Anda di halaman 1dari 63

BAB I.

PENDAHULUAN

Neurofisiologi adalah bagian ilmu fisiologi, yang mempelajari studi fungsi

sistem saraf. Ilmu ini berkaitan erat dengan neurobiologi, psikologi, neurologi,

neurofisiologi klinik, elektrofisiologi, etologi, aktivitas saraf tinggi, neuroanatomi,

ilmu kognitif, dan ilmu otak lainnya. Sistem saraf merupakan salah satu sistem

koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi

dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap

dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luar,

maupun dalam. Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai

bentuk bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.

Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja, seperti mata rantai

(berurutan) antara reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel

saraf dan sel lainnya yang berfungsi mengenali rangsangan tertentu yang berasal

dari luar atau dari dalam tubuh. Efektor adalah sel atau organ yang menghasilkan

tanggapan terhadap rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar.

1
BAB 2

SARAF FASIAL

2.1 Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasial

Saraf fasialis (Nervus VII) merupakan saraf sensorik yang menghantarkan

rasa pengecap dari lidah. Saraf fasialis juga merupakan saraf motorik untuk

otot-otot mimik (pada wajah) dan kulit kepala. Saraf fasialis mengandung empat

macam serabut, yaitu :

1) Serabut Somato-Motorik

Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.

levator palpebrae/ Nervus III, otot platisma, stilohioid, digastrikus

bagian posterior, dan stapedius di telinga tengah).

2) Serabut Visero-Motorik (Parasimpatis)

Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengatur glandula dan mukosa faring,

palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris, serta sublingual dan lakrimalis.

3) Serabut Visero-Sensorik

Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga bagian depan lidah.

4) Serabut Somato-Sensorik

2
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan

rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi

oleh nervus trigeminus.

Saraf fasialis (Nervus VII), terutama merupakan saraf motorik yang

menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis

ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung,

dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi

pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar

ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang

disarafinya. Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai

saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di

ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,

dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral

pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius

dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis

bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan

dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari

tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi

otot- otot wajah.

3
Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depanlidah.

Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke

korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus

traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatoriussuperior.

Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleusini, berpisah dari

saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dandiperjalanannya akan

bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok

akson lain akan berjalan terus kekaudal dan menyertai korda timpani serta saraf

lingualis ke ganglionsubmandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula

sublingualis dan submandibularis , dimana impuls merangsang salivasi.

Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)

darisebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus.

Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpangtindih) ini

terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran

timpani.

2. Definisi Fasial Paralisis

Kelumpuhan wajah adalah hilangnya gerakan wajah karena kerusakan saraf. Otot-

otot wajah terkulai atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi pada salah satu sisi

wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi pada kedua sisi wajah dan ini

biasanya disebabkan oleh: infeksi atau peradangan dari nervus facialis, trauma

kepala, tumor kepala atau leher, dan stroke.

4
Bells palsy (paralisis wajah) adalah paralisis saraf fasialis (Nervus VII) yang

dikarenakan keterlibatannya pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan

atau bahkan kelumpuhan otot wajah. Penyebanya idiopatik, meskipun

kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemik vaskuler, penyakit virus seperti

herpes zoster, penyakit autoimun, atau bahkan kombinasi dari semua faktor ini

(Smeltzer dan Bare, 2002). Bells Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau

kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-

degeneratifprimer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis

di foramen stilomastoideus. suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang

menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah.

(Iwantono, 2008).

2. Etiologi Fasial Paralisis

Bell palsy (paralisis fasial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf

kranial bagian perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis

5
otot fasial. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi kemungkinan penyebab dapat

mencakup iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster),

penyakit autoimun, atau kombinasinya. Paralisis bell menunjukkan tipe paralisis

tekanan yang menyebabkanpenyimpangan wajah, peningkatan lakrimasi (mata

berair), dan sensasi yang sangat menyakitkan pada wajah, di belakang telinga, dan

mata. Pasien mungkin mengalami kesulitan berbicara dan tidak mampu untuk

makan pada sisi yang sakit. (Baughman, 2000)

Menurut Muttaqin (2008) Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan

penyebab dapat meliputi iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks,

herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.

Selain itu, tekanan pada saraf

fasial selama persalinan dapat mengakibatkan cedera pada saraf kranial VII.

Manifestasi klinis primer adalah hilangnya gerakan sisi yang terkena, seperti

ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, jatuhnya sudut mulut, dan

tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Paralisis akan terlihat jelas

ketika bayi menangis. Mulut tertarik ke arah sisi sehat, kerutan lebih dalam pada

sisi yang normal, dan mata pada sisi yang sakit tetap terbuka. Tidak ada intervensi

6
medis yang diperlukan. Paralisis ini biasanya hilang secara spontan dalam

beberapa hari tetapi mungkin juga beberapa bulan. (Wong, 2008)

Kelemahan otot wajah akan tampak karena timbulnya lipatan nasolabial mendatar,

salah satu sisi mulut turun ke bawah dan penurunan kelopak mata bawah.

Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral baah pons sehingga lesi di daerah

batang otak sering menimbulkan disfungsi nervus fasialis. Nervus fasialis masuk

ke tulang temporal dan letaknya dekat dengan telinga tengah sehingga saraf ini

mudah terkena trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal akibat

pembedahan atau akibat penyakit-penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat

mengakibatkan kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis dan sindrom

Guillain-Barre. (Sylvia A. Price, 2005)

2. Faktor Resiko Fasial Paralisis

Priguna Sidharta (1985) dalam Muttaqin (2009) mendefinisikan bahwa Bells

Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-

neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat tumor jinak

pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari

foramen tersebut. Bells Palsy sebenarnya penyebabnya tidak diketahui

(idiopatik), namun kemungkinan penyebab dapat meliputi :

1. Iskemia Vaskuler

2. Penyakit virus seperti herpes simplek, herpes zoster

3. Penyakit Autoimun, atau kombinasi semua faktor

7
2. Patofisiologi Fasial Paralisis

Fasial paralisis dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Saraf

yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya

tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya

saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa paralisis

otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang

telinga, dan pada klien mengalami kesukaran bicara dan kelemahan otot wajah

pada sisi yang terkena

Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang

tidak sehat lebih lambat jika dibanding dengan gerakan kelopak mata yang sehat.

Fenomena tersebut dikenal sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan, mendatar. Pada saat mengembangkan pipi terlihat bahwa pada sisi

yang lumpuh tidak mengembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan bibir

tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk

memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang

lumpuh tidak terangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah yang sehat.

Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang

mengiringinya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy. Tetapi dua hal

harus disebut sehubungan dengan ini. Pertama, air mata yang keluar secara

berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan

kurang tajam. Gejala yang tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak

8
dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi

angin, debu, dan sebagainya.

Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di

tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana

khorda timpani menggabungkan diri padanya. Setelah paralisis fasialis perifer

sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan

proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi

dengan gerakan otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot

kelompok lain itu dinamakan sinkinesis.

Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata

ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu

rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau

mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh perifer itu dapat

terlampau giat berkontraksi tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai pada spasmus

fasialis. Dalam hal ini, diluar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi yang

pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat.

Karena itu banyak kekhilafan dibuat mengenai sisi mana yang memperlihatkan

paresis fasialis, terutama apabila klien yang pernah mengidap Bells

palsy kemudian mengalami stroke.

Berbeda dengan Bells palsy atau paralis fasial, dimana kelemahan otot wajah

sesisi timbul tanpa diketahui, adalah paresis fasialis unilateral akibat otitis media,

9
dimana nyeri didalam telinga sudah mendorong orang sakit untuk berobat. Setelah

itu, kelumpuhan otot wajah sesisi dapat terjadi. Jadi, dalam hal paresis fasialis

akibat otitis media, klien dapat membantu perawat dengan memberikan informasi

bahwa mulut mengok-nya bersangkutan dengan penyakit didalam telinga.

Tidak semua otitis media menimbulkan paresis fasialis. Terlibatnya nervus fasialis

dalam proses dalam proses radang di kavum timpani harus melalui pengrusakan

tulang yang melindungi kanalis fasialis. Otitis media akut merupakan penyakit

anak-anak, bahkan bayi. Bayi dan anak kecil belum dapat mengeluh, tetapi

demam dan tangisan (karena sakit kepala atau nyeri di dalam telinga) sudah cukup

indikatif untuk meneliti membran timpani.

Jika pada bayi atau anak dengan otitis media akut terjadi paresis fasialis, maka

secara langsung dapat disimpulkan bahwa infeksi bakterial yang dihadapi ialah

infeksi streptokokus mukosus, oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat

menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum timpani. Pada

otitis media, akut membran timpani memperlihatkan tanda-tanda inflamasi tanpa

perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di dalam kavum timpani. Dalam

keadaan itu, proses infeksi dapat melibatkan perios dan kemudian menimbulkan

pengrusakan tulang. Bila dilakukan parasentesis, cairan berdarah encer yang

meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan.

Otitis media akut yang disebabkan oleh kuman-kuman non-streptokokus mukosus

pada umumnya jarang menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun

demikian, otitis media akut dapat berkembangmenjadi otitis media kronis atau

10
mastoiditis. Jika setelah diadakan evakuasi sekresi dari kavum timpani masih ke

mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang

mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis fasialis yang ikut rusak oleh

proses matoiditi, nervus fasialis mengalami gangguan dan timbullah paresis

fasialis.

Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan

olfaktorius dapat terlibat dalam infeksis tersebut. Gambaran penyakit dikuasai

seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah

vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta

tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga.

Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf

olfaktorius. Nomor dua dalam urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut

hampir selamanya mengenai kanalis fasalis, yaitu fraktur os temporal, yang tidak

selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan liquor mengiringi

paresis fasialis perifer traumatik. Dengan jalan auroskopi dapat diketahui adanya

hematotimpani dengan/tanpa tersobeknya membran timpani.

Pada leukemia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit mengeluh

tentang lesu-letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas

demam selama beberapa minggu. Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung

lama sebelum leukemia diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah dilakukan

leukemia akan dikenal. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya

11
pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembekakan kelenjar-kelenjar limfa dan

splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi di susunan saraf dan

tulang tengkorak

2. Manifestasi Klinis Fasial Paralisis

Manifestasi klinis Bells Palsy secara umum:

1. Terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada

salah satu sisi wajah, menyebabkan pasien sulit tersenyum atau menutup

salah satu kelopak mata

2. Beberapa jam sebelum terjadi kelemahan pada otot wajah, penderita

merasakan nyeri di belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi bisa

ringan sampai berat, tetapi selalu pada sisi wajah. Sisi wajah yang

mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekpresi, tetapi penderita

seolah olah wajahnya terpuntir.

3. Sebagian besar penderita mengalami mati rasa atau merasa ada beban di

wajahnya, meskipun sebetulnya sensasi wajah adalah normal

4. Wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi

5. Dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada

salah satu sisi wajah yang terpengaruh.

6. Sensitivitas terhadap suara akan meningkat pada sisi wajah yang

terpengaruh

7. Kadang timbul nyeri kepala

8. Penurunan kemampuan indera pengecap pada sisi yang lumpuh

12
9. Penurunan jumlah air mata dan liur yang diproduksi pada sisi yang

terkena

10. Pada beberapa kasus, Bells Palsy dapat mempengaruhi saraf kedua sisi

wajah, walaupun hal tersebut jarang terjadi

2. Karakteristik Fasial Paralisis

Ciri khas dari Fasial paralisis adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya kontrol otot secara tiba-tiba pada satu sisi wajah, dan

memberikan tampilan wajah yang kaku.

2. Sulit untuk tersenyum, menutup mata, mengedip, atau menaikkan alis.

3. Vertigo dan tinnitus

4. Hipersaliva akibat ujung mulut tertarik ke bawah

5. Bicara menjadi tidak jelas dan adanya perubahan fungsi pengecapan.

6. Ulserasi pada konjungtiva akibat palpebra tidak dapat tertutup sehingga

kekeringan.

7. Asimetri wajah

8. Tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Jika pada bayi terlihat

jelas ketika menangis.

9. Rasa baal/kebas di wajah

10. Peningkatan lakrimasi (mata berair)

11. Sensasi menyakitkan pada wajah, belakang telinga dan mata

12. Tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena

13
13. Sudut mulut turun

14. Kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata

2. Pemeriksaan Diagnostik Fasial Paralisis

1. Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk

menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab

lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan

ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah

sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada

sisi yang terkena memutar ke atas.

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka

suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang

paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan

yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf

kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien

tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.

2. Diagnosa Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan

perifer adalah sebagai berikut

a. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota

gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri

14
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai

perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;

sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti

hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os

temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma

sebelumnya.

b. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media

supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum

timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes

zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang

terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan

kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre

saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia

gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa

gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli

bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan

nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa

di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-

tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema

nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

3. Pemeriksaan Penunjang

Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

15
a. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan

keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

b. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di

tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi

sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan

penyengatan kontras saraf fasialis.

c. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun

1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada

penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al

melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai

prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG).

Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15

mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-

predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan

berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential

(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan

blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.

Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus

didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian

sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya

ditemukan pada 15,6% kasus.

16
2. Diagnosa Fasial Paralisis

1. Anamnesa

Pada inspeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasobial pada sisi yang terkena.

Ketika pasien diminta menaikkan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar.

Ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat

lateralisasi ke sisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup

matanya secara sempurna pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell.

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus

dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat

adanya infeksi atau trauma, penurunan sensibilitas rasa nyeri di daerah auricular

posterior.

Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiperakusis. Bagian atas dan

bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan. Fisura

palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata

yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan

dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa

disalurkan secara wajar sehingga tertimbun di situ. Selain itu juga didapatkan:

a. Rasa nyeri

b. Gangguan atau kehilangan pengecapan.

c. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari

di ruangan terbuka atau di luar ruangan.

17
d. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi

saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

2. Pemeriksaan Fisik

Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

a. Mengerutkan dahi

b. Memejamkan mata

c. Mengembangkan cuping hidung

d. Tersenyum

e. Bersiul

f. Mengencangkan kedua bibir

3. Pemeriksaan Klinis

a. Test Lakrimasi

b. Fungsi sensorik :

Glukosa 5 % manis, as sitrat 1 % asam, sod kloride 2.5 % asin, quinine HCl 0,075

% pahit

c. Test refleks stapedius

d. Pemeriksaan fungsi motorik

18
4. Pemeriksaan motoris

Pemeriksaan fungsi motorik N. Fasial yang sistematik yaitu dengan mengamati

kelainan asimetri yang timbul pada wajah akibat kelumpuhan salah satu otot

wajah.

5. Pemeriksaan sensoris

Pemeriksaan fungsi sensorik yaitu dengan menilai dengan daya pengecapan

(citarasa). Hilangnya atau mengurangnya daya pengecapan dinamakan ageusia

dan hipogeusia . Bilamana pengecapan asin dirasakan sebagai asam -manis dan

sebagainya, maka daya pengecapan yang abnormal itu dinamakan Pargeusia.

6. Pemeriksaan Laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis

Bells palsy. Darah, Dibeberapa kasus terjadi peningkatan ringan dari limfosit dan

sel -sel mononuklear sehingga diikuti dengan peningkatan tekanan darah.

7. Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan

dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,

stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien

Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus

fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

19
2. Diagnosa Banding Fasial Paralisis

1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)

Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai

dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala

RHS meliputi:

Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,

saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit)

atau lidah

Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi

Kesulitan menutup satu mata

Sakit telinga

Pendengaran berkurang

Dering di telinga (tinnitus)

Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)

Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang

dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute

Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala

neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller

Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang

20
menyebabkan kelemahan otot-otot mata. Selain itu kelemahan nervus facialis

menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe

perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain

bisa didapatkann rasa kebas, pusing dan mual.

2. Penatalaksanaan Fasial Paralisis

1. Terapi Non-Farmakologis

a. Stimulasi listrik

Stimulasi listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot. Stimulasi listrik yang

diberikan pada pasien dengan bell's palsy ini menggunakan metode individual

(motor point). Metode individual ini merupakan suatu stimulasi elektrik yang

ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point.

Motor point sendiri adalah titik peka rangsang yang terletak di superficial kulit.

Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk merangsang fungsi otot secara

individual baik yang letaknya superficial maupun dalam (deep).

Cara pemberian stimulasi listrik (prosedur pelaksanaan):

1. Posisi pasien tidur terlentang di atas tempat tidur dengan rileks

2. Posisi terapis berada di sebelah kanan atau pada sisi yang terdapat

lesi

3. Pelaksanaan

21
a. Periksa alat, kabel, tombol menu, dan intensitas harus dalam

keadaan nol

b.Memasangkan alat dengan menaruh katode dibagian cervikal

dan anode diletakkan pada masing-masing titik motor poin

otot-otot wajah.

c. Dalam setiap pelaksanaan, titik motor poin yang dituju oleh

arus intensitas harus direndahkan atau dalam posisi nol dan

saat menaikkan intensitas pelan-pelan sampai terlihat

kontraksi yang terjadi, tanyakan pada pasien apakah sudah

pas, terlalu rendah atau tinggi. Setelah selesai matikan alat

dan alat ditata kembali. Untuk dosis terapi menggunakan

arus faradik dengan intensitas toleransi pasien yaitu 3 mA

dan waktu 15 menit.

b. Rehabilitasi Fasial

Rehabilitasi fasial secara komprehensif dilakukan dalam 4 bulan setelah onset

terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial

meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan

program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai

dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan,dan

relaksasi.

c. Kontrol gerakan

22
Kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang

saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.

d. Relaksasi

Relaksasi ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah

karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi

jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di

depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan

gambar visual visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada

otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.

e. Pendidikan klien

Pada paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat

menutup dengan sempurna, dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah

diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah

komplikasi potensial pada klien. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan

keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan

oleh kornea kering dan tidak adanya reflek berkedip. Penutupan mata bagian

bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini,

mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari.

Klien yang mengalami paralisis diajarkan untuk menutup kelopak mata secara

manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk

menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah

dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik

23
untuk memasase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah

seperti mengerutkan dahi, menggembungkan pipi ke luar, dan bersiul dapat

dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah

atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

f. Penggunaan air mata buatan

Menggunakan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata,

plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan lateral

kelopak mata atas dan bawah). Hal ini dilakukan karena kornea mata memiliki

resiko mongering dan terpapar benda asing.

g. Kemodenervasi

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien

dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani

kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,

dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke

bagian kulit atau bedah plastic

h. Konsultasi ke bagian lain

Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu

dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau

pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.

2. Terapi Farmakologis

24
a. Terapi Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid yaitu prednison dan prednisolon dapat diberikan untuk

menurunkan radang dan edema yang pada gilirannya mengurangi kompresi

vaskular dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut.

Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit

semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau menimbulkan

denevarsi. Dosis pemberian prednisone (maksimal 40-60 mg/hari) dan

prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam

hari diikti empat hari tapering off.

b. Antiviral

Antiviral yang biasa diberikan pada pasien fasialis paralisis adalah asiklovir.

Pemberian antiviral pada pasien ini karena ditemukannya genom virus di sekitar

saraf ketujuh. Pada penggunaan asiklovir tunggal tidak efektif dibandingkan

dengan kortikosteroid. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian

asiklovir/valasiklovir dan prednisosn lebih baik jika dibandingkan dengan terapi

prednisolon saja. Kombinasi dari terapi valasiklovir dan prednison memiliki hasil

yang lebih baik. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80

mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Untuk

dewasa diberikan dengan dosis oral 2.000-4.000 mg/hari dibagi dalam lima kali

pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar darah

3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1.000-3.000 mg/hari secara ora dibagi

2-3 kali selama 5 hari.

25
2. Web of Causation (WOC) Fasial Paralisis

Sistem imun

Herpes Simpleks Virus (HSV)

Inflamasi akut di n. Fasialis

Peningkatan diameter n. Fasialis

Kompresi saraf

Gangguan impuls motorik dari n. Fasialis

n. fasialis terjepit

Suhu dingin

Lapisan endotelium pembuluh darah rusak

Proses transdusi

26
Foramen sternokleidomastoideus bengkak

Ketidakstabilan otonom

Respons simpatis

Vasospasme

Spasme spontan

Gerakan wajah tidak terkendali

Kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju glandula lakrimalis

Air mata keluar dari sisi mata yang lesi/ lemah

MK: Cemas

Penatalaksanaan

Ansietas

MK: Defisit pengetahuan

Iskemia

27
Fasialis paralisis

MK: Gangguan citra diri

MK: gangguan komunikasi verbal

MK: Nyeri

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN

3. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan klien dengan Bells Palsy meliputi anamnesis riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.

1. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan

adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2. Riwayat penyakit saat ini

28
Pada pengkajian klien Bells palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot

wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi.

Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat,

kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas

dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

3. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya

hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien

mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranal, trauma

kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster), penyakit autoimun, atau

kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan dan tempat

rujukan klien untuk meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari

riwayat penyakit sekarang.

4. Pengkajian psiko-sosio spiritual

a. Pengkajian psikologis klien Bells palsy meliputi beberapa

penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh

persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku

klien.

b. Pengkajian mekanisme koping untuk menilai respon emosi

tehadap kelumpuhan otot wajah seisi dan perubahan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya

29
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.

Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul

ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, ketidakmampuan untuk

melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap

dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

c. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar

digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien

untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di

ketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus

menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member

dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan

pengobatan memerlukann dana yang tidak sedikit.

d. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis

dengan dampak ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya

hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri

dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defesit

neurologi dalam hubungannya dengan peran social klien dan

rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan

neurologis di dalam sistem dukungan individu.

5. Pemeriksaan fisik

30
Fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan

dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bells palsy biasanya

didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

a. B1 (Breathing) :

1.Inspeksi : Irama dan frekuensi napas normal serta tidak ada

penggunaan otot bantu napas.

2.Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri.

3.Perkusi : Resonan pada seluruh lapangan paru.

4.Askultasi : Tidak terdengar bunyi napas tambahan.

1. B2 (Blood) : Frekuensi dan irama nadi normal. Tekanan darah

dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

c. B3 (Brain) : Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus

dan lebih lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.

1) Tingkat Kesadaran

Pada Bells palsy biasanya kesadaran klien composmentis. Fungsi Serebri Status

mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,

observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bells palsy

biasanya status mental klien mengenai perubahan.

2) Pemeriksaan saraf kranial

a. Saraf I : Biasanya pada klien Bells palsy tidak ada kelainan

dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

31
b.Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

c. Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada

sisi yang sakit (lagoftalmos).

d.Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan

nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan

sinkinetik.

e. Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin

sekali adema nervus fasialis di tingkat faranem

stilomastedeus meluas sampai bagian nervus fasialis, di

mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.

f. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli

persepsi.

g.Saraf IX dan X : Paralisis Otot orofaing, kesukaran berbicara,

mengunya, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik,

sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

h.Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.

i. Saraf XII : Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi

dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami

kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan

kurang tajam.

3) Sistem Motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol

keseimbangan dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.

32
4) Pemeriksaan Refleks

Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum

derajat reflex pada respons normal.

5) Gerakan Involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan

sering di temukan Tic Fasialis.

6) Sistem Sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kalainan.

d. B4 (Bladder) : Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya

didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan

dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

e. B5 (Bowel) : Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan

produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bells palsy

menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot mengunyah serta

gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi

berkurang.

f. B6 (Bone) : Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran

menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan

sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

3. Diagnosa keperawatan

33
1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot

wajah

2. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan

bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan

tonus/kontrol otot fasial/oral

4. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang

penyakit dan prosedur pengobatan

5. Nyeri yang berhubungan dengan peradangan saraf fasial

6. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak

adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

3. Intervensi Keperawatan

1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah

Tujuan : Body image kembali baik setelah perawatan

Kriteria hasil :

a. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya menerima kondisi yang ada pada dirinya

(kelumpuhan otot wajah)

b. Pasien tidak mengalami kecemasan

c. Pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua fungsi bio-

psiko-sosial

34
Intervensi Rasional

Kaji luasnya gangguan persepsi dan Penentuan faktor factor secara individu

hubungkan dengan derajat membantu dalam mengembangkan

ketidakmampuannya. perencanaan asuhan/pilihan intervensi.

Kadang kadang pasien menerima dan

mengatasi gangguan fungsi secara efektif

Identifikasi arti dari disfungsi atau dengan sedikit penanganan, di lain pihak

perubahan pada pasien ada juga orang yang mengalami kesulitan

dalam menerima dan mengatasi

kekurangannya.

Anjurkan pasien untuk mengekspresikan Mendemonstrasikan penerimaan/membantu

perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan pasien untuk mengenal dan mulai

perasaan marah memahami perasaan ini.

Menunjukkan penolakan terhadap bagian


Catat apakah pasien menunjuk daerah yang
tubuh/perasaan negative terhadap citra
sakit ataukah pasien mengingkari daerah
tubuh dan kemampuan, menandakan
tersebut dan mengatakan hal tersebut telah
perlunya intervensi dan dukungan
mati
emosional

Akui pernyataan perasaan tentang Membantu pasien untuk melihat bahwa

35
pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada perawat menerima kedua bagian tubuh

kenyataan yang ada tentang realita bahwa tersebut merupakan suatu bagian yang utuh

pasien masih dapat menggunakan bagian dari seseorang Memberikan kesempatan

tubuhnya yang tidak sakit dan belajar untuk pasien untuk merasakan pengharapannya

mengontrol bagian tubuh yang sakit. secara penuh dan mulai menerima keadaan

Gunakan kata kata (lemah, sakit, kanan- yang dialami saat sekarang ini.

kiri) yang tidak mengasumsikan bahwa

bagian tersebut sebagai bagian dari seluruh

tubuh.

Mengkonsolidasikan keberhasilan
Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun
membantu menurunkan perasaan marah dan
baik menganai penyembuhan fungsi
ketidakberdayaan dan menimbulkan
tubuhataupun kemandirian pasien.
perasaan adanya perkembangan

Dorong orang terdekat agar memberi


Membangun kembali rasa kemandirian dan
kesempatan pada pasien untuk melakukan
menerima kebanggaan diri dan mingkatkan
kegiatan sebanyak mungkin untuk dirinya
proses rehabilitasi.
sendiri

Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi


Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha
untuk mengubah dan memahami tentang
seperti peningkatan minat/partisipasi pasien
peran diri sendiri dalam kehidupan
dalam kegiatan rehabilitasi
selanjutnya.

36
Pantau gangguan tidur, meningkatnya
Mungkin merupakan indikasi serangan
kesulitan untuk berkonsentrasi, pernyataan
depresi yang mungkin memerlukan evaluasi
ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu,
dan intervensi lebih lanjut.
letargi dan menarik diri.

Dapat memudahkan adaptasi terhadap

Rujuk pada evaluasi neuropsikologis atau perubahan peran yang perlu untuk

konseling sesuai kebutuhan. perasaan/merasa menjadi orang yang

produktif.

2. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk

wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

Tujuan :Nyeri berkurang

Kriteria hasil :Pasien menyatakan sudah tidak merasa nyeri atau nyeri sudah

berkurang dalam 3x24 jam, pasien tidak menunjukkan ada tanda-tanda merasa

nyeri.

Intervensi Rasional

Berguna dalam pengawasan


Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0
kefektifan obat, kemajuan
10)
penyembuhan

37
Dengan posisi semi-fowler dapat

Berikan istirahat dengan posisi menghilangkan tegangan abdomen

semifowler yang bertambah dengan posisi

telentang

Anjurkan klien untuk menghindari dapat menghilangkan nyeri

makanan yang dapat meningkatkan akut/hebat dan menurunkan aktivitas

kerja asam lambung. peristaltik

Anjurkan klien untuk tetap mengatur mencegah terjadinya perih pada ulu

waktu makannya hati/epigastrium

sebagai indikator untuk melanjutkan


Observasi TTV
intervensi berikutnya

Diskusikan dan ajarkan teknik Mengurangi rasa nyeri atau dapat

relaksasi terkontrol

Menghilangkan rasa nyeri dan


Kolaborasi dengan pemberian obat
mempermudah kerjasama dengan
analgesik
intervensi terapi lain

38
3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan

tonus/kontrol otot fasial/oral

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam pasien mampu menunjukkan kemampuan

komunikasi

Kriteria hasil :

a. Pasien dapat menggunakan bahasa tertulis, berbicara, atau nonverbal,

menggunakan bahasa isyarat, pasien dapat bertukar pesan dengan orang

lain.

Intervensi Rasional

Kelamahan otot bicara pada klien krisis

Kaji kemampuan komunikasi klien. miastenia gravis dapat berakibat pada

komunikasi.

Teknik untuk meningkatkan komunikasi

meliputi mendengarkan klien, mengulangi

apa yang mereka coba komunikasikan dengan


Lakukan metode komunikasi yang ideal
jelas dan membuktikan yang diinformasikan,
sesuai dengan kondisi klien
berbicara dengan klien terhadap kedipan mata

mereka dan atau goyangan jari-jari kaki untuk

menjawab ya atau tidak. Setelah periode

krisis miastenik dipecahkan, klien selalu

39
mampu mengenal kebutuhan mereka.

Beri peringatan bahwa klien di ruang ini


Untuk kenyamanan yang berhubungan
mengalami gangguan berbicara, sediakan
dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
bel khusus bila perlu

Membantu menurunkan frustasi karena

Antisipasi dan bantu kebutuhan klien. ketergantungan atau ketidakmampuan

berkomunikasi.

Ucapkan langsung kepada klien berbicara


Mengurangi kebingungan atau kecemasan
pelan dan tenang, gunakan pertanyaan
terhadap banyaknya informasi. Memajukan
dengan jawaban ya atau tidak dan
stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
perhatikan respon klien.

Mengkaji kemampuan verbar individual,

Kolaborasi: konsulkan ke ahli terapi sensotik, motorik, serta fungsi kognotof

bicara untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan

terapi.

4. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan

prosedur pengobatan

Tujuan : Kontrol kecemasan

40
Kriteria hasil :

1. Koping telah dilakukan asuhan selama 2x 24 jam klien kecemasan

teratasi

2. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

3. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk

mengontol cemas

4. Vital sign dalam batas normal

5. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas

menunjukkan berkurangnya kecemasan

Intervensi

NIC :

1. Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

a. Gunakan pendekatan yang menenangkan

b. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

c. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

d. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi

takut

e. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis

f. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

g. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi

h. Dengarkan dengan penuh perhatian

i. Identifikasi tingkat kecemasan

41
j. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

k. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,

persepsi

l. Kelola pemberian obat anti cemas

DAFTAR PUSTAKA

Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and

Management in Primary Care. IDI

Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC :

Jakarta

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta

neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.

Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada

University Press

Kaygusuz,Irfan. The Role of Viruses in Idiopathic Peripheral Facial Palsy and

Cellular Immune Response. American Journal of Otolaryngology, Vol 25, No 6

(November-December), 2004: pp 401-406

Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.

42
Marjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat

Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid

diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Persyarafan. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta.

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.

Jakarta:Gramedia

Suharsono,Darto. 2012. Bells Palsy. Surabaya : Divisi Neuropediatri, SMF Ilmu

Kesehatan Anak, RSU Dr.Soetomo.

Sunaryo, Utowo. 2013. Bells Palsy. Surabaya: Neurologi FK Universitas Wijaya

Kusuma

Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam

Penyakit. Indeks: Jakarta

Wong, Donna L., 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Jakarta:

EGC

http://www.facialpalsy.org.uk/about-facial-palsy/what-is-facial-palsy/1395/

Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 16.01

http://www.healthline.com/health/facial-paralysis#Overview diakses pada tanggal

10 April 2014 pukul 16.03

http://eresources.pnri.go.id:2058/pagepdf.openpdfinviewercopy [13 April 2014]

http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf diakses

pada tanggal 11 April 2014 pukul 17.00 WIB.

43
PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER

I.PENDAHULUAN

Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron

yang terjadi bila nukleus atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang

menyebabkan kelemahan otot wajah.1 Parese nervus facialis biasanya mengarah

pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi nukleus

fasialis ipsilateral pada pons.2

II.ANATOMI DAN FISIOLOGI

Nervus Fasialis mengandungi empat macam serabut :1

1. Serabut somatomotorik, yang memepersarafi otot-otot wajah (kecuali muskulus

levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastricus bagian posterior dan

44
stapedius di telinga tengah.

2. Serabut viseromotorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga

hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler serata sublingual dan

maksilaris.

3. Serabut viserosensorik yang menghantar implus dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somatosensorik rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rabadari

bagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus trigeminus. Daerah

overlapping disarafi oleh dari satu saraf ini terdapat pada lidah, platum, meatus

acusticus eksterna dan bagian luar dari gendang telinga.

Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot

ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar

ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut dan juga

menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah

45
gendang telinga sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, sensasi viseral

umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring dan sensasi proprioseptif

dari otot-otot yang disarafinya.1

Inti motorik nervus fasialis terletak dipons. Serabut mengintari inti nervus

abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di

permukaan lateral pons diantara nervus fasialis dan nervus vestibukoklearis.

Nervus fasialis bersama dengan nervus intermedius dan nervus vestibulokoklearis

kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini nervus facialis bersatu

dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas yang berjalan di dalam

kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang

tengkorak melalui foramen stilomastoideum , dan bercabang untuk mempersarafi

otot-otot wajah.1

III. ETIOPATOGENESIS

Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis

yang bervariasi, yaitu :

1.Trauma

Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi

fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka

tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab.

Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akusik

atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.3

46
2.Tumor

Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling

sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.

Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,

kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang

akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat

kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri

karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.4

3. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus embriopati

talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan dalam pasta

elektroda dan berbagai krim kulit, telah dilaporkan bahwa dapat menyebabkan

paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam percobaan bunuh

diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik

permanen ataupun temporer.4

4. Kongenital

Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang

kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan

seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).5

5.Bells Palsy

Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau

tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk

47
angin atau dalam bahasa inggris cold nerfus facialis bisa sembab. Karena

terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe

LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.6

6.Penyakti-penyakit tertentu

Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,

hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah,

sindrom Guillian Barre.6

IV.GEJALA DAN TANDA KLINIK

Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi :

1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan

gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau

tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.

Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus

intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda

timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

3.Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis

4.Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

48
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang

dan didalam liang telinga . Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di

membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis

perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi

herpertik terlihat di membrana timpani, kanalis auditorius eksterna dan pinna.

5.Lesi di meatus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya

nervus akustikus

6.Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya

nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang kadang juga nervus abdusen,

nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.

V.DIAGNOSA BANDING

Lesi kortikal pada lesi ini dapat ditemukan keterlibatan tanda kortikal dan tanpa

adanya gangguan pada otot dahi dan kelopak mata atas ini disebut sebagai lesi

supranuklear. Dan lagi, kelemahan pada lesi perifer adalah sama dalam setiap

jenis pergerakan, sementara pada lesi supranuklear dapat timbul perbedaan antara

pergerakan volunter dan ekspresi emosional. Pergerakan volunter dapat lebih

meningkat ataupun menurun dibandingkan pada saat pasien tersenyum atau

tertawa.

Myasthenia Gravis, adalah satu cara untuk membedakannya dengan parese fasialis

adalah bahwa myasthenia gravis memberikan respon terhadap injeksi tensilon atau

49
neostigmin.

VI.PENATA LAKSANAAN

1. Proteksi mata sebelum tidur

2. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot wajah

selama 5 menit dua kali sehari. Masase ini dimulai dari dagu dan bibir dan

diarahkan ke atas

3. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah yang

dipakai secara umum dalam penanganan beberapa kasus. Sebuah metode

sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh dengan cara menggunakan

plaster adhesive yang direkatkan pada dahi yang dibelah pada bagian bawahnya

sehingga berbentuk seperti huruf Y terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas

dan bawah seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.

4. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah dianggap cukup

bermanfaat.

5. Pemberian prednison (40-60 mg/hari) selama seminggu pertama hingga 10 hari

setelah onset cukup menguntungkan, dan hal tersebut dapat menurunkan

kemungkinan terjadinya paralisis yang permanen akibat adanya pembengkakan

dari nervus dalam kanalis fasialis yang sempit.

50
6. Prosedur operasi biasanya cukup bermanfaat ketika penyembuhan spontan tidak

terjadi. Neurolisis atau sambungan end to end dapat diindikasikan untuk lesi di

eksrakranial atau pada cabang nervus fasialis. Ketika kerusakan saaf berada diatas

foramen stilomastodeus, maka cara tersebut tidak efektif lagi dan perbaikan

persarafan otot wajah hanya dapat dicapai dengan menyambungkan bagian

distalnya nervus fasialis dengan bagian pusat dari salah satu saraf kranialis

liannya, misalnya dengan saraf XII.

7. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis cukup

efektif dan bahkan hal tersebut bisa membahayakan.

8. Ketika fungsi motorik pulih kembali, pasien hendaknya latihan mengerakkan

berbagai otot wajahnya ketika sedang bercermin.6

VII.PROGNOSIS

Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari motorik unit dan

jika dalam beberapa hari nervus fasialis sama sekali tidak dapat terstimulasi maka

prognosisnya kurang baik. Dilaporkan bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot

dalam 2 atau 3 minggu menandakan bahwa setidaknya beberapa serabut saraf

telah mengalami degenersi Wallerian. Kadang kadang dapat timbul gejala berupa

spasme klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah. Sindrom air mata

buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa kasus,

yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion genikulatum ke

51
glandula lakrimalis. Lebih dari 50% kasus Bells palsy sembuh sempurna dalam

kurun waktu beberapa bulan.5

VIII.KESIMPULAN

1. Parese nervus fasialis perifer dapat terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya

trauma, tumor, toksin, congenital, penyakit tertentu, serta idiopatik (Bellspalsy).

2. Manifestasi klinik dari parese nervus fasialis tergantung dari lokasi lesinya

3. Prognosis parese nervus fasialis perifer tergantung dari cepat tidaknya tindakan.

CONTOH KASUS

I. IDENTITAS

Nama : TN .L

Jenis Kelamin : LAKI-LAKI

Umur : 36 tahun

Pendidikan : SMA

Agama : Protestan

Tgl Masuk : 22 Agustus 2010 , pukul 22.00WIB

II. ANAMNESIS

Auto-alloanamnesis (dari IGD tanggal 22-08-10 pukul 22.00WIB)

A. Keluhan Utama :

Cedera di kepala dengan perdarahan di telinga kanan sejak kurang lebih 2 jam

52
SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien laki-laki datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan cedera kepala

ringan disertai perdarahan di telinga kanan sejak 2 jam SMRS. Sebelumnya OS

terlibat dalam kecelakaan kerja di mana OS jatuh dari skyholder setinggi 20

meter.

Menurut OS, sebelum jatuh dia sempat berpaut pada kayu staging dan bagian

muka sebelah kirinya sempat di hentam serpihan kayu sebelum OS jatuh ke tanah.

Posisi ketika jatuh tidak diketahui. OS sempat pingsan, mual, muntah dan pusing.

Lama pingsan tidak diketahui tapi OS sudah sadar penuh sewaktu datang ke IGD.

OS sadar telinganya berdarah selepas sadar dari pingsannya. Jumlah perdarahan

banyak, warna merah segar.

OS mengeluh perdarahan di telinga kanan tetap berlangsung selepas 2 jam pasca

kecelakaan. OS juga nyeri pada telinga kanan dan mengeluh pendengaran di

telinga kanan agak terganggu serta bagian muka sisi kanan terasa agak baal dan

agak tidak nyaman. OS merasa sakit di seluruh tubuh dan agak sedikit pusing.

Keluhan sesak nafas di sangkal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

53
Keluhan di telinga pertama kali dirasakan. Sebelumnya OS tidak pernah terlibat

dalam sebarang kecelakaan kerja. Riwayat penyakit sistemik lain disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat hipertensi (-), sakit gula (-), infeksi kronis (-), asma (-), tumor (-). Tiada

anggota keluarga dengan gejala yang sama.

E. Riwayat Kebiasaan :

Makan minum biasa 3 kali sehari, riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+),

olahraga (-), Riwayat pemakaian alat pelindung diri sewaktu bekerja (-),

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos mentis GCS: 15

Keadaan umum : tampak sakit berat

Tinggi Badan : 168 cm Berat Badan : 70 kg

Tanda Vital

Tekanan darah : 100/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Suhu : 37.6 oC

Pernafasan : 16 x/menit

Kepala : normocephali, vulnus excoriatum di bawah pelipis kanan, vulnus

laseratum pada wajah

54
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya

langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+

Hidung : normal

Mulut : normal

Leher : tidak tampak distensi vena, trachea teraba lurus di tengah, KGB dan tiroid

tidak teraba membesar

Thorax

Paru

Inspeksi : tipe pernafasan abdominal-torakal, tampak simetris dalam keadaan

statis maupun dinamis, jejas (-)

Auskultasi : suara nafas vesikuler,ronki (-),wheezing (-)

Jantung

Auskultasi : bunyi jantung I & II normal, splitting (-), irama regular, murmur (-),

gallop (-)

Abdomen :datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-),

bising usus (+) normal

Ekstremitas

Atas : tidak sianosis, akral hangat, tidak ada oedem, pulsasi arteri radialis teraba

normal, vulnus laseratum di lengan kanan

Bawah : tidak sianosis, akral hangat, tidak edema, pulsasi arteri dorsalis pedis dan

55
arteri tibialis posterior teraba, vulnus laseratum di paha kanan

Genital : tidak diperiksa

Pemeriksaan motorik N.VII perifer :

1. m. frontalis Mengangkat alis ke atas 0

2. m. sourcilier Mengerutkan alis 0

3. m. piramidalis Angkat & kerutkan hidung ke atas 0

4. m. orbikularis okuli Pejam mata sekuatnya 1

5. m. zigomatikus Tertawa lebar sehingga tampak gigi 0

6. m. levator komunis Memoncongkan mulut ke depan sampai terlihat gigi 1

7. m. businator Menggembungkan kedua2 pipi 1

8. m. orbikularis oris bersiul 1

9. m. triangularis Tarik kedua sudut bibir ke bawah 1

10. m. mentalis Memoncongkan mulut yg tertutup rapat ke depan 1

Total skor: 6/30 = 20% Grade : severe dysfunction

Pemeriksaan Penunjang :

(a) Pemeriksaan darah lengkap

HGB 13,8 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal

HCT 39% 37-43% Normal

PLT 270 x 103/mm3 150-390x103/mm3 Normal

WBC 7,8 x 103/mm3 3,5-10,0 x 103/mm3 Normal

RBC 4,68 x 106/mm3 3,8-5,8 x 106/mm3 Normal

LED 27 47 Normal

56
MCV 88 fl 80-97 fl Normal

MCH 29,4 pg 26,5-33,5 pg Normal

MCHC 33,6 g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal

RDW 13,1 % 10,1-15,0 % Normal

(b) Pemeriksaan kimia darah

SGOT 43/ul 38/ul Meningkat

SGPT 49/ul 41/ul Meningkat

Ureum 25,5 mg/dl 10-50 mg/dl Normal

Creatinine 0,76 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal

Albumin 4,8 mg/dl 3,4 4,8 mg/dl Normal perbatasan

Natrium 136 meq/L 135-147 meq/L Normal

Kalium 2,7 meq/L 3,5-5.0 meq/L Normal

Clor 96 meq/L 94-11,1 meq/L Normal

Gula Darah Sewatu 97 mg/dl 70-140 mg/dl Normal

(c) CT-Scan mastoid tanpa injeksi:

Hasil interpretasi:

- Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan

- Tampak perdarahan pada telinga tengah dan antrum mastoid kanan

- Cellulae mastoidea kanan tampak bayangan udara di sertai perdarahan

- Tegmen tympani baik. Sinus sigmoid kanan tampak menyempit (tertekan oleh

fragmen tulang)

- CAE kanan dan kiri tampak cerah

- Mastoid air cells kiri cerah

57
- Cerebellum dan batang otak baik

- Sebagian parenkim cerebri frontal, temporal dan occipital yang terscanning

tampak baik. Tidak tampak perdarahan.

Kesimpulan:

Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan pada telinga

tengah dan mastoid kanan.

(d) Test Audiometri & Tympanometri:

58
Hasil interpretasi:

- Telinga kanan: AC > BC. Gap (+) sebanyak > 10 dB.

Tympanogram: kemungkinan ada cairan di telinga tengah

- Telinga kiri: AC> BC. Gap (+) sebanyak < 10 dB

Tympanogram: normal

Kesan: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan

RESUME

Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan

59
cedera kepala di sertai perdarahan di telinga kanan sejak 2 jam SMRS. OS

sebelumnya ada riwayat jatuh dari ketinggian 20m. OS sempat pingsan, mual

dan muntah sebelum masuk ke IGD.

Pemeriksaan fisik di dapatkan: perdarahan aktif di telinga kanan warna merah

segar, CAE kanan menyempit dengan sedikit tonjolan tulang, vulnus excoriatum

di pelipis kanan bawah, vulnus laseratum di wajah, lengan kanan bawah dan paha

kanan.

Status neurologis:

- Mulut terlihat sedikit mencong ke kiri

- kelopak mata kanan tidak dapat menutup

- tidak dapat mengangkat alis kanan

- tidak dapat mengerutkan alis

- tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

- tidak bisa tertawa lebar

- tidak bisa memoncongkan bibir kedepan

- tidak bisa menggembungkan pipi kiri

- tidak dapat bersiul

- tidak dapat menarik sudut bibir kanan ke bawah

Pemeriksaan penunjang:

1. CT-scan: Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan

pada telinga tengah dan mastoid kanan.

2.Audiometri: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan

60
3.Timpanometri: cairan di telinga tengah auris dextra

IV. DIAGNOSIS KERJA

Paresis nervus fasialis perifer dextra dan tuli konduktif derajat sedang auris dextra

e.c fraktur multiple os temporal mastoid dextra.

Dasar: dari hasil anamnesis dengan riwayat cedera kepala akibat terjatuh dari

tempat tinggi, hasil dari pemeriksaan motorik N.VII dengan skor 20%, hasil CT-

scan menunjukkan adanya tanda fraktur di temporal mastoid dextra dan hasil

audiometri yang menunjukkan AC> BC dengan gap > 10 dB pada telinga kanan.

V. DIAGNOSIS BANDING

Paresis nervus fasialis central

V. PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

VI. PENATALAKSANAAN

1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm

2. Analgetic morphine dalam larutan infuse

3. Observasi airway, breathing, circulation dan tanda vital

4. Posisikan pasien dalam setengah duduk.

61
5. Hentikan perdarahan di telinga dengan depth tampon

6. Cuci telinga kanan dengan H2O2

7. Antibiotic tetes telinga pada auris kanan

8. Rujuk ke spesialis THT dan bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM, Neurologi KlinikPemeriksaan Fisik dan Mental: Saraf

Otak, FK UI Jakarta 2004, hal 55-59

2. Meritt HH. A. Texbook of Neurogy : Injury to Cranial and Peripheral Nerves,

Philadelphia; 1967. p. 378-81

3. Bradley WG,Daroff RB,Fenichel GM,Marsden CD. Neurologi in Clinical

Practise: The Cranial Neuropathies. Vol II. Boston : Butterworth-Heinemann;

1989.p.1557

4. Walton SJ.Brains Disease of of the Nervous System: the Seventh of Facial

Nerve.6th ed.ford.Oxford University Press;1985.p.114-15

5. Mardjono M.Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar: Saraf Otak dan Patologinya.

Jakarta: Dian Rakyat; 2000.hal 162

62
6. Harsono.Kapita Selekta Neurologi: Neuropati dan Miopati.Edisi II.Yogyakarta

:Gadjah Mada University Press;2000.hal 297-98

63

Anda mungkin juga menyukai