Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer,

bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s palsy ini

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti

Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah (Kartadinata dan

Tjandra, 2011).

Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap

tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam

mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan

dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa

melupakan diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Adam, O.

M. 2019).

Menurut Holland (2008), di Inggris insiden Bell’s palsy terjadi pada 20/100.000

orang per tahun dengan usia terbanyak 15-40 tahun dan tidak terdapat perbedaan antara

laki- laki dan perempuan. Berbeda dengan penelitian Tsai et al (2009) di Taiwan

melaporkan bahwa insiden Bell’s palsy juga terdapat anak berusia 3 bulan-18 tahun,

anak perempuan lebih banyak dibandingkan anak laki-laki (rasio 1,4 : 1) dan banyak

terjadi pada musim dingin dibandingkan dengan musim panas. Penatalaksanaan Bell’s

palsy masih sering mengundang kontroversi bukan hanya dalam bidang medis juga

tetapi dalam bidang fisioterapi, beberapa ahli merekomendasikan penggunaan

kortikosteroid dan obat- obatan antivirus pada 48 jam pertama. Tetapi tanpa pengobatan

1
ini pun 85- 90% pasien akan mengalami perbaikan total dalam hitungan minggu atau

bulan. Sisanya, mungkin (Adam, O. M. 2019).

Mengalami perbaikan parsial yang memuaskan, pendapat ini sejalan dengan

Sidharta (2000) yang mengemukakan bahwa Bell’s palsy dapat sembuh dalam 5 hari

sampai 2 bulan. Dari berbagai permasalahan diatas penulis mencoba untuk sedikit

memberikan rasionalisasi konsep-konsep dasar dari sisi fisioterapi berupa efek fisiologis

dan terapeutik dari modalitas-modalitas fisioterapi yang umumnya diberikan pada kasus

Bell’s palsy, dengan harapan akan dapat memberikan gambaran modalitas fisioterapi

umumnya yaitu berupa Infra Red, Electrical Stimulation, massage dan mirror exercise

terhadap kondisi Bell’s palsy. (Adam, O. M. 2019).

Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu

meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah, kaku

dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan (ditingkat

individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan

minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; handicap (di

tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang Entertainment;

dan masalah selanjutnya dari segi kejiwaan penderita (Adam, O. M. 2019).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Menurut Sidharta (2008), bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf

fasialis perifer akibat proses non supuratif, non neoplastik, non degeneratif

primer tetapi bisa juga akibat dari adanya oedema jinak pada bagian nervus

facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen

stilomastoideus, yang awal mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa

pengobatan. Bell’s palsy ini hampir selalu unilateral dan jarang sekali

bilateral Dwiki, C. K. (2020). 

1. Facial nerve paralysis (IFNP) facial paralusis : Saraf otak ke VII

mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.

levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah).

b. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan

mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan

glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu

dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang

3
dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang

menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini

membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke

selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan

sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan

dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar

ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot

yang disarafinya Khusena, H. (2015)

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering

dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel

sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis

di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah

dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion

genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai

badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden

dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya

identik dengan saraf trigeminus Khusena, H. (2015)

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari

nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar

di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus

VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus

akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus

4
intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis

fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang

tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mensarafi

otot- otot wajah Khusena, H. (2015)

2. Nucleus Facialis

Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang

terdiri dari :

a. Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari

gyrus presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan

mengirim serabut- serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan

orbikularis occuli.

b. Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari

gyrus presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-

serabut saraf ke otot-otot mimik bagian bawah dan platisma (Chusid,

1983).

c. Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan

melingkari nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga

diikuti dengan kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari

batang otak, nervus facialis berjalan bersama nervus intermedius

yang bersifat sensoris dan sekretorik. Selanjutnya berjalan

berdekatan dengan nervus oktavus bersama- sama masuk ke dalam

canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke

canalis falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialis masuk ke

dalam cavum timpani setelah membentuk ganglion genikulatum. Di

5
dalam cavum timpani nervus facialis membelok tajam ke arah

posterior dan horizontal (pars timpani). Saraf ini berjalan tepat di

atas foramen ovale, kemudian membelok tegak lurus ke bawah

(genu eksternum) di dalam canalis falopii pars mastoidea. Bagian

saraf yang berada didalam canalis falopii pars timpani disebut

nervus facialis pars horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars

mastoidea disebut nervus facialis pars vertikalis atau desenden.

Saraf ini keluar dari tulang tengkorak melalui foramen

stylomastoideu Ayu Akbarwati, N. (2013). .

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-

cabang dan berjalan di antara lobus superfisialis dan profundus

glandula parotis. Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf

fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior

(mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi

kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke

anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf

fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus)

yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan

cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior

dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah,

diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan

m. Platysma Ayu Akbarwati, N. (2013). 

3. Otot-otot wajah

Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat

6
pada tabel dibawah ini:

Tabel 1.1
Otot-otot wajah beserta fungsinya
No Nama Otot Fungsi Persarafan

1. M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis

2. M.Corrugato Mendekatkan kedua N.

r supercili pangkal alis Zigomatikum

dan

N.Temporalis
3. M.Procerus Mengerutkan kulit antara N.

kedua alis Zigomatikum,

N.Temporalis,

N. Buccal
4. M. Orbicularis Menutup kelopak mata N.Fasialis,

Oculli N.Temporalis, N.

Zigomatikus
5. M. Nasalis Mengembang N. Fasialis

Kan cuping hidung


6. M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke N. Fasialis

Oris Bawah
7. M. Buccinator Meniup sambil menutup N. Fasialis,
mulut

N. Zigomatikum,

N. Mandibular,

N. Buccal
8. M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan

7
N. Buccal

Gambar 2.1 nervus facialis dan otor wajah

B. Bell’s Palsy

1. Definisi

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe

lower motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi

secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem

saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Bell’s

palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat

lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan

kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang

menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi

wajah (Raj. G.S. 2006)

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir

Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah

infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita

hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti

8
dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada

kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik

sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih

baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau

paralisis fasial herpetik. (Raj. G.S. 2006)

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian

perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion

genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit

menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya,

matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut

juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan

kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan

gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos). (Raj. G.S. 2006).

Gambar 2.2 Bell’s palsy


2. Etiologi

Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh

seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis &

9
Gaharu 2012). Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf

perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah (de

Almeida et al., 2014). Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s

palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi.

Hipotesis virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini.

Sebuah penelitian Ayu Akbarwati, N. (2013). 

Etiologi Bell’s Palsy saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi ada

empat teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy, yaitu :

a) Teori Ischemic Vasculer Nervus facialis dapat menjadi lumpuh

secara tidak langsung karena gangguan sirkulasi darah di canalis

falopi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan pada saraf

perifer, terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh

darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan

langsung pada sarafnya.

b) Teori immunologi Teori ini mengatakan bahwa Bell’s Palsy

terjadi akibat immunologi terhadap infeksi virus yang timbul

sebelum atau sesudah pemberian imunisasi

3. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses

inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar

foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara

unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih

dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh

Hargiani, F. X. (2019).

10
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan

terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf

tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis

keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai

bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai

foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya

inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari

konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa

mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.

Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer

atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang

berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik

primer Hargiani, F. X. (2019).

4. Gambaran klinis

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada

saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau

berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka

penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan

menggunakan cermin Hargiani, F. X. (2019).

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak

mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh

menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.

(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila

11
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.

C. Tinjauan Pengukuran

BAB III

PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI

A. Assesmen Fisioterapi

Data Medis :

a) Denyut Nadi : 76 X/Menit

b) Tekanan Darah : 130/90 mmHg

c) Pernafasan : Normal

d) Suhu : 36o C

Masa Indeks Tubuh :

a) Berat Badan : 58 kg

b) Tinggi Badan : 166 cm

B. Indetitas Pasien

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 63 Th

Alamat : Galesong

Pekerjaan : Wiraswasta

C. History Taking

Keluhan utama : Nyeri dan wajah kaku

Faktor penyebab : Idiopatik

12
Faktor memperberat : Menggerakkan di areah wajah(senyum,minum,dll)

Faktor memperingan : Istirahat

Riwayat perjalanan penyakit : Pada tanggal 30/5/2021 pasien mengeluhkan

nyeri di bagian telinga sebeleh kiri dan tiba-tiba wajah terasa kaku dan bibir

merot kesisi kanan, akhirnya pasien konsul ke dokter dan di opname, pada

tanggal 3/6/2021 dokter merujuk ke poli fisioterapi untuk dilakukan assesmen

lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi

D. Inspeksi

Statis :

 Anterior : Keadaan umum pasien baik

Wajah tampak asimetris

Alis tampak simetris

Bibir merot ke sisi kanan

 Lateral : Deformitas pada wajah

Dinamis :

 Anterior : Sulit untuk tersenyum

Sulit menutup mata dengan rapat di sisi kiri

Terjadi keterlambatan menutup mata di sisi kiri

Sulit mengangkat alis di sisi kiri

Sulit menaraik sudut bibir ke daerah yang lemah

13
Sulit mengkerutkan area hidung dan kening

Sulit mengembungkan pipi

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran :

Pemeriksaan Neurologi

 Tes sensasi pengecapan :

 Rasa asam : Dalam batas normal

 Rasa manis : Dalam batas normal

 Rasa asin : Dalam batas normal

 Rasa pahit : Dalam batas normal

Pemeriksaan Dermatome

 Kasar -halus : Dalam batas normal

 Panas - dingin : Dalam batas normal

Pemeriksaan Myotome

 m. Frontalis dapat dilakukan tapi tidak maksimal

 m. Orbicularis oculli dapat menutup mata namun sedikit lagi mencapai

maksimal.

 m. Depresor labii inferior melawan namun tidak maksimal

 m. Zigomaticum mayor et minor senyum tidak simetris

 m. Orbicularis oris tidak mampu secara maksimal

Pemeriksaan kekuatan otot :

 Untuk mengetahui nilai otot wajah

Nama otot Kanan kiri

14
1. M. Frontalis 5 3

2. M. corrugator supercilli 5 3

3. M. Orbicularis oculli 5 3

4. M. Nasalis 5 3

5. M. Orbicularis oris 5 3

6. M. Zigomaticum mayor et minor 5 1

7. M. Buccinator 5 1

8. M. Procerus 5 1

9. M. Depresor labii inferior 5 3

10. M. Rizorius 5 3

11. M. Mentalis 5 3

12. M. Masester 5 1

Ket:
 Nilai 0 : Tidak ada kontraksi yang nampak.
 Nilai 1 :Pasien dapat melakukan dengan kontraksi minimal.
 Nilai 3 :Pasien dapat melakukan tapi agak sulit atau
hanya sebagian ROM.
 Nilai 5 :Pasien dapat melakukan sesuai dengan
ROM yang tersedia secara full tanpa kesulitan.
Interpretasi: Dari hasil pemeriksaan penilaian kekuatan otot wajah

pasien dengan menggunakan pengukuran Manual Muscle Testing

(MMT) yaitu pada sisi kiri mengalami penurunan kekuatan otot wajah

15
dengan nilai 3 dimana Pasien dapat melakukan tapi agak sulit atau hanya

sebagian ROM. Sedangkan sisi kanan didapat dengan nilai 5 yaitu

Pasien dapat melakukan sesuai dengan ROM yang tersedia secara full

tanpa kesulitan

Pengukuran : tonus otot

 Skala Ugo fisch

Tujuan : : Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik

dan mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s

palsy. Penilaian dilakukan pada 5 posisi, yaitu saat istirahat,

mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul.

Posisi Nilai

Saat istirahat/diam 100% x 20 = 20

Mengerutkan dahi 30% x 10 = 3

Menutup mata 70% x 30 = 21

Tersenyum 70% x 30 = 21

Bersiul 70% x 10 = 7

Jumlah 72 point

Derajat Skala Ugo Fisch :

 Derajad I : Normal 100 point

 Derajad II : Kelumpuhan ringan 75 – 99 point

 Derajad III : Kelumpuhan sedang 50 – 75 point

 Derajad IV : Kelumpuhan sedang berat 25 – 50 point

 Derajad V : Kelumpuhan berat 1 – 25 point

16
 Derajad VI : Kelumpuhan total 0 point

Dari hasil skala ugo fisch diketahui bahwa pasien mengalami

keterbatasan atau kelumpuhan ringan.

Skala Ugo Fisch :

1. 0%, untuk kekuatan otot 0 : zero, asimetri komplit, tak ada gerak

volunter,

2. 30%, untuk kekuatan otot 1 : poor, kesembuhan ke arah asimetri,

3. 70%, untuk kekuatan otot 3 : fair, kesembuhan parsial ke arah

simetri,

4. 100%, untuk kekuatan otot 5 : normal, simetris komplit.

Ket:

a. % adalah persentase sesuai dengan kemampuan dari pasien dan

bisa dihubungkan dengan kekuatan otot yang berperan dalam

gerakan diatas,

b. Semakin mendekati 100 skornya akan lebih baik, apabila belum

mencapai 100 dari semua penjumlahan hasil dari aktivitas diatas

maka fisioterapis diharapkan belum menghentikan tindakan

karena apabila dihentikan sebelum 100 akan mengakibatkan

terdapat gejala sisa.

Interpretasi: Dari hasil pemeriksaan tonus wajah pasien dengan

menggunakan pengukuran ugo fisch dengan 72 point menunjukan

skala derajad III yaitu Kelumpuhan sedang

Pemeriksaan Penunjang : -

17
F. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

 Gangguan fungsional pada area wajah diakbitkan kelemahan otot-otot

wajah e.c Bell’s Palsy fase akut

No. Komponen ICF Pemeriksaan/Pengukuran


Yang Membuktikan
1. Impairment
a. Penurunan tonus otot wajah sisi kiri Palpasi dan tes tonus (skala
ugo fisch)
b. wajah terasa kaku dan tebal di sisi kiri Palpasi, Story Taking

c. Kelemahan otot wajah sisi kiri MMT wajah


d. Deformitas Inspeksi
e. Nyeri diarea telinga VAS
2. Activity Limitation
a. Saat berbicara mulut sedikit memerot ke TES MMSE
sebelah kanan MMT wajah
b. Kesulitan tersenyum simetris MMT wajah
tes tonus (skala ugo fisch)
c. Kesulitan meniup/bersiul. MMT wajah
tes tonus (skala ugo fisch)
D

d. Keterlambatan menutup mata MMT wajah


tes tonus (skala ugo fisch)

e. Kesulitan mengembungkan pipi MMT wajah


tes tonus (skala ugo fisch)

3 Participation Restriction
Penurunan rasa percaya diri saat berkumpul di lingkungan keluarga karena
adanya gangguan ekspresi wajah.

18
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan kemampuan fungsional wajah semaksimal mungkin seperti

berekspresi, serta meningkatkan kepercayaan diri pasien.

2. Tujuan Jangka Pendek

 Mengurangi nyeri yang dirasakan

 Meningkatkan kekuatan otot

 Merileksasikan otot-otot wajah

 Memperbaiki deformitas pada wajah

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

C.
No. Komponen ICF Tujuan Intervensi Jenis Intervensi
Impairment:

a. Peningkatan tonus otot Menurunkan IR, Massage dan PNF


wajah sisi kanan tonus otot Wajah
b. wajah terasa kaku Merileksasikan IR dan
1. dan tebal di sisi kiri otot wajah Massage
c. Kelemahan otot wajah Meningkatkan PNF
sisi kiri kekuatan otot
d. Deformitas Mengembalikan IR, Massage dan PNF
bentuk wajah seperti Wajah
sebelumnya
e. Nyeri diarea telinga Menurunkan tingkat IR, Massage
ambang nyeri
IR, Massage dan
a. Saat berbicara mulut Memperbaiki simestris PNF Wajah
sedikit memerot ke wajah
sebelah kanan
b. Kesulitan tersenyum Meningkatkan IR, Massage dan
simetris kekuatan otot sekitar PNF Wajah
mulut

19
c. Kesulitan Mengembalikan IR, Massage dan
meniup/bersiul. kemampuan pasien PNF Wajah
untuk meniup/bersiul
d. Keterlambatan menutup Meningkatkan IR, Massage dan
mata kekuatan otot mata PNF Wajah
3 Participation Restriction

Penurunan rasa percaya diri Meningkatkan Mirror exercises dan


saat berkumpul di kepercayaan diri terapi ekspresi wajah
lingkungan keluarga karena
adanya gangguan ekspresi
wajah

D. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

1. Infra Red

Tujuan:Rileksasi otot, meningkatkan suplai darah dan menghilangkan sisa-

sisa metabolisme.

Posisi pasien :Supine lying

Persiapan alat:Cek alat, kabel dan pastikan alat dalam keadaan baik dan

tersambung dengan arus listrik.

Tehnik pelaksanaan :Infra red diletakkan tegak lurus dengan dengan jarak

45- 60cm. Sinari pada wajah sisi kanan, tutupi mata pasien dengan tissue

atau handuk agar tidak terpapar langsung oleh sinar infra red.

2. PNF Wajah

Tujuan : Untuk meragsang saraf dan merileksasi otot wajah pasien.

a. Melatih m.orbicularis oris

Teknik :

 pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis

diletakkan pada sudut mulut kiri/kanan

 Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan

menarik sudut mulut kea rah samping kana/kiri.

20
 Pasien di arahkan mencucu sambil di beri tahanan oleh

terapis dan ditahan selama 8 kali hitungan.

b. Melatih M. zygomaticus mayor dan levator labii

Teknik

 Pada posisi awal jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada

sudut mulut kiri/kanan.

 di lakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m.

levator labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial

 pasien di arahkan untuk menarik sudut mulut ke arah luar

sambil di beri tahan oleh terapis selama 8 kali hitungan

c. Melatih M. dilator nares dan nasalis

Teknik :

 Pada posisi awal, jari telunjuk terapis dilteakkan pada kedua

cuping hidung

 Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung kearah


caudal .

 pasien di arahkan mengambangkancuping hidung menuju

bagian bawahsambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan.

d.Melatih M. proceus

Teknik :

 Pada posisi awal jari telunjuk terapis diletakkan di

batang hidungpada kedua sisi

 dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian

bawah

 pasien diarahkan menaikkan lipatan nasolabialke arah

21
atas sambil di beri tahanan selama 8 kali hitungan.

e. Melatih M. orbicularis Oculi

Teknik :

 Pada posisi awal jari telunjuk dn jari tengah terapis diletakkan

disudut mata pasien.

 dilaukan peregangan dengan menarik sudut mata ke arah

lateral.

 pasien di arahkan mengerutkan kelopak mata sambil menutup

mata dengan kuat di beri tahanan selama 8 kali hitungan.

f. Melatih M.corrugator superclli

Teknik :

 Pada posisi awal jari telunjuk dan jari tengah teapis di

letakkan di atas alis mata

 dilakukan peregangandan menarik sudut alis ke arah lateral

 pasien diarahkan mengerutkan sudut kea rah medial sambil

diberi tahanan selama 8 kali hitungan.

g. Melatih M. frontalis

Teknik :

 Pada posisi awal jar telunjuk dan jari tengahdiletakkan di atas

alis mata

 dilakukan peregangan pada m.frontalis dengan mendorong

alis mata ke arah caudal

 pasien di arahkan mengerutkan kening sambil diberi tahanan

selama 8 kali hitungan.

22
h. Melatih M. mentalis

Teknik :

 Pada posisi awal jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di

dagu

 dilakukan peregangan dengan menarik dagu kearah lateral

 pasien di arahkan mengerutkan bibir bawah sambil

diberi tahanan selama 8 kali hitungan.

3. Massage Wajah

Tujuan : untuk merileksasi otot wajah

a. Stroking

Teknik : gerakan di mulai dari dagu,pipi, dahi, hidung dan mata

b. Effleurage

Teknik : dari dagu ke telinga, dari mulut ke telinga, dari hidung

ke telinga, dari mata ke samping, dari tengah dahi ke

samping 3 baris

4. Mirror Exercises

 Persiapan alat : cermin

 Posisi pasien : duduk/berdiri didepan cermin

 Teknik pelaksanaan : fisioterapis berada di samping pasien,

kemudian terapis memberikan contoh gerakan seperti mengangkat

alis, mengkerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Lalu

pasien diminta untuk menirukan gerakan-gerakan tersebut, terapis

memperhatikan dan mengkoreksi apabila ada gerakan yang keliru,

terapi dilakukan selama 10 menit. Apabila pasien belum bisa

23
menggerakkan otot-ototnya maka terapis bisa membantu dengan cara

pasif.

E. Edukasi dan Homeprogram

Edukasi dan Homeprogram yang dapat diberikan pada pasien adalah

(1) pasien diminta untuk menghindari kipas angin secara langsung pada

wajah,

(2) pasien dianjurkan untuk memakai helm standar dan slayer serta

kacamata dan masker jika bepergian ke luar rumah dengan menggunakan

sepeda motor

(3) pasien dianjurkan untuk mengompres pada wajah dan telinga bagian

belakang, dengan menggunakan handuk kecil dan air hangat kemudian

ditempelkan pada wajah sisi lesi dan daerah telinga belakang, selama 10

menit,

(4) pasien dianjurkan untuk melakukan massage pada wajah selama 10

menit, dengan arah dari wajah sisi kiri ditarik kearah telinga wajah sisi

kanan, dan dengan tekanan ringan, hal ini bertujuan agar tidak merusak

serabut otot pada wajah.

(5) setelah di massage pasien dianjurkan untuk melakukan latihan di

depan cermin, dengan gerakan sama seperti yang telah diajarkan oleh terapis

(6) serta selalu menggunakan sedotan pada saat minum dan mengunyah

permen karet.

2. Evaluasi

Evaluasi
Intervensi
No. Problematik
Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi

24
1. Kelemahan otot PNF otot wajah MMT wajah MMT wajah
wajah sisi kanan Mirror Exercise 3 3
2. Penurunan tonus PNF otot wajah tes tonus (skala tes tonus (skala
otot wajah sisi Mirror Exercise ugo fisch) ugo fisch)
kanan 72 point point 76
Derajad III: Derajad II:
Kelumpuhan Kelumpuhan
sedang Ringan
3. Wajah terasa kaku Massage Palpasi Palpasi
dan tebal di sisi Infra Red (IR) Kaku dan terasa Kaku dan tebal
kiri tebal berkurang
4. Tidak mampu Mirror Exercises, Adanya Masih terlihat
menutup mata PNF keterlambatan keterlambatan
dengan maksimal menutup mata menutup mata
sebelah kiri namun sudah
tertutup full

5. Sulit mengangkat PNF otot wajah MMT MMT


alis sisi kanan Mirror Exercise wajah 3 wajah 3
tes tonus (skala tes tonus (skala
ugo fisch) ugo fisch)
72 point point 76
Derajad III: Derajad II:
Kelumpuhan Kelumpuhan
sedang Ringan
6. Kesulitan Mirror Exercise MMT MMT
tersenyum dengan Massage wajah 3 wajah 3
simetris tes tonus (skala tes tonus (skala
ugo fisch) ugo fisch)
72 point point 76
Derajad III: Derajad II:
Kelumpuhan Kelumpuhan
sedang Ringan
7 Saat berbicara Mirror Exercise MMT wajah 3 MMT
mulut dan dagu tes tonus wajah 3
memerot ke (skala ugo tes tonus (skala
sebelah kanan fisch) 72 ugo fisch)
point point 76
Derajad III: Derajad II:
Kelumpuhan Kelumpuhan
sedang Ringan
8 Kesulitan Mirror Exercise MMT wajah 3 MMT
meniup/bersiul. tes tonus wajah 3
(skala ugo tes tonus (skala
fisch) 72 ugo fisch)
point point 76
Derajad III: Derajad II:

25
Kelumpuhan Kelumpuhan
sedang Ringan

26
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesmen Fisoterapi

Assesment atau pemeriksaan adalah hal yang penting dalam menejemen

fisioterapi. Tindakan ini bertujuan untuk menegakkkan diagnosis dan pedoman

dalam pelaksaan terapi terhadap keluhan yang dialami pasien. Baik berupa

anamnesis maupun berupa pemeriksaan. dengan anamnesis dan pemeriksaan

yang terarah dan terstruktur dapat di peroleh diagnosa yang tepat. Berikut

langkah langkah anamnesis dan pemeriksaan.

1. Tinjauan Tentang Assessmen

a. History Taking

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang

pemeriksa sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam

pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik

membawa kita menempuh setengah jalan kearah diagnosis yang tepat.

Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat

ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

Vital sign merupakan pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan

darah, denyut nadi, pernafasan dan temperatur.

b. Inspeksi/Observasi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan

pemeriksaan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan

menganalisa pasien dalam waktu yang singkat.

27
Pasien dengan penderita kasus bermacam macam pada umumnya akan

mengalami beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara teliti guna

untuk menyelesaikan prolematika dari setiap kasus

c. Pemerikaan Fungsi Gerak Dasar

Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak

tubuh dengan cara melakukan gerakan fungsional dasar pada region

tertentu untuk melacak kelainan struktur region tersebut.

1) Aktif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan yang dilakukan sendiri

oleh penderita, sesuai petunjuk pemeriksa. Informasi yang

diperoleh dari pemeriksaan ini masih bersifat global sebab masih

melibatkan berbagai struktur seperti neuromuscular, arthrogen,

vegetative mechanis. Pemeriksaan ini dapat memberikan

informasi berupa :

a) Koordinasi gerak

b) Pola gerak

c) Nyeri

d) ROM aktif

2) Pasif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan terhadap pasien yang

dilakukan oleh pemeriksa tanpa melibatkan pasien secara aktif.

Dengan demikian pemeriksaan ini banyak ditujukan untuk

struktur athrogen dan myotendinogen secara pasif. Sebelum

melakukan pemeriksaan usahakan agar regio yang akan

28
digerakkan dalam keadaan rileks dan pada saat digerakkan

usahakan mencapai ROM seoptimal mungkin dengan

memperhatikan keluhan penderita, sehingga pada satu sisi akan

terjadi penguluran dan pada sisi yang lain mengalami kompresi.

Indormasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :

a) ROM Pasif

b) Stabilitas sendi

c) Rasa nyeri

d) End feel

e) Capsular pattern

3) Tes Isometrik Melawan Tahanan (TIMT)

Adalah suatu gerakan yang yang dilakukan oleh pasien dan

fisioterapis memberi tahanan. Tes ini dapat ditemukan kekuatan

pasien dalam gerakan melawan tahanan terhadap fisioterapis.

d. Pemeriksaan Spesifik

Adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila informasi yang diperoleh

melalui anamnesis, inspeksi dan pemeriksaan fungsi belum cukup untuk

menegakkan diagnosis suatu penyakit atau problematic fisioterapi terhadap

penderita. Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mengungkap ciri khusus

serta jenis gangguan dari suatu struktur atau jaringan tertentu.

e. Pengukuran Fisioterapi

a. VAS

b. MMT

c. ROM

29
d. Kemampuan ADL

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

1. Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan

tujuan saling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,

bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati,

2003 48).

Tujuan komunikasi terapeutik yaitu membantu pasien untuk

memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat

mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi

orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.

2. Infra Red (IRR)

Manfaat infrared bagi kesehatan adalah, yang pertama dapat

mengaktifkan molekul air dalam tubuh. Gelombang elektromagnetik yang

dihantarkan oleh sinar infra merah dalam frekuensi tertentu mampu

menimbulkan getaran yang sama dengan molekul air. Sehingga, pada waktu

molekul air dalam tubuh pecah akan membentuk molekul tunggal lain yang

bisa meningkatkan cairan dalam tubuh. Yang kedua infrared efektif untuk

meningkatkan sirkulasi mikro.

Bergetarnya molekul air dalam tubuh serta pengaruh dari sinar

inframerah dapat menghasilkan panas yang memicu pembuluh kapiler

membesar, memperbaiki sirkulasi darah, meningkatkan temperatur kulit dan

efektif mengurani tekanan jantung. Yang ketiga dapat meningkatkan Ph

30
dalam tubuh. Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan area terapi

dengan jarak 45 - 60 cm. Evaluasi di lakukan sebelum dilakukan penyinaran

dan saat penyinaran, apakah ada panas yang terlalu tinggi atau terlalu

banyak keringat yang keluar. Dosis : Dosis waktu : 15 menit Pengulangan :

1x1 hari.

Adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang

dari cahaya tampak tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang radio.

Panjang gelombang 700 nm dan 1 mm.Pada kasus ini IR meningkatkan

sirkulasi mikro. Bergetarnya molekul air dan pengaruh inframerah akan

menghasilkan panas yang menyebabkan pembuluh kapiler membesar, dan

meningkatkan temperature kulit memperbaiki sirkulasi darah dan dapat

mengurangi nyeri yang dirasakan.

3. MWD

Microwave Diathermy dapat menerapkan energi elektromagnetik dalam

frekuensi gelombang mikro dan bertujuan untuk menghasilkan panas di

dalam jaringan tubuh, aplikasi panas pada microwave diathermy dapat

meningkatkan aliran darah, mempercepat metabolisme, dan laju difusi ion

yang melintasi membran seluler (Pearce, C. 2011).

Eek fisiologi pada pada microwave diathermy dapat mengurangi nyeri

dan perbaikan otot sejalan dengan problematik yang dialami pada pasien

dengan kondisi bell’s palsy dikarnakan efek panas yang ditimbulkan pada

microwave diathermy Hal ini sejalan dengan pendapat John Low (dalam

William E. Prentice, 2003) yang menyatakan bahwa efek thermal yang

dihasilkan oleh MWD dapat meningkatkan temperature jaringan otot

31
sehingga terjadi peningkatan sirkulasi dan metabolisme di dalam otot yang

akan mengangkut zat-zat iritan dan sisa metabolisme sehingga menurunkan

konduktivitas nosisensorik dan akhirnya nyeri dan spasme otot akan

menurun, efek panas yang dihasilkan oleh MWD akan meningkatkan

elastisitas dan ekstensibilitas serabut otot sehingga terjadi rileksasi yang

akhirnya mengurangi spasme otot dan nyeri .

Menurut penelitian A. Rabini , D. B. Piazzini , G. Tancredi 2012 dengan

judul ”Deep Heating Therapy Via Microwave Diathermy Relieves Pain And

Improves Physical Function In Patients With Knee Osteoarthritis: A

Double-Blind Randomized Clinical Trial” Menujukan bahwa dengan

penggunaan panas yang di timbulkan pada microwave diathermy dapat

mengurangi nyeri dan menurunkan spasme otot.

4. Massage

Massage diberikan pada wajah yang lesi. Sebelumnya tuangkan media

pelicin ditangan terapis. Usapkan pada wajah pasien dengan gerakan

stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah gerakannya

tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah gerakan dari dagu

kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga.

Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara

memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot

wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju ke

telinga Abidin, Z., & Haryanto, D. (2017)

Massage merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menggambarkan suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan pada

32
jaringan lunak tubuh dengan prosedur manual atau mekanik yang diberikan

dengan tujuan menghasilkan efek fisiologis dan terapeutik bagi tubuh

Abidin, Z., & Haryanto, D. (2017)

Tujuan memberikan penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya

superficial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu

memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah.

Alasan klinis teknik massage yang biasa digunakan pada kasus

Bell’s palsy antara lain Stroking, effleurage, finger kneading dan

tapotement. Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus

dengan menggunakan seluruh permukaan tangan yang bertujuan untuk

meratakan pelicin keseluruh wajah pasien. Effleurage adalah gerakan ringan

yang berirama, yaitu melakukan gerakan ataupun gosokan yang dilakukan

dengan menggunakan tiga jari tangan diberikan sesuai letak serabut otot-otot

wajah menuju ke telinga. Finger kneading adalah pijatan jari-jari tangan

yang dilakukan dengan cara melingkar dan disertai dengan tekanan pada

kulit dan jaringan-jaringan lunak subkutan. Pijatan ini diberikan pada

seluruh otot-otot wajah dengan arah gerakan menuju ke telinga.

Tapotement adalah manipulasi dengan memberikan tepukan- tepukan yang

berirama yang dapat diberikan secara manual ataupun dengan menggunakan

bantuan alat, pada kasus Bell’s palsy salah satu teknik tapotement yang

diberikan adalah slapping. Slapping merupakan sapuan dari ujung-ujung jari

yang dilakukan secara tepat dan berirama Abidin, Z., & Haryanto, D. (2017)

Efek-efek mekanis pemberian massage pada pasien Bell’s palsy

adanya tekanan yang diberikan secara melingkar pada kulit dan jaringan

33
subkutan dapat menimbulkan efek sebagai berikut: membantu meningkatkan

aliran darah dan dapat mencegah terjadinya perlengketan jaringan (Rahim,

2002). Sedangkan efek-efek fisiologis massage tersebut antara lain (1)

memperbaiki kualitas kulit, (2) mempercepat proses regenerasi sel, (3)

meningkatkan aktivitas sirkulasi darah limfa dan (4) mempengaruhi fungsi

sekretor eksternal dan internal dari kulit. Namun dari semua efek di atas,

efek fisiologis terpenting yang bisa kita dapatkan dari aplikasi massage

pada kondisi Bell’s palsy adalah bahwa massage secara perlahan atau

gentle akan mengaktifkan sirkulasi dan nutrisi dalam jaringan sehingga

mempertahankan fleksibilitas jaringan tersebut dan juga akan meningkatkan

elastisistas jaringan, selain itu pemberian massage dengan menggunakan

teknik slapping yang berirama cepat akan meningkatkan tonus otot

sehingga baik diberikan sebagai pre-liminary atau persiapan sebelum

melakukan terapi latihan (Rahim, 2002).

5. Exercises

Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa

Mirror Exercise. Pasien diminta untuk berdiri di depan cermin sambil

berusaha untuk menggerakkan otot wajah yang mengalami kelumpuhan.

Fisioterapis akan mengajarkan bentuk-bentuk latihan dan menentukan

frekuensi atau dosis latihan yang dibutuhkan pasien. Dengan penanganan

yang cepat, tepat, akurat dan hebat maka bell’s palsy dapat disembuhkan

Tahap Kedua yaitu Selama Pemulihan Ayu Akbarwati, N. (2013). :

- Teknik PNF digunakan untuk edukasi kembali pada otot-otot

yamg mengalami parese atau paralisis

34
- Peregangan cepat (quick stretch) dapat diterapkan untuk dapat

membesarkan alis mata dan gerakan sudut bibir.

- Para fisioterapis dapat memberikan gerakan pasif dan kemudian

meminta pasien untuk menahan, dan kemudian mencoba untuk

menggerakannya. goresan dengan es, menyikat, menekan atau

membelai cepat dapat diterapkan sepanjang otot-otot.misalnya

otot zygomaticus

6. PNF Wajah (Proprioceptive Neuromuscular Facilitation)

PNF adalah suatu pendekatan latihan terapi yang mengkombinasikan

secara fungsional pola gerakan diagonal dengan teknik fasilitasi

neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki

kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah secara luas

digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan

1950 oleh Kabat, Knott dan Voss (Keisner dkk, 2007).

Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan

ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular

dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk

pemulihan fungsi otot Dwiki, C. K. (2020). 

Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari

fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular cocok) hingga ke

fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan tinggi dapat

dilakukan melawan tahanan maksimal), Dwiki, C. K. (2020). 

Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan

petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon

35
motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok

otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan

reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF

rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk Universitas

Sumatera Utara mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan stabilitas

dinamik (Keisner dkk, 2007).

Gambar 5.1 PNF


Teknik Rehabilitasi Mohammed,S. 2007

7. Mirror Exercies

Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan dengan

menggunakan cermin yang akan memberikan efek “biofeedback”. Dalam

pelaksanaan mirror exercise ini, sebaiknya dilakukan ditempat yang tenang

dan tersendiri agar pasien bisa lebih berkonsentrasi terhadap latihan-latihan

gerakan pada wajah Pemberian mirror exercise dapat meningkatkan

kekuatan otot-otot wajah dan kemampuan fungsional otot-otot wajah,hal ini

disebabkan karena gerakan-gerakannya dapat dilakukan secara aktif maupun

pasif, serta pasien akan lebih mudah dalam mengontrol dan mengoreksi

36
gerakan-gerakan yang dilakukan. Sehingga dengan adanya gerakan volunter

tersebut maka dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan

fungsional otot-otot wajah (Raj, 2006).

37
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, A. 2018.Kegawat daruratan Neurologi.Bandung : FK UNPAD /


RS. Hasan Sadikin.

Hartwig M WL. Nyeri. In: Price S WL, editor. Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2015. p. 1063-101

Holland Julian, Bell’s Palsy. Department of Otolaryngology, Head and


Neck Surgery, Guy's and St. Thomas' Hospital, London, UK

Danette C Taylor, DO, MS, FACN Service Chief of Neurology, Henry


Ford West Bloomfield Hospital; Senior Staff Neurologist, Henry Ford Health
Systems; Clinical Assistant Professor, Department of Neurology and
Ophthalmology, Michigan State University College of Osteopathic Medicine, 2019.

Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;

2014 Taylor DC, Zachariah SB. Bell’s Palsy, ed. Benbadis SR. Medscape, 2018.

Kartadinata dan Tjandra R, 2011, Rehabilitasi Medik Bell’s palsy,


Siaran RRI, Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lowis H dan Gaharu MN, 2012. Bell’s palsy, Diagnosis dan Tata
Laksana di Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

Raj. G.S. 2006. Physioteraphy in Neuro-condition: Jaypee Brothers


Adam, O. M. (2019). Bell's Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 8(1), 137-
149.

Hartono, J., Kesoema, T. A., & Kartadinata, R. T. (2019). Rehabilitation


Program For Transverse Myelitis. Indonesian Journal Of Physical Medicine &
Rehabilitation, 8(01), 18-25.

Dwiki, C. K. (2020). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell’s Palsy


Dekstra Dengan Menggunakan Modalitas Electrical Stimulation, Infra Red Dan Mirror
Exercise Di Rumah Sakit Daerah Bagas Waras Kabupaten Klaten (Doctoral
Dissertation, Universitas Widya Dharma Klaten).

38
Khusena, H. (2015). Intervensi Infrared, Elektrikal Stimulasi Dan Mirror
Exercise Untuk Meningkatkan Kekuatan Otot Pada Penderita Bell’s Palsy (Doctoral
Dissertation, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta).

Dwiki, C. K. (2020). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell’s Palsy


Dekstra Dengan Menggunakan Modalitas Electrical Stimulation, Infra Red Dan Mirror
Exercise Di Rumah Sakit Daerah Bagas Waras Kabupaten Klaten (Doctoral
Dissertation, Universitas Widya Dharma Klaten).

Ayu Akbarwati, N. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Bells


Palsy Dextra Dengan Modalitas Infra Red, Electrical Stimulation Dan Mirror Exercise
Di Rst Dr. Soedjono Magelang (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Maulia, A. (2019). Pemberian Electrical Stimulation Dan Proprioceptive


Neuromuscular Facilitation (Pnf) Dengan Metode Kabat Exercise Untuk Penurunan
Disabilitas Wajah Pada Kasus Bell’s Palsy Dextra (Doctoral Dissertation, Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta).

Hargiani, F. X. (2019). Case Study Aplikasi Neuromuscular Taping Kasus


Bell’s Palsy Pada Pengalaman Praktek Fisioterapi Di Klinik Kineta Sidoarjo Tahun
2018. Jurnal Ilmiah Fisioterapi, 2(1), 10-14.

Abidin, Z., & Haryanto, D. (2017). Pengaruh Infra Red, Massage Dan Mirror
Exercise Pada Bell's Palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(2), 18-25.

39
40

Anda mungkin juga menyukai