Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN INDIVIDU (PBL)

BLOK OROMAKSILOFASIAL 1

MODUL 2

PIPI BERWARNA BIRU, MIRING, SERTA MATI RASA

KELOMPOK 1

NURUL PRIMA ILMI

J011201074

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2022

I. Skenario
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke RSGMP dengan
keluhan gigi berlobang besar pada rahang bawah kiri. Pasien rencana akan
melakukan pencabutan gigi. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter
dan informed konsen maka diputuskan gigi tersebut akan dilakukan
pencabutan. Riwayat pasien alergi makanan +, alergi obat obatan belum
diketahui, riwayat pencabutan gigi belum pernah. Setelah dilakukan
anestesi gigi pasien mengeluhkan rasa tebal pada pipi sebelah kiri, miring
dan tidak simetris, tidak mampu digerakkan, dan beberapa jam kemudian
berwarna biru, pencabutan gigi ditunda. Pasien masih dalam keadaan sadar
tapi sedikit merasakan nyeri pada daerah tersebut.

II. Kata Kunci


1) Seorang Perempuan
2) Berusia 40 tahun
3) Keluhan gigi berlubang besar pada rahang bawah kiri
4) Alergi Makanan
5) Alergi obat-obatan yang belum diketahui
6) Riwayat pencabutan gigi belum pernah
7) Dilakukan anastesi gigi
8) Rasa tebal pada pipi sebelah kiri
9) Miring dan tidak simetris
10) Tidak mampu digerakkan, dan beberapa kemudian berwarna biru
11) Pencabutan gigi ditunda
12) Pasien masih dalam keadaan sadar
13) Sedikit merasakan nyeri

III. Pertanyaan Penting


1) Apa yang dimaksud dengan anestesi lokal?
2) Bagaimana teknik pemberian anestesi lokal?
3) Apa penyebab kegagalan anestesi lokal?
4) Apa saja komplikasi dari anestesi lokal?
5) Apa hal-hal yang harus diperhatikan oleh operator untuk
meminimalisir kesalahan pada saat anastesi lokal?
6) Sebutkan nervus cranialis dan nervus mana yang dapat
menyebabkan terjadinya pipi miring?
7) Bagaimana tanda dan gejala klinis dari kasus pada skenario?
8) Bagaimana pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis?
9) Apa diagnosis kasus pada skenario?
10) Apa diagnosis banding kasus pada skenario?
11) Bagaimana prognosis dari kasus pada skenario?

IV. Tujuan Pembelajaran


1) Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi nervus daerah wajah dan
fungsinya?
2) Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan klinis dan penunjang
untuk menegakkan diagnosis?
3) Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding
kasus pada skenario?
PEMBAHASAN

1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi nervus daerah wajah dan


fungsinya

Nervus facialis adalah nervus cranialis ketujuh yang keluar dari


batang otak diantara pons dan medulla oblonganta. Nervus ini berperan
dalam hal mengontrol otot-otot mimik di wajah, membawa rasa kecap
pada 2/3 anterior dari lidah dan cavum oris, dan memberi serat-serat saraf
parasimpatis sekretomotor untuk kelenjar ludah, lakrimal, nasal dan
kelenjar palatina. Gangguan klinis pada nervus facialis bisa terjadi pada
upper motor neuron dan lower motor neuron. Lesi pada nervus facialis
sering dikenal dengan isitilah facial palsy.1
Nervus facialis adalah saraf campuran dan terdiri dari dua bagian:
saraf VII yang tepat (fungsi motorik sedikit) dan saraf perantara (dengan
serabut motorik sensorik dan parasimpatis). Inti motorik terletak di bagian
bawah pons dan serabut motorik keluar dari bagian lateral sulkus
pontomedulla. Secara berturut-turut, saraf melintasi pontocerebellar cistern
dan memasuki tulang temporal melalui internal acoustic meatus. Di tulang
petrous, ia melewati saluran facial, memberikan tiga segmen (labirin,
timpani, dan mastoid). Nerve keluar dari dasar tengkorak di foramen
stylomastoid dan mencapai glandula parotis. Dari bagian mastoid, saraf
dari m. stapedius dan corda tympani muncul. Serabut sensorik aferen yang
berasal dari reseptor 2/3 anterior lidah tiba di ganglion genikulata, melalui
chorda tympani. Mereka berjalan dengan saraf perantara di meatus akustik
internal dan tangki cerebellopontine untuk berakhir di inti traktus
solitarius. Serabut saraf parasimpatis perantara muncul dari nukleus saliva
superior. Pada ganglion geniculate, saraf petrosal besar menyediakan serat
parasimpatis untuk kelenjar lakrimale dan mukosa mulut, hidung, dan
faring.2
Jalur dari nervus facialis dibagi menjadi 6 segmen (Kahle &
Frotscher, 2003):1
1) Segmen intracranialis (cisternal). Bagian motorik dari nervus
facialis berasal dari nucleus nervus facialis yang terletak di pons,
sedangkan bagian sensoris dan parasimpatis berasal dari nervus
intermediatus.
2) Segmen meatus (dari batang otak menuju ke meatus acouticus
internus). Dari batang otak, bagian motorik dan sensoris dari
nervus facialis bergabung dan berjalan di fossa cranialis posterior
sebelum memasuki pars petrosus os temporalis melalui meatus
acousticus internus. Saat keluar dari meatus acousticus internus,
saraf ini berjalan berkelok-kelok melalui canalis facialis, yang
nantinya bercabang menjadi segmen labirin, tympani, dan mastoid.
3) Segmen labirin (dari meatus acouticus internus menuju ke ganglion
geniculatum). Segmen ini pendek, yang mana nervus facialis
berakhir menjadi geniculum yang berisi ganglion geniculatum
untuk sensoris. Cabang pertama dari nervus facialis yaitu nervus
petrosus superficialis major berasal dari ganglion ini. Nervus
petrosus superficialis major berjalan melalui canalis pterygoideus
dan bersinaps pada gangliom pterygopalatinus. Serat saraf post
sinapsis nya melayani kelenjar lacrimalis.
4) Segmen tympani (dari ganglion geniculatum menuju ke eminensia
pyramidalis). Pada segmen ini nervus facialis berjalan di cavum
tympani, medial dari incus.
5) Segmen mastoid (dari eminensia pyramidalis menuju ke foramen
stylomastoideus). Pada pars temporal dari canalis facialis, nervus
ini memberikan cabang untuk stapedius dan chorda tympani.
Chorda tympanimemberikan innervasinya pada lidah 2/3
anteriornya dan mengadakan sinapsis dengan ganglion
submandibularis. Serat-serat saraf postsinapsisnya melayani
kelenjar sublingualis dan submandibularis.
6) Segemen ekstratemporalis (dari foramen stylomastoideus menuju
ke post rami parotis). Saat keluar dari foramen stylomastoideus,
nervus facialis bercabang menjadi rami auricularis anterior. Saraf
ini kemudian melewati kelenjar parotis, tetapi tidak memberikan
innervasinya pada kelenjar ini. Saat melewati kelenjar ini, nervus
facialis membentuk plexus parotidis, yang bercabang menjadi lima
dan menginnervasi otot-otot mimik wajah (temporalis,
zygomaticus, buccalis, mandibularis marginalis, dan cervicalis).

Adapun fungsi dari nervus fasialis yaitu:1


● Ekspresi Wajah
Fungsi utama dari nervus facialis adalah mengontrol otot-
otot mimik di wajah. Selain itu juga memberikan innervasi untuk
bagian posterior dari musculus digastricus, stylohyoideus, dan
musculus stapedius. Semua otot ini adalah otot lurik yang berasal
dari branchiomeric hasil dari perkebangan arcus pharyngealis.
Otot-otot wajah terletak di jaringan subkutan anterior dan
posterior dari scalp, wajah, dan leher. Kebanyakan dari otot ini
melekat pada tulang atau fascia dan efek dari kontraksinya adalah
berupa tertariknya kulit. Otot-otot ini menggerakan kulit dan
merubah ekspresi wajah. Otot-otot mimik juga mengelilingi mulut,
mata dan hidung dan berperan sebagai spingter dan dilator untuk
menutup dan membuka orifisium.
Orbicularis oris berperan sebagai spingter di mulut.
Buccinator berperan dalam hal tersenyum dan membantu pipi tetap
kencang. Orbicularis oculi mentutup kelopak mata dan membantu
aliran air mata.
● Sensasi di Wajah
Nervus facialis melayani rasa kecap pada 2/3 bagian
anterior dari lidah melalui chorda tympani. Rasa kecap ini
kemudian dikirim ke pars superior dari nucleus solitarius. Rasa
umum dari 2/3 anterior dari lidah dilayani oleh serat-serat aferen
dari nervus V3. Rasa umum dan rasa kecap ini serat-seratnya
keduanya dibawa oleh nervus lingualis sebelum chorda tympani
meninggalkan nervus lingualis untuk memasuki cavum tympani
melalui fissura petrotympanicum.
Nervus facialis kemudian membentuk ganglion
geniculatum, yang mengandung badan sel untuk serat-serat rasa
kecap dari chorda tympani, rasa lain dan jalur sensoris. Dari
ganglion geniculatum serat-serat untuk rasa kecap berlanjut sebagai
nervus intermediatus yang berjalan ke kuadran anterior superior
dari fundus meatus acousticus internus bersama radix motoris dari
nervus facialis.
Nervus intermediatus mencapai fossa cranialis posterior
lewat meatus acousticus internus sebelum mengadakan sinapsis
dengan nusleus solitarius. Nervus facialis juga melayani innervasi
afferen oropharynx di bawah tonsila palatina. Begitu juga sedikit
untuk kulit di sekitar auricula yang dibawa oleh nervus
intermedius.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan klinis dan penunjang


untuk menegakkan diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis3
● Pemeriksaan Ekstraoral
Bertujuan untuk mengetahui keadaan umum pasien,
pembengkakan pada wajah dan leher, pola rangka, kompetensi
bibir, masalah temporomandibular joint (TMJ). Dan palpate daerah
Simpnode servikal, TMJ, serta Otot pengunyahan.
● Pemeriksaan Intraoral
Ini meyakinkan pasien untuk melihat pada awalnya keluhan
yang muncul. Adapun yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan
intraoral diantaranya : kondisi jaringan lunak, hati-hati untuk
memasukkan sulkus lingual, dasar mulut, daerah retromolar dan
catat penampilan abnormal, pembengkakan, sinus; gigi ada, hilang,
tidak erupsi; keadaan umum gigi; status kebersihan mulut;
keberadaan dan tempat restorasi dan lesi karies; keberadaan dan
usia gigi palsu; kehilangan permukaan gigi non-karies, faset
keausan dan ‘high spots’; kondisi periodontal; jalur penutupan
rahang bawah, kontak prematur, gigi yang over erupsi, hubungan
intercuspal, overbite, overjet; hubungan fungsi gigi - kontak pada
gerakan lateral dan protrusif mandibula.

2. Pemeriksaan Penunjang4
Sejumlah tes diagnostik telah digunakan untuk
mengevaluasi pasien dengan paralysis / kelumpuhan wajah akut
untuk mengidentifikasi penyebab atau membantu dalam
memprediksi hasil jangka panjang.
Diagnosis paralisis nervus fasialis perifer dapat ditegakkan
dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab paralisis fasialis.
Guna menghindari efek kerusakan saraf yang ireversible, semakin
dini penegakkan diagnosis dan mulai terapi akan semakin baik
prognosisnya. Kerusakan dapat bersifat dinamis, proses patologis
pada paralisis nervus fasialis perifer membuat kelumpuhan otot
terjadi saat dua hari awal onset gejala. Pemberian kortikosteroid
selambat-lambatnya 72 jam setelah onset akan mempengaruhi
prognosisnya.5
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan
tidak berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan
lainnya yang menyebabkan paralisis. MRI juga dapat menunjukkan
adanya pembengkakan saraf facialis akibat schwannoma,
hemangioma, atau meningioma.6

3. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding kasus


pada skenario
1) Diagnosis
Sesuai kasus pada skenario dapat disimpulkan bahwa
diagnosis dari penyakit yang diderita oleh pasien yaitu hematoma
dan nervus paralisis fasialis. Hematoma sendiri mempunyai
pengertian kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh darah.
Kondisi ini dapat terjadi saat dinding pembuluh darah arteri, vena,
atau kapiler mengalami kerusakan sehingga menyebabkan darah
bocor ke jaringan tubuh lainnya dan darah akan keluar menuju
jaringan yang bukan tempatnya. Kumpulan darah ini bisa terjadi
pada bagian tubuh mana pun, dari yang berukuran kecil hingga
besar. Orang awam mengenal kondisi ini sebagai lebam, memar,
atau biru pada kulit. hematoma digunakan untuk menggambarkan
kondisi yang lebih serius saat penumpukan darah meliputi area
yang lebih besar, sedangkan lebam, memar, atau biru pada kulit
cenderung mengarah pada kondisi yang lebih ringan. Apabila anda
memiliki tekanan darah tinggi pada salah satu arteri, darah akan
terus bisa bocor melalui dinding yang rusak sehingga penumpukan
darah yang terjadi akan semakin membesar. Hematoma pada
penyakit tertentu seperti hemofilia dapat menyebabkan kematian.
Dimana yang dimaksud dengan hemofilia adalah penyakit
perdarahan akibat gangguan koagulasi yang diturunkan.7
Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat mengiritasi
jaringan sekitar dan menyebabkan gejala peradangan termasuk
nyeri, pembengkakan, dan kemerahan. Gejala yang muncul akan
bergantung pada lokasi, ukuran, dan apakah hematoma
menyebabkan pembengkakan atau edema. Hematoma biasanya
ditandai dengan pembengkakan pada area tubuh, perubahan warna
kulit (menjadi biru keunguan), kulit terasa hangat dan nyeri.
Hematoma subkutan, terjadi akibat cedera/trauma pada pembuluh
darah di bawah kulit dimana pembuluh darah sering mengalami
trauma ringan sampai berat.7
Hematoma mirip dengan hemorrhagia. Hemorragia
mengacu pada perdarahan yang sedang berlangsung. Sementara
itu, darah dalam kondisi hematoma biasanya sudah menggumpal.
Hematoma dapat menyebabkan iritasi dan peradangan, darah yang
keluar dari pembuluh darah dapat menyebabkan rasa nyeri pada
jaringan sekitarnya. Dinding pembuluh darah manusia dapat
memperbaiki diri jika mengalami luka. Ketika mengalami luka,
tubuh akan melakukan perbaikan dengan cara membentuk bekuan
darah dan jaringan fibrin. Namun, apabila pembuluh darah
mengalami tekanan yang kuat dan kerusakan dinding pembuluh
darah yang luas, darah akan selalu bocor lewat pembuluh yang
rusak. Hal tersebut dapat membuat hematoma semakin besar.
Tergantung pada lokasi, dan apakah ukuran serta pembengkakan
dan inflamasi yang terkait memengaruhi struktur sekitar, gejala
yang muncul bisa saja bervariasi. Gejala-gejala umum dari
inflamasi akibat hematoma meliputi:7
 Kemerahan
 Sensitivitas
 Rasa hangat
 Nyeri
Nervus paralisis fasialis merupakan saraf kranial terpanjang
yang berjalan di dalam tulang temporal, sehingga sebagian besar
kelainan saraf fasialis terletak di dalam tulang temporal. Dalam
perjalannnya di dalam tulang temporal, saraf fasialis dibagi dalam
3 segmen, yaitu segmen labirin, segmen timpani, dan segmen
mastoid. Segmen labirin merupakan bagian terpendek (2-4 mm)
terletak di antara akhir kanal akustikus internus dan ganglion
genikulatum. Segmen timpani (panjang kira-kira 12 mm) terletak
di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah
posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong
dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar kanalis
semisirkularis horizontal. Segmen mastoid merupakan segmen
terpanjang (1,5- 2 cm) berjalan mulai dari dinding medial dan
superior kavum timpani, selanjutnya berjalan ke arah kaudal
menuju foramen stilomastoid. Setelah keluar dari dalam tulang
mastoid, saraf fasialis menuju kelenjar parotis dan membagi diri
untuk mensarafi otot-otot wajah.8
Paralisis saraf fasialis merupakan salah satu komplikasi dari
fraktur tulang temporal disamping adanya gangguan pendengaran,
kebocoran cairan serebrospinal, stenosis kanalis akustikus
eksternus, terbentuknya kolesteatom dan cedera vaskuler. Paralisis
saraf fasialis merupakan suatu kasus yang relatif sering terjadi,
diperkirakan terjadi 70 kasus per 100.000 populasi setiap tahun.
Trauma akibat kecelakaan dan operasi merupakan penyebab kedua
terbanyak paralisis saraf fasialis pada orang dewasa setelah Bell’s
Palsy.8
2) Diagnosis Banding
Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat
proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan
akibat edema di bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.6
Salah satu teori menjelaskan bahwa Bell’s palsy adalah
penyakit demyelinasi akut, yang mungkin mempunyai mekanisme
patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome. Diduga bahwa
keduanya adalah inflamasi neuritis demyelinasi yaitu Bell’s palsy
dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis dari Guillain-
Barre.6
Patogenesis Bell’s palsy diduga berasal dari edema
kompresi epineural retrograde ditandai ischemia saraf facialis.
Walaupun etiologinya masih belum jelas, teori yang menarik
berasal dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang
cabang saraf facialis mungkin juga melibatkan chorda tympani.
Distensi vaskular retrograde dan edema, di dalam epineurium dari
kanalis facialis dan menekan saraf dari luar selubung perineurium.
Gaya tekanan ringan atau berat, menyebabkan variasi derajat
degenerasi ischemia reversible atau irreversible selubung myelin
dan axon, dengan derajat bervariasi dari reaksi seluler terhadap
kerusakan myelin. Edema yang terjadi dapat menyebabkan
kerusakan saraf reversible atau irreversible, atau mungkin
menstimulasi pembentukan kolagen di dalam epineurium serta
terjadi fibrosis. Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan
metabolik melalui jaringan epineurial-endoneurial, dan mungkin
menyebabkan obliterasi drainase vaskular.6
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy,
tetapi ada empat teori yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:6
● Teori iskemik vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak
langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di
kanalis fasialis.
● Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung
jawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi
karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
● Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis
yang sempit pada keturunan dikeluarga tersebut, sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadi paresis fasialis.
● Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi
imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya
atau sebelum pemberian imunisasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardana ING. Aspek Anatomi Klinis Nervus Facialis. Universitas


Udayana Denpasar. 2017.p.1-2,6-7
2. Romano N, Federici M, Castaldi A. Imaging of cranial nerves: a pictorial
overview. Insights Imaging. 2019;10(33):3-10
3. Scully C. Churcill’s Pocketbooks Clinicall Dentistry. 4th Ed. London :
Elsevier. 2016.p.167,171-2
4. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, et al. Clinical Pratice Guideline : Bells’
Palsy. Otolaryngology-Head and Neck Sur J. 2013 ; 149
5. Dewi PR, Kusumastuti D, Putra W. Laporan kasus : Perubahan Hasil
Pemeriksaan Elektromigrafi Pada Paralisis Nervus Fasialis Perifer.
Callosum Neurology Journal. 2018 ; 1(2) : 61-2
6. Adam OM. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.
2019 ; 8(1) : 138-9
7. D Anggraheni. Analisis Risiko Hematom Pada Pengambilan Darah.
2021.p.3-4
8. Munilson J, Edward Y, Rusdi D. Terapi Medikamentosa pada Paralisis
Saraf Fasialis Akibat Fraktur Tulang Temporal. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015 ; 4(1) : 293

Anda mungkin juga menyukai