PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bells palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan
nervus VII jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum di
ketahui, tanpa adanya kelainan neurologic lain. Pada sebagian besar penderita
bells palsy kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala
sisa ini dapat berupa kontraktur, sinkinesia, atau spasme spontan ( Lumbang
Tobing, 2006).
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Didunia insiden tertinggi ditemukan di seokori, jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di swedia tahun 1997. Di amerika serikat
insiden bells palsy setiap tahunnya terjadi sekitar 23 kasus per 100,000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden bells palsy rata-rata 15-30 kasus per
100,000 populasi. Bells palsy mengenai wanita dan laki-laki dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena bells palsy dari pada laki-laki dengan kelompok
umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 20-50 tahun. (Harsono, 1996).
Bells palsy atau prosopelgia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis
nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik), di luar sistem saraf pusat tanpa di sertai adanya penyakit
neurologis lainnya. Paralisis fasial idiopatik atau bells palsy ditemukan oleh
Sir Charles Bell, dokter dari skotlandia. Lokasi cidera nervus fasialis pada
bells palsy adalah bagian perifer nucleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi
didekat ganglion genikulantum. Salah satu gejala bells palsy adalah kelopak
mata sulit tertutup dan penderita berusaha menutup kelopak matanya, mata
tersebut memutar ke atas dan tetap kelihatan. Gejala ini disebut fenomena
bell. Pada obsevasi dapat dilihat juga pada gerakan kelopak mata yang tidak
1
2
sehat lebih lambat jika di bandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat.
(lagoftalmos), (harsono, 1996).
Modalitas fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan bells palsy
berupa infra red, massage, electrical stimulation. Modalitas ini berperan dalam
kelemahan otot dan gangguan fungsional pada otot wajahakibat bells palsy
(foster, 1981)
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum: Mahasiswa mampu mengetahui konsep dan asuhan
keperawatan tentang bell;s palsy secara keseluruhan.
2. Tujuan khusus:
a. Diketahuinya definisi paralisis bell
b. Diketahuinya anatomi paralisis bell
c. Diketahuinya etiologi paralisis bell
d. Diketahuinya Patofisiologi paralisis bell
e. Diketahuinya manifestasi klinis paralisis bell
f. Diketahuinya asuhan keperawatan umum paralisis bell
g. Diketahuinya asuhan keperawatan kasus paralisis bell
h. Diketahuinya perbandingan askep umum dengan askep kasus paralisis
bell
BAB II
LANDASAN TEORI
C. Etiologi
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab
proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai
penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi
dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009; Kanerva 2008).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak
fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada
seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva
2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan Cochrane database,
10
D. Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot
wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara
terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May, 2000).
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian
patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai
saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada
Bells palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari
trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada
transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur
tulang temporal yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau
ganas yang tumbuh dengan cepat.
Pada Bells palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10 hari. Pada
otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang
11
Klinis
1 Kompresi. Tidak ada 1-4 minggu Grade 1 : lengkap: tidak
Aksoplas perubahan dijumpai regenerasi yang
ma morfologi salah
menggem
bung.
Tidak ada
perubahan
morfologi
(neuroprak
sia)
2 Kompresi Akson- akson 1-2 bulan Grade II: agak baik:
menetap. tumbuh ke dalam beberapa perbedaan pada
Tekanan tabung myelin gerakan volunter dan
intraneural kosong yang intak gerakan spontan. Sedikit
meningkat pada kecepatan 1 ditemukan regenerasi
. mm/ hari yang yang salah
Kehilanga memungkinkan
n akson kesembuhan
tetapi dalam jangka
endoneura waktu yang lebih
l tube lama
masih dibandingkan
intak derajat 1, lebih
13
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari
gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada
myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-
faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang
paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri (May, 2000).
15
16
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada penderita bells palsybiasanya timbulsecara
mendadak, pada awalnya pasien merasakan kelainan padamulutnya, saat
bangun tidur, menggosok gigi berkumur, minum, atauberbicara
(Harsono,2005).
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya
mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi
lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda
yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius,
tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi
sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani
(Finsterer 2008).
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun,
dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak
bola mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak,
dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air
mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada dua
pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).
Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan
yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri postauricular dapat
ditemukan pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi
bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).
17
2. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2) Cemas b.d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
21
3. Rencana intervensi
Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang:
Tanda Subjektif: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi
pada satu sisi.
Tanda Objektif: dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada satu sisi
yang di kerutkan saja
Tujuan: konsep diri klien meningkat
kriteria hasil: klien mampu menggunakan koping yang positif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan kepada klien Intervensi awal bisa mencegah disstres
tentang keadaan paralisis psikologis pada klien
wajahnya.
Bantu klien menggunakan Mekanisme koping yang positif dapat
mekanisme koping yang positif membantu klien lebih percaya diri, lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan mencegah terjadinya
kecemasan tambahan.
Orientasi klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
Libatkan sistem pendukung dalam Kehadiran sistem pendukung dapat
perawatan klien meningkatkan citra diri klien
terilosilasi.
ASKEP KASUS
A. Kasus
24
Tn.K berusia 41 tahun datang ke POLI RSUD Arifin Ahmad dengan keluhan
sudah 3 hari wajahnya miring ke arah kiri, pasien menyadari bahwa pada saat bangun
tidur wajah jatuh ke sebelah kiri dan bibir miring. Ketika perawat meminta pasien
untuk tersenyum , mulut pasien terlihat miring sebelah kiri, mata sebelah kiri terlihat
selalu mengeluarkan air mata, bibir tidak menutup rapat, pasien sulit untuk
menguyah, pasien terlihat tidak mampu mengontrol air liur dan terkadang sakit
kepala bagian kiri. Pada saat diperiksa kata-kata pasien tidak jelas, GCS: 15,
kesadaran compos mentis, TTV: TD: 120/90 mmHg, HR: 80x/menit, RR: 20x/menit,
dan T:37C. CRT: <2 detik. Pada saat dilakukan pemeriksaan pada Nervus Fasialis,
Mengangkat alis Sinistra: (-), Kerutan dahi Sinistra: (-), Menutup mata Sinistra: (-),
Menyeringai Sinistra: (-), Tersenyum: tampak tidak simetris, Sensasi kulit
menggunakan kapas: Sinistra: tidak baik. Pada pemeriksaan Nervus Optikus: Tajam
penglihatan Sinistra: tidak baik, Lapang pandang Sinistra: terhambat, Pengenalan
warna Sinistra: Normal. Pada pemeriksaan Nervus Okulomotor Gerakkan bola mata
(medial, atas, bawah) Sinistra: Sulit. Pemeriksaan pada Nervus Trigeminus
Menggigit: sulit, Membuka mulut: sulit. Pasien diberikan prednison 60 mg/hari untuk
5 hari.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Nama : Tn.K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Alamat : Klender-Jakarta
b. Keluhan Utama
Tn.K merasa wajahnya miring ke arah kanan sudah 3 hari yang lalu.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Hal tersebut dirasakan sejak 3 hari yang lalu, mencong dirasakan saat
tersenyum dan beraktifitas lainnya, mata sebelah kiri selalu
25
mengeluarkan air mata. Saat minum air, mengalir air di bibi pasien
sebelah kiri.
2) Riwayat penyakit dahulu : tidak terkaji
3) Riwayat penyakit keluarga : tidak terkaji
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
2) Kesadaran : compos mentis
3) GCS : E: 4
V: 5
M: 6
4) TTV : TD: 120/90 mmHg
HR: 80x/menit
RR: 20x/menit
T: 37 C
5) Pengkajian fungsi serebral:
Nilai gaya bicara : kata-kata tidak jelas
Ekspresi wajah : mencong di rasakan saat tersenyum
6) Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus Olfaktorius
Dekstra : Normosmia
Sinistra : Normosmia
b. Nervus Optikus
Tajam penglihatan
Dekstra : Normal
Sinistra : tidak baik
Lapang pandang
Dekstra : Normal
Sinistra : terhambat
Pengenalan warna
Dekstra : Normal
Sinistra : Normal
c. Nervus Okulomotor
Gerakkan bola mata (medial, atas, bawah)
Dekstra : Baik
Sinistra : Sulit
d. Nervus Trigeminus
Menggigit : sulit
Membuka mulut : sulit
e. Nervus fasialis
Mengangkat alis
Dekstra : +
26
Sinistra : -
Kerutan dahi
Dekstra : +
Sinistra : -
Menutup mata
Dekstra : +
Sinistra : -
Menyeringai
Dekstra : +
Sinistra : -
Tersenyum: tampak tidak simetris
Sensasi kulit menggunakan kapas:
Dekstra: baik
Sinistra: tidak baik
Sensasi rasa : tidak dapat merasakan rasa manis
f. Nervus Fagus
Menelan : -
N Analisa data Etiologi Masalah
O keperawatan
1 Ds : Esofagus menyempit Gangguan 27
a. Pasien mengatakan menelan
bahwa ia menyadari Kerongkongan obstruksi
pada saat bangun
tidur wajah jatuh ke Otot menelan melemah
sebelah kiri dan bibir
miring. Sulit menelan
Do :
a. Ketika perawat
meminta pasien
untuk tersenyum ,
mulut pasien terlihat
miring sebelah kiri.
b. Terlihat bibir pasien
tidak menutup rapat
c. Terlihat pasien sulit
untuk menguyah
d. pasien terlihat tidak
mampu mengontrol
air liur.
e. Pemeriksaan pada
Nervus Trigeminus
Menggigit : sulit,
Membuka mulut :
sulit.
2. Ds : Inflamasi nervus fasialis Gangguan citra
a. Pasien mengatakan tubuh
bahwa ia menyadari Kompresi saraf
pada saat bangun tidur
wajah jatuh ke sebelah Foramen meneympit
kiri dan bibir miring.
Do: iskemik
a. Ketika perawat
meminta pasien untuk gangguan konduksi
tersenyum , mulut
pasien terlihat miring gangguan impuls motorik
sebelah kiri
b. Terlihat mata sebelah
gangguan primer motorik di
28
2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan menelan b/d keterlibatan saraf kranial
2) Gangguan citra tubuh b/d perubahan fungsi tubuh
3) Resiko aspirasi
3. Intervensi Keperawatan
j. Kolaborasi dengan
spesialis terapi tentang
terapi menelan
k. Konsultasi dengan
dokter pemberian
makan secara bertahap
Gangguan citra 1. Fungsi organ Peningkatan Koping
tubuh b/d perubahan 2 4 Aktivitas:
2. Gangguan
fungsi tubuh a. Dukung pasien untuk
menelan
mengidentifikasi
2 4
3. Citra tubuh kekuatan dan
3 5
kemampuan diri
b. Berikan penilaian
terkait dengan
kebutuhan atau
keinginan pasien
terkait dengan
dukungan pasien.
c. Instruksikan pasien
untuk menggunakan
teknik relaksasi sesuai
kebutuhan.
d. Dukung aktivitas-
aktivitas sosial dan
komunitas.
e. Berikan penilaian
penyesuaian pasien
terhadap perubahan-
perubahan dalam citra
tubuh, sesuai dengan
30
indikasi.
mulut
j. Sarankan konsultasi
pada terapi bicara
patologis dengan
tepat
k. Sarankan untuk
menelan kue
barium/barium
cookie
BAB IV
PEMBAHASAN
Bells palsy adalah sebuah kelainan dan gangguan neurogi pada nervus cranialis
VII (saraf facialis) didaerah tulang temporal yang menyebabkan kelemahan atau
paralisis otot wajah disekitar foramen stylomastoideus. Penyebanya tidak diketahui
iskemia vaskuler, penyakit virus (Herpes simplex, Herpes zoster), penyakit autoimun,
atau kombinasi semua factor ini
Berdasarkan asuhan keperawatan secara teoritis pada pengkajian klien bells palsy
biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi, biasanya
kesadaran nya compos mentis, saraf III, IV dan VI penurunan gerakan kelopak mata
pada sisi yang sakit (logoftalmos), kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan
nosolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik, saraf VII
berkurang nya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di
tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda
timpani menggabungkan diri pada nya, saraf VIII tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi, saraf XI dan X paralisis otot orofaring, kesukaran bicara,
mengunyah, dan menelan, kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral, saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideusdan
trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik, araf XII lidah simetris, tidak ada
33
devisiasi pada satu sisi dan tidak ada faskulasi. Indra pengecapan mengalami
kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Sementara pada pengkajian asuhan keperawatan secara kasus didapatkan kesadaran
compos mentis, Ekspresi wajah mencong saat tersenyum, menggigit sulit, membuka
mulut sulit, tersenyum tampak tidak simetris, sensasi rasa tidak dapat merasakan rasa
manis.
Kemudian berdasarkan diagnosa dan intervensi pada asuhan keperawatan secara
teoritis didapatkan salah satunya Gangguan konsep diri (citra diri) b.d perubahan
bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah dan pada asuhan keperawatan
secara kasus juga didapatkan Gangguan menelan b/d keterlibatan saraf cranial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada asuhan keperawatan secara teoritis dan asuhan
keperawatan secara kasus untuk penangan pasien dengan serebral palsy terdapat
beberapa kesamaan dalam memberikan asuhan keperawatan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bells pallsy adalah paralisis nervus fasialis akibat suatu proses inflamasi
yang terjadi pada sepanjang nervus fasialis perifer setinggi pons hingga distal
dan sering kali bersifat unilateral (Jurnal vol 3 No 11, 2012). BeIls palsy
adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi
dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg, 2009). Bells
palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
34
35
DAFTAR PUSTAKA
Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis
Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the
Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Kubik, M., Robles, L., Kung, A. 2012. Familial Bells palsy: A Case Report and
Literature Review. Hindawi Publishing Corporation.
Lockhart,P., Daly,F., Pitkethly, M., Comerford, N., Sullivan, F. 2010. Antiviral
treatment for Bells palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database of
Systematic reviews.
May, M, Schaitkin, B.M. 2000. The facial nerve.New York: Thieme.
Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. New York :Cambridge
University Press.
Peitersen, E. 2002. Bells palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Ototaryngol Suppl. 4-30