Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN NEUROLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

BELL’S PALSY

Disusun Oleh:
Ain Najihah Binti Mohd Najib Alpuad C014172209
Asvika Anis Anwar C014181050
Andi Amalia Yasmin C014181051
Anastazia Adeela C014181052

Residen Pembimbing :
dr. Desy Sry Handayani

Supervisor Pembimbing :

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1.1 Pendahuluan
Bells's palsy adalah neuropati perifer akutpada wajah dan merupakan
penyebab paling umum dari lower motor neurondari facial palsy.1Gejala
klinispada penyakit ini adalah onset yang berlangsung cepat, unilateral,
kelemahan otot tipe neuron motorik disertaigejala nyeri postauricular,
dysgeusia,perubahan subjektif dalam sensasi wajah dan hyperacusis.Presentasi
klinis ini dapat dijelaskan olehanatomi saraf wajah manusia,khususnya saraf
campuran yang terdiri atasserabut motorik, sensorik dan
parasimpatik.Kecenderunganpadasaraf wajah untuk membentuk banyak
koneksidengan saraf kranial yang berdekatan.2
Bells’s palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis unilateral. Pengurangan lakrimasi danair liur
sekunder untuk efek parasimpatis mungkinjuga terjadi. Disabilitas maksimal yang
terjadi dalam48-72 jam pertama dan tingkat keparahan
kelumpuhanberkorelasidengan durasi disfungsi wajah, luasnyaarea wajah untuk
pemulihan dan penurunankualitashidup.
Meski sudah dipelajari secara luas, patogenesisBell's palsy yang pastimasih
kontroversial. Infeksi (herpes simpleks tipe-1), kompresi saraf dan autoimunitas
semuanya dapat berperan.3

Anatomi Saraf Fasialis


Saraf fasialis memiliki nukleus yang terletak di dalam medulla oblongata.
Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang melayani otot-otot mimik dan akar
sensorik khusus (nervus intermedius). Saraf ini muncul di permukaan anterior
antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya
berjalan bersama nervus vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus
internus pada pars petrosa dari tulang temporal.

Saraf terletak di antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea


dan vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju ventrolateral.
Saraf memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah
dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk
sudut di atas promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian

2
berjalan turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal
melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis
untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik.

Gambar 1.Tempat akar saraf fasialis keluar bersama saraf vestibulocochlearis (N.VIII) di angulus
pontocerebelaris (Netter, 2014)

Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:

a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada
ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan sekromotorik
pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum. Saraf ini juga
mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari mukosa palatum.

b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga tengah.


c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.
Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas membran
timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura petrotimpanikus dan
memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan nervus lingualis. Korda
timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik berupa serat sekremotorik
yang memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda
timpani juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.
d. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus
temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar dari
foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada muskulus
stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.

3
e. Lima cabang terminal untuk otot- otot mimik. Cabang-cabang itu adalah cabang
temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan cabang
cervical (Snell, 2012). Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah
meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang terminal di
batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di
wajah dan regio scalp. Cabang buccal untuk muskulus buccinator. Cabang
cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus depressor anguli oris.

Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis (N. VII) secara skematis (Netter, 2014)

Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimik wajah


(facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa dari
anterior lidah, dasar mulut dan palatum.

Otot-otot Mimik
Otot-otot mimik terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul
dari tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang pada wajah
yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan
bibir. Fungsi otot- otot mimik adalah untuk menutup (sphincter) dan membuka
(dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi kedua otot-otot mimik adalah membuat
ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai darah dari arteri fasialis. Otot
sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan otot
dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superioris dan muskulus
occipitofrontalis. Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp.
Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan dahi.

4
Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan
otot dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan
untuk mengerutkan hidung.
Otot sphincter dari mulut adalah muskulus orbicularis okuli. Serat-
seratnya mengelilingi lubang mulut dalam bagian dari bibir. Serat-seratnya
sebagian muncul dari garis tengah maxilla di atas dan mandibula di bawah. Serat
lain muncul dari bagian dalam kulit dan menyilang pada membran mukosa
membentuk garis dalam bibir. Banyak dari serat berasal muskulus buccinator.
Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak serat otot yang bergabung dan
fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini lalu diikuti pemisahan rahang
bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul dari tulang dan fascia di sekitar
mulut dan bersatu untuk membentuk bibir. Nama kelompok otot itu adalah
sebagai berikut:
 Muskulus levator labii superioris alaqua nasi
 Muskulus levator labii superioris
 Muskulus zygomaticus minor
 Muskulus zygomaticus major
 Muskulus levator anguli oris
 Muskulus risorius
 Muskulus depressor anguli oris
 Muskulus depressor labii inferioris
 Muskulus mentalis.
Muskulus buccinator berorigo di batas alveolar dari maxilla dan
mandibula pada gigi molar oposisinya dan juga dari ligamen pterygomandibula.
Otot berjalan ke depan dan membentuk lapisan otot-otot pipi. Otot dikaitkan
dengan kelenjar parotis. Otot buccinator menyilang pada serat utamanya di sudut
mulut. Otot buccinator berfungsi untuk kompresi pipi dan bibir untuk mencegah
pipi tergigit saat mengunyah.15

1.2 Etiologi
Ada beberapa gejala yang disebabkan autoimun, infeksi dan mekanisme
iskemik sebagai berkontributor untuk perkembangan Bell's palsy, tetapi Bell's

5
palsy klasik masih belum jelas. Salah satu penyebab yangmungkin adalah bahwa
adanya infeksi virus herpes simpleks (HSV-1) yang berpusat di sekitar ganglion
geniculatum, teori pertama diuraikan oleh McCormick.5 Hubungan dengan HSV-1
didukung oleh kehadiran HSV-1 di cairan endoneural nervus fasialis
intratemporalisyang terdapat selama dekompresi saraf, dan kemampuan untuk
menimbulkankelumpuhan pada wajah melalui infeksi primer dan reaktivasi yang
disebabkan oleh modulasi imun.6,7,8Selain itu, tidak didapatkan hubunganantara
hubungan kehadiran HSV-1 dalam cairan endoneural pasien dengan
perkembangan Bell's palsy. HSV-1 adalah salah satu dari beberapa virus herpes
manusia yang diketahui kapasitas neurotropik untuk saraf perifer, dan virus
lainnya dalam kategori ini termasuk virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dan
virus varicella zoster (VZV).5

1.3 Patofisiologi
Bell’s Palsy adalah terjadinya proses inflamasi akut pada nervus fasialis
pada tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s Palsy hampir
selalu terjadi secara unilateral. Namun lama-kelamaan dapat terjadi paralisis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.5
Patofisiologinya belum diketahui, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
memalui tulang temporal.Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Adanya inflamasi pada nervus,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah
wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer.5
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan nervus Fasialis tipe Lower Motor Neuron(LMN). Pada

6
lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli
perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar
ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum,
nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN.5
Virus herpes simpleks masuk ke dalam tubuh melalui paparan mukokutan
dan membentuk antigen laten dengan transkripsi gen yang sangat terbatas di
beberapa ganglia di seluruh neuroaxis selama kehidupan dari host, termasuk di
cranial, radiks dorsalis dan ganglia otonom.8Selama tahap laten ini, pada ganglia
dengan tidak terdapat proses replikasi virus yang aktif serta perakitan. HSV
memiliki distribusi global dan secara fundamental merupakan virus yang tangguh.
HSV dan VZV dapat mengaktifkan kembali baik dalam imunokompeten dari host
dan kehadiran antibodi dalam sirkulasi, meskipun reaktivasi lebih memungkinkan
dalam menentukan imunodefisiensi, terutama dalam kasus VZV. Kemungkinan
penyebab disfungsi saraf karena HSV-1 ialah adanya aktivasi degradasi intra-
aksonal dan jalur apoptosis didorong oleh respon langsung dan tidak langsung
dari akson ke virus itu sendiri dalam fenotipe yang rentan. Meski sebelumnya
tidak terkait secara khusus dengan patogenesis Bell's palsy, munculnya literatur
yang berkaitan dengan peran intra-aksonal molekul sinyal (misalnya, SARM-1),
permeabilitas mitokondria dan mekanisme molekuler yang mendasari degenerasi
Wallerian, menunjukkan bahwa degenerasi aksonal pada infeksi virus mungkin
berevolusi pada respon imun bawaan untuk mencegah pengangkutan virus ke
pusat sistem saraf.9,10

7
In vitro baru-baru ini telah menunjukkan bahwa transkripsi RNA
messenger lokal di akson saraf periferdipengaruhi oleh kehadiranpartikel virus α-
herpes. Dalam bagian ini,perubahan protein dan transduksi sinyal tidak
bergantung pada permesinan nuklir, yaitu ketika virus memasuki akson, akson
akan merespons secara lokal. Dimana pekerjaan sebelumnya memeriksa fisiologi
selulerdalam pengaturan infeksi herpes dan menunjukkan penurunan
konduktivitas natrium dalam pengaturan HSV-1.11
Kontribusi lain yang mungkin dalam patogenesis Bell's palsyyaitu
mengimplikasikan peran respon imun yang dimediasi sel terhadapmyelin, mirip
dengan bentuk mononeuropatik dari sindrom Guillain-Barré(GBS). Bukti untuk
ini berasal dari laboratorium secara tidak langsung dalam penemuan GBS, seperti
perubahan dalam darah periferpersentase limfosit T dan B, konsentrasi kemokin
tinggidan reaktivitas in vitro terhadap protein myelin (P1L) dalam darahsampel
diambil dari pasien dengan Bell's palsy.7

1.4. Gejala Klinis


Penderita Bell’s’ Palsy awalnya akan merasakan kelainan di mulut pada
saat bangun tidur, saat menggosok gigi atau berkumur, dan saat minum atau
berbicara. Lama-kelamaan, penderita akan memperhatikan mulut mulai tampak
mencong terlebih pada saat meringis, kelopak mata sulit untuk dipejamkan dan
saat penderita menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.
Penderita Bell’s Palsy tidak dapat bersiul atau meniup, apabil berkumur atau
minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Gejala yang timbul pada penderita Bell’s Palsy bisa dilihat sesuai letak lesi
sebagai berikut:
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus

- Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat


- Makanan berkumpul di antar pipi dan gusi,dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajahmenghilang
- Lipatan kulit dahi menghilang
- Apabila mata yang terkena tidak tertutupatau tidak dilindungi maka air
mataakankeluar terus menerus.

8
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
- Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stilomastoideus
ditambah dengan hilangnya ketajamanpengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dansalivasi di sisi yang terkena berkurang.
- Hilangnya daya pengecapan pada lidahmenunjukkan terlibatnya nervus
intermedius,sekaligus menunjukkan lesi di daerah antarapons dan titik di
mana korda timpanibergabung dengan nervus fasialis di kanalisfasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi(melibatkan muskulus stapedius)
- Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen dan lesi di kanalis
fasialis ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi(melibatkan ganglion genikulatum)
- Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stilomastoideus
dan lesi di kanalis fasialisyang melibatkan kanalis fasialis sampai
muskulus stapedius disertai dengan nyeri di belakang dan didalam liang
telinga. Kasus seperti ini dapatterjadi pasca herpes di membran timpanidan
konka. Ramsay Hunt adalah paralisisfasialis perifer yang berhubungan
denganherpes zoster di ganglion genikulatum. Lesiherpetik terlibat di
membran timpani, kanalisauditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
- Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi foramen stilomastoideus dan lesi
di kanalis fasialis yang melibatkan korda timpani sampai ganglion
genikulatum ditambah dengan tuli sebagi akibat dariterlibatnya nervus
akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis daripons.
- Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas,disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervustrigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga
nervus abdusens, nervusaksesorius, dan nervus hipoglosus

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome)merupakan gejala sisa


Bell’s palsy, beberapa bulanpasca awitan, dengan manifestasi klinik: air
matabercucuran dari mata yang terkena pada saatpenderita makan. Nervus fasilais
menginervasiglandula lakrimalis dan glandula salivatoriussubmandibularis.

9
Diperkirakan terjadi regenerasisaraf salivatorius tetapi dalam
perkembangannyaterjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

1.5 Diagnosis
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam
mendiagnosis. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin
telah disingkirkan.1

1.5.1 Anamnesis

- Anamnesis yang lengkap mencakup seperti berikut :

 Onset: Akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari ( kebiasannya saat bangun tidur )
 Durasi : Mencapai kelumpuhan klinis/ paralisis maksimal dalam 3 minggu
atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang
dijumpai dalam 6 bulan.
 Gejala : Adanya kelumpuhan otot ekspresi wajah pada satu sisi , dengan
atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau
sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal
 Perjalanan penyakit : progresif
 Bisa disertai nyeri atau tanpa nyeri

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan


kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi
oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada
satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif
dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode Freyss. Disamping
itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis
dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri1.

Sistim House-Brackmann digunakan untuk menentukan derajat kerusakan


saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah. Sistem House-
Brackmann terdiri dari 5 derajat. Derajat I normal, Derajat II-V merupakan
kelumpuhan parsial sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan komplit.

10
1. Derajat I : Normal
2. Derajat II : Disfungsi ringan ( wajah simetris pada keadaan istirahat, tonus
saat istirahat normal, dahi masih ada gerakan , mata dapat tertutup
sempurna dengan usaha maksimal pada satu sisi dan mulut terdapat
kelemahan ringan pada satu sisi)
3. Derajat III dan IV : Disfungsi sedang (wajah simetris pada keadaan
istirahat, tonus saat istirahat normal, dahi pada satu sisi masih ada gerakan
sedikit, mata dapat tertutup sempurna dengan usaha maksimal dan mulut
terdapat kelemahan ringan pada satu sisi).
4. Derajat V : Disfungsi berat (wajah tidak simetris pada keadaan istirahat,
tonus saat istirahat menurun , dahi pada satu sisi tidak ada gerakan , mata
tidak dapat tertutup sempurna pada satu sisi dan mulut terdapat
kelemahan berat pada satu sisi).
5. Derajat VI : Disfungsi total ( kelumpuhan komplit motorik wajah )
Pada metoda Freyss dinilai 4 komponen yaitu pemeriksaan fungsi motorik
dari sepuluh otot wajah, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme.1
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan)
selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik
dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan
dalam praktek klinis. Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada
kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang
stapedius dari saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari
beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada kasus Bell’s palsy dengan
refleks stapedius yang masih normal menandakan bahwa penyembuhan komplit
dapat terjadi dalam 6 minggu1.

1.5.2 Pemeriksaan Fisis

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaanfisik yang


lengkap untuk menyingkirkan kelainansepanjang perjalanan saraf dan
kemungkinan penyebab lain.

Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah :

11
1. Pemeriksaangerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan
menemukankelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena seperti tidak
bisa mengangkat alis dan sulcus nasoliabialis dangkal .Kemudian, pasien
diminta menutup mata dan mata pasienpada sisi yang terkena memutar ke
atas2..
2. Pada pemeriksaan telinga seperti pemeriksaan otoskopi bila terdapat
hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan
terdengar lebih jelas padasisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Bisa dilakukan pemeriksaan massa pada parotis dan pemeriksaan
audiologi untuk menentukan fungsi dari N.VII dan N.VIII.1
3. Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus
pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan
tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan kelopak
mata dalam melindungi kornea.

1.6 Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy merupakan suatu diagnosis klinis didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis . Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis kasus Bell’s palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab yang
lain.

Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan pada kasus ini kecuali bila
adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada Cerebellopontine Angle
(CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis media
kronik atau kolesteatom), ada riwayat trauma serta pada pasien yang belum
menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan.1

1.CT Scan :
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan
untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang,dan keterlibatan sistem saraf
pusat (SSP)1
2. MRI :
- Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma ditulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel.

12
Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf
fasialis1
- Gambar MRI pada kasus Bell’s palsy dapat berupa peningkatan gadolinium
saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum
yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap1
- Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri1
3. PCR:
- Untuk menentukan adanya virus ini, diisolasi DNA virus pada cairan
endoneural saraf fasialis selama fase akut.1
4. Biopsi otot
- Biopsi dilakukan pada otot sekitar daerah auricular bagian posterior yang
dipersarafi oleh saraf fasialis.1
5. Elektromyografi ( EMG)
- Dari Compound Muscle Action Potential ( CAMP ) didapatkan amplitude
menurun dan latency memanjang
- Pada Blink reflex didapatkan Gelombang R1 ipsilateral memanjang.

1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi


sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis
multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. Kelainan perifer yang ditemukan dapat
merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi
radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran
infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel
yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan
kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat
ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika
terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan

13
kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering)
apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila
ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan
tandatanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema
nodosa, dan kadang hiperkalsemia.13

1.8Komplikasi

Pasien dengan Bell's palsy kemungkinan tidak dapat menutup mata pada
sisi yang terkena, dimana akan mengakibatkan iritasi dan ulserasi kornea. Mata
harus diberikan lubrikasi dengan artificial tears sampai kelumpuhan wajah hilang.
Sekitar 5% pasien mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
1.Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis
2.Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau
sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal),
3.Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis
dapat menyebabkan sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan
volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata. dan juga crocodile tear
phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang
salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan. Dan clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu
timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada
satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi
bilateral tidak terjadi bersamaan)3,13

1.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada Bell’s palsy yaitu untuk mempercepat pemulihan
dan untuk mencegah terjadinya komplikasi kornea. Perawatan pada mata harus

14
dilakukan yaitu dengan memberikan tetes mata yang harus diberikan pada siang
hari dan salep mata harus digunakan pada malam hari. Strategi dari pengobatan
yaitu untuk mempercepat pemulihan termasuk kortikosteroid dan dengan
antiviral. Tujuan dari penggunaan kortikosteroid sebagai agen terapi pada Bell’s
palsy adalah untuk mengurangi peradangan dan edema pada saraf wajah yang
menyebabkan Bell’s palsy dan kortikosteroid merupakan antiinflamasi kuat yang
dapat meminimalkan kerusakan saraf. Dan untuk penggunaan obat antiviral yaitu
untuk mengobati peradangan yang terjadi yang mungkin disebabkan oleh virus.
Selain dengan kedua terapi tersebut, ada juga terapi fisik atau rehabilitasi yaitu
seperti olah raga, menggunakan laser, elektroterapi, pijat, dan termoterapi untuk
mempercepat pemulihan.3

Pemilihan terapi untuk Bell’s palsy itu bervariasi, tetapi belum ada
kesepakatan yang ditetapkan untuk pemilihan terapi yang terbaik. Namun,
kebanyakan dokter telah meresepkan kortikosteroid untuk pengobatan pertama
karena potensinya untuk mengurangi inflamasi yang terjadi. Sedangkan
penambahan obat antiviral bertujuan untuk menghilangkan infeksi yang
disebabkan oleh virus, dan beberapa sumber menyebutkan bahwa virus yang
menginfeksi tersebut yaitu virus herpes.pemberian antiviral yaitu Acyclovir untuk
usia > 2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral selama 10 hari. Untuk dewasa
diberikan dengan dosis oral 5 x 400 mg atau 2000 – 4000 mg per hari dibagi
dalam 5 kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan pemberian valasiklovir
(kadar dalam darah 3-5 kali lebih tiggi) untuk dewasa 1000-3000 mg per hari
secara oral dibagi 2-3 kali selama 5 hari. Acyclovir merupakan analog nukleosida
yang akan menghambat replikasi Herpes Simplex Virus (HSV) melalui
penghambatan polimerase DNA virus. Obat tersebut akan di absorbs secara
perlahan-lahan dari saluran pencernaan. Efek samping jarang ditemukan pada
pengguna preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa
mual, diare, dan sakit kepala. terapi dengan menggunakan antiviral, placebo, dan
prednisolon saja memberikan efek terapi yang ringan. Tetapi ketika terapi
dikombinasi yaitu dengan memberikan antiviral dengan prednisolone memberikan
efek terapi yang cukup signifikan terhadap peningkatan pemulihan penyakit.3

15
Pada pemberian steroid oral harus dimulai pada onset 72 jam pertama
awal serangan, dan regimen berdasarkan Scottish atau European Controlled Trials
(RCTs) harus digunakan. Dosis pemberian prednisolone 60 mg untuk 5 hari
pertama, lalu diturunkan 10 mg per hari selama 5 hari kedepan.12 atau dosis
prednisolone 1 mg per kg per hari peroral selama 6 hari diikuti empat hari
tapering off. Dan menurut penelitian tersebut menyebutkan bahwa pemberian
steroid sebagai pilihan terapi untuk Bell’s palsy dapat meningkatkan pemulihan
antara 49-97% dibandingan terapi tanpa steroid tingkat pemulihannya berkisar
antara 23-64%.4

Pada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek samping,


bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada penggunaan jangka panjang,
kemungkinan dapat menyebabkan tanda dan gejala cushing's syndrome (akibat
produksi berlebihan dari kortisol). Akibat kerja anti inflamasi, dapat
menyebabkan menurunnya resistensi terhadap infeksi, lambatnya penyembuhan
luka, memperburuk penyembuhan ulkus peptik. Akibat kerja glukokortikoid
terjadi glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta
katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis, atrofi kulit.
Akibat kerja mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan
(hipertensi, edema) dan kehilangan KCI dengan hipokalemia. Kontraindikasi bila
dijumpai tanda- tanda infeksi, kehamilan, ulkus peptikum, dan hipertensi berat.14

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.


Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears),
pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase
dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke
atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas
dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang
dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. Rehabilitasi fasial secara
komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti
memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi
edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program
pelatihan di rumah.13

16
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan
penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori
inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat
dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan
berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot
wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback
visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari. Berikutnya adalah kategori
kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, masih mampu 8 menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori
fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian
wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi. Kategori terakhir
adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah
yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu
meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per
hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,
pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,
dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung
Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan

17
pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara
berurutan pada pasien.13

Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi


dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau
hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukan penurunan amplitudo
lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen
labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal
craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani
digunakan pendekatan transmastoid.1

1.10Prognosis
Prognosis dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit.
Penderita Bell’s palsy 30% dapat sembuh total seperti sedia kala tanpa gejala atau
jika pengobatan tidak maksimal maka akan menyebabkan kelumpuhan pada wajah
yang parah dan nyeri yang berlangsung lama. Sebanyak 80% kesembuhan dapat
terjadi dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan.5

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah : 1) Usia


di atas 60 tahun 2) Paralisis komplit 3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran
saliva pada sisi yang lumpuh 4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
Berkurangnya air mata. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial
dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh
dibanding yang non DM. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.5

Pemeriksaan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan


dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua
menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan
pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann
Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari
suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s palsy.13

18
Daftar Pustaka

1. Jacky dkk , Diagnosis Dan Penatalaksanan Bell’s Palsy , Bagian Telinga


Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas/RSUP. Dr.M. Djamil Padang. Universitas Andalas. Sumatera Barat.
2013
2. Handoko L, Maula NG. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksanadi Pelayanan
Primer .J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012
3. Adel B, Kawthar S, Amine D, Souha B Y, Abdellatif B. Idiopathic facial
Paralysis (Bell’s palsy). International Journal of Dental Sciences and
Research. 2014: 2(5A): 1-4
4. Murthy J, Saxena AB. Bell's palsy: Treatment guidelines. Ann Indian Acad
Neurol. 2011: 14, Suppl S1:70-2
5. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang, Vol. 7 No. 15
Desember 2011
6. Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y. Bell palsy and herpes simplex virus:
identification of viral DNA in endoneurial fluid and muscle. Ann Inter Med
1996;124:27–30.
7. Sugita T, Murakami S, Yanagihara N. Facial nerve paralysis induced by
herpes simplex virus in mice: an animal model of acute and transient facial
paralysis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1995;104:574–81.
8. Esaki S, Yamano K, Katsumi S, et al. Facial nerve palsy after reactivation of
herpes simplex virus type 1 in diabetic mice. Laryngoscope 2014;125:E143-8.
doi: 10.1002/lary.24994. Epub 2014 Oct 31.
9. Conforti L, Gilley J, Coleman MP. Wallerian degeneration: an emerging axon
death pathway linking injury and disease. Nat Rev Neurosci 2014;15:394–
409.
10. Galluzzi L, Blomgren K, Kroemer G. Mitochondrial membrane
permeabilization in neuronal injury. Nat Rev Neurosci 2009;10:481–94.
11. Koyuncu OO, Perlman DH, Enquist LW. Efficient retrograde transport of
pseudorabies virus within neurons requires local protein synthesis in axons.
Cell Host Microbe 2013;13:54–66.
12. Eviston, Timothy J et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry: First Published as
10.1136/Jnnp-2014-309563 on 9 April 2015.
13. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern virgina: Medscape
2010.
14. Gomella, L.G., Haist, S.A., Adams, A.G., Smith, K.M. 2008. Clinician's
pocket drug reference 2008. The Mc Graw Hill Companies, Inc.
15. Snell RS. Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia, Lippincott
Williams &Wilkins; 2013.
16. Netter FH. Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia: Saunders;
2014.

19
17.

20

Anda mungkin juga menyukai