Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu cedera pada Plexus

Brachialis yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini sering kali berupa

penarikan berlebihan atau avulsi. Posisi jatuh dengan leher pada sudut tertentu

menyebabkan cedera pleksus bagian atas yang bisa menyebabkan erb’sparalysis.

Cedera seperti ini menghasilkan sutu tanda yang sangat khas yang disebut

deformitas Waiter’s tip karena hilangnya otot-otot rotator lateral bahu, fleksor

lengan, dan otot ekstensor lengan (Mahadewa, 2013).

Sebagian besar cedera Plexus brachialis terjadi selama proses persalinan.

Plexus brachialis sering mengalami masalah saat berada di bawah tekanan, seperti

dengan bayi yang besar, presentasi bokong atau persalinan yang lama. Hal ini juga

dapat terjadi ketika kelahiran menjadi rumit dan orang yang membantu persalinan

harus melahirkan bayi dengan cepat dan mengarahkan beberapa kekuatan untuk

menarik bayi melalui jalan lahir. Jika salah satu sisi leher bayi tertarik, saraf yang

terdapat didalamnya juga akan tertarik dan dapat mengakibatkan cedera.Saraf

Plexus Brachialis memiliki beberapa kemampuan untuk meregenerasi diri, selama

lapisan luar selubung atau penutup saraf yang diawetkan, yang serabut saraf yang

rusak dapat menumbuhkan kembali ke otot.Bayi mungkin tidak dapat menggerakan


bahu, tetapi dapat memindahkan jari-jari. Jika kedua saraf atas dan bawah yang

meregang, kondisi ini biasanya lebihparah dari sekedar erb’sparalysis.

Erb’s Paralysis merupakan lesi pada plexus brachialis bagian atas karena

cedera yang diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan dan depresi bahu pada

sisi yang sama saat kelahiran, sehingga menyebabkan traksi yang berlebihan

bahkan robeknya akar saraf C5 dan C6 dari plexsus brachialis. Hal ini sering

disebabkan ketika leher bayi itu ditarik ke samping selama kelahiran yang sulit.

Kebanyakan bayi dengan lesi plexus brachialis lahir akan memulihkan kedua

gerakan dan perasaan di lengan yang terpengaruh. Untuk mendiagnosa cedera

plexus brachialis pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari manifestasi klinisnya

berupa tidak adanya respon motorik yang normal pada otot-otot ekstremitas atas,

seperti tidak adanya refleks menggenggam dan refleks moroasimetris. Namun agak

sulit untuk menentukan diagnosis otot yang mengalami kelumpuhan karena

bayi belum dapat melakukan apa yang diperintahkan. Selain itu bisa juga ditemui

gejala Syndrome Horner(ptosis, miosis, dan anhidrosis) yang terjadi karena

trauma pada lower root dan gejala ini mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan

radiologi dilakukan untuk menentukan lokasi dan eksistensi cedera saraf seperti

avulsi (cedera preganglionik) atau ruptur (cedera postganglionik)

(Mahadewa,2013).

Untuk mengevaluasi intraoperatif dapat menggunakan myelografi, CT

myelografi dan MRI. Pemeriksaan ini dapat membantu merencanakan prosedur

operasi dan digunakan untuk menilai tingkat keparahan suatu cedera.Orang tua

harus waspada dan berperan aktif dalam proses pengobatan untuk memastikananak
mereka pulih dengan fungsi maksimal pada lengan yang terpengaruh.Erb’s

Paralysis merupakan salah satu yang dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas

fisik dan kecacatan.

Sebagian besar rumah sakit melaporkan satu sampai dua bayi yang lahir

dengan plexus brachialis mengalami cedera pada 1000 kelahiran. Informasi yang

4cukup tentang insiden cedera plexusbrachialisatas (erb’sparalysis) trumatis sulit

ditemukan, insiden pastinya tidak diketahui.Saat ini, insiden tersebut adalah 0,8 per

1000 kelahiran bayi. Angka ini turun dari tingkat pada tahun 1900, ketika

dilaporkan jumlah penderita yang mencapai dua kali lipat dari pada saat

ini.Penurunan penderita ini dipengaruhi oleh pelayanan kebidanan yang terus

ditingkatkan. Diperkirakan terjadi 400-450 penderita cedera

tertutupsupraclavicular di inggris setiap tahunnya. Laki-laki lebih banyak yang

terkena trauma (Mahadewa, 2013).

Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s Paralysis adalah lesi pada

plexus brachialis yang dapat menyebabkan adanya nyeri pada bahu, adanya

penurunan kekuatan pada otot-otot lengan atas, keterbatasan lingkup gerak

sendipada lengan dan penurunan aktivitas fungsional.

Intervensi fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi problematik yang

timbul pada kondisi erb’s paralysis adalah InfraRed, Muscle Stimulation, dan terapi

latihan (active assisted dan holdrelax). Tujuan dari penggunaan InfraRed, untuk

mengurangi nyeri,merileksasi otot-otot dan meningkatkan suplai darah(Sujatno,

dkk,2002).
Penggunaan Muscle stimulation bertujuan untuk menimbulkan kontraksi

otot dari saraf yang lesi, menstimulasi saraf sensorik

untuk mengurangi nyeri, membuat medan listrik pada jaringan lunak untuk

merangsang proses penyembuhan, dan membuat medan listrik pada permukaan

kulit untuk mengirim ion bienefical untuk merangsang proses penyembuhan pada

5 kulit yang lesi (Prentice, 2002).Penggunaan terapi latihan bertujuan untuk

merileksasi otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan sesuai dengan masalah yang timbul pada

Erb’s Paralysisadalah sebagai berikut:

1. Apakah tanda dan gejala klinis yang timbul pada kondisi Erb’s Paralysis?

2. Apakah InfraRed, Muscle Stimulation,dan terapi latihan dapat mengurangi

Nyeri pada shoulderdextra,meningkatkan kekuatan ototpada lengan

kanan,meningkatkan lingkup gerak sendipada shoulder dextra, Elbow dextra

dan wrist dextra, dan meningkatkan aktivitas fungsionalpada kondisi Erb’s

Paralysis?

C.Tujuan Laporan Kasus

Tujuan yang ingin dicapai padapenulisan Karya Tulis Ilmiah inisesuai

dengan rumusan masalah, yaitu:

1.Tujuan umum

a.Mengetahui tanda dan gejala klinis yang dialami oleh anak dengan kondisi

Erb’s Paralysis.

b.Mengetetahui dan menerapkan intervensi ortotik prostetik yang dapat


digunakan pada kasus Erb’s Paralysis.

2.Tujuan khusus

a.Untuk mengetahui apakah penyakit Erb’s Paralysis, faktor penyebab, serta

gejala klinis yang timbul.

b.Untuk mengetahui pengaruh InfraRed, Muscle Stimulation, Terapi Latihan

pada kasus Erb’s Paralysis.

D.Manfaat Laporan Kasus

Manfaat yang ingin dicapai penulis pada kasus Erb’ Paralysis adalah sebagai

berikut:

1. Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat sebagai khasanah ilmu pengetahuan

khususnya di bidang kesehatan yang memberikan gambaran bahwa

InfraRed. Terapi Latihandan Muscle Stimulationdapat diterapkan pada pada

pasien dengan kondisi Erb’s Paralysis.

2. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk

institusipendidikan sebagai sarana untuk mempersiapkan pesrta didik

dilingkungan pendidikan ortotik prostetik.

3.Bagi Penulis

Memperdalam dan memperluas pengetahuan mengenai hal yang

berhubungan dengan penatalaksanaan ortotik prostetik pada Erb’s Paralysis

4.Bagi Pasien

Dapat membatu mengatasi masalah yang timbul pada kondisi


Erb’s Paralysis.

5.Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang peran

Ortotik prostetik pada kasus Erb’s Paralysis


BAB II

KERANGKA TEORI

a. Erb’s Paralysis

Erb’s paralysis adalah kelumpuhan pada lengan yang disebabkan oleh

adanya cedera pada kelompok saraf lengan atas, khususnya C5-C6 yang merupakan

bagian dari plexus brachialis, cidera inimenyebabkan kelemahan dan kelumpuhan

pada ototdeltoid,otot biceps brachii, otot brachialis dan otot brakhioradialis, kadang

juga mengenai otot supraspinatus dan otot infraspinatus, sehingga lengan atas

berada dalam posisi ekstensi, adduksi, internal rotasi dan lengan bawah tampak

posisi ekstensi dan pronasi (Sidharta, 1988).

b.Etiologi

Erb’s paralysis biasanya terjadi karena trauma persalinan , dimana saat proses

lipersanan terjadi peregangan pada plexus brachialis secara berlebihan bahkan

sampai cidera. Cedera traksi pada plexus brachialis terjadi selama persalinan yang

sulit, menurunkan bahu dengan gerakan yang berlawanan dengan kemiringan

tulang belakang menyebabkan peregangan pada akar saraf servikal (C5,C6,C7) dari

plexus brachialis (Abbottabad, 2006).

Penyebab lain dari kondisi erb’s paralysis adalah lamanya proses persalinan,

pinggul yang sempit atau ukuran bayi yang terlalu besar sehingga menyebabkan

bayi sulit untuk keluar dan Pelvis ibu dapat menekan plexus brachialis

(Prawiroharjo, 1996).
c. Patologi

Erb’s Paralysis Peregangan serabut saraf yang terjadi pada plexus brachialis

dapat menimbulkan cedera pada selubung saraf, pembengkakan saraf dan

pendarahan disekelilingnya sampai dengan rusaknya akson sehingga menyebabkan

terganggunya impuls saraf, dimana tingkat gangguan impuls saraf tergantung kuat

ringannya suatu regangan. Peregangan ringan pada saraf kemungkinan hanya akan

menyebabkan neuropraksi atau aksonotmesis, sedangkan pada ruptur kulit akan

menyebabkan neurotmesis(Campbell, 1991).

d.Tanda dan Gejala Klinis

Erb’s Paralysis Posisi lengan pada posisi ekstensi, adduksi sendi shoulder,

ekstensi dan supinasi sendi elbow dan dorsi fleksi sendi wrist. Atrofi bahkan

kotraktur pada otot supraspinatus, otot infraspinatus, otot biceps, otot brachialis,

dan otot brachioradialis jika tidak mendapatkan penanganan seawal mungkin

(Kimberly, 2009).

Gejala Klinis menurut Foster yaitu: nyeri, terutama pada leher dan bahu,

paresthesia dan disesthesia,lemah tubuh atau terasa berat menggerakkan

ekstremitas dan denyut nadi menurun akibat cedera vaskuler mungkin

terjadibersamaan dengan cedera traksi.

e.Prognosis

Prognosis pada kondisi Erb’s Paralysis sangat bervariasi karena bergantung

tidak hanya pada sifat cidera itu sendiri, tapi juga pada umur pasien dan jenis

prosedur yang dilakukan.

2. Teknologi Intervensi Fisioterapi


a.InfraRed (IR)

Dasarnya generator InfraRed dibagi menjadi dua jenis yaitgenerator non

luminous dan luminous, yang mana perbedaan antara kedua jenis generator

tersebut terletak pada jenis sinar yang terkandung pada tiap generator. generator

non luminous, yaitu generator yang hanya terdiri dari sinar InfraRed saja,

sehingga pengobatan menggunakan jenis ini sering disebut “InfraRed radiation”

Generator luminous, yaitu generator yang disampingmengandung InfraRed,

generator ini juga terdiri dari sinar ultra violet, pengobatan dengan menggunakan

generator jenis ini sering disebut sebagai radiant heating(Sujatno, dkk, 1993).

b. Muscle Stimulation

Arus faradic merupakan arus listrik bolak-balik yang tidak simetris yang

mempunyai durasi 0,01-1ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik. Arus faradic pada

umumnya di modifikasi dalam bentuk surged atau interrupted(terputus-putus)

(Sujatno, dkk, 1993). Terapis menggunakan stimulasi listrik untuk berbagai

kondisi yaitu: untuk menimbulkan kontraksi otot dari saraf yang lesi,

menstimulasi saraf sensorik untuk mengurangi nyeri, membuat medan listrik pada

jaringan lunak untuk merangsang proses penyembuhan, dan membuat

medan listrik pada permukaan kulit untuk mengirim ion bieneficaluntuk

merangsang proses penyembuhan pada kulit yang lesi (Prentice, 2002).

c.Terapi Latihan

Terapi latihandalam bentuk relaksasi dapat memberikan efek pengurangan

nyeri, baik secara langsung maupun memutus siklus nyeri, spasme, dan nyeri.

Gerakan ringan dan perlahan merangssang propioceptor yang merupakan aktivasi


dari serabut afferentberdiameter besar. Hal ini akan mengakibatkan menutupnya

spinal gate ( Mardiman, 2001).

BAB III

PENATALAKSANAAN

A.Tatalaksana

Pada umumnya, bayi dengan OBPP akan mengalami perbaikkan secara

spontan dalam waktu 2 sampai 3 bulan pertama kehidupan. Berdasarkan survey

yang dilakukan British Pediatric, ditemukan sekitar 90% kasus Erb’s palsy dapat

sembuh spontan dengan 53% kasus dapat sembuh berfungsi dengan normal atau

mendekati normal, sedangkan 39% kasus lain, ekstremitas atas dapat berfungsi

dengan “baik”.4 Apabila dalam 3 bulan pertama bayi dengan OBPP tidak

mengalami perbaikkan, sekitar 5% sampai dengan 50% kasus akan memiliki

keterbatasan gerak, penurunan kekuatan dan atrofi otot secara permanen.1

Tatalaksana untuk memperbaiki OBPP terbagi menjadi 2 yaitu, tindakan bedah dan

non bedah. Tindakan non bedah dapat berupa latihan fisik dan bantuan Botolinum

toxin (botox). Sedangkan untuk tindakan bedah bisa berupa microsurgery,

osteotomi, transfer tendon, capsulorraphy, dan transfer otot.5

Latihan fisik dilakukan pada kasus OBPP yang tidak disertai fraktur.

Latihan fisik digunakan untuk menjaga range of movement dari sendi. Gerakan
yang dilakukan dalam latihan fisik berupa gerakan-gerakan pasif terutama pada

sendi glenohumeral terhadap scapulothoracic agar tidak terjadi deformitas dan

kaku. Latihan fisik ini dilakukan sesering mungkin dan bisa dilakukan dengan atau

tanpa bimbingan dari terapis. Selain latihan motorik, perlu dilakukan stimulasi

taktil untuk melatih sensorik anggota gerak.1 Terapi non bedah lainnya dapat berupa

suntikan botox. Botoks dapat digunakan terutama ke bahu untuk membantu

pergerakan sendi, menyeimbangkan otot dan mencegah kontraktur serta dislokasi

bahu.5

Terapi bedah mikro diindikasikan pada pasien OBPP dengan nilai Toronto

Scoring kurang dari 3,5 dan berusia 3 bulan atau lebih. Toronto Test Score ini

meliputi perbaikkan dari abduksi bahu, fleksi siku, ekstensi pergelangan tangan,

ekstensi jari tangan dan juga ekstensi ibu jari. Masing-masing pergerakkan

memiliki skala 0 yang tidak berfungsi sama sekali, sampai 2 yang berfungsi denga

normal., Terapi bedah mikro meliputi perbaikkan langsung terhadap saraf yang

cidera, neurolisis, nerve grafting yang biasa diambil dari kaki (Sural) dan nerve

transfer dari luar saraf pleksus brakialis.1 Nerve trannsfer ini biasanya dilakukan

OBPP dengan avulsi. Terapi bedah mikro ini sebaiknya dilakukan di usia 3 sampai

9 bulan.5

Terapi bedah transfer tendon dilakukan dengan cara memisahkan tendon

dari tempat asalnya dan menempelkannya di tempat yang baru. Terapi transfer

tendon dilakukan saat usia 1 tahun ke atas atau dewasa. Terapi ini biasanya
dilakukan didaerah bahu untuk meningkatkan kemampuan mengangkat tangan,

namun bisa juga dilakukan di pergelangan tangan, tangan dan lengan.

Osteotomi biasanya dilakukan pada anak-anak dengan deformitas

glenohumeral yang berat. Osteotomi dapat memperbaiki fungsi esktremitas atas

dengan memperbaiki posisinya. Sedangkan capsulorraphy merupakan tindakan

bedah dengan mengurangi ketegangan jaringan di sekitar sendi bahu. biasanya

dilakukan jika terjadi kelemahan otot terus menerus yang menyebabkan dislokasi.

Transfer otot dilakukan ketika ada disfungsional otot ekstremitas atas. Otot yang

digunakan untuk mengganti otot yang disfungsional biasanya otot kaki (gracilis)

dari kaki pasien dan bedah ini memerlukan penyambungan pembuluh darah serta

saraf, maka dari itu biasanya dilakukan di bawah mikroskop.5

B.PROSES FISIOTERAPI

Terapi pada tanggal 10, 13, 15, 17, 23, 28 Januari 2014 menggunakan modalitas

fisioterapi:

1.InfraRed

2.Muscle Stimulation

3.Terapi Latihan

a.Activeassisted

b.Holdrelax

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.Hasil

a.Adanya penurunan nyeri gerak saat pasien menggerakan shoulderkanan.


b.Adanya peningkatan kekuatan otot pada group otot fleksor elbow, ekstensor

elbow, fleksor Wrist dan ekstensor wrist.

c. Adanya peningkatan LGS pada bidang gerak Shoulder.

d. Adanya peningkatan aktivitas fungsional.

2.Pembahasan

a.Pengukuran nyeri menggunakan skala visual analoge scale.

Nyeri yang dievaluasi meliputi nyeri gerak saat gerakan fleksi dan ekstensi

shoulder dan saat gerakan abduksi dan adduksi shoulde. Pada awal terapi nyeri

gerak berada pada nilai 6,3 dan pada akhir terapi berkurang menjadi 5,6. Dalam

penatalaksanaan kasus ini terbukti pemberian terapi latihan dan pemberian IR

efektif dalam menurunkan nyeri.Efek IR yang memiliki efek sedative

danmelalui mekanisme vasodilatasi pembuluh darah sehingga zat-zat pencetus

nyeri terangkut dalam aliran darah tersebut.

b.Instrument yang digunakan untuk menilai kekuatan otot adalah manual muscle

testing. Peningkatan kekuatan otot yang dievaluasi meliputi pada fleksor dan

ekstensor elbow dan pada fleksor dan ekstensor wrist pada awal terapi fleksor

elbow 3 dan ekstensor elbow 2, ekstensor wrist 2 dan fleksor wrist 3. Pada akhir

terapi ke enam nilai otot pda ekstensor elbow 3 dan fleksor elbow 4 dan fleksor

wrist 4 dan ekstensor wrist 3. Dalam penatalaksanaan kasus ini terbukti efektif

dalam peningkatan kekuatan otot. Terapi latihan active assisted dan muscle

stimulation memiliki efek dalam menstimulasi dan menginervasi jaringan otot

yang mengalami paralysis.


c.Penilaian yang digunakan untuk mengukur lingkup gerak sendi adalah

Goneometer. Peningkatan LGS yang dievaluasi meliputi pada gerakan fleksi-

ekstensishoulder kanan, pada awal terapi S 300-0-900. Setelah akhir terapi ke

enam menjadi 400-0-1050,adanya peningkatan LGS pada elbow pada terapi

pertama S 0-0-1300 setelah enam kali terapi menjadiS 0-0-1350, adanya

peningkatan LGS pada wrist pada awal terapi S 0-0-400 setelah menjalani enam

kali terapi S 0-0-500.Hold relax bermanfaat untuk rileksasi otot dan menambah

lingkup gerak sendi. Sedangkan pada jaringan non kontraksi seperti tulang,

tendon dan ligament, terapi latihan memberikan efek naiknya adaptasi

pemeliharaan dan kekuatan tendon, ligament serta hubungan otot dan tendon

(Kisner, 1996).

d.Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan aktivitas fungsional

adalah upper extremity functional scale. UEFS terdiri dari beberapa poin dan

tiap tahap memiliki rentang poin dari 0-4. Skor maksimal dari keseluruhan poin

tersebut adalah 100 yang menyatakan bahwa aktifitas kemampuan fungsional

pasien tidak mengalami gangguan. Dalam kasus ini pada terapi pertama 66,serta

padaterapi ke enam 70 poin. Tidak adanya peningkatankemapuan fungsional

juga bisa disebabkan berbagai hal. Sebagai contoh tidak digunakannya tangan

kanan dalam jangka waktu lama sehingga menyebabkan penurunan fungsi

tangan.

3. Ortotok Prostetik

Jika ortosis diperlukan untuk memberikan imobilisasi suatu cidera

tulang belakang, paling sering berupa rujukan dari rehabilitasi medis yang
diteruskan ke ahli ortotik, yang biasanya didapat dari pasien rawat inap

dirumah sakit. Langkah – langkah yang harus kita lakukan sebagai tenaga

Ortotis Prostetis dalam asessmant pasien diantaranya :

1. Lakukan penilaian klinis

2. Lakukan pengukuran dan pengecekan kondisi untuk meresepkan dan

membuatkan ortosis yang sesuai

3. Memberikan dukungan klinis dan edukasi yang bersifat berkelanjutan.

4. Lakukan follow up kepada pasien untuk mengetahui perkembangan

pasien mengenai alat yang ia pakai.

5. Lakukan komunaksi yang baik dengan anggota tim rehabilitasi /

kesehatan
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

1.Simpulan

a.Paralisis pada otot deltoid, otot biceps, otot brakhialis, otot Brakhioradialis

kadang juga otot supraspinatus dan otot infraspinatus yang disebabkan karena

terganggunya impuls saraf ke otot yang di inervasi sehingga menyebabkan

hilangnya gerakan abduksi dan eksternal rotasi shoulder dan gerakan fleksi

dansupinasi elbow dan palmar fleksiwrist, serta sensasi menghilang pada

permukaan deltoideus dan radialis lengan bawah. Posisilengan pada posisi

ekstensi, adduksi sendi shoulder, ekstensi dan supinasi sendi elbow dan dorsi

fleksi sendi wrist.

b.Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi erb’s paralysis dapat mengurangi

nyeri dengan hasil terapi adanya penurunan nyeri gerak dari T1=6,3, T6=5,6.

c.Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi erb’s paralysis dapat meningkatkan

kekuatan otot, dengan hasil terapi adanya peningkatan kekuatan otot pada

fleksor dan ekstensor elbow dan pada fleksor dan ekstensor wrist pada T1=

fleksor elbow3 dan ekstensor elbow2, ekstensor wrist2 dan fleksor wrist.3.
Nilai otot pada T6=ekstensor elbow3 dan fleksor Elbow 4 dan fleksor Wrist 4

dan ekstensor wrist3.

d.Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisierb’s paralysis dapat meningkatkan

lingkup gerak sendi, dengan hasil terapi adanya peningkatan lingkup gerak

sendi pada fleksi-ekstensi shoulder pada T1= S 300-0-900menjadi T6 = 400-

0-1050, adanya peningkatan LGS pada elbow pada T1= S 0-0-1300 menjadi

T6= S 0-0-1350, adanya peningkatan LGS pada Wrist pada T1=S 0-0-400

menjadi T6= S 0-0-500.

e.Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi erb’s paralysis dapat meningkatkan

kemampuan aktivitas fungsional yang diukur menggunakan UEFS, dengan

hasil terapi adanya peningkatan aktivitas fungsional dari T1= 66 menjadi

T6=70.

2.Saran

a.Saran untuk fisioterapis

Fisioterapis merupakan orang yang bertugas pada bidangkesehatan yang

berperan penting dalam kesembuhan pasien. Sebagai fisioterapis dalam

memberikan pelayanan harus memiliki jiwa kemanusiaan dan penuh tanggung

jawab. Pasien yang datang memiliki keinginan dan keyakinan untuk sembuh. Maka

dari itu dalam memberikan tindakan harus sistematis diwali dari diagnosa,

anamnesis, pemeriksaan, tujuan, dan evaluasi harus dikerjakan dengan teliti dan

hati-hati. Pemberian penjelasan dan pengertian dalam memberikan tindakan dan

dosis yang tepat agar tercapai tujuan yang maksimal dalam memberikan pelayanan

terhadap pasien.
b.Saran untuk pasien

Kesembuhan pasien merupakan tujuan utama dalam memberikan pelayanan

kesehatan. Kesembuhan pasien tergantung kerjasama antar petugas kesahatan dan

antara petugas kesehatan dengan pasien. Maka dari itu pasien diharapkan memiliki

keyakinan untuk sembuh dan pulih. Semua program-program yang telah diberikan

oleh fisioterapis akan lebih maksimal jika pasien juga melaksanakan saran-saran

dari fisioterapis.

c.Saran untuk keluarga

Keluarga pasien harus terus memberikan dorongan semangat agar pasien

juga lebih termotivasi dalam melawan penyakit yang sedang dihadapi.


DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/30718/17/02_NASKAH_PUBLIKASI.pdf

Abbottabad, J Ayub Med Coll, 2006; Restoration Of Glenohumeral Motion In


Erb’s Paralysis By Tendon Transfers:Department of Surgery, The Aga
Khan University Hospital.

Campbell, K.Sussan, 1991;Pediatric Neurologic Phisicical Therapy: Second


Edition, ChurchilLivingstone,Tokyo.

Dalyono, Muhammad, 1992;Pola Penderita Kelumpuhan Pleksus Brakhialis


karena Trauma Lahir: FK. UNAIR, RSUD DR SOETOMO, Surabaya.

Doucet, Barbara M, 2012;Neuromuscular Electrical Stimulation for Skeletal


Muscle Function; Diakses tanggal 5/4/2014, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3375668//.

Kepmenkes RI, 2007; Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 376 Tahun
2007 Tentang Standar Profesi Fisioterapi: Jakarta; Hal 4.

Kimberly, 2009; Obstetrical Brachial Plexus Palsy: Elsevier.

Kisner, Carolyn and Colby, L. A., 1996; Therapeutic Exercise Foundation and
The Technique: Third Edition, F. A. Davis Company, Philadelpia, hal. 47-
49, 160-164.

Mahadewa, Tjokorda Gde Bagus, 2013; Saraf Perifer masalah Dan


Penanganannya: Indeks,Jakarta.

Mardiman, Sri, 2001; Fisiologi Latihan: Politeknik KesehatanSurakarta Jurusan


Fisioterapi, Surakarta.

Paulsen, F and J. Waschke, 2010; Sobotta Jilid 1 Anatomi Umum dan Sistem
Muskuloskeletal: Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Prawiroharjo, Sarwono, 1996; Ilmu Kebidanan: Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.

Prentice, William E, 2002; Therapeutic Modalities for Physical Therapists;


Second Edition, The McGraw Hill Companies, United States,hal. 90-99.

Reiter, jesse, 2012; Plexus Brachialis; Diakses tanggal 2mei2014,


Dari http://www.Abclawcenters.com.

Seddon, 1989; Topical Diagnosis In Neurology: Theme Stratton, New York.

Sidharta, Priguana, 1988; Neurologi Klinis Dasar: Dian Rakyat, Jakarta.Sujatno,


dkk, 1993;Sumber Fisis: Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan
Fisioterapi, Surakarta.

Syaifuddin, 2009; Anatomi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi


2: Salemba Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai