Anda di halaman 1dari 33

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A221068


**Pembimbing dr. Attiya Rahma, Sp.S, M.Si, Med

PARESIS NERVUS VII PERIFER

Khairi Wilda Prihati*

dr. Attiya Rahma, Sp.S, M.Si, Med**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU SARAF

RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

PARESIS NERVUS VII PERIFER

Disusun Oleh :

Khairi Wilda Prihati

G1A221068

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Saraf RSUD Raden Mattaher Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima


Jambi, Agustus 2022

Pembimbing

dr. Attiya Rahma, Sp.S, M.Si, Med


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session yang berjudul “Paresis Nervus VII Perifer” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. dr. Attiya Rahma, Sp.S,


M.Si, Med yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Agustus 2022

Khairi Wilda Prihati


BAB I
PENDAHULUAN

Kelumpuhan (parese) saraf fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi


otot-otot wajah. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi sentral dan perifer. Hal ini
berhubungan dengan lokasi lesi jaras saraf fasialis dan dapat dibedakan dengan
melihat gejala kelumpuhan yang timbul.

Saraf fasialis merupakan saraf yang kompleks dan memiliki keunikan


dalam hal fungsi maupun anatomi, sehingga sering terlibat pada patologi kepala-
leher. Secara anatomi, saraf fasialis terbagi atas 3 segmen yaitu intrakranial,
intratemporal dan ekstratemporal. Parese saraf fasialis yang akut dapat disebabkan
oleh proses inflamasi, infeksi, iatrogenik, traumatik dan idiopatik. Parese saraf
fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang terjadi bila
nukleus atau serabut distal saraf fasialis terganggu, yang menyebabkan kelemahan
otot-otot wajah.

Kelumpuhan saraf fasialis perifer merupakan kelemahan jenis motor


neuron yang terjadi bila nucleus atau serabut distal saraf fasialis terganggu, yang
menyebabkan kelemahan otot wajah. Kelumpuhan saraf fasialis biasanya
mengarah pada suatu lesi saraf fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi
nucleus fasialis ipsilateral pada pons.

Kelumpuhan saraf fasialis memberikan dampak yang besar bagi kehidupan


seseorang dimana pasien tidak dapat atau kurang dapat menggerakkan otot wajah
sehingga tampak wajah pasien tidak simetris. Dalam menggerakkan otot ketika
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi akan tampak sekali wajah pasien
tidak simetris. Hal ini menimbulkan suatu deformitas kosmetik dan fungsional
yang berat.

Kelumpuhan saraf fasialis merupakan suatu gejala penyakit, sehingga


harus dicari penyebab dan ditentukan derajat kelumpuhannya dengan pemeriksaan
tertentu guna menetukan terapi dan prognosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Nervus Fasialis


Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu :1,2

a. Saraf fasialis propius, yaitu saraf fasialis yang murni untuk mempersarafi otot-
otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.

b. Saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih
tipis yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.

- Aferen otonom, mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan lidah.
Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke
korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus
traktus solitarius.

- Aferen otonom (parasimpatik eferen), datang dari nukleus salivatorius superior.


Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini, berpisah dari
saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan
bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok
akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai korda timpani serta saraf
lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula
sublingualis dan submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.

- Aferen somatik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang tindih) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran timpani.1,2

Inti motorik saraf VII terletak di pons.Serabutnya mengitari saraf VI, dan
keluar di bagian lateral pons. Saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons di
antara saraf VII dan saraf VIII. Ketiga saraf ini bersama-sama memasuki meatus
akustikus internus. Di dalam meatus ini, saraf fasialis dan intermediet berpisah dari
saraf VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat
ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis, saraf fasialis meninggalkan
kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar di
atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula
parotis.1,2

Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu: 2,4,5


1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.levator
palpebrae (N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivarius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan
lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh n.trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.

Nukleus motorik terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pontin


bawah dekat medula oblongata. Sewaktu di tegmentum pons, akson pertama
motorik berjalan dari arah sudut pontoserebelar dan muncul di depan nervus
vestibularis. Saraf intermediate muncul di antara saraf fasialis motorik dengan
vestibulokoklearis.
Nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis
berjalan bersama ke lateral ke meatus akustikus internus. Di dalam meatus
akustikus internus, nervus fasialis dan intermediate berpisah dengan nervus
vestibulokoklearis.
Nervus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke
ganglion geniculatum. Pada ujung kanalis tersebut, nervus fasialis keluar
kranium melalui foramen stilomastoideus.
Dari foramen tersebut, serat motorik menyebar ke wajah, beberapa
melewati glandula parotis. Nukleus motorik merupakan bagian dari arkus refleks
yakni refleks kornea dan refleks berkedip. Refleks kornea berasal dari membran
mukosa mata (aferen) dibawa melalui nervus V1 oftalmikus menuju ke nukleus
sensorik trigeminus utama. Di nukleus tersebut rangsang ditransmisikan ke
neuron yang berhubungan dengan nervus fasialis pada sisi yang sama. Bagian
eferen dari refleks tersebut berasal dari neuron eferen nervus fasialis.
Refleks berkedip berasal dari mata (aferen) mengantarkan impuls
optiknya ke nukleus di tektobulbaris menyebabkan refleks berkedip jika cahaya
terang. Selain kedua refleks tersebut, impuls akustik yang berasal dari nervus
vestibulokoklearis mencapai nukleus dorsalis dan menghasilkan arkus refleks
berupa tegangan otot stapedius atau relaksasi.
Persarafan supranuklear dari nervus fasialis terletak pada kedua hemisfer
serebri untuk otot dahi, sedangkan otot wajah sisanya mendapat persarafan dari
girus presentralis kontralateral.

Gambar 1. Jaras Motorik Nervus Fasialis


Gambar 2. Nervus Fasialis

Gambar 3. Cabang-cabang dari Nervus Fasialis


Nervus Intermediate2,4,5

Serat aferen gustatorius. Serat aferen pada gustatorik berasal dari


ganglion geniculatum yang berupa sel pseudounipolar dari ganglion spinalis,
sebagian lagi berasal dari papil lidah dua pertiga anterior. Serat aferen tersebut
berjalan bersama dengan nervus lingualis ( cabang nervus mandibulari V3)
menuju ke korda timpani kemudian ke ganglion geniculatum menjadi nervus
intermedius dan menuju ke nukleus solitarius. Nukleus tersebut menerima
impuls dari nervus glosofaringeal (sepertiga posterior lidah) dan nervus vagus
(dari epiglotis). Karena yang berperan dalam sistem pengecapan terdiri dari 3
saraf yang berbeda maka kehilangan pengecapan total (ageusia) jarang terjadi. Dari
nukleus tersebut impuls dikirim ke talamus kontralateral (nukleus
ventroposteromedial) menuju ke regio presentralis korteks area 43 dan insula area
52.
Serat somatik aferen. Serat somatik aferen berasal dari pinna, meatus
akustikus eksternus, dan gendang timpani. Serat berjalan menuju ganglion
geniculatum menuju nukleus sensorik nervus trigeminus.
Serat eferen sekretorik. Nervus intermedius terdiri dari serat
parasimpatis yang berasal dari nukleus salivatorius superior. Seratnya
meninggalkan nukleus menuju ganglion geniculatum lanjut ke ganglion
pterigopalatina dan menuju glandula lakrimal serta mukosa nasal. Sebagian
lagi menuju ganglion submandibula, lewat nervus lingualis. Ganglion
submandibula bertanggung jawab untuk sekresi glandula submandibularis dan
sublingualis berupa saliva. Aferen dari sistem ini berasal dari sistem nervus
olfaktorius. Glandula lakrimal menerima input dari hipotalamus (emosi). Hal ini
mengakibatkan jika mencium bau yang enak akan terjadi sekresi saliva. Dan jika
emosi meningkat atau sedih maka akan terjadi lakrimasi.2,4,5

2. Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis perifer adalah kelumpuhan otot-otot wajah
yang ditandai dengan tidak dapat atau kurang dapat digerakannya otot wajah sehingga
wajah tampak tidak simetris. Nervus facialis merupakan saraf kranial terpanjang
yang berjalan di dalam tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis
terletak di dalam tulang temporal.1

Gejala pada lesi perifer nervus fasial terdapat pada sisi yang sama dengan
lesi. Mungkin didapati hilangnya gerakan otot dahi sebagian atau total;
ketidakmampuan untuk menutup mata (fenomen bell berupa gerakan bola mata ke
atas dan ke luar ketika penderita berusaha menutup matanya; paralisis parsial yang
tampak sebagai pelebaran fisura palpebra); ketidakmampuan menggerakan sudut
mata, mengerutkan bibir, atau mengembangkan cuping hidung; wajah tampak jatuh
atau kaku dan kerut-kerut dikulit menghilang, sensasi pengecap pada 2/3 anterior
lidah menghilang, lakrimasi berkurang.6

3. Epidemiologi
Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari 3907 kasus
(3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan Merit
menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan saraf
fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bell’s Palsy) sekitar 20-30 kasus per
100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan
paralysis nervus fasialis unilateral.7
Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada
usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden
terendah adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70
tahun. Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri sama. Kausa tumor
merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf
fasialis.7

4. Etiologi
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kelumpuhan dari nervus
fasialis, diantaranya:4
a. Sejak Lahir (Kongenital)
Kelumpuhan ini biasanya bersifat ireversibel dan terdapat adanya
kelainan pada telinga yaitu pada tulang pendengaran.
b. Infeksi
Kelumpuhan dari nervus fasialis perifer juga dapat terjadi akibat proses
infeksi pada intrakranial (Sindroma Ramsey-Hunt dan herpes otikus) ataupun
infeksi dari telinga tengah (otitis media supuratif kronis yang merusak kanal
Fallopi).
c. Tumor
Tumor yang menyebabkan kelumpuhan dari nervus fasialis perifer
dapat berupa tumor intrakranial (tumor serebelopontin, neuroma akustik, dan
neuriloma) maupun tumor ekstrakranial (tumor telinga dan tumor parotis).
d. Trauma
Kelumpuhan nervus fasialis perifer dapat terjadi akibat trauma kepala
sehingga terjadi fraktur pars petrosa os temporal.
e. Gangguan Pembuluh Darah
Trombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan arteri serebri media juga
dapat menjadi penyebab kelumpuhan dari nervus fasialis perifer.
f. Idiopatik (Bell’s Palsy)

- Etiopatogenesis Trauma
Saraf wajah dapat mengalami lesi traumatis sesuai dengan segmen
anatomisnya. Mulai dari sentral hingga cabang perifernya. Lesi traumatis saraf
wajah paling sering ditemukan pada fraktur tulang temporal akibat trauma
kraniocerebral. Pada trauma kepala , fraktur tulang temporal terjadi pada 18%
sampai dengan 40% kasus. Pada sebagian besar kasus, fraktur bersifat unilateral,
namun pada 9% -20% kasus, terjadi fraktur tulang temporal bilateral.6
Ganglion genikulatum saraf fasialis merupakan tempat tersering terkena
trauma. Walaupun fraktur transversal hanya terjadi 10-20% dari fraktur tulang
temporal, tapi jenis fraktur ini paling banyak menyebabkan parese saraf fasialis.
Tulang temporal terdiri dari bagian tulang skuama, mastoid, petrous dan timpani.
Bersama-sama tulang oksipital, parietal, sfenoid, dan zigomatikum akan
membentuk dinding lateral dan dasar tulang tengkorak atau bagian tengah dan
posterior dari fossa kranialis. Tulang mastoid disusun dari bagian protrusion
inferior tulang skuama dan tulang petrous. Trauma tulang temporal ini sangat
rawan terjadi kerusakan organ-organ intratemporal. Tulang temporal menutupi
organ-organ penting seperti saraf fasialis, saraf vestibulokoklearis, koklea dan
labirin, tulang-tulang pendengaran, membran timpani, kanalis akustikus eksternus,
temporomandibular joint, vena jugularis serta arteri karotis. Struktur intrakranial
seperti lobus temporalis, meningen, saraf abdusens dan batang otak juga dapat
mengalami kerusakan akibat trauma tulang temporal, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya fistula liquor cerebro spinal, meningitis dan herniasi
batang otak.6
- Etiopatogenesis Idiopatik
Paralisis Bell adalah penyakit paralisis perifer nervus fasial unilateral tanpa
diketahui sebabnya (idiopatik). Teori penyebab paling sering dikemukakan adalah
vasospasme perifer pembuluh darah yang mendarahi nervus fasialis, atau
mononeuritis virus. Hal ini menimbulkan terjadinya edema saraf, secara sekunder
menganggu aliran kapiler dan limfe ke saraf, sehingga terjadi gangguan fungsi yang
parsial atau total.6
Jaringan fibrosa sekitar saraf pada tempat keluarnya dari foramen
stilomastoid merupakan titik konstriksi pada paralisis bell. Edema saraf dan
jaringan fibrosa akan menganggu aliran vena dan drainase limfe, yang kemudian
akan memperberat edema, sehingga membentuk seperti lingkaran setan.6
- Etiopatogenesis Infeksi
Infeksi yang terletak pada saraf wajah, ganglion geniculate, atau infeksi pada
daerah proximal dapat menyebabkan kelumpuhan nervus facialis perifer.6
Virus herpes memiliki kemampuan unik untuk menyebabkan infeksi laten.
Virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan virus varicella-zoster memiliki sifat
neurotropisme, yang menyebabkan infeksi laten pada sistem saraf perifer. Jalur
masuk infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis perifer adalah
mukokutaneus. HSV-1 dapat bersifat laten di ganglion geniculate, serta dapat aktif
kembali saat terjadi imunosupresi,. Infeksi HSV-1 menyebabkan demielinisasi serat
saraf oleh mekanisme yang dimediasi oleh sistem imun.Selain itu, Virus varicella-
zoster, virus Coxackie, virus influenza atau vaksin anti-influenza, cytomegalovirus,
virus gondok, virus campak , HIV dapat menyebabkan disfungsi nervus fasialis.6
Infeksi proksimal seperti otitis media akut dapat dikaitkan 1-1,41% kasus
dengan kelumpuhan nervus fasialis perifer. Peradangan saraf wajah di daerah
timpani pada otitis media akut disebabkan adanya hubungan neurovaskular nervus
fasialis dengan telinga tengah. Pada otitis media suppuratif kronis, cedera saraf
fasialis dapat disebabkan mekanisme gabungan: osteitis, erosi tulang, kompresi dan
pembengkakan nervus fasialis melalui aksi langsung mikroorganisme patogen.6
- Etiopatogenesis tumor
Tumor primer nervus fasialis jarang terjadi dan paling sering diwakili oleh
schwannoma. Schwannoma adalah tumor jinak, yang tumbuh perlahan dan dapat
ditemukan di segmen nervus fasialis manapun. Lokasi yang paling sering terjadi
adalah pada ganglion geniculate (44% -97%), sudut pontocerebellar (24% -53%)
dan meatus akustikus internus. kanal. Prevalensi schwannoma nervus fasialis
diperkirakan 2% dari semua schwannoma intrakranial. Kelumpuhan wajah
disebabkan oleh infiltrasi tumor pada nervus fasialis.6
- Etiopatogenesis Saraf
Penyakit degeneratif sistem saraf pusat, gangguan serebrovaskular (iskemik
atau hemoragik), tumor otak dan infeksi sistem saraf pusat dapat menyebabkan
kelumpuhan nervus fasialis perifer ataupun central. Pada stroke,kelumpuhan nervus
fasialis perifer bersamaan dengan defisit motorik dan/atau sensorik pada separuh
badan. Paralisis nervus fasialis sentral juga ditemukan. Hal ini dapat dibedakan
dari kelumpuhan wajah perifer karena defisit motorik terletak di bagian bawah
separuh wajah. Kelumpuhan wajah sentral biasanya pada sisi yang sama dengan
defisit separuh badan yang terkena. Infark sirkulasi serebral anterior menyebabkan
kelumpuhan wajah lebih sering (62,2%) dibandingkan infark sirkulasi serebral
posterior.6
Kelumpuhan Nervus fasialis dapat terjadi juga pada multiple sclerosis.
Frekuensi keterlibatan saraf kranial pada multiple sclerosis adalah sebagai berikut:
saraf trigeminal, saraf fasialis, saraf abducens, saraf occulomotor, dan saraf koklea.6

5. Manifestasi Klinis
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada
gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak
lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis
perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah
lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.5

Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat


persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian
atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya
kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus
piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada
otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih
dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral) ;
tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai, memperlihatkan
gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih dapat
terjadi, bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.5

Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter
maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus
VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan
lesi- butuh-ruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula
interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal
demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.5
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi :4
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan
gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau
tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis.
d. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang
dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi
pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah
parese fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes zoster otikus , dengan nyeri dan
pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang aurikel (saraf
aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan
pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.
e. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya
nervus akustikus.
f. Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang-kadang juga nervus abdusen,
nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.4
6. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis paralisis nervus fasialis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik berupa fungsi saraf fasialis yang meliputi pemeriksaan Fungsi
Saraf Motorik, Tonus, Sinkinesis, Hemispasme, Gustometri, SCHIRMER Test dan
Reflex Stapedius, serta pemeriksaan penunjang lainnya berupa Elektromiografi
(EMG), Elektroneurografi (ENOG), dan uji stimulasi maksimal.5
1. Anamnesis6
Diagnosis klinis didasarkan pada 3 langkah: (1) identifikasi lokasi yang terkena,
(2) etiologi yang mendasari (trauma, infeksius, neoplastik), dan (3) stadium
klinis (misalnya dengan penggunaan skala House-Brackmann).
Gambaran yang cermat mengenai riwayat harus mencakup onset gejala,
evaluasi kualitas gejala terkait, dan infeksi sebelumnya dan penyakit sistemik
(misalnya virus herpes simpleks, virus varicella-zoster, neoplasma).6

Berdasarkan anamnesis dan proses terjadinya paralisis nervus fasial dapat


ditanyakan mengenai kerakter kelumpuhan wajah seperti onset, durasi dan
perkembangan kelumpuhan. Selain itu penting ditanyakan mengenai faktor yang
berkonstribusi seperti infeksi, trauma, pembedahan (otology, parotis, atau operasi
neurologis), riwayat sifilis, HIV, tuberculosis atau infeksi herpes, paparan toksin
(timbal), riwayat otologis, neurologis, diabetes, atau riwayat kelumpuhan saraf
wajah sebelumnya. Dapat juga ditanyakan mengenai gejala yang berhubungan seperti
demam, sakit wajah, gangguan pendengaran, kepenuhan aural, otalgia, vertigo,
defisit neurologis lainnya, perubahan sensasi rasa, perubahan penglihatan, drooling,
epiphora, dysacusis, nyeri (auricular, postauricular, atau facial).6

Pada stadium klinis dapat digunakan skala House-Brackmann untuk


menentukan derajat paralisis.10

Grading Fungsi
I Fungsi normal
Disfungsi ringan :
Kelemahan yang sedikit terlihat pada inspeksi dekat,
II bisa ada sedikit sinkinesis, pada saat istirahat simetri
dan selaras, pergerakan dahi sedang sampai baik,
menutup mata dengan usaha yang minimal, terdapat
sedikit asimetri pada mulut jika melakukan pergerakan.
Disfungsi sedang : kelemahan terlihat tapi tidak tampak
adanya perbedaan kedua sisi, adanya sinkinesis ringan, dapat
III ditemukan spasme, pada saat istirahat simetri dan selaras,
pergerakan dahi ringan sampai sedang, menutup mata dengan
usaha, mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum.
Disfungsi sedang berat : tampak kelemahan bagian wajah
IV yang jelas dan asimetri, kemampuan menggerakkan dahi
tidak ada, tiak dapat menutup mata dengan sempurna, mulut
tampak asimetris dan sulit digerakkan.
Disfungsi berat : wajah tampak asimetri, pergerakan wajah
V tidak ada dan sulit dinilai, dahi tidak dapat digerakkan, tidak
dapat menutup mata, mulut tidak simetris dan sulit
digerakkan
VI Paralisis total (tidak ada pergerakan)

2. Pemeriksaan Fungsi Saraf Fasialis


Tujuan pemeriksaan saraf fasialis ialah untuk menentukan letak lesi dan
menentukan derajat kelumpuhannya. Derajat kelumpuhan ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%).6
a. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke
sepuluh otot-otot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah
sebagai berikut :
a. M. Frontalis, diperiksa dengan cara mengangkat alis keatas
b. M. Sourcilier, diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis, diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung hidung keatas
d. M. orbicularis oculi, diperiksa dengan cara dipejamkan kedua
mata kuat-kuat
e. M. Zygomaticus, diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperhatikan gigi
f. M. relever komunis, diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi
g. M. Bucinator, diperiksa dengan cara mengemungkan kedua pipi
h. M. orbicularis oris, diperiksa dengan cara menyuruh penderita
bersiul
i. M. Triangularis, diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir
kebawah
j. M. Mentalis, diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat kedepan.6
Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan
antara kanan dan kiri. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai
dengan angka tiga (3), sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1),
diantaranya dinilai dengan angka dua (2), dan tidak ada gerakan sama
sekali dinilai dengan angka nol (0).
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30).

b. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimik/ekspresi muka. Freyss menganggap penting
akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkat
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.
Penilaian tonus seluruhnya berjumlah 15 yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus
maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap
tingkatan tergantung dari gradasinya.6
c. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari paresis fasialis yang
sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinosis adalah sebagai
berikut :
- Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal
pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi
paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu
(-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada
(a).
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)
dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut. Nilai satu (1)
jika pergerakan normal. Nilai nol (0) jika pergerakan tidak simetris.6
d. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai
pada penyembuhan paresis fasial berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-
ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-
otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang
berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut
bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus
satu (-1). Fungsi motoric otot-otot tiap sisi wajah orang normal
seluruhnya berjumlah 50 atau 100%. Gradasi paresis fasialis
dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.6
e. Gustometri
System pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh nervus
korda timpani, salah satu cabang nervus fasialis. Pada pemeriksaan
fungsi n. korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan
dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah
patologis.6
f. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk mengetahui fungsi
serabut-serabut parasimpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui
nervus petrosus superficialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm,
panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Freyss menyatakan bahwa ada
beda antara kanan dan kiri atau lebih sama dengan 50 dianggap
patologis.5
3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
parese nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromiografi (EMG),
Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi maksimal.6

1.         Elektromiografi (EMG)


EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola
EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola
fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau
neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari
setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG
akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan
suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.6
2.         Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG.
ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu
titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat
diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan
dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu
penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88
persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan
normal saraf fasialis.6
3.         Uji Stimulasi Maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde
ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan
perlahan-lahan hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman.
Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan
menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini
menunjukkan suatu respons normal. Perbedaan respons yang kecil antara
sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda
kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi
yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen dari arus yang digunakan
pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 persen
penderita Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila
respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi
yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang
paling dapat diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung.6

7. Diagnosa Banding
Tabel : Beberapa diagnosis banding berdasarkan Metode KITTENS6
Kongenital Miotonik distrofi
Infeksi dan idiopatik Idiopatik facial paralysis
Ramsay-Hunt syndrome
Otitis media/mastoiditis
Lyme disease
Tetanus
Trauma Head trauma
Temporal bone trauma
Iatrogenic injuries
Birth trauma
Neoplasma Parotid tumors
Facial neuromas
Acoustic neuromas
Cholesteatoma
Temporal bone tumors
Endokrin Diabetes mellitus
Neurologi Guillain-Barré sindrom
Multiple sclerosis
Myasthenia gravis
Stroke
Sistemik Sarcoidosis
Amyloidosis

8. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap parese nervus VII dapat dikelompokkan dalam 3
bagian: 6
I. Pengobatan terhadap parese nervus fasialis
1.1 Fisioterapi
a. Heat Theraphy, Face Massage, Facial Exercise
Dianjurkan untuk menggunakan terapi panas lokal superfisial (yaitu
paket panas atau sinar inframerah) selama 15 menit / sesi untuk otot wajah
sebelum stimulasi listrik (ES), pijat atau latihan. Pijat, yang sering
diresepkan untuk kelumpuhan wajah, memperbaiki sirkulasi dan dapat
mencegah kontraktur. Latihan aktif (di depan cermin) mencegah atrofi otot
dan memperbaiki fungsi otot. Namun, latihan otot wajah yang aktif tidak
dapat dilakukan dengan kelumpuhan lengkap (yaitu saat FNG adalah 6/6).
Terapi panas meningkatkan sirkulasi lokal dan menurunkan ketahanan kulit
terhadap ES, sehingga intensitas arus paling rendah dapat digunakan. ES
otot bertujuan untuk melestarikan otot terutama dalam kelumpuhan total;
Dan juga memiliki manfaat psikologis karena pasien mengamati kontraksi
otot di wajahnya yang memberinya harapan untuk sembuh dari kelumpuhan
wajah.6
b. Electrical Stimulation
Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.
Tindakan ini bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang
lumpuh dan juga berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus
otot.
2.1 Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan parese nervus fasialis
antara lain:6
a. Vasokonstriktor, Antimikroba
Obat ini diberikan pada kelumpuhan nervus fasialis yang disebabkan
oleh kompresi nervus fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja
mengurangi bendungan, pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan
diatas.
b. Steroid
Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang
disebabkan oleh Bell’s Palsy.12 Meskipun steroid banyak digunakan di
Bell's palsy, kehebatannya dalam indikasi ini belum ditunjukkan dengan
jelas. Di satu sisi ada penelitian, yang dengan jelas menunjukkan efek
steroid yang menguntungkan dalam pengobatan Bell's palsy, di sisi lain ada
penelitian yang tidak menunjukkan efek. Namun, ada konsensus umum
yang menyatakan bahwa steroid tidak efektif untuk Bell's palsy pada anak-
anak, walaupun bahkan pada anak-anak beberapa penelitian menunjukkan
efek steroid yang menguntungkan dibandingkan orang lain. Dalam sebuah
penelitian terhadap 496 pasien dengan Bell's palsy pemulihan penuh setelah
9 bulan dicapai pada 94% pasien yang menerima kortikosteroid baik sendiri
atau dikombinasikan dengan asiklovir.
c. Pentoxifyllin
Efikasi pentoxifylline pada pemulihan Bell'spalsy hanya diuji
bersama dengan obat lain, terutama steroid dan dextrane molekul rendah.
Studi ini menunjukkan efek menguntungkan terapi kombinasi semacam itu,
namun obat mana yang benar-benar bertanggung jawab atas efek
menguntungkan ini, sejauh ini tidak diketahui.
d. Antivirus
Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan
prednisone secara simultan. Meskipun aplikasi agen antiviral untuk Bell's
palsy tampak logis, namun jarang diberikan. Dalam sebuah penelitian di
Inggris, hanya 0,6% pasien dengan Bell's palsy yang menerima asiklovir.
Dua ulasan Cochrane terbaru pada 246 dan 200 pasien, termasuk tiga,
masing-masing, dua percobaan acak dengan asiklovir dan steroid versus
steroid saja, asiklovir versus steroid, dan valasiklovir dengan steroid versus
steroid menyimpulkan bahwa hasil dari ketiga percobaan itu tidak
meyakinkan sehubungan dengan Manfaat jangka pendek atau jangka
panjang dan bahwa penelitian besar, multisenter, acak, terkontrol, dan buta
dengan minimal follow-up 1 tahun diperlukan sebelum rekomendasi pasti
mengenai efek asiklovir atau valacyclovir dapat diberikan. Paling tidak,
tampaknya tidak ada perbedaan antara asiklovir dan steroid secara oral
versus asiklovir dan steroid secara intravena.
Sebuah studi baru-baru ini terhadap 221 pasien dengan Bell's palsy,
diobati dengan valacyclovir dan prednisolone dalam 7 hari setelah onset,
menunjukkan hasil yang lebih baik untuk pasien yang menerima terapi
kombinasi daripada kortikosteroid saja. Dalam sebuah penelitian terhadap
247 pasien yang menerima asiklovir pemulihan lengkap diamati pada 71%
setelah 3 bulan dan pada 85% setelah 9 bulan. Para penulis tidak
menemukan manfaat asiklovir sendiri atau manfaat tambahan asiklovir
dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Untuk pasien dengan zoster sine
herpete, asiklovir tampaknya efektif.
3.1 Pengobatan Psikofisikal
Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan dapat
membantu pentembuhan Bell’s Palsy. Meskipun terbatasnya penelitian namun
telah dilaporkan bahwa akupunktur untuk Bell's palsy dalam beberapa
penelitian memberikan bukti peningkatan efek positif akupunktur dan
moksibusi sebagai pengobatan tambahan Bell's palsy.
II. Pengobatan Sekuele ( Gejala Sisa )
Berbagai tindakan nonfarmakologis telah digunakan untuk mengobati Bell
palsy, termasuk terapi fisik (misalnya, latihan wajah, latihan ulang neuromuskular)
dan akupunktur. Tidak ada efek buruk dari perawatan ini yang telah dilaporkan.
Tinjauan menunjukkan bahwa terapi fisik dapat menghasilkan pemulihan yang
lebih cepat dan sekuele yang berkurang. Pengobatan terhadap gejala sisa yang
dapat dilakukan antara lain:6
a.      Nyeri
Sebagian pasien dengan Bell’s Palsy dan hampir seluruh pasien dengan
Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgesic
non-narkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg BB/ hari dan
tapering off setelah 10 hari penggunaan.

b.       Perawatan Mata


Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban mata
agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk
meengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat tetes
mata.
Salah satu masalah terbesar dengan Bell's palsy adalah keterlibatan mata
jika celah fisura tetap terbuka. Dalam kasus ini, perawatan mata berfokus pada
perlindungan kornea akibat dehidrasi, pengeringan, atau lecet karena penutupan
atau robekan yang tidak cukup. Salep mata diusulkan pada siang hari dan malam
didukung oleh perban watchglas di siang hari atau malam hari.
Indikasi Untuk Operasi
Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi
total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi nervus
fasialis transmastoid.
Dalam sebuah penelitian terhadap 58 pasien dengan Bell's palsy yang
mengalami denervasi melebihi 95%, dekompresi transmastoid pada saraf wajah
menghasilkan peningkatan signifikan skor HBS dan Yanagihara 60 hari setelah
onset. Dalam percobaan prospektif multi-pusat pada pasien dengan kemungkinan
sekuele jangka panjang dari Bell's palsy, seperti yang dinilai oleh studi konduksi
saraf dan elektromiografi, dekompresi bedah saraf wajah melalui pemaparan fossa
kranial tengah, termasuk segmen timpani, genis Ganglion, segmen labirin, dan
foramen foramen, secara signifikan meningkatkan kemungkinan kembalinya
normal atau mendekati normal fungsi saraf wajah jika operasi dilakukan dalam
waktu 2 minggu setelah onset kelumpuhan total. Karena kraniotomi fosa tengah
membawa risiko pendarahan, infeksi, kejang, tuli, kebocoran cairan serebrospinal,
atau cedera saraf wajah, pendekatan bedah ini tidak dapat direkomendasikan secara
rutin kepada pasien dengan Bell's palsy akut.
Pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis dapat ditatalaksana yang
dibagi dalam 2 hal :3
a. Kasus dengan gangguan hantaran yang ringan namun masih memiliki fungsi
motorik yang masih baik, hal ini bertujuan untuk menghilangkan edema dari
saraf, menggunakan anti edema, vasodilator, serta neurotropika
b. Kasus dengan gangguan hantaran yang berat atau adanya denervasi total
sehingga perlu dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan tehnik
dekompresi Nervus VII Transmastoid.
Tujuan dari terapi dalam kelumpuhan nervus fasialis perifer adalah
mempercepat penyembuhan, membuat penyembuhan lebih sempurna,
menghambat terjadinya komplikasi lebih lanjut serta sekuele, dan menghambat
replikasi dari virus.
Terapi ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu pada kasus ringan atau akut serta
pada kasus sedang atau berat (sekuele).8

1. Kasus Ringan Atau Akut


a. Pemberian Steroid dan Anti Viral

Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan oleh American Academy of


Otolaryngology – Head and Neck Surgery Foundation dimana yang mengatur
pemberian dari kortikosteroid dan anti viral:9
- Perlu dilakukan pengkajian terhadap pasien paralisis fasial unilateral
dengan onset akut sehingga dapat mengidentifikasi adanya etiologi lain
atau tidak (HSV, Lyme Disease, dan Sarkoidosis)
- Pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak dianjurkan pada pasien

paralisis dengan onset akut.


- Pemberian kortikosteroid oral dilakukan dalam 72 jam pasca onset pada
pasien berusia 16 tahun keatas yang tidak memiliki kontra indikasi terapi
steroid.
- Monoterapi dengan anti viral tidak dianjurkan pada pasien dengan onset
akut. Anti viral dapat dikombinasi dengan pemberian kortikosteroid.
- Pemberian kortikosteroid oral dilakukan untuk menurunkan adanya proses
inflamasi serta edema pada saraf sehingga mengurangi kerusakan yang
terjadi.9
- Regimen Terapi dengan Kortikosteroid selama 10 hari :9,10

a. Prednison 1mg/kgBB p.o atau 60mg/hari untuk 5 hari pertama


lalu dilakukan tapering off menjadi 10mg/hari untuk 5 hari berikutnya
b. Prednisolon 25mg p.o 2x/hari untuk 5 hari pertama lalu dilakukan
tapering off
Untuk pemberian anti viral yang dikombinasi dengan kortikosteroid yaitu:

a. Acyclovir 400 mg p.o, 5x/hari dalam 10 hari


b. Valacyclovir 500 mg p.o, 2x/hari dalam 5 hari

b. Proteksi Pada Mata

Hal ini bertujuan untuk melindungi kornea dari dehidrasi, kekeringan


dan abrasi akibat ketidakmampuan kelopak mata untuk menutup dan berair.
Proteksi pada mata ini dilakukan dengan cara pemberian obat tetes mata
(artificial tears), pemakaian salep mata pada malam hari, dan pemakaian alat
pelindung mata.8
c. Fisioterapi (Mime)

Hal ini mencakup latihan relaksasi, koordinasi, dan ekspresi,


biofeedback, terapi elektrik, face massage, facial exercise, dan thermotherapy.
Fisioterapi memiliki peran penting pada rehabilitasi awal serta untuk
mencegah terjadinya sinkinesis dan kontraktur fasial.8

Langkah yang perlu dikerjakan yaitu basahkan handuk dengan air


panas, setelah itu handuk diperas dan diletakkan dimuka hingga handuk
mendingin. Kemudian pasien diminta untuk memasase otot-otot wajah yang
lumpuh terutama daerah sekitar mata, mulut dan daerah tengah wajah.Masase
dilakukan dengan menggunakan krim wajah dan idealnya juga dengan
menggunakan alat penggetar listrik. Setelah itu pasien diminta untuk berdiri
didepan cermin dan melakukan beberapa latihan wajah seperti mengangkat
alis mata, memejamkan kedua mata kuat-kuat, mengangkat dan mengerutkan
hidung, bersiul, menggembungkan pipi dan menyeringai. Kegiatan ini
dilakukan selama 5 menit 2 kali sehari.7
2. Kasus Sedang Atau Berat Atau Sekuele

Pada kasus ini tindakan operasi dapat dilakukan bila ada indikasi :11

- Adanya progesivitas serta kelanjutan paralisis tanpa perbaikan


- Terdapat rasa nyeri pada wajah
- Adanya gangguan pada nervus kranialis lain
- Terdapat riwayat kanker kulit yang regional

Tatalaksana yang dapat dilakukan pada kasus sedang atau berat adalah :8

1. Stimulasi Elektrik Transkutan


2. Dekompresi Transmastoid
3. Good Weight Implant
4. Suspensi Sub Periosteal (Face Lifting)
5. Toxin Botulinum

Pengobatan terhadap gejala sisa (sekuele) yang dapat dilakukan antara lain :
- Sebagian pasien dengan Bell’s Palsy dan hampir seluruh pasien dengan
Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan
analgesic non-narkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg
BB/ hari dan tapering off setelah 10 hari penggunaan.
- Perawatan Mata, Secara umum perawatan mata ditujukan untuk menjaga
kelembaban mata agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien
diminta untuk mengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping
penggunaan obat tetes mata.
9. Komplikasi
Setelah kelumpuhan saraf fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak,
terutama serat otonom dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang
terlindung mungkin memberikan akson baru yang tumbuh ke dalam bagian yang
rusak. Persarafan baru yang abnormal ini, dapat menjelaskan kontraktur atau
sinkinesis (gerakan yang berhubungan) dalam otot-otot ekspresi wajah. Sindrom air
mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya didasarkan oleh
persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris untuk kelenjar air
liur tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera yang berdegenerasi
dan pada asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk glandula lakrimalis.6
10. Prognosis
Kelumpuhan saraf wajah bisa membaik hingga 1 tahun kemudian. Pasien
dengan kelumpuhan yang tidak lengkap memiliki prognosis yang lebih baik
daripada pasien dengan kelumpuhan lengkap dan semakin muda pasien semakin
baik prognosisnya. Pada pasien dengan kelumpuhan yang tidak lengkap sampai
94% sembuh total. Bagi pasien lanjut usia dan mereka yang memiliki kelemahan
parah hasilnya kurang menguntungkan. Tanpa pengobatan, prognosis Bell's palsy
lengkap umumnya buruk, namun sekitar 20-30% kasus ditinggalkan dengan tingkat
kecacatan permanen yang bervariasi. Sekitar 80-85% pasien pulih secara spontan
dan sepenuhnya dalam waktu 3 bulan, sedangkan 15-20% mengalami beberapa
jenis kerusakan saraf permanen.
Sekitar 5% mungkin tetap dengan sequelae yang parah. Dalam penelitian
menyatakan bahwa, hasilnya lebih baik jika terapi dimulai dalam 3 hari setelah
onset gejala. Sekitar 10% pasien Bell's palsy mengalami satu atau lebih
kekambuhan setelah latensi rata-rata 10 tahun.6
Indikator untuk prognosis buruk Bell's palsy :
1. Kelumpuhan lengkap
2. Tidak ada pemulihan selama 3 minggu
3. Umur> 60 tahun
4. Sakit parah
5. Sindrom Ramsey Hunt
6. Adanya kondisi yang menyebabkan palsi saraf wajah sekunder
Pada pasien yang sembuh tanpa pengobatan, perbaikan besar terjadi dalam 3
minggu. Proses pemulihan fungsi baru dimulai 3 bulan setelah onset. Jika tidak
terjadi dalam waktu ini maka tidak mungkin terlihat 6 bulan. Dengan 6 bulan
menjadi jelas siapa yang akan memiliki sequelae sedang atau berat. Indikator untuk
prognosis buruk tercantum pada indikator dari prognosis bell’s palsy. Jika terjadi
kelumpuhan kelumpuhan wajah yang tidak sempurna, mungkin bersamaan dengan
synkinesis wajah.6
BAB III

KESIMPULAN

Kelumpuhan saraf fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi otot-otot


wajah, dapat terjadi sentral dan perifer. Kelumpuhan dapat diakibatkan oleh
kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik,
dan penyakit-penyakit tertentu yang dapat mengakibatkan deformitas kosmetik dan
fungsional yang berat. Kelainan ini dapat diobati dengan fisioterapi, farmakologi,
dan psikofisikal serta operasi.

Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kelumpuhan dari nervus


fasialis, yaitu kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan Pembuluh Darah dan
idiopatik.

Diagnosis paralisis nervus fasialis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik berupa fungsi saraf fasialis yang meliputi pemeriksaan Fungsi
Saraf Motorik, Tonus, Sinkinesis, Hemispasme, Gustometri, SCHIRMER Test dan
Reflex Stapedius, serta pemeriksaan penunjang lainnya berupa Elektromiografi
(EMG), Elektroneurografi (ENOG), dan uji stimulasi maksimal
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjarifuddin, Bashiruddin J. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit
FK-UI, 2007: Hal. 114-117.
2. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boeis Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta: Egc.
3. Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2015; 159- 63.
4. Soepardi, Iskandar. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta: Fk
UI. 2007;114-7.
5. Tobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik Dan Mental. Jakarta: Fk UI.
2007; 55-60
6. Farhani, Fine., Normawati, Tasak, Rante. Paralisis Nervus Facialis Tipe Perifer.
Jurnal Medical Education. 2017. 23 P.
7. K.J. Lee. Essential Otolaryngology And Head And Neck Surgery. Iiird Edition.
Chapter 10 : Facial Nerve Paralysis, 2016.
8. Finsterer J. Management Of Peripheral Facial Nerve Palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2018;265(7):743-52
9. Bruce M. Bells Palsy Empiric Therapy. Medscape. 2018. Available On

Http://Emedicine.Medscape.Com/Article/2018337-Overview
10. Axelsson S, Berg T, Jonsson L, Et Al. Prednisolone In Bell’s Palsy Related To
Treatment Start And Age. Otol Neurotol. 2021; 32:141-6.
11. Aik Kt, Hanom Af. A Systemic Approach To Facial Nerve Paralysis. Webmed
Centraophtamology. 2021; 2(4) : Wmc001856 Doi:
10.9754/Journal.Wmc.2011.00

Anda mungkin juga menyukai