Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

REFARAT
STROKE INFARK
BELL’S PALSY
Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi
persyaratan dalamRefarat
menjalani kepaniteraan
ini dibuat klinik
untuk melengkapi
senior di SMF Ilmudalam
persyaratan Kesehatan Neurologi
menjalani kepaniteraan klinik
RSUD Dr. di
senior Pirngadi Medan
SMF Ilmu Kesehatan Neurologi
RSUD Dr. Pirngadi Medan

DISUSUN DISUSUN
OLEH : OLEH:

Eviyanti Br. Barus


218 220 007
Gabriella Maria C. Sipahutar
218210067
DOKTER PEMBIMBING

dr. Saulina Sembiring, M.Ked (Neu) Sp.S

DOKTER PEMBIMBING
dr. Anyta Prisca D,M.Ked,Neu,Sp.S

SMF ILMU
PENYAKIT NEUROLOGRSUD Dr. MEDAN
SMF ILMU PENYAKIT NEUROLOGI
2019RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN

2019
i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Saulina Sembiring, M.Ked (Neu) Sp.S

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Refarat” ini guna memenuhi
persyaratan mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Neurologi
RSUD Dr. Pirngadi Medan yang berjudul “Bell’s Palsy”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada
pembimbing selama menjalani KKS di bagian ini yaitu dr. Saulina Sembiring,
M.Ked (Neu) Sp.S atas segala bimbingan dan arahannya dalam menjalani KKS
dan dalam pembuatan refarat ini.
Penulis menyadari bahwa refarat ini masih banyak kekurangannya, oleh
sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
memperbaiki refarat ini di kemudian hari. Harapan penulis semoga refarat ini
dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi kita semua.

Medan, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 6
2.1 Anatomi ................................................................................................ 6
2.2 Definisi ................................................................................................. 7
2.3 Epidemiologi ........................................................................................ 8
2.4 Etiologi ................................................................................................. 9
2.5 Patogenesis ......................................................................................... 10
2.6 Patofisilogi.......................................................................................... 11
2.7 Manifestasi Klinis............................................................................... 12
2.8 Diagnosis ............................................................................................ 13
2.9 Diagnosa Banding .............................................................................. 15
2.10 Penatalaksanaan................................................................................ 16
2.11 Prognosis .......................................................................................... 17
2.12 Komplikasi ....................................................................................... 17
BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis
fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir
Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling
sering di dunia.3

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang,
dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy.
Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang
dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia
di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.4

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,


namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika
dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan
kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada
wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur
dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan
permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan
otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata,
gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan
individu tersebut menjadi tidak percaya diri.3,5

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Fasialis1,2

Nervus cranial ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :


a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding
anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama
melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus
solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus
petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda
timpani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
6
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu)
terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk
memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial
major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

2.2 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.6

7
2.3 Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.8

2.4 Etiologi3,5

Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai


berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetik.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e. Sindroma paralisis n. fasialis familial

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi nalis
8
fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV),
yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

2.5 Patogenesis3,5

Mekanisme bell’s palsy telah diperdebatkan selama beberapa dekade, dengan penyebab
neuropathy tetap sukar dipahami dengan beberapa teori yang ada. Salah satu teori menjelaskan
bahwa Bell’s palsy adalah penyakit demyelinasi akut, yang mungkin mempunyai mekanisme
patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome. Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi
neuritis demyelinasi dimana Bell’s palsy dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis
dari Guillain-Barre.

Patogenesis Bell’s palsy diduga berasal dari edema kompresi epineural retrograde dengan
ischemia pada N.facialis. Walaupun etiologinya masih belum jelas, teori yang menarik berasal
dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang cabang N.facialis, mungkin juga
melibatkan chorda tympani, keterlibatan primer umum. Distensi vaskular retrograde dan edema,
di dalam epineurium dari canalis facialis tulang, menekan saraf dari luar selubung perineurium.
Gaya tekanan mungkin ringan atau berat, menyebabkan variasi derajat degenerasi ischemia
reversible atau irreversible selubung myelin dan axon, dengan derajat bervariasi dair reaksi
seluler terhadap kerusakan myelin. Edema mungkin diserap, yang meninggalkan kerusakan saraf
reversible atau irreversible, atau mungkin menstimulasi pembentukan kolagen di dalam
epineurium, dengan neuropathy kompresi fibrous yang menetap N.facialis. Konsep ini konsisten
dengan hasil bervariasi Bell’s palsy, dan bergantung pada derajat dan durasi edema, dan dimana
fibrosis terjadi di dalam epineurium canalis facialis. Fibrosis epineural juga menyebabkan

9
gangguan pertukaran metabolik melalui jaringan epineurial-perineurial-endoneurial, dan
mungkin menyebabkan obliterasi drainase vaskular.

Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena reaktivasi infeksi herpes virus
laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi berikutnya ke N. VII. HSV-1 dan HZV mungkin
merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih agresif karena ini menyebar sepanjang
saraf melalui sel satelit. Data tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari
cairan endoneural N.facialis melalui PCR selama fase akut Bell’s palsy. N.facialis membengkak
dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang menyebabkan tekanan di dalam
Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia (restriksi darah dan oksigen menuju sel saraf).
Dalam beberapa kasus ringan (dimana penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan
hanya pada selubung myelin saraf. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, literatur mendukung
inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran klinis facial paralysis.

Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga berkaitan dengan bell’s palsy
Mutsch et al. Melakukan studi kasus kontrol dengan analisis serial kasus, pada 773 pasien bell’s
palsy yang mendapatkan vaksin flu. Setelah mengatur variabel lain, mereka melaporkan bahwa
terdapat hubungan spesifik dan sementara; resiko terjadinya bell’s palsy pada pasien yang
mendapat vaksin mencapai 19x kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch
menemukan insiden puncak Bell’s palsy pada 31-60 hari setelah vaksinasi. Dari data tersebut,
diduga bahwa aktivasi Bell’s pallsy bukan karena efek toksik langsung dari vaksin, melainkan
karena penyakit autoimmune atau reaktivasi HSV. Ini penting untuk mengingat bahwa vaksin
intranasal tidak lama dalam penggunaan klinis. Tidak ada hubungan antara palsy dengan vaksin
flu parenteral. Penyebab infeksi lain bell’s palsy yang diketahui meliputi: adenovirus, coxsackie

10
virus, CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella. Rickettsia adalah penyebab infeksi yang
jarang. Dugaan penyebab non-infeksi meliputi proses autoimun seperti Ensefalopati Hashimoto,
ischemia dari atherosclerosis yang mengarah pada edema N.facialis, dan familial, dengan sekitar
4% sampai 8% pasien Bell’s palsy mempunyai riwayat keluarga serupa.

Kondisi lain penyebab bell’s palsy antara lain lesi struktural dalam telinga atau kelenjar
parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat memproduksi kompresi dan paralisis
N.facialis. Penyebab lain palsy nervus perifer meliputi Guillain-Barre syndrome, Lyme disease,
otitis media, Ramsay Hunt sydnrome (outbreak herpes zooster dalam distribusi nervus facialis),
sarcoidosis. Penyebab-penyebab tersebut mempunyai gambaran lain yang dapat membedakannya
dari Bell’s palsy. Kerusakan langsung pada N.facialis karena trauma pada wajah atau fraktur
tengkorak juga dapat menyebabkan bell’s palsy.

2.6 Patofisiologi6,7
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan N.facialis melalui bagian
os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal. Sebuah teori populer menduga edema dan
ischemia berasal dari kompresi N.facialis di dalam kanal tulang ini. Penyebab edema dan
iskemia masih belum diketahui. Kompresi ini telah nampak dalam scan MRI dengan fokus
N.facialis. Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling sempit;
foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini adalah lokasi yang
diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy. Karena sempitnya canalis
facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi
mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini.

Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus saraf.
Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi proksimal dari ganglion
geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas gustatory dan autonom. Lesi antara
ganglion geniculatum dan awal chorda tympani menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan
lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan
paralisis wajah.

11
2.7 Manifestasi Klinis8,9

Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai kelumpuhan
maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu 5 hari . Nyeri di belakang
telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari dan dalam beberapa pasien cukup
intens dan terus-menerus.

Terganggunya facial nerve yang complit pada foramen stylomastoid dapat


menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan
lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin
mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang menetes
melewati pipi. Makanan yang mengumpul diantara gigi dan pipi dan saliva yang menetes dari
sudut mulut. Pasien juga mengeluh rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri pada
wajah.

Jika lesi berada pada canal nervus facialis di atas pertemuan dengan chorda tympani
tetapi di bawah ganglion genikulatum, semua gejala bisa timbul ditambah kehilangan rasa pada
lidah 2/3 anterior pada sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi juga mempengaruhi saraf pada otot
stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus dimana pasien sensitif dan merasa nyeri bila
12
mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion genikulatum terpengaruh, produksi air mata
dan air liur mungkin berkurang. Lesi pada daerah ini dapat berpengaruh juga pada nervus
delapan yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).

2.8 Diagnosis3,9
 Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)
 Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
 Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai paralisis
wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)
 Pemeriksaan
o Nervus fasialis
 Inspeksi
a. Kerutan dahi
b. Pejaman mata
c. Plika nasolabialis
d. Sudut mulut
 Motorik
a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
d. Mencucurkan bibir
e. Menggembungkan pipi
 Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata. Menggunakan
kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu ujung dilipat dan
diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama 5 menit dengan mata
terpejam. Normal: menjadi biru dan terjadi perembesan 20- 30 mm.
b. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat, 2,5% sodium
13
klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta menjulurkan lidah
kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan menggunakan
lidi kapas. Rasa manis pada ujung lidah, rasa asam dan asin pada
samping lidah dan rasa pahit pada belakang lidah. Setiap selesai
pemeriksaan, pasien berkumur dengan air hangat kuku dan dikeringkan
dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan berikutnya.

c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian dilakukan pengetukan
lembut pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala
256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika hiperakusis (suara lebih keras
atau nyeri).

o Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bell’s palsy, namun tes- tes berikut dapat berguna
untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain :
a. Darah rutin
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa (orang yang
memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena bell’s palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar submandibular yang
paralisis dan normal, kemudian pasien diminta menghisap lemon dan
aliran saliva dibandingkan antara kedua kelenjar. Sisi yang normal
menjadi kontrol.

d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang.
MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan
paralisis atau untuk melihat cerebellopontine angle.
MRI pada pasien bell’s palsy menunjukkan pembengkakan dan
peningkatan yang merata dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan
N.VII yang terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan

14
N.VII (schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).

2.9 Diagnosa Banding3,4


 Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus varicella zoster.
Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane mukosa faring, vesikel pada
chonca atau saluran pendengaran externa. Sering melibatkan nervus ke 8 (n.
vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal sebelumnya seperti malaise, sakit kepala,
demam.
 Lyme disease
Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan kuku
(erythema chronicum migrans).
 Facial diplegia
Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat disebabkan oleh
sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever (Heefordt syndrome).
 Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi n. facialis lebih
daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam, pembesaran kelenjar parotis,
dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi merupakan karakteristik sarcoidosis.
 Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy (meningioma,
cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya tersembunyi dan semakin
lama semakin memburuk.
 Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan acular abduction.
 Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui. Ditandai dengan
facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema, lipatan lidah. Dapat terjadi
pada anak-anak dan dewasa.
 Hemifacial Spasm

15
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan kontraksi yang tidak
beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke 6. Kekakuan biasanya
dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot lain disisi yang terkena.
 Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit dan jaringan
subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa remaja atau dewasa.
Perjalanan penyakit lambat.
 HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral Bell’s palsy.

2.10 Penatalaksanaan3,5,7
 Non-Medikamentosa:
1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan pada kornea.
2. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area yang terpengaruh dapat
mengurangi nyeri

16
 Medikamentosa
1. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi saraf pada
pasien dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan dosis 60-80 mg per
hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya. Hal ini dapat memperpendek
masa penyembuhan dan meningkatkan hasil akhirnya. Jika teapi in dimulai dalam 10 hari
setelah onset kelumpuhan wajah, akan mempercepat pemulihan dan diikuti kesembuhan
total pada lebih dari 90% pasien.
2. Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bell’s palsy, maka telah
diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan 5-7 hari) dan Acyclovir (400
mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil penelitian, penggunaan antivirus sendiri
tidak memberikan keuntungan untuk penyembuhan penyakit. Tetapi, penggunaan
Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil yang lebih baik, dibandingkan
penggunaan prednisone sendiri, terutama pada pasien dengan gejala klinis yang parah

3. Analgesic untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
kekeringan pada kornea

2.11 Prognosis
Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi. Dengan atau
tanpa terapi, sebagian besar individu membaik dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala dan
membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk
beberapa pasien bisa lebih lama. Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat
yang sama atau di sisi lain wajah.10

2.12 Komplikasi4,6
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
 Pasien terserang palsy komplit, sehingga paralisis pada satu sisi wajah
 Usia lebih dari 60 tahun
 Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala

17
 Hipertensi
 Diabetes
 Kehamilan
 N. facialis rusak berat
 Perbaikan tidak ada setelah dua bulan terlewati
 Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan

Sekitar 14% pasien mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari, pada sisi wajah lain. Hal
ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.

Komplikasi jangka panjang

Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab Bell’s palsy, yang
bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:

 Epifora dan ulkus kornea


Ulkus kornea bisa muncul ketika kelopak mata terlalu lemah untuk menutup secara penuh
dan protective tear film menjad terpengaruh. Sehingga mengarah pada infeksi dan
menyebabkan kebutaan
 Kelemahan wajah
Kelemahan wajah permanen bisa dilihat pada 20-30% pasien setelah terserang Bell’s
palsy.
 Gangguan bicara
Disebabkan kerusakan pada otot wajah
 Synkinesias mata-mulut
Disebabkan n. facialis tumbuh kembali dengan jalan yang beda. Menyebabkan mata
dapat berkedip saat makan, tertawa atau tersenyum, kadang bisa menjadi sangat parah
sehingga mata dapat tertutup penuh saat sedang makan.
 Kontraktur wajah
Otot wajah menjadi kaku, menyebabkan gangguan bentuk seperti mata menjadi kecil,
pipi menjadi tebal atau nasolabial menjadi dalam.
 Sensasi rasa di lidah berkurang

18
Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.
 Crocodile tears
Menangis saat sedang makan.

Ramsay Hunt syndrome


Bell’s palsy yang disebabkan oleh varicella-zoster virus dapat menyebabkan tmbulnya
sindrom ini. Sindrom ini ditandai dengan adanya vesikel pada lidah dan di dalam liang
telinga. Terapinya dengan steroid dan antiviral.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan
inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan
menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang
sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan antiviral
dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan
Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat
terjadi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Gould, D J. Neuroanatomy. 5th edition. Philadelphia : Lippincott Willians & Wilkins.


2014.
2. Moore, K L. Moore : Clinically Oriented Anatomy. 7th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.2014
3. Ropper, A H. Adam’s and Victor Principle of Neurology. 10th edition. New York : 2014.
4. Tanto, C. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Ed 4th. Jakarta : Media Aesculapius. 2014.
5. Fuller G, Manford M. Neurology : An Illustrated Colour Text. 3rb edition. London :
Elsevier. 2010.
6. Hauser, S L. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 2nd edition. New York : Mc
Graw Hill. 2010.
7. Aminoff, M J. Clinical Neurology. 9th edition. New York : Mc Graw Hill. 2015.
8. Ropper, A H. Adam’s and Victor Principle of Neurology. 9th edition. New York : Mc
Graw Hill. 2014.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi. 2016.
10. Bahrudin, M. Bell’s Palsy. Jurnal Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
2011. Diambil dari : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/viewFile/4073/4451

21

Anda mungkin juga menyukai