Anda di halaman 1dari 34

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI MICRO WAVE DIATHERMY

(MWD) ELECTRICAL STIMULATION DAN EXERCISE


PADA KASUS BELL’S PALSY
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SLEMAN

MAKALAH
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Tugas Praktik Klinik D-IV Fisioterapi di RSUD SLEMAN

Disusun Oleh:

1. Firda Yuliana P 27226016 121


2. Michel Ibnu Syarif P 27226016 129
3. Winda Reformerlanda G.W P 27226016 152

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah Yang Berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Micro Wave


Diathermy (MWD) Electrical Stimulation Dan Exercise Pada Kasus Bell’s Palsy
Di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman” telah disetujui dan disahkan oleh
pembimbing sebagai bukti pelaporan kegiatan mahasisa selama masa praktik
komprehensif di di rumah sakit umum daerah Sleman, periode praktik 4 – 29
Februari 2020.

Sleman, 14 Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing lahan

Haryono, SST.Ft
NIP:

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas bukti laporan

kegiatan mahasiswa selama masa praktik komprehensif di Rumah Sakit Umum

Daerah Sleman. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati

mengucapkan terima kasih pada:

1. Bapak Satino, SKM, M.Sc selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Surakarta

2. Bapak Dr. Bambang Trisnowiyanto, M. Or selaku Ketua Jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Surakarta

3. Bapak Ftr. Saifudin Zuhri, M.Kes selaku Ketua Prodi DIV Jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Surakarta

4. Ibu dr. Sulistiwi, Sp.KFR selaku kepala instalasi rehab medik RSUD Sleman

5. Bapak Haryono, SST.Ft, Ibu Endah Supeni, SMPh selaku pembimbing praktik

di RSUD Sleman

6. Fisioterapis di IRM RSUD Sleman, Mas Faisal, Mbak Rina, Mbak Sinta selaku

pembimbing kedua

7. Bapak dan Ibu karyawan Instalasi Rehabilitasi Medik di RSUD Sleman

8. Teman-teman praktik di RSUD Sleman

Penulis berharap makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat bagi

pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah

membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.

iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................................................................................i
Halaman Pengesahan ..................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................. iii
Daftar Isi.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan ................................................................................................. 3
D. Manfaat ............................................................................................... 3
BAB II KAJIAN TEORI................................................................................. 5
A. Definisi ................................................................................................ 4
B. Anatomi dan Fisiologi ......................................................................... 4
C. Etiologi .............................................................................................. 10
D. Patofisiologi ...................................................................................... 12
E. Tanda dan Gejala............................................................................... 13
F. Manifestasi Klinis ............................................................................. 15
G. Epidemiologi ..................................................................................... 16
BAB III STATUS KLINIS ........................................................................... 17
A. Keterangan Umum Penderita ............................................................ 17
B. Data-Data Medis Rumah Sakit ......................................................... 17
C. Segi Fisioterapi ................................................................................. 18
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 28
A. Kesimpulan ....................................................................................... 28
B. Saran .................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelumpuhan (pharese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan otot-otot wajah.

Kelumpuhan otot fasialis ini juga disebut bell’s palsy. Bell’s Palsy adalah nama sejenis

penyakit kelumpuhan perifer akibat proses (non suppuratif, non neoplasmatik, non

degeneratif primer), namun sangat mungkin akibat edema pada nervus fasialis pada

distal kanalis fasialis. Penyebab secara pasti belum diketahui, tetapi beberapa

penelitian mendukung adanya infeksi sebagai penyebab bell’s palsy terutama HSV.

Dari beberapa penelitian dan penyelidikan yang telah dilakukan ternyata 75% dari

paralisis fasial adalah Bell’s Palsy.

Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun secara pasti

sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di

Indonesia sebesar 19,55%, dari seluruh kasus neuropati terbanyak yang sering dijumpai

terjadi pada usia 20 – 50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya

usia setelah 60 tahun. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang

bilateral dan dapat berulang (Annsilva, 2010).

Permasalahan yang di timbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, diantaranya:

masalah kosmetika dan psikologis. Adanya kelumpuhan pada otot wajah menyebabkan

wajah tampak mencong dan ekspresi abnormal, sehingga menjadikan penderitanya

merasa minder dan kurang percaya diri. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik

1
setelah penyebab yang jelas untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang

dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi.

Penanganan yang di berikan sedini mungkin sangat di perlukan untuk mengembalikan

fungsi otot-otot wajah, dan mengembalikan penampilan.

Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila dahi di

kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak mata tidak dapat

menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat di saksikan. Dalam

mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Dalam

menjunlurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta

air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua

per tiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam (Sidharta, 2008). Dari tanda dan gejala di

atas, kasus tersebut bisa di tangani oleh fisioterapi.

Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama.

Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-

laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun

lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2

minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsi lebih tinggi daripada

wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat . Tidak didapati juga perbedaan

insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan

adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.

2
B. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian Electrical Stimulation,

Short Wave Diathermy pada kasus Bell’s Palsy?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk penatalaksanaan fisoterapi pada

kasus Bell’s Palsy.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Dapat lebih mengetahui dana memahami penatalaksanaan fisioterapi yang

efektif pada kasus Bell’s Palsy.

2. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan informasi dan pengetahuan tentang gambaran klinis dan

penanganan fisioterapi yang efektif pada kasus Bell’s Palsy agar

masyarakat lebih memperhatikan tentang kesehatannya masing-masing.

3. Bagi Institusi

Semoga dapat bermanfaat sebagai bahan referensi maupun pertimbangan

dalam melakukan penelitian ataupun studi kasus lainnya.

4. Bagi Pembaca

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pencegahan dan

pengobatan Bell’s palsy dengan memperhatikan tanda dan gejala.

3
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Kasus

1. Pengertian Bell’s Palsy

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non-

supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di bagian

saraf fasialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen

tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Pasien mengalami pembaikan gejala pada 2 minggu pertama, dan kembali

ke fungsi normal pada 3-6 bulan kemudian (Sidharta, 2010).

B. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi N. Fasialis

Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang

berfungsi untuk motorik sensorik somatik, dan aferen eferen visceral.

Gambar berikut ini memperlihatkan cabang nervus fasialis beserta otot

yg dipersarafinya. Nervus fasialis memiliki dua subdivisi, yang pertama

adalah yang mempersarafi otot ekspresi wajah kemudian yang kedua

memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate yang membawa

aferen otonom, somatik, dan eferen otonom. (Netter, 2002)

4
Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu:

1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali

m.levator palpebrae (N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus

bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivarius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan

rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh

n.trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf

5
(tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus

eksterna dan bagian luar gendang telinga.

Nama Komponen Asal Fungsi

Saraf Fasialis Brankial Nukleus Otot-otot ekspresi wajah: m.

eferen fasialis Platysma, m. Styloideus, m.

Digastrikus

Saraf Viseral eferen Nukleus Nasal, lakrimal, kelenjar liur

Intermediat salivatorius (sublingual dan

superior submandibular)

Viseral aferen Ganglion Pengecapan 2/3 anterior

special genikuli lidah

Somatic Ganglion Telinga luar, bagian kanalis

aferen genikuli auditorius, permukaan luar

membrane timpani

(sensibilitas)

b. Nervus Fasialis

Nukleus motorik terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pontin bawah

dekat medula oblongata. Sewaktu di tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan

dari arah sudut pontoserebelar dan muncul di depan nervus vestibularis. Saraf

intermediate muncul di antara saraf fasialis motorik dengan vestibulokoklearis.

6
Nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis berjalan

bersama ke lateral ke meatus akustikus internus. Di dalam meatus akustikus internus,

nervus fasialis dan intermediate berpisah dengan nervus vestibulokoklearis. Nervus

fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke ganglion geniculatum.

Pada ujung kanalis tersebut, nervus fasialis keluar kranium melalui foramen

stilomastoideus. (Netter, 2002)

Dari foramen tersebut, serat motorik menyebar ke wajah, beberapa melewati

glandula parotis. Nukleus motorik merupakan bagian dari arkus refleks yakni refleks

kornea dan refleks berkedip. Refleks kornea berasal dari membran mukosa mata

(aferen) dibawa melalui nervus V1 oftalmikus menuju ke nukleus sensorik trigeminus

utama. Di nukleus tersebut rangsang ditransmisikan ke neuron yang berhubungan

dengan nervus fasialis pada sisi yang sama. Bagian eferen dari refleks tersebut berasal

dari neuron eferen nervus fasialis.

Refleks berkedip berasal dari mata (aferen) mengantarkan impuls optiknya ke

nukleus di tektobulbaris menyebabkan refleks berkedip jika cahaya terang. Selain

kedua refleks tersebut, impuls akustik yang berasal dari nervus vestibulokoklearis

mencapai nukleus dorsalis dan menghasilkan arkus refleks berupa tegangan otot

stapedius atau relaksasi.

Persarafan supranuklear dari nervus fasialis terletak pada kedua hemisfer

serebri untuk otot dahi, sedangkan otot wajah sisanya mendapat persarafan dari girus

presentralis kontralateral. (Mardjono, 2000)

7
2). Anatomi Otot-otot wajah

Berikut adalah table otot-otot wajah beserta fungsinya (Fehrenbach, 2012)

Nama otot Simbol Gerakan Sadar Gerakan Spontan

Frontalis FRO Kerutkan dahi Membelakakkan mata

Corrugator COR Kerutkan alis sehingga Ekspresi keragu-

kedua alis bertemu raguan

Procerus PRO Membantu otot FRO Ekspresi berpikir

dan COR dalam

berkerut

Orbicularis Oculi Superior OCS Menutup mata dengan Ekspresi bingung

halus

Orbicularis Oculi Inferior OCI Menutup kelopak mata Ekspresi bingung

Dilator Naris DIN Membuka lubang Mengrenyitkan hidung

hidung

Compresor Naris CON Membantu DIN dalam Ekspresi pilek

berkerut

Labii Alaeque Nasi LLA Membantu LLS dalam Ekspresi tunjukkan

menjaga gerakan gigimu

berkerut

Labii Superioris oris LLS Menaikkan bibir Ekspresi tunjukkan

keatas gigimu

8
Levator Anguli Oris LAO Membantu LLS dalam Ekspresi tunjukkan

menjaga gerakan gigimu

berkerut

Zygomaticus Mayor ZYJ menunjukkan gigi seri Ekspresi mengerang

Zygomaticus Minor ZYM Membantu ZYJ dalam Ekspresi mengerang

menjaga gerakan

tersebut

Risorius RIS Menarik sudut mulut Ekspresi mengejek &

ke belakang horizontal tersenyum

Orbicularis Oris Superior OOS Menonjolkan bibir Ekspresi mencium dan

merajuk

Orbicularis Oris Inferior OOI Menonjolkan bibir Ekspresi mencibir dan

mencium

Depresor Anguli Oris DAO Menggerakan turun Ekspresi masam dan

kebawah sudut mulut merajuk

Depresor Labii Inferior DLI Menjaga otot DAO Ekspresi masam dan

dalam menstabilkan merajuk

gerakan tersebut

Mentalis MEN Menaikkan & Ekspresi manja

mengencangkan dagu

keatas dan kebawah

9
C. Etiologi

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru

beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena

pada umumnya kasus Bell’s Palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah

10
diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum

penderita Bell’s palsy (Bahrudin, 2011).

a. Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam

virus herpes (HSV 1 dan virus Herpes zoster). Virus tersebut dapat dormant

(tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan

terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bell's palsy tidak

menular.

b. Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan nervus facialis sesisi,

akibatnya pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian

sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu,

akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat

diteruskan.

c. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan

kaca jendela

d. Infeksi telinga tengah (otitis media kronik)

e. Tumor (tumor intracranial)

f. Trauma kepala

g. Gangguan pembuluh darah (thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan

arteri serebri media)

D. Patofisiologi

11
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s Palsy terjadi proses inflamasi

akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

stilomastoideus. BP hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian

dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral.

Penyakit ini dapat berulang atau kambuh Patofisiologinya belum jelas, tetapi

salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus

fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga

terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal

(Bahrudin, 2011)

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis

fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu

keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan

dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa

mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi

supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras

kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah

somatotropik wajah di korteks motorik primer (Bahrudin, 2011).

Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di

pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di

foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi

12
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus

longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan

disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah

lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan

dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan

2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab

utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus

herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster

karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes

zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003 Dalam

(Bahrudin, 2011).

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan Gejala Klinik BP Berhubungan Dengan Lokasi Lesi (Bahrudin,

2011)

a. Lesi di luar foramen stilomastoideus - Mulut tertarik ke arah sisi mulut

yang sehat - makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi

dalam (deep sensation) di wajah menghilang - Lipatan kulit dahi

menghilang - Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak

dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) - Gejala dan tanda

klinik seperti pada (a) - ditambah dengan hilangnya ketajaman

13
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena

berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan

terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah

antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus

fasialis di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

- Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b) - ditambah dengan adanya

hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion

genikulatum) - Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) - disertai

dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini

dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt

adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster

di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,

kanalis auditorius eksterna dan pina.

e. Lesi di daerah meatus akustikus interna - Gejala dan tanda klinik seperti

(a), (b), (c), (d) - ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya

nervus akustikus.

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons. Gejala dan tanda

klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus

trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus abdusens,

nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus (Djamil, 2003).

14
F. Manifestasi Klinis

Pasien Bells Palsi mengeluhkan hemiparalisis wajah nonprogresif. Pada

awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,

menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya

kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat

dengan menggunakan cermin. Gejala lainnya meliputi :

a. Mati rasa di wajah, telinga, dan lidah

b. Gangguan pengecapan

c. Wajah terkulai pada bagian yang terkena

d. Ketidakmampuan untuk mengontrol gerakan pada otot wajah

e. Kesukaran untuk menutup sebelah mata

f. Kekeringan pada sebelah mata

g. Kesukaran untuk merasa bagian hadapan lidah pada bagian yang diserang,

perubahan pada jumlah air liur

h. Bunyi pendengaran yang lebih kuat dari pada biasanya pada satu bagian telinga.

i. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar

ke atas bila memejamkan mata.

j. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh.

k. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang

lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

l. Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.

15
G. Epidemiologi

Bell’s Palsy sering dijumpai pada usia 20 sampai 50 tahun. Di Amerika

Serikat angka kejadian Bell’ Palsy 15 sampai 30 kasus dari 100.000 orang

setiap tahunnya. Angka kejadian terendah ditemukan pada usia kurang dari 10

tahun dan angka kejadian tertinggi pada usia kurang dari 60 tahun (Talavera,

2006). Bell’s Palsy pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria

sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan yang mencolok antar kedua

jenis kelamin (Sukardi, 2008).

16
BAB III

STATUS KLINIS

Tanggal Pembuatan Laporan : 14 Februari 2020

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA

Nama : Tn. I

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Guru

Alamat : Pondok Pesantren Al-Husain

No RM : 381879

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT

A. DIAGNOSIS MEDIS:

Bell’s Palsy Dextra

17
III. SEGI FISIOTERAPI

A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

1. KELUHAN UTAMA:

Pasien mengeluhkan wajah sisi kanannya lemah dan terasa kebas, mata tidak

menutup sempurna, bocor saat berkumur dan tidak simetris / merot.

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

Pada tanggal 4 Februari 2020 pasien terbangun dari tidurnya dengan keadaan

wajah sisi kanannya lemah dan terasa kebas. Semalaman pasien tidur di lantai dengan

wajah sisi kanannya menempel di lantai.

3. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA:

HT (-), DM (-)

B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF

1. PEMERIKSAAN TANDA VITAL

18
a) Tekanan darah : 120/80 mmHg

b) Denyut Nadi : 80x/menit

c) Pernapasan : 19x/menit

d) Temperatur : 36,5 °C

e) Tinggi Badan : 170 cm

f) Berat Badan : 65 kg

2. INSPEKSI

Statis:

• Kesadaran umum pasien baik.

• wajah sedikit merot kekiri

Dinamis:

• Pasien kesulitan dalam menutup mata kanannya dengan sempurna,

mengangkat alis kanannya dan mecucu.

3. PALPASI

• Suhu tubuh teraba normal

19
4. PEMERIKSAAN FUNGSI DASAR

Pemeriksaan motorik:

a. Mengerutkan dahi: kesulitan

b. Menutup mata: kesulitan

c. Mecucu: kesulitan / tidak simetris

d. Tersenyum: kesulitan / tidak simetris

e. Mengangkat alis: kesulitan

5. MUSCLE TEST

MMT

Otot Nilai

M. Frontalis 1

M. Corugator Supercili 1

M. Obricularis Oculi 1

M. Obricularis Oris 1

M. Zygomaticum 1

6. KEMAMPUAN FUNGSIONAL DAN LINGKUNGAN AKTIVITAS

Pasien nelum mampu mengangkat alis kanan,tersenyum simetris, menutup

mata kanan dengan sempurna dan mecucu.

20
7. PEMERIKSAAN KHUSUS

a. Skala UGO FISCH (10/02/2020)

Istirahat / Diam 20 x 70% = 14

Mengerutkan Dahi 10 x 30% = 3

Menutup mata 30 x 30% = 9

Tersenyum 30 x 30% = 9

Bersiul / Mecucu 10 x 30% = 3

TOTAL SKOR 38

Interpretasi penilaian presentase:

• 0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer

• 30% : simetris poor (jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke

simetris komplit dan pada simetris normal)

• 70% : simetris fair ( cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke

normal)

• 100% : simetris, normal komplit

b. Tes sensibilitas

Tajam - tumpul : Normal

Panas – dingin : Normal

21
Halus – Kasar : Normal

C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

a. Impairment

- Adanya kelemahan otot pada wajah sisi kiri

- Adanya penurunan fungsional pada wajah sisi kanan

- Adanya rasa kebas pada wajah sisi kanan

b. Functional Limitation

- Kesulitan pada saat berkumur dan minum

- Gangguan saat berekspresi

- Tidak mampu menutup mata dengan sempurna

c. Disability / Participation Restriction

Penurunan kepercayaan diri saat mengajar

D. PROGRAM/RENCANA FISIOTERAPI

1. Tujuan

22
a. Jangka Pendek

- Meningkatkan kekuatan otot wajah sisi kanan

- Meningkatkan kemampuan fungsional wajah sisi kanan

- Mengurangi rasa kebas pada wajah sisi kanan

b. Jangka Panjang

Meningkatkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional secara maksimal.

2. TEKNOLOGI INTERVENSI

a. Teknologi Fisioterapi:

- MWD

- ES

b. Edukasi:

- Pasien diminta menjauhi faktor yang akan memperburuk keadaan, misalnya

dengan terpapar langsung kipas angin, AC, dan kontak langsung dengan sesuatu yang

dingin.

23
- Pasien diminta untuk melatih gerakan-gerakan pada wajahnya seperti

mengangkat alis, mengerutkan dahi, menutup mata, beriul / mecucu dan mengembang

kempiskan cuping hidung, dan mengucapkan kata-kata seperti A, I, U, E, O dengan

dosis latihan 5-10 menit 4 kali sehari.

F. RENCANA EVALUASI

- Kekuatan otot wajah dengan MMT

- Kemampuan Fungsinal dengan Skala UGO FISCH

G. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad cosmeticam : bonam

H. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

1. MWD

24
Penatalaksanaan: pasien tidur terlentang diatas bed senyaman mungkin. Tempatkan

MWD pada wajah sisi kanan.

I : 50 watt

T : 12 menit

T : thermal therapy

2. ES

Penatalaksanaan : pasien tidur terlentang diatas bed senyaman mungkin. Letakkan

pad elektrode (+) pada cervical dan pad elektrode (-) pada setiap

motor point.

Phase Duration : 200 ms

Phase Interval : 700 ms

Intensity : kontraksi otot terlihat

Time : 12 menit

Type : muscle stimulation

G. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT

MMT

Otot T1 (10/02/2020) T2 (12/02/2020) T3 (17/02/2020

25
M. Frontalis 1 1 1

M. Corugator 1 1 1

Supercili

M. Obricularis 1 1 1

Oculi

M. obriculris Oris 1 1 1

M. Zygomaticum 1 1 1

Skala UGO FISCH

Posisi Wajah T1 (10/02/2020) T2 (12/02/2020) T3 (17/02/2020)

Istirahat / Diam 20 x 70% = 14 20 x 70% = 14 20 x 70% = 14

Mengerutkan Dahi 10 x 30% = 3 10 x 30% = 3 10 x 30% = 3

Menutup mata 30 x 30% = 9 30 x 30% = 9 30 x 30% = 9

Tersenyum 30 x 30% = 9 30 x 30% = 9 30 x 30% = 9

Bersiul / Mecucu 10 x 30% = 3 10 x 30% = 3 10 x 30% = 3

TOTAL SKOR 38 38 38

H. HASIL TERAPI AKHIR

Pasien atas nama Tn. I yang berusia 26 tahun dengan diagnose Bell’s Palsy

Dextra setelah mendapatkan fisioterapi sebanyak 3 kali didapatkan hasil :

26
1. Penurunan rasa kebas pada wajah sisi kanan

2. Belum ada peningkatan yang signifikan pada kekuatan otot dan kemampuan

fungsional wajah sisi kanan.

27
UNDERLYING PROCCESS / CLINICAL REASONING

Paparan udara dingin

Peradangan pada daerah


formen stilomastoideus

Penjepitan pada nervus facialis

Bell’s Palsy

Gangguan sensoris: Gangguan motoris:

Rasa kebas pada wajah sisi Kelemahan otot dan penurunan


kanan fungsional wajah sisi kiri

- MWD

- Electical Stimulation

- Exercise terapi wajah

- peningkatan kekuatan otot wajah kanan

- peningkatan kemampuan fungsional wajah kanan

- pengurangan rasa kebas pada wajah kanan

Peningkatan aktivitas fisik dan kemampuan


fungsional secara maksinal
28
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan pemberian terapi berupa Medium Wave Diathermy dan Electrical

Stimulation pada Tn. I yang menderita Bell’s Palsy Dextra memberikan efek berupa

penurunan rasa kebas pada wajah sisi kanan, Belum ada peningkatan yang signifikan

pada kekuatan otot dan kemampuan fungsional wajah sisi kanan.

B. Saran

Dalam memberikan penatalaksanaan terapi pada pasien dengan kondisi Bell’s

Palsy, kami menyarankan agar memberikan terapi didasari dengan bukti ilmiah yang

terbaru. Dalam memberikan terapi MWD, pelu ditanyakan dan diperiksa apakah pasien

mengalami gangguan sensibilitas local maupun general. Pasien yang menderita DM

dan neuropati perifer lebih mungkin untuk terkena hipoalgesi local dan beresiko

terkena burn apabila intensitas MWD terlalu tinggi.

Dalam memberikan terapi electrostimulation, perlu diperhatikan intensital arus

agar terdapat kontraksi otot-otot wajah yang terlihat sehingga efek terapi bisa tercapai.

Intensitas juga harus diperhatikan agar tidak menimbulkan rasa tidak nyaman kepada

pasien, mencapai ambang batas kontraksi dan tidak sampai mencapai ambang batas

fortis.

29
DAFTAR PUSTAKA

Annsilva. 2010. Bell’s Palsy (Case Report). Diakses: pada tanggal 4 April 2010, dari
http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell%E2%80%99s-palsycase-
report/
Bahrudin, M. (2011) ‘Vol. 7 no. 15 Desember 2011 Bell’s Palsy (BP)’, 7(15), p20-25
Djamil, 2003. Paralisis Bell: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. P297-300
Fehrenbach, and Herring. 2012. Illustrated anatomy of the Head and Neck. Elseview.
p89
Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2000; 159-163.
Netter FH, Craig JA, Perkins J, Hansen JT, Koeppen BM. Atlas of Neuroanatomy and
Neurophysiology. USA: ICON; 2002.
Ngurah, Gede. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Universitas
Airlangga. Surabaya. 1990: 37–40
Sidharta P, Mardjono M,. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, pp: 169-
73.
Sidharta, Priguna, 1995; Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, cetakan ketiga,
Dian Rakyat, Jakarta.
Sukardi, 2008. Bell’s Palsy, Cermin dunia kedokteran edisi IV, p73-76
Tsementzis, 2000. Differential diagnosis in Neurology and Neurosurgery. New York:
Thieme Stuttgart, 85-92

30

Anda mungkin juga menyukai