ditemukan pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi
bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).
17

F. Asuhan Keperawatan Paralisis bells Menurut Arif Muttaqin Tahun 2011


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan bellss palsy meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian
psikososial.
1) Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi.
a) Riwayat penyakit saat ini
Factor riwayat penyakit saat ini sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas
tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Pada pengkajian klien bells palsy biasanya didapatkan
keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi (dapat dilihat pada gambar
3-9).
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi
dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang tidak sehat,
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata
keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
b) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemi vascular, otitis media,
tumaor intracranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks,
herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
2) Pengkajian psiko-sosio-spritual
18

Pengkajian psikologis klien bells palsy meliputi beberapa penilaian yang


memungkinkan perawatan untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam
kluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruh nya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang
timbul pada klien, yang timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa
stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan
saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini dapat
member dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatanmemerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh
deficit neurologis dalam hubungan nya dengan peran social klien dan
rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam sistem dukungan individu.
3) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang
terarah dan di hubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien
bells palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
a) B1 (Breathing)
19

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi


didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan
otot bantu napas, dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi biasanya
didapatka resonan dalam seluruh lapang paru. Auskultasi tidak terdengar
bunyi napas tambahan.
b) B2 (Blood)
Bila idak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan
frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak
terdengar bunyi jantung tambahan.
c) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) pemeriksaan focus dan lebih lengkap di
bandingkan pengkajian pada sistem lainny.
4) Tingkat kesadaran
Pada bells palsy biasanya kesadaran nya compos mentis
5) Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas moorik yang pada klien
bells palsy biasanya status mental klien mengalami perubahan.
6) Pemeriksaan saraf cranial
a) Saraf I biasanya pada klien Bells palsy tidak ada kelainan dan funsi
penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c) Saraf III, IV dan VI penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(logoftalmos).
d) Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nosolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
e) Saraf VII berkurang nya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema
nervus fasialis di tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian
nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri pada nya.
f) Saraf VIII tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf XI dan X paralisis otot orofaring, kesukaran bicara, mengunyah,
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
20

h) Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan trapezius.


Kemampuan mobilisasi leher baik.
i) Saraf XII lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada
faskulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan
pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
7) Sistem motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal,
control keseimbangan dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.
8) Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat reflex pada respons normal.
9) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa
keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
10) Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelaian.
a) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
b) B5 (Bowel)
Mual sampai dengan muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bells palsy menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses
menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
c) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
klien lebih namyak dibantu oleh orang lain.

2. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2) Cemas b.d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
21

3) Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri b.d informasi yang tidak


adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

3. Rencana intervensi
Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.

Data penunjang:
Tanda Subjektif: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi
pada satu sisi.
Tanda Objektif: dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada satu sisi
yang di kerutkan saja
Tujuan: konsep diri klien meningkat
kriteria hasil: klien mampu menggunakan koping yang positif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan kepada klien Intervensi awal bisa mencegah disstres
tentang keadaan paralisis psikologis pada klien
wajahnya.
Bantu klien menggunakan Mekanisme koping yang positif dapat
mekanisme koping yang positif membantu klien lebih percaya diri, lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan mencegah terjadinya
kecemasan tambahan.
Orientasi klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
Libatkan sistem pendukung dalam Kehadiran sistem pendukung dapat
perawatan klien meningkatkan citra diri klien

Cemas b.d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.


22

Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang.


Criteria hasil : mengenal perasaannya, mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhinya, dan menyatakan ansietas
berkurang/hilang.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal/non verbal dapat
kecemasan, dampini klien, dan menunjukkan rasa agitassi, marah, dan
lakukan tindakan bila menunjukkan gelisah.
prilaku merusak.
Mulai melakukan tindakan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang
mengurangi kecemasan. Beri tidak perlu
lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
Tingkatkan control sensasi klien. Control sensasi klien (dan dalam
menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentangkeadaan
klien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri). Yang positif, membantu
latihan relaksasi dan tehnik-tehnik
pengalihan dan memberikan respon baik
yang positif.
Beri kesempatan pada klien untuk Dapat menghilangkan terhadap
mengungkapkan kecemasannya. kekhawatiran yang tidak diekspresikan
Berikan privasi untuk klien dan Member waktu untuk mengekspresikan
orang terdekat perasaan, menghilangkan cemas, dan
prilaku adaptasi. Adanya kluarga dan
teman-teman yang dipilih klien melayani
aktivitas dan pengalihan (misalnya
membaca) akan menurunkan perasaan
23

terilosilasi.

Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri b.d informasi yang tidak


adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

Tujuan : dalam jangka 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan


pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatan.
Criteria hasil : klien mampu secara objektif menjelaskan ulang secara
sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar, tingkat Indikasi progresif atau reaktivasi penyakit
kecemasan, partisipasi, media yang atau efek samping pengobatan, serta
sesuai untuk belajar untuk evaluasi lebih lanjut.
Identifikassi tanda dan gejalah Meningkatkan kesadaran kebutuhan
yang perlu dilaporkan ke perawat. tentang perawatan diri untuk
meminimalkan kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi Meningkatkan kerjasama/partisipasi
misalnya penjadwalan pengobatan. terapeutik dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping Dapat mengurangi rasa kurang nyaman
pengobatan. dari pengobatan untuk perbaikan kondisi
klien.
Dorong klien untuk Memberikan kesempatan untuk
mengekspresikan mengoreksi persepsi yang salah dan
ketidaktahuan/kecemasan dan beri menurangi kecemasan
informasi yang dibutuhkan.
BAB III

ASKEP KASUS

A. Kasus
24

Tn.K berusia 41 tahun datang ke POLI RSUD Arifin Ahmad dengan keluhan
sudah 3 hari wajahnya miring ke arah kiri, pasien menyadari bahwa pada saat bangun
tidur wajah jatuh ke sebelah kiri dan bibir miring. Ketika perawat meminta pasien
untuk tersenyum , mulut pasien terlihat miring sebelah kiri, mata sebelah kiri terlihat
selalu mengeluarkan air mata, bibir tidak menutup rapat, pasien sulit untuk
menguyah, pasien terlihat tidak mampu mengontrol air liur dan terkadang sakit
kepala bagian kiri. Pada saat diperiksa kata-kata pasien tidak jelas, GCS: 15,
kesadaran compos mentis, TTV: TD: 120/90 mmHg, HR: 80x/menit, RR: 20x/menit,
dan T:37C. CRT: <2 detik. Pada saat dilakukan pemeriksaan pada Nervus Fasialis,
Mengangkat alis Sinistra: (-), Kerutan dahi Sinistra: (-), Menutup mata Sinistra: (-),
Menyeringai Sinistra: (-), Tersenyum: tampak tidak simetris, Sensasi kulit
menggunakan kapas: Sinistra: tidak baik. Pada pemeriksaan Nervus Optikus: Tajam
penglihatan Sinistra: tidak baik, Lapang pandang Sinistra: terhambat, Pengenalan
warna Sinistra: Normal. Pada pemeriksaan Nervus Okulomotor Gerakkan bola mata
(medial, atas, bawah) Sinistra: Sulit. Pemeriksaan pada Nervus Trigeminus
Menggigit: sulit, Membuka mulut: sulit. Pasien diberikan prednison 60 mg/hari untuk
5 hari.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Nama : Tn.K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Alamat : Klender-Jakarta

b. Keluhan Utama
Tn.K merasa wajahnya miring ke arah kanan sudah 3 hari yang lalu.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Hal tersebut dirasakan sejak 3 hari yang lalu, mencong dirasakan saat
tersenyum dan beraktifitas lainnya, mata sebelah kiri selalu
25

mengeluarkan air mata. Saat minum air, mengalir air di bibi pasien
sebelah kiri.
2) Riwayat penyakit dahulu : tidak terkaji
3) Riwayat penyakit keluarga : tidak terkaji

d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
2) Kesadaran : compos mentis
3) GCS : E: 4
V: 5
M: 6
4) TTV : TD: 120/90 mmHg
HR: 80x/menit
RR: 20x/menit
T: 37 C
5) Pengkajian fungsi serebral:
Nilai gaya bicara : kata-kata tidak jelas
Ekspresi wajah : mencong di rasakan saat tersenyum
6) Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus Olfaktorius
Dekstra : Normosmia
Sinistra : Normosmia
b. Nervus Optikus
Tajam penglihatan
Dekstra : Normal
Sinistra : tidak baik
Lapang pandang
Dekstra : Normal
Sinistra : terhambat
Pengenalan warna
Dekstra : Normal
Sinistra : Normal
c. Nervus Okulomotor
Gerakkan bola mata (medial, atas, bawah)
Dekstra : Baik
Sinistra : Sulit
d. Nervus Trigeminus
Menggigit : sulit
Membuka mulut : sulit
e. Nervus fasialis
Mengangkat alis
Dekstra : +
26

Sinistra : -
Kerutan dahi
Dekstra : +
Sinistra : -
Menutup mata
Dekstra : +
Sinistra : -
Menyeringai
Dekstra : +
Sinistra : -
Tersenyum: tampak tidak simetris
Sensasi kulit menggunakan kapas:
Dekstra: baik
Sinistra: tidak baik
Sensasi rasa : tidak dapat merasakan rasa manis
f. Nervus Fagus
Menelan : -
N Analisa data Etiologi Masalah
O keperawatan
1 Ds : Esofagus menyempit Gangguan 27
a. Pasien mengatakan menelan
bahwa ia menyadari Kerongkongan obstruksi
pada saat bangun
tidur wajah jatuh ke Otot menelan melemah
sebelah kiri dan bibir
miring. Sulit menelan
Do :
a. Ketika perawat
meminta pasien
untuk tersenyum ,
mulut pasien terlihat
miring sebelah kiri.
b. Terlihat bibir pasien
tidak menutup rapat
c. Terlihat pasien sulit
untuk menguyah
d. pasien terlihat tidak
mampu mengontrol
air liur.
e. Pemeriksaan pada
Nervus Trigeminus
Menggigit : sulit,
Membuka mulut :
sulit.
2. Ds : Inflamasi nervus fasialis Gangguan citra
a. Pasien mengatakan tubuh
bahwa ia menyadari Kompresi saraf
pada saat bangun tidur
wajah jatuh ke sebelah Foramen meneympit
kiri dan bibir miring.
Do: iskemik
a. Ketika perawat
meminta pasien untuk gangguan konduksi
tersenyum , mulut
pasien terlihat miring gangguan impuls motorik
sebelah kiri
b. Terlihat mata sebelah
gangguan primer motorik di
28

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan menelan b/d keterlibatan saraf kranial
2) Gangguan citra tubuh b/d perubahan fungsi tubuh
3) Resiko aspirasi

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa NOC NIC


Gangguan menelan 1. Menelan Terapi Menelan
b/d keterlibatan saraf Aktivitas:
3 5
kranial 2. Kerusakan a. Pantau tanda dan
otot gejala aspirasi
b. Pantau gerakan lidah
tenggorokkan
3 5 pasien saat makan
3. Perger mulut c. Pantau tanda
2 4
kelemahan selama
makan, minum dan
menelan
d. Berikan perawatan
mulut yang diperlukan
e. Bantu pasien
memasukkan sisa
makanan kedalam
mulut jika pasien tidak
mampu
f. Bantu pasien
memposisikan kepala
tegak lurus
g. Instruksikan pasien
untuk menghisap
h. Hindari pasien minum
terlalu banyak
i. Bantu pasien untuk
duduk
29

j. Kolaborasi dengan
spesialis terapi tentang
terapi menelan
k. Konsultasi dengan
dokter pemberian
makan secara bertahap
Gangguan citra 1. Fungsi organ Peningkatan Koping
tubuh b/d perubahan 2 4 Aktivitas:
2. Gangguan
fungsi tubuh a. Dukung pasien untuk
menelan
mengidentifikasi
2 4
3. Citra tubuh kekuatan dan
3 5
kemampuan diri
b. Berikan penilaian
terkait dengan
kebutuhan atau
keinginan pasien
terkait dengan
dukungan pasien.
c. Instruksikan pasien
untuk menggunakan
teknik relaksasi sesuai
kebutuhan.
d. Dukung aktivitas-
aktivitas sosial dan
komunitas.
e. Berikan penilaian
penyesuaian pasien
terhadap perubahan-
perubahan dalam citra
tubuh, sesuai dengan
30

indikasi.

Bantuan perawatan diri


Aktivitas:
a. Monitor kemampuan
perawatan diri secara
mandiri
b. Berikan bantuan
sampai pasien
mampu melakukan
perawatan diri
mandiri
c. Dorong pasien untuk
melakukan aktivitas
normal sehari-hari
smapai batas
kemampuan pasien
d. Ciptakan rutinitas
aktivitas perawatan
diri
e. Ajarkan orang tua/
keluarga untuk
mendukung
kemandirian dengan
membantu hanya
ketika pasien tidak
mampu melakukan
perawatan diri.
Resiko Aspirasi 1. Select foods Pencegahan aspirasi
and fluid of Aktivitas:
31

proper a. Monitor tingkat


consistency kesadaran,
(5) kemampuan
2. Select foods
menelan.
according to b. Monitor kebutuhan
swallowing perawatan terhadap
ability (5) saluran cerna
3. Identifies risk c. Pertahankan
factors (5) kepatenan jalan nafas
4. Avoids risk d. Posisikan kepala
factors (5) pasien tegak lurus,
sama dengan atau
lebih tinggi dari 30-
90 derajat.
e. Jaga kepala tempat
tidur ditinggikan 30-
45 derajat setelah
pemberian makan
f. Hindari memberian
cairan atau
penggunaan zat yang
kental
g. Tawarkan makanan
atau cairan yang bisa
dibentuk didalam
bolus sebelum
ditelan.
h. Memotong makanan
dengan potongan-
potongan kecil.
i. Berikan perawatan
32

mulut
j. Sarankan konsultasi
pada terapi bicara
patologis dengan
tepat
k. Sarankan untuk
menelan kue
barium/barium
cookie
BAB IV
PEMBAHASAN

Bells palsy adalah sebuah kelainan dan gangguan neurogi pada nervus cranialis
VII (saraf facialis) didaerah tulang temporal yang menyebabkan kelemahan atau
paralisis otot wajah disekitar foramen stylomastoideus. Penyebanya tidak diketahui
iskemia vaskuler, penyakit virus (Herpes simplex, Herpes zoster), penyakit autoimun,
atau kombinasi semua factor ini
Berdasarkan asuhan keperawatan secara teoritis pada pengkajian klien bells palsy
biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi, biasanya
kesadaran nya compos mentis, saraf III, IV dan VI penurunan gerakan kelopak mata
pada sisi yang sakit (logoftalmos), kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan
nosolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik, saraf VII
berkurang nya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di
tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda
timpani menggabungkan diri pada nya, saraf VIII tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi, saraf XI dan X paralisis otot orofaring, kesukaran bicara,
mengunyah, dan menelan, kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral, saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan
trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik, araf XII lidah simetris, tidak ada
33

devisiasi pada satu sisi dan tidak ada faskulasi. Indra pengecapan mengalami
kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Sementara pada pengkajian asuhan keperawatan secara kasus didapatkan kesadaran
compos mentis, Ekspresi wajah mencong saat tersenyum, menggigit sulit, membuka
mulut sulit, tersenyum tampak tidak simetris, sensasi rasa tidak dapat merasakan rasa
manis.
Kemudian berdasarkan diagnosa dan intervensi pada asuhan keperawatan secara
teoritis didapatkan salah satunya Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan
bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah dan pada asuhan keperawatan
secara kasus juga didapatkan Gangguan menelan b/d keterlibatan saraf cranial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada asuhan keperawatan secara teoritis dan asuhan
keperawatan secara kasus untuk penangan pasien dengan serebral palsy terdapat
beberapa kesamaan dalam memberikan asuhan keperawatan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bells pallsy adalah paralisis nervus fasialis akibat suatu proses inflamasi
yang terjadi pada sepanjang nervus fasialis perifer setinggi pons hingga distal
dan sering kali bersifat unilateral (Jurnal vol 3 No 11, 2012). BeIls palsy
adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi
dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg, 2009). Bells
palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
34
35

DAFTAR PUSTAKA

Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis
Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the
Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Kubik, M., Robles, L., Kung, A. 2012. Familial Bells palsy: A Case Report and
Literature Review. Hindawi Publishing Corporation.
Lockhart,P., Daly,F., Pitkethly, M., Comerford, N., Sullivan, F. 2010. Antiviral
treatment for Bells palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database of
Systematic reviews.
May, M, Schaitkin, B.M. 2000. The facial nerve.New York: Thieme.
Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. New York :Cambridge
University Press.
Peitersen, E. 2002. Bells palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Ototaryngol Suppl. 4-30

Anda mungkin juga menyukai