Anda di halaman 1dari 29

MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL PALSY DI

RSJ PROF.,DR.,SOEROJO MAGELANG

Disusun oleh :
Devi Anggraini (J130195017)

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan makalah dengan judul “MANAJEMEN


FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY DI RSJ PROF.,DR.,SOEROJO
MAGELANG” guna memenuhi tugas akhir praktek profesi fisioterapi Universitas
Muhammadiyah Surakarta priode 04 November – 27 November

Disusun oleh :
Devi Anggraini (J130195017)

Telah diperiksa dan disetujui


Pada tanggal :…………………..

Pembimbing

Muhammad Fauzan, SST.,Ft

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala


limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dalam
penulisan makalah ini. Pembuatan makalah ini guna melengkapi syarat kelulusan
praktek profesi fisioterapi pada stase pulmonal. Program Studi Profesi Fakultas
Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul
“MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY DI RSJ
PROF.,DR.,SOEROJO MAGELANG”
Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada bapak Muhammad fauzan selaku
Clinical Educator di RSJ Prof.,Dr.,Soerojo Magelang serta teman-teman sejawat
di RSJ Prof.,Dr.,Soerojo Magelang.Penulis menyadari dalam penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, dan banyak kekurangan baik dalam metode
penulisan maupun dalam pembahasan materi, hal tersebut dikarenakan
keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun mudah-mudahan dikemudian hari dapat memperbaiki
segala kekuranganya.Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Magelang,26 November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan makalah ............................................................................................ 2
D. Manfaat makalah .......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
A. Definisi ......................................................................................................... 3
B. Anatomi dan Fisiologi .................................................................................. 3
C. Etiologi ......................................................................................................... 7
D. Patofisiologi ................................................................................................. 8
E. Manifestasi Klinis ........................................................................................ 9
F. Tanda dan Gejala.......................................................................................... 9
BAB III ................................................................................................................. 11
KEGIATAN .......................................................................................................... 11
BAB IV ................................................................................................................. 23
PENUTUP ............................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ................................................................................................ 23
B. Saran ........................................................................................................... 23

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bell’s Palsy adalah Kerusakan yang terjadi pada n. Facialis, sehingga
terjadi kelumpuhan pada saraf tersebut yang menyebabkan terjadinya
kelainan pada bentuk wajah (banu et al.,2017).
Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun
secara pasti sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya
Bell’s Palsy di Indonesia sebesar 19,55%, dari seluruh kasus neuropati
terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 – 50 tahun, dan angka
kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya
mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang
(Annsilva, 2010).Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, akan
tetapi ada yang menyebutkan bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin
yang masuk ke dalam tengkorak, ini membuat syaraf di sekitar wajah
sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau nervous
fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu
menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau
rangsangnya terganggu. Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan otot-
otot wajah tidak dapat diteruskan (Sutis, 2010). Namun ada beberapa teori
yang secara umum diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy, yaitu teori
ischemia vaskuler, teori infeksi virus, dan teori herediter.

Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila
dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat
di saksikan. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung. Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir
tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air mata yang keluar secara

1
berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam (Sidharta, 2008). Dari tanda dan gejala di atas,
kasus tersebut bisa di tangani oleh fisioterapi.

Fisioterapi memiliki peran penting dalam proses penyembuhan serta


perbaikan bentuk wajah yang mengalami kelemahan, antara lain membantu
mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien, mengembalikan
kemampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan edukasi pada
pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien. Tekhnologi yang dapat di
aplikasikan kepada pasien antara lain (1) Infra red, Electrical Stimulasi serta
edukasi kepada pasien untuk melakukan Mirror Exercise.

B. Rumusan masalah
Bagaimanakah penanganan fisioterapi pada kasus bell’s Palsy ?

C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari bell’s palsy
2. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari bell’s palsy
3. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya bell’s palsy
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s palsy

D. Manfaat makalah
1. Bagi penulis
Menambah ilmu pengetahuan baru tentang kasus bell’s palsy dan
penanganan yang dilakukan sebagai fisioterapis.
2. Bagi pembaca
Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengertian
bell’s palsy, tanda gejala, penyebab serta penanganan fisioterapist pada
kasus tersebut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara
akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah (de Almeida et al., 2014)
Bell’s Palsy adalah Kerusakan yang terjadi pada n. Facialis, sehingga
terjadi kelumpuhan pada saraf tersebut yang menyebabkan terjadinya kelainan
pada bentuk wajah (asymetris).(banu et al.,2017).
Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi
genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria
usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s
palsy(Lowis & Gaharu 2012).

B. Anatomi dan Fisiologi


Bagian tulang regio wajah adalah tulang maxilla. Tulang ini
mempunyai gigi dan sinus maxillaris. Tulang lain yang ada di bawah maxilla
adalah mandibula dengan gigi-giginya (Snell, 2012).
Saraf Fasialis dan Perjalanannya Saraf fasialis memiliki nukleus yang
terletak di dalam medulla oblongata. Saraf fasialis memiliki akar saraf
motorik yang melayani otot-otot mimik dan akar sensorik khusus (nervus
intermedius). Saraf ini muncul di permukaan anterior antara pons dan medulla

3
oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya berjalan bersama nervus
vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus internus pada pars
petrosa dari tulang temporal (Snell, 2012).
Saraf terletak di antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu
cochlea dan vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju
ventrolateral. Saraf memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan
berbelok ke arah dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum
timpani dan membentuk sudut di atas promontorium yang disebut ganglion
genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun pada dinding dorsal kavum
timpani dan ke luar dari os temporal melalui foramen stylomastoideus. Saraf
tetap berjalan menembus glandula parotis untuk memberi persarafan pada
otot-otot mimik (Snell, 2012)
Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:
1. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi.
Saraf ini memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi
sinaps pada ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi
percabangan sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada
hidung dan palatum. Saraf ini juga mengandung serat afferen yang
didapat dari taste bud dari mukosa palatum.
2. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di
telinga tengah.
3. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum
timpani. Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari
bagian atas membran timpani dan meninggalkan telinga tengah
melalui fisura petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan
bergabung dengan nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat
preganglionik parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang
memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual.

4
Korda timpani juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior
lidah dan dasar mulut.
4. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan
muskulus temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar
setelah saraf keluar dari foramen stylomastoideus. Cabang ini
memberi persarafan pada muskulus stylohyoid dan muskulus
digastricus posterior.
5. Lima cabang terminal untuk otot- otot mimik. Cabang-cabang itu
adalah cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang
mandibular dan cabang cervical (Snell, 2012).
Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah
meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang
terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-
otot mimik di wajah dan regio scalp. Cabang buccal untuk muskulus
buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus
depressor anguli oris.
Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimik
wajah (facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk
sensasi rasa dari anterior lidah, dasar mulut dan palatum (Snell, 2012).

Gambar 5. Anatomi fungsional dari nervus fasialis (N.VII) secara skematis


(Gilden, 2004)

5
Otot-otot mimik terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan
muncul dari tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang
pada wajah yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata,
cuping hidung dan bibir. Fungsi otot- otot mimik adalah untuk menutup
(sphincter) dan membuka (dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi kedua otot-
otot mimik adalah membuat ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai
darah dari arteri fasialis (Snell, 2012).
Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli
dan otot dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superioris dan
muskulus occipitofrontalis.Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari
scalp. Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan dahi (Snell,
2012).
Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris
dan otot dilatatornya adalah muskulus dilatator naris.Muskulus procerus
digunakan untuk mengerutkan hidung (Snell, 2012).
Otot sphincter dari mulut adalah muskulus orbicularis okuli. Serat-
seratnya mengelilingi lubang mulut dalam bagian dari bibir. Serat-seratnya
sebagian muncul dari garis tengah maxilla di atas dan mandibula di bawah.
Serat lain muncul dari bagian dalam kulit dan menyilang pada membran
mukosa membentuk garis dalam bibir. Banyak dari serat berasal muskulus
buccinator. Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak serat otot yang
bergabung dan fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini lalu diikuti
pemisahan rahang bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul dari
tulang dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir. Nama
kelompok otot itu adalah sebagai berikut:
 Muskulus levator labii superioris alaqua nasi
 Muskulus levator labii superioris
 Muskulus zygomaticus minor

6
 Muskulus zygomaticus major
 Muskulus levator anguli oris
 Muskulus risorius
 Muskulus depressor anguli oris
 Muskulus depressor labii inferioris
 Muskulus mentalis(Snell, 2012).
Muskulus buccinator berorigo di batas alveolar dari maxilla dan
mandibula pada gigi molar oposisinya dan juga dari ligamen
pterygomandibula. Otot berjalan ke depan dan membentuk lapisan otot-otot
pipi. Otot dikaitkan dengan kelenjar parotis. Otot buccinator menyilang pada
serat utamanya di sudut mulut. Otot buccinator berfungsi untuk kompresi pipi
dan bibir untuk mencegah pipi tergigit saat mengunyah (Snell, 2012).

C. Etiologi
Bell’s palsy terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme pasti
yang terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui.
Inflamasi dan edema diduga muncul akibat infeksi.
Nervus fasialis yang berjalan melewati terowongan sempit menjadi
terjepit karena edema ini dan menyebabkan kerusakan saraf tersebut baik
secara sementara maupun permanen (Baugh et al. 2013). Virus yang
menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks (de Almeida et al.
2014).
Beberapa kasus Bell’s palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes
dan aterosklerosis. Hal ini mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari
Bell’s palsy pada pasien tua. Kelainan ini analog dengan mononeuropati
iskemik pada saraf kranialis lain pada pasien diabetes ( De Almeida, JR. et
al.,2014).

7
D. Patofisiologi
Saraf fasialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki
meatus akustikus internus. Saraf selanjutnyaberada di dalam kanalis fasialis
memberikan cabang untukganglion pterygopalatina sedangkan cabang
kecilnya kemuskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani.Pada
bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirinmerupakan bagian yang
tersempit yang dilewati saraf fasialis. Foramen meatal pada segmen ini hanya
memiliki diameter sebesar 0,66 mm(Lowis & Gaharu, 2012).
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis
di meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi
atau operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar
parotis (karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan
kelopak mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi
pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan
menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang
menginnervasi bagian ini menerima serat kortikobulba dari kedua korteks
serebral (Snell, 2012).
Murakami, dkk menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam
cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus
Bell’spalsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat.
Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang
menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut
kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan
adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika
dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses
demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf (Lowis & Gaharu, 2012).

8
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung lesi pada
perjalanan saraf fasialis. Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi
gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua ototekspresi wajah.
Saat menutup kelopak mata, kedua matamelakukan rotasi ke atas (Bell’s
phenomenon). Selain itu,mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke
sakuslakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.
Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan
antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari
sudut mulut(Lowis & Gaharu, 2012).
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani
tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjukkan semua gejala
seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada
dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama (Lowis & Gaharu, 2012).
Lesi yang terjadi di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat
mengakibatkan hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadapsuara keras). Selain itu,
lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan
berkurangnya salivasi sertadapat melibatkan saraf kedelapan (Lowis &
Gaharu, 2012).
Pasien dengan Bell’s palsy juga dapat mengalami mata dan mulut
yang kering, kehilangan atau gangguan rasa (taste), hiperakusis dan
penurunan (sagging) kelopak mata atau sudut mulut (Baugh et al, 2013).

F. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada kasus bell’s palsy sebagai berikut:
1. Kelemahan otot wajah
2. Kerut dahi menghilang ipsilateral
3. Tampak orang letih
4. Sulit mengedipkan mata

9
5. Hidung kaku
6. Sensitif terhadap suara
7. Pembengkakan wajah

G. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Bronkiektasis


1. Infared
tujuan dilakukan meberikan efek panas yang dapat menyembuhkan
dari ketegangan otot,mengurangi rasa nyeri, rileksasi, gangguan sirkulasi
darah (Banu et al.,2017).

2. Electrical Stimulation
Dengan teknik yang menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan
saraf pergerakan otot dan ekstresmitas yang mengalami kelemahan serta
gangguan fungsional (Patil et al.,2017)
3. Mirror Exercise
Salah satu bentuk terapi latihan yang menggunakan cermin yang
pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan-gerakan pada wajah baik
secara aktif maupun aktif (Patil et al.,2017)

10
BAB III
KEGIATAN

LAPORAN STATUS KLINIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FISIOTERAPI NEUROMUSKULER

Program Studi Profesi Fisioterapi

Nomor
Urut : / /

NAMA MAHASISWA : Devi Anggraini

N.I.M. : J130195017

TEMPAT PRAKTIK : RSJ Prof.,Dr.,Soerojo Magelang

PEMBIMBING : Muhammad Fauzan, SS.Ftr

==============================================================
=======

Tanggal PembuatanLaporan : Rabu, 20 November 2019

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA

Nama : Ny. Sk

Umur : 42 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : biarawati

11
Alamat : seneng II, Banyurojo

No. RM : 00178875

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT

A. DIAGNOSIS MEDIS :
Bell’s Palsy

B. CATATAN KLINIS:

(Hasil : Rontgen, uji Laboratorium, CT-Scan, MRI, EMG, EKG, EEG,


dll yang terkaitdenganpermasalahanfisioterapi).

Tidakada

C. TERAPI UMUM ( GENERAL TREATMENT ) :

- Fisioterapi

D. RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER :

Di rujukke fisioterapi oleh dokter spesialis saraf di RSJ Prof.Dr.,Soerojo


Magelang.

III. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

Body Chart

12
A. A N A M N E S I S ( AUTO / HETERO *))

1. KELUHAN UTAMA :

Pasien mengeluhkan adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan, mulut
miring kekiri dan keluar air saat berkumur.

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

pasien mengalami kecelakan yang mengakibatkan cideran pada otaknya


dan setelah mengalami kecelakan px mengeluhkan wajah merot
kesebelah kiri

3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

Cidera pada Otak akibat kecelakaan

4. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA:

Tidak ada

5. RIWAYAT PRIBADI DAN KELUARGA:

Tidak ada

B. PEMERIKSAAN

1.PEMERIKSAAN FISIK

TANDA - TANDA VITAL :

a) Bp : 110/70 mmHg
b) RR: 20 x/Menit
c) HR: 80 x / Menit
d) Tb : 165 Cm
e) Bb : 65Kg

13
2. INSPEKSI (STATIS & DINAMIS)

a) Statis :
 wajah merot kesebelah kiri
 Wajah tidak simetris
b) Dinamis :
Pasien belum bisa mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mengembangkan hidung, tersenyum

3. PALPASI (nyeri, spasme, suhu local, tonus, bengkak, dll):

- Suhu tubuh normal


- Spasme pada wajah bagian kanan

4. PERKUSI (refleksfisiologis):

Tidak ada

5. PEMERIKSAAN
a) MMT
Pemeriksaan kekuatan otot-otot wajah

Nama Otot mmt


M. frontalis 1
M. orbicularis occuli 3

M. zygomaticus mayor 3
M. orbicularis oris 3
M. procerus 1
M. bucinator 3
M. corrugator supercilli 1

14
M. nasalis 1
M. depresor labii inferior 1

b) Ugo Fisch
1) Saat diam atau istirahat 20 x 30% = 6
2) Mengerutkan dahi 10x 0% =0

3) Menutup mata 30 x 30% = 9


4)Tersenyum 30x 30% =9
5)Bersiul 10x 30% =3
Jumlah 27 poin

c) Antropometri

Tidak dilakukan pemeriksaan

d) Pemeriksaan Kognitif, intra Personal, Interpersonal

- Kognitif : pasien dapat berkomunikasi dengan baik


kepada terapis, keluarga maupun orang lain. Pasien juga
dapat memahami dengan baik yang di instruksikan
terapis.
- Intra personal : pasien mampu berintraksi dengan orang-
orang di sekitarnya
- Inter personal : pasien bersemangat untuk mengikuti
terapi

15
C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

a) Impairment

 Adanya rasa tebal-tebal pada bagian wajah kanan


 Adanya kelemahan pada otot-otot wajah kanan
 Adanya penurunan Fungsional wajah

b) Functional Limitation

Adanya penurunan kemampuan fungsional dalam


melakukan aktifitas sehari-hari seperti kesulitan saat hendak
minum atau berkumur karena tumpah pada sisi mulut bagian
kanan, kesulitan saat makan karena makanan terkumpul di
dalam mulut sebelah kanan.

c) Participation Restriction

- Mengganggu aktivitas komunikasi.

D. PROGRAM/RENCANA FISIOTERAPI

a) TUJUAN

1) Jangka Pendek
 Mengurangi rasa tebal-tebal pada sisi wajah bagian kanan
 Meningkatkan nilai kekuatan otot-otot wajah kanan.
 Meningkatkan fungsional wajah
2) Jangka Panjang
 Meningkatkan aktifitas fungsional semaksimal mungkin seperti
makan agar tidak mengumpul pada sisi yang lesi, minum atau

16
berkumur agar tidak bocor serta meningkatkan kepercaya diri
pasien.

E. TINDAKAN FISIOTERAPI:

a) Infra Red ( IR )

1) Persipan alat :

- Pastikan kabel sudah terhubung

- Atur waktuselama 15 menit dan jarak 30-45cm

- Siapkan kacamata hitam

2) Persiapan pasien:

- Posisi pasien supine lying senyaman mungkin dengan mata ditutup


kacamata.

- Jelaskan kepada pasien rasa yang di dapat

- Jelaskankepada pasien tujuan daripemberian IR

3) Pelaksanaan :

- Nyalakan IR

- Arahkan sinar IR tegak lurus pada wajah dengan jarak 30 cm


selama 15 menit.

- Kontrol setiap 5 menit

- Tanyakan pada pasien terlalu panas atau tidak

17
- Matikan alat

- Rapihkan alat dan tempat

- Kembalikan alat ketempat semula.

b) Electrical stimulation

1) Persiapan Alat :
- Pastikan kabel sudah terhubung

- Basahi kedua pad

2) Persiapanpasien

- posisi pasien supine lying senyaman mungkin

3) Pelakasanaan :

-Mesin masih dalam posisi off dan tombol intensitas dalam posisi
nol.

-Letakkan elektroda pasif pada cervical 7

- aktif elektroda pada motor poin otot wajah kanan. Stimulasi


diberikan pada wajah kiri/ wajah yang lesi.

-Hidupkan alat dan naikkan intensitas sesuai toleransi pasien.

- Masing-masing motor point memerlukan 30 kali kontraksi.


Pada fase pertama lakukan terlebih dahulu 15 kontraksi pada satu
titik motor point. Kemudian berikan waktu istirahat pada otot
yang baru saja distimulasi.

-Selama waktu istirahat tersebut lakukan stimulasi pada otot lain.


Setelah seluruh titik motor point selesai distimulasi

- fase kedua dengan mengulangi stimulasi dari awal untuk

18
menyelesaikan 15 kontraksi yang belum dilakukan.

- Untuk mengakhiri stimulasi turunkan dahulu intensitas arusnya.


Kemudian lepaskan elektroda dari kulit pasien dan matikan alat.

Terapi Latihan ”Mirorre exercise”

1) Persiapan alat

Sebelum melakukan terapi terlebih dahulu dipersiapkan


cermin dengan ukuran lebih besar dari wajah pasien agar pasien
dapat bercermin dengan jelas, serta disediakan kursi sebagai
tempat duduk pasien didepan cermin.

2) Persiapan pasien

Pasien duduk tegak lurus didepan cermin, kemudian diminta


untuk berkonsentrasi, dan mendengarkan apa yang dijelaskan
oleh terapis.

3) Pelaksanaan terapi

Pada pelaksanaan terapi ini pasien diminta untuk melakukan


gerakan– gerakan wajah yang diperintahkan oleh terapis, seperti :
mengangkat alis keatas dan mengerutkan dahi, menutup mata,
mengembang kempiskan cuping hidung, tersenyum, menarik
sudut mulut kesamping kiri, mecucu, memperlihatkan gigi

seri dan mengucap kata – kata labial L, M, O, dan N. Dosis


waktu : 10 – 25 menit dan dilakukan Pengulangan : 4 – 5 kali
setiap latihan.

19
F. RENCANA EVALUASI:

- Pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT

- Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan skala Ugo Fisch

G. PROGNOSIS

- Quo ad vitam : Bonam

- Quo ad sanam : Bonam

- Quo ad fungsionam : Bonam

- Quo ad cosmeticam : Bonam

H. EVALUASI DAN TINDAKAN LANJUT

- Evaluasi kekuatan otot dengan MMT


- Evaluasi Fungsional dengan Skala Ugo Fisch

Nama Otot T0 T1 T2
M. frontalis 1 1 1
M. orbicularis occuli 3 3 5
M. zygomaticus mayor 3 3 3

M. orbicularis oris 3 3 5
M. procerus 1 1 1
M. bucinator 3 3 5
M. nasalis 1 1 1
M. depresor labii inferior 1 1 1

20
Posisi Wajah T0 T1 T2
Istirahat/ Diam 20 x 30% = 6 20 x 30% = 6 20 x 30% = 6

Mengerutkan dahi 10x 0% =0 10x 30% =3 10x 30% = 3

Menutup mata 30 x 30% = 9 30 x 30% = 9 30 x 70% = 21

Tersenyum 30x 30% =9 30x 30% =9 30x 30% =9

Bersiul/ Mecucu 10x 30% =3 10x 30% =3 10x 30% =3

Jumlah 27 poin 33 poin 42 poin

I.HASIL EVALUASI TERAKHIR:

Pasien Ny. Sk usia 42 tahun dengan diagnosa Bell Palsy dengan


keluhan wajah merot kesebalah kiri dan mengakibatkan Adanya rasa tebal-
tebal pada bagian wajah kanan,kelemahan pada otot-otot
wajahkanan,penurunan Fungsional wajah.Setelah mendapatkan intervensi
Fisioterapi sebanyak 3 kali berupa IR,ES ,Mirror exercise hasilnya: terdapat
peningkatan Kekuatan Otot dan peningkatan kemampuan fungsional

_______________, ______________20….

PEMBIMBING

(_________________________________)

NIP/NIK

21
UNDERLYING PROSES

Idiopatik

Inflamasi pada stilomastoideus

Kompresi nervus fascialis

Terhambatnya peredaran darah pada


nervus trigeminus

Kurangnya suplay darah kewajah


bagian sinistra

Bells Palsy Sinistra

Wajah tidak simetris Adanya rasa tebal –


Kelemahan otot wajah bagian kiri tebal bagian wajah

IntervensiFisioterapi
IR
Edukasi
Electrical Stimulation
Mirror exercise

Peningkatan Kemapuan otot dan fungsional wajah

Pengembalian fungsional otot-otot


wajah

22
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasien Ny. Sk usia 42 tahun dengan diagnosa Bell Palsy dengan keluhan
wajah merot kesebalah kiri dan mengakibatkan Adanya rasa tebal-tebal
pada bagian wajah kanan,kelemahan pada otot-otot
wajahkanan,penurunan Fungsional wajah.Setelah mendapatkan intervensi
Fisioterapi sebanyak 3 kali berupa IR,ES ,Mirror exercise hasilnya:
terdapat peningkatan kekuatan otot dan terdapat peningkatan kemampuan
fungsional

B. Saran
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penyampaian materi.
Dengan harapan teman sejawat dan masyarakat untuk mengurangi
penggunaan AC, Kipas angin dan ketika berkendara saat malam
menggunakan masker.

23
DAFTAR PUSTAKA

Banu. HB (2017).Effect of Infared Radiation on Patients With Bell’s


Palsy.Bangladesh Med. Vol 46 (01).

Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy,


Otolaryngology-Head and Neck Surg. J., Vol.149,pp.S1–S27.

De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice


Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917– 922.

Gilden, DH., (2004). Bell ’ s Palsy, New England J of Med., vol.351(13),


pp.1323–31.

Huang, B. et al., (2012). Psychological factors are closely associated with the
Bell's palsy: a case- control study. J Huazhong University of Sci. Tech.
Med. Sci. Vol 32(2), pp.272-9.

Lowis, H., Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass.,Vol.62(1), pp.32.

Murthy, JMK., Saxena, AB. (2011), Bell's Palsy: Treatment Guidelines. Annals of
Ind. Acad. of Neurology,Vol.14(1), pp.70-72.

Netter, FH. (2014). Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia:


Saunders.

Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia,


Lippincott Williams & Wilkins.

Patil., Gitanjali. Et al.,(2017).Effect Of Electrical Stimulation and Active Muscle


Contractions in bell’s Pallsy.international journal of Science and
Research.vol 06(02).

Anda mungkin juga menyukai