Anda di halaman 1dari 36

Case Report Session

BELL’S PALSY

Oleh :

Novri Ellyza 1740312131

Preseptor :

dr. Restu Susanti, Sp. S, M. Biomed

BAGIAN NEUROLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang berjudul “Bell’s Palsy”.

CRS ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di

bagian Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Restu Susanti, Sp. S, M. Biomed

sebagai preseptor yang telah membantu dalam penulisan CRS ini. Penulis menyadari bahwa

referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik

dan saran dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan CRS ini.

Penulis berharap CRS ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta

pemahaman mengenai Bell’s Palsy terutama bagi penulis sendiri dan rekan-rekan sejawat

lainnya.

Padang, Januari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................ 2
1.4 Metode Penulisan....................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 3
2.1 Anatomi Nervus Fasialis............................................................ 3
2.2 Definisi....................................................................................... 5
2.3 Epidemiologi.............................................................................. 5
2.4 Etiologi....................................................................................... 6
2.5 Patofisiologi............................................................................... 6
2.6 Gejala Klinis............................................................................... 6
2.7 Diagnosis.................................................................................... 9
2.8 Diagnosis Banding..................................................................... 14
2.9 Tatalaksana................................................................................. 14
2.10 Prognosis dan Komplikasi........................................................ 18
BAB 3 ILUSTRASI KASUS...................................................................... 20
BAB 4 DISKUSI......................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s Palsy adalah kelumpuhan ipsilateral akut yang terjadi pada nervus

cranialis ketujuh (nervus wajah), ditandai dengan kelemahan wajah onset

mendadak yang semakin memburuk selama 48 jam dan diikuti pemulihan

bertahap, biasanya selama 3 minggu. Bell’s Palsy merupakan salah satu gangguan

neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Bell’s Palsy

mempengaruhi 11-40 orang per 100.000 per tahun atau 1 dalam 5.000.1 Usia

mempengaruhi kemungkinan terjadinya Bell’s Palsy. Usia dengan insiden tertinggi

adalah antara 15-45 tahun. Bell’s Palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia

di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.2

Sebagian besar kelumpuhan pada penderita Bell’s Palsy dapat sembuh,

namun pada beberapa diantaranya meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa dapat

berupa kontraktur dan spasme spontan. Permasalahan Bell’s Palsy cukup

kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga

dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik

(impairment) seperti asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi,

penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, berpotensi untuk terjadi kontraktur

dan perlengketan jaringan, berpotensi terjadinya iritasi pada mata sisi lesi.

Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi

pada otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup

mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Gangguan seperti ini dapat

menyebabkan hilangnya percaya diri seseorang.1

1
1.2 Batasan Masalah

Case report session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari Bell’s

Palsy serta kasus Bell’s Palsy yang terdapat di RSUP DR M Djamil Padang.

1.3 Tujuan Penulisan

Menambah pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis

dari Bell’s Palsy.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan metode studi kasus yang merujuk ke berbagai

literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Fasialis

Anatomi dan fungsi nervus perlu dipelajari dalam memahami sebab-sebab

terjadinya paralisis wajah. Nervus kranialis ketujuh (nervus fasialis) berasal dari

batang otak, kemudian berjalan melalui tulang temporal dan berakhir pada otot-

otot wajah. Sedikitnya ada lima cabang utama. Selain mengatur pernervusan otot

wajah, nervus fasialis juga mengatur lakrimasi, salivasi, impedansi dalam telinga

tengah, sensasi nyeri, raba, suhu dan kecap.3

Nervus fasialis mengandung serabut motorik, somatosensorik serta serabut

nervus intermedius. Nervus ini berada dalam saluran tulang yang sempit dan kaku,

sering mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan yang panjang dan

berkelok-kelok.4

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,

dan keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral

pons di antara nervus VII dan nervus VIII. Ketiga nervus ini bersama-sama

memasuki meatus akustikus internus. Di dalam meatus ini, nervus fasialis dan

intermediet berpisah dari nervus VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis,

kemudian ke atas ke tingkat ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis ,

nervus fasialis meninggalkan kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik

ini, serat motorik menyebar di atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu,

beberapa melubangi glandula parotis.5


Gambar 1.Nervus Fasialis

Sewaktu meninggalkan pons, nervus fasialis beserta nervus intermedius dan

nervus VIII masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus.

Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, nervus VII dibagi dalam 3 segmen,

yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen mastoid.3

Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion
genikulatum, panjang segmen ini 2-4 milimeter.3
Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion

genikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah

tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar

dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12

milimeter.3 Segmen mastoid (segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan

superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen

mastoid, disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan

bagian paling posterior dari nervus VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat

operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen

stilomaoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter.3


Gambar 2. Pernervusan Nervus VII

2.2 Definisi

Bell’s Palsy adalah kelumpuhan ipsilateral akut yang terjadi pada nervus

cranialis ketujuh (nervus fasialis), ditandai dengan kelemahan wajah onset

mendadak yang semakin memburuk selama 48 jam dan diikuti pemulihan

bertahap, biasanya selama 3 minggu. merupakan salah satu gangguan neurologik

yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Selain kelemahan pada otot

wajah, gejala lain seperti penurunan sekresi air mata dan gangguan pengecapan

juga dapat terjadi, hal ini berhubungan dengan fungsi nervus fasialis itu sendiri.1,6

2.3 Epidemiologi

Bell’s Palsy adalah penyakit yang paling sering terjadi pada nervus fasialis,

insidennya mencapai 23 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Insiden terjadinya

bell’s palsy antara wanita dan pria hampir sama dan dapat terjadi pada segala usia.

Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa bell’s palsy lebih sering pada

dewasa, penderita diabetes melitus, pasien imunokompromais dan perempuan

hamil trimester ketiga.7,8

2.4 Etiologi
Penyebab bell’s palsy hingga sekarang masih belum diketahui dan masih

dalam penelitian. Banyak teori menyatakan bahwa infeksi virus memegang peran

besar dalam menyebabkan kondisi bell’s palsy, seperti: infeksi herpes, varisela,

Lyme, HIV, EBV,dan bahkan virus influenza. Beberapa studi mengkaji keterkaitan

antara infeksi virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dengan bell’s palsy melalui

penemuan postmortem HSV-1 pada ganglion genikulatum, salah satu jalur nervus

fasialis.9

Hipotesis lain berpendapat bahwa edema dan iskemia yang disebabkan oleh

kompresi nervus fasialis disebabkan oleh berbagai sebab. Oleh karena etiologi dari

Bell’s Palsy masih belum jelas, hingga saat ini terminologi idiopathic facial

paralysis masih digunakan sebagai sinonim dari bell’s palsy.7,9

2.5 Patofisiologi

Bell’s Palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum

jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus

fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi

kompresi dari nervus tersebut pada saat melalui tulang temporal. Sesuai perjalanan

nervusnya, lokasi terserangnya nervus fasialis di bell’s palsy bersifat perifer dari

nukleus nervus tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di

ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian proksimal ganglion

genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak

abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen

stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.5,10

2.6 Gejala klinis

Manifestasi klinik bell’s palsy sangat khas. Pada anamnesis riwayat penyakit

dan gejala kelumpuhan timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal dan rasa tidak

enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti

oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :

1. Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
2. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagophthalmus).

3. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar

ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut bell's sign.

4. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang

lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

5. Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai

antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.

Gambar 3. Tampilan klinis bell’s palsy

Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat gambar 3) 9
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara pipi

dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak

ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)


Gejala dan tanda klinik poin 1, ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena

berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya

nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik

dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik poin 1 dan 2 di tambah dengan hiperakusis.

4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala

dan tanda klinik poin 1, 2 dan 3 disertai dengan nyeri di belakang dan didalam

liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi

pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom RamsayHunt adalah

kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di

ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes zoster otikus , dengan

nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang

aurikel (nervus aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran,

gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.

5. Lesi di meatus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya

nervus akustikus.

6. Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda

terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang juga

nervus abdusen, nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.


Gambar 3. Gejala Bells Palsy berhubungan dengan lokasi lesi

2.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n.

fasialis perifer yang diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari

kelumpuhan n. fasialis perifer.

a. Anamnesis

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa

mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang

disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan

fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan nervus dan

kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah


pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan

kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta

menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila

terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara

akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.

Tanda klinis yang membedakan Bell’s Palsy dengan stroke atau kelainan yang

bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan nervus

kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien

tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh. Untuk menegakan

diagnosis Bell’s Palsy harus ditetapkan dulu adanya paralisis fasialis tipe perifer.

Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan sebagai berikut :11

Derajat kelumpuhan nervus fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan

menggunakan sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara

grading system (Y-system). Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi

untuk
menentukan letak lesi nervus fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes
gustometri.12
1. Gustometri

Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dapat dipersarafi oleh n. korda
timpani, salah satu cabang nervus pasialis. 1 Kerusakan pada nervus fasialis
sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan hilangnya pengecapan.4
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,

kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah

penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk

ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan

tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang

pernervusannya diurus oleh nervus lain. Penderita disuruh untuk menyatakan

pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2

untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.4

Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang

antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi

adalah patologis.3

2. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-

serabut pada simpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus

superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas

nervus petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.5,9

Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara

pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-

10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang

menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau

ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.

3. Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,

yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan

untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

4. Pemeriksaan House-Brackmann

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari

kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak

pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan .10
Grade Penjelasan Karakteristik

I Normal Fungsi fasial normal

Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi


dekat, bisa ada sedikit sinkinesis. Pada istirahat
II Disfungsi ringan simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan

Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara


III Disfungsi sedang kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat Ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
IV Disfungsi sedang asimetri
berat Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris


Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total parese Tidak ada pergerakkan

c. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui

kelumpuhan nervus fasialis adalah dengan uji fungsi nervus. Terdapat beberapa uji

fungsi nervus yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG) dan

Elektroneuronografi (ENOG).7

1. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG

dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau

suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,

nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum

21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.

Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan

sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.7

2. Elektroneuronografi (ENOG)

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG

melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang

lebih distal dari nervus. Kecepatan hantaran nervus dapat diperhitungkan. Bila

terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch

Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat

penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen

pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami

penyembuhan normal nervus fasialis.7

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari bell’s palsy dapat berupa lesi sistim nervus pusat,

penyakit autoimun seperti miastenia gravis, penyakit metabolik (DM), lyme

disease, Ramsay Hunt Syndrome, sarkoidosis, dan neoplasma.13

2.9 Tatalaksana

Canadian Society of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian

Neurological Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa modalitas

terapi bell’s palsy. Mereka membuat review tentang bukti penanganan bell’s palsy

dengan kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi,fisio terapi dan

operasi dekompresi. Mereka juga membahas terapi perlindungan mata, rujukan

spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien yang memiliki kelemahan wajah

yang persisten dan progresif. Mereka memberikan beberapa hal berikut sebagai

hasil review:14

- Diagnosa awal pasien bell’s palsy harus meliputi pemeriksaan fisik untuk

menyingkirkan penyebab lain kelemahan wajah dan menentukan derajat

kelemahan, untuk terapi lebih lanjut.

- Kortikosteroid harus digunakan kecuali ada kontraindikasi pada pasien dengan

bell’s palsy. Antiviral mungkin bisa digunakan pada pasien dengan parese

komplit atau parah.

- Pasien dengan penutupan mata yang inkomplit harus diberi proteksi mata

dengan lubrikasi dan salep untuk menghindari kerusakan kornea.


- Pasien dengan kelemahan wajah fasial yang persisten atau progresif

membutuhkan imaging untuk mencari penyebab. Pasien ini juga membutuhkan

rujukan ke ahli nervus dan fisioterapis .

2.9.1 Tatalaksana Farmakologi

Inflamasi dan edema nervus fasialis merupakan penyebab paling mungkin

dalam patogenesis bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi

kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada nervus di kanalis

fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam

dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis

pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70

mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari

tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan

steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,

diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap

infeksi) dan Cushing Syndrome.15,16

Ditemukannya genom virus di sekitar nervus ketujuh menyebabkan preparat

antivirus digunakan dalam penanganan bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan


kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif

dibandingkan kortikosteroid. Penelitian mengatakan bahwa hasil yang lebih baik

didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan

prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.15,16,17

Penelitian lain juga menemukan bahwa kombinasi antivirus dan

kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih

besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi

antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.15,17

Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al22

dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan

antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak

adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah

antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk

menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.15

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk

dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam

lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir

(kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per

hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan

pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan

berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.15,16,17


2.9.2 Tatalaksana Non Farmakologi18
a. Program Fisioterapi

- Pemanasan
Pemanasan superfisial dengan infra red dan pemanasan profunda berupa

Shortwave Diathermy.

- Stimulasi Listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah

atau memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

memperkuat otot yang masih lemah. Dilakukan 2 minggu setelah onset.

- Latihan Otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunteer diberikan setelah fase akut, latihan berupa

mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan mengangkat

sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan kaca dengan

konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan

maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy diberi gentle

massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efek mengurangi edema,

memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut

diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunteer wajah. Deep

Kneuding Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan

limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolic, asam laktat, megurangi edema,

meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler

sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 yaitu dagu, mulut,

hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

b. Program Terapi Okupasi


latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk

permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita.

Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan,

latihan meniup lilin. Latihan menutup mata dan mengerutkan dahi didepan cermin.

c. Program Sosial Medik


Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan

social. Problem social biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas

social medic dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin
untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan

umum.

d. Program Psikologi
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa

cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita

yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka

bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

e. Program Ortotik Prostetik


Dapat dilakukan dengan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut

mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu

diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester

dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan belum ada perubahan

zigomatikus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.

e. Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi

wajah yang sehat

- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,

minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

- Perawatan mata : beri obat tetes mata (golongan artificial tears) 3 kali sehari,

memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari, biasakan menutup

kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

2.10 Prognosis dan Komplikasi

Perjalanan alamiah bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai

cedera nervus substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien

dengan bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus

membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis

persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah usia datas 60 tahun, palsi

komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat

post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan

bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan

kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.1

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial

inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,

penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu

pertama.17 Tingkat rekurensi dari penyakit ini mencapai 12%. Komplikasi jangka

panjang pada bell’s palsy meliputi kelemahan otot wajah residual, facial

synkinesis, kontraktur fasial, dan spasme fasial. 13


BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. SS

Umur : 57 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pensiunan

Suku Bangsa : Minang

Alamat : Padang

ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki berumur 57 tahun datang ke Poliklinik Syaraf RSUP DR

M Djamil Padang pada tanggal 10 Januari 2019, dengan :

Keluhan Utama :

Mulut mencong ke sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

- Mulut mencong ke sebelah kanan sejak ± 3 hari sebelum masuk rumah

sakit. Awalnya pasien sedang membakar sampah dan wajah sebelah kiri

pasien menghadap ke arah api. Kemudian ketika bangun pagi pasien

merasa wajah sebelah kiri pasien kebas dan bibir terasa tebal dan sulit

diangkat.

- Mata kiri pasien sulit menutup sempurna dan air mata pada mata kiri

menetes terus menerus.

- Pasien juga merasakan wajah pasien tidak simetris ketika tersenyum


- Kelemahan wajah tidak mengganggu aktifitas sehari-hari, tidak tampak

kesulitan dalam berbicara.

- Kelumpuhan anggota gerak tidak ada.

- Gangguan pendengaran tidak ada

- Gangguan pengecapan tidak ada

- Terdapat riwayat demam sebelum mulut mencong

- Riwayat trauma pada kepala tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat demam, nyeri kepala, nyeri tenggorokan dan muncul lesi berupa

bintik2 berisi cairan pada sekitar wajah ± 2 minggu sebelum masuk

rumah sakit

- Riwayat hipertesi sejak ± 5 tahun yang lalu, TDS tertinggi 180 mmHg,

kontrol tidak teratur

- Riwayat diabetes melitus tidak ada

- Riwayat tumor tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:

Pasien seorang pensiunan dengan aktivitas sedang

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : CMC, GCS 15, E4M6V5

Tekanan darah : 170/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 80x/mnt

Frekuensi pernafasan : 20x/mnt

Suhu : 36,5°C
Kepala :

Konjungtiva : Tidak anemis, Injeksi Konjungtiva - / +

Sklera : Tidak ikterik

Leher : Tidak ada kelainan

Thorax :

Pulmo :

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Tidak dapat dinilai

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Cor :

Inspeksi : Iktus cordis tak terlihat

Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC IV

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama reguler, bising (-)

- Abdomen :

Inspeksi : tidak tampak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : tympani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Korpus Vertebrae

Inspeksi : deformitas (-)

Palpasi : gibbus (-)

Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda rangsang Meningen:

- Kaku kuduk :-

- Kernig :-

- Brudzinski I :-

- Brudzinski II :-

2. Tanda peningkatan TIK

-Pupil : isokor, reflek cahaya +/+ Ф3mm/3mm

-sakit kepala hebat (-)

-muntah proyektil (-)

3. Pemeriksaan Nervus Cranialis:

Nervus kranialis Kanan Kiri

N I (Olfaktorius)

-subjektif Baik Baik

-objektif (dg bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N II (Optikus)

-tajam penglihatan Baik Baik

-lapangan pandang Baik Baik

-melihat warna Baik Baik

-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III (Okulomotorius)

-bola mata Ortho Ortho

-ptosis Tidak ada Tidak ada

Bebas ke segala
-gerakan bulbus arah Bebas ke segala arah

-strabismus Tidak ada Tidak ada

-nistagmus Tidak ada Tidak ada


-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada

-pupil bentuk reflex


cahaya Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex akomodasi reflex + +
Konvergensi + +
+ +

N IV (Trochlearis)

-gerakan mata ke bawah Bebas Bebas

-sikap bulbus Ortho Ortho

-diplopia Tidak ada Tidak ada

N V (Trigeminus)

-Motorik
membuka mulut Baik Baik
Menggerakkan rahang Baik Baik
Menggigit Baik Baik
Mengunyah Baik Baik

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas + +
Divisi Maksila
*reflex Masseter Baik Baik
*sensibilitas Baik Baik
Divisi Mandibula
*sensibilitas Baik Baik

N VI (Abdusen)

-gerakan mata ke lateral Bebas Bebas

-sikap bulbus Ortho Ortho

-diplopia Tidak ada Tidak ada

N VII (Fasialis)

Plika nasolabialis kiri lebih datar


-raut wajah (asimetris)

-sekresi air mata + +


-fisura palpebral + -

-menggerakkan Kerutan
dahi dahi ada Kerutan dahi menghilang

-menutup mata + Sulit ditutup

-mencibir/bersiul Tidak bisa

-memperlihatkan gigi Asimetris

-sensasi lidah 2/3 depan + +

-hiperakusis - -

N VIII (Vestibularis)

-suara berbisik Baik Baik

-detik arloji Baik Baik

-rinne test Tidak diperiksa Tidak diperiksa

-weber test Tidak diperiksa Tidak diperiksa

-swabach test Tidak diperiksa Tidak diperiksa


*memanjang
*memendek
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
*pendular
*vertical
*siklikal

-pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada

N IX (Glossofaringeus)

-sensasi lidah 1/3 blkg Baik Baik

-refleks muntah (Geg Rx) + +

N X (Vagus)
-Arkus faring Simetris

-uvula Di tengah

-menelan Baik

-artikulasi Baik
-suara Baik

-nadi Teratur

N XI (Asesorius)

-menoleh ke kanan +

-menoleh ke kiri +

-mengangkat bahu kanan +

-mengangkat bahu kiri +

N XII (Hipoglosus)

-kedudukan lidah dalam Di tengah

-kedudukan lidah dijulurkan Di tengah

-tremor -

-fasikulasi -

-atropi -
4. Koordinasi: baik

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik;

Kanan Kiri

a.Badan -Respirasi Simetris kiri dan kanan

-duduk Simetris Simetris

b.Berdiri & -gerakan spontan Tidak ada Tidak ada


berjalan

-tremor Tidak ada Tidak ada

-atetosis Tidak ada Tidak ada

-mioklonik Tidak ada Tidak ada

-khorea Tidak ada Tidak ada

c.Ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

-gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif


-kekuatan 555 555 555 555

-tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

-tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6.Pemeriksaan sensibilitas: baik

7. Sistim reflex

a.fisiologis

Kanan Kiri kanan Kiri

Kornea + + Biseps ++ ++

Berbangkis triseps ++ ++

Laring KPR ++ ++

Masseter - - APR ++ ++

Dinding + + Bulbokavernosus
perut -atas + +
-bawah + +
-tengah
Cremaster

Sfingter
b. Patologis

Lengan Kanan Kiri Tungkai Kanan Kiri

Hofmann- - - Babinski - -
Tromner

Chaddoks - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Klonus paha - -

Klonos kaki - -
8. Fungsi otonom

- Miksi : baik
- Defekasi : baik

- Sekresi keringat : baik

9.Fungsi luhur :

Kesadaran Tanda demensia

-reaksi bicara : baik -refleks Glabella -

-reaksi intelek : baik -refleks Snout -

-reaksi emosi : baik -refleks mengisap -

-refleks memegang -

-refleks Palmomental -

Pemeriksaan laboratorium

Tidak ada

Diagnosis

Diagnosis Klinis : Paralisis nervus fasialis sinistra tipe perifer


Diagnosis Topik : Nervus VII sinsitra
Diagnosis Etiologi : Infeksi Herpes Simpleks Virus tipe 1
Diagnosis Sekunder : Hipertensi stage II tidak terkontrol
Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Cosmetikum : Dubia ad Bonam
Tatalaksana
Tatalaksana Farmakologi
- Prednison 4 x 15 mg selama 6 hari, tapering off selama 4 hari
- Asiklovir 5 x 800 mg selama 10 hari
- Neurodex 1x1 tab
- Lansoprazol 1x30 mg
- Cendoliter 4x2 tts
- Candesartan 1x8 mg
Tatalaksana Non Farmokologi
- Fisioterapi:
a. Pemanasan
b. Stimulasi listrik
c. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
- Terapi okupasi: latihan berkumur, lahtihan minum menggunakan sedotan,
latihan meniup lilin, menutup mata, mengerutkan dahi
- Edukasi:
a. Rutin mengkonsumsi obat
b. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

c. Rutin melakukan fisioterapi, latihan gerakan otot-otot wajah


d. Hindari paparan langsung angin pada wajah
e. Melindungi mata saat beraktivitas dengan penutup mata, memakai
penutup mata sebelum tidur
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki usia 57 tahun, datang ke Poliklinik Syaraf RSUP

DR M Djamil Padang dengan keluhan mulut mencong ke kanan sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien sedang membakar sampah dan wajah

sebelah kiri pasien menghadap ke arah api. Kemudian ketika bangun pagi pasien

merasa wajah sebelah kiri pasien kebas dan bibir terasa tebal dan sulit diangkat.

Mata kiri pasien sulit menutup sempurna dan air mata pada mata kiri menetes terus

menerus. Pasien juga merasakan wajah pasien tidak simetris ketika tersenyum.

Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien ini sesuai dengan paralisis nervus

fasialis tipe perifer, dimana paralisis terjadi pada sisi wajah sebelah kiri saja. Hal

ini terjadi karena kerusakan pada inti nervus fasialis atau infranuklearnya,

sehingga impuls homolateral untuk otot-otot wajah bagian atas dan kontralateral

untuk otot-otot wajah bagian bawah terganggu. Pada pasien ini tidak ditemukan

gangguan pengecapan dan pendengaran. Hal ini dapat menyingkirkan keterlibatan

ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah maupun

meatus akustikus internus yang dapat mengganggu pendengaran.

Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat demam, nyeri kepala,

nyeri tenggorokan dan muncul lesi berupa bintik2 berisi cairan pada sekitar wajah

± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis kemungkinan pasien

menderita infeksi Herpes simpleks tipe 1 (HSV-1). Beberapa studi mengkaji

keterkaitan antara infeksi HSV-1 dengan bell’s palsy melalui penemuan

postmortem HSV-1 pada ganglion genikulatum, salah satu jalur nervus fasialis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan status internus dalam batas normal. Pada

status neurologis, didapatkan pada pemeriksaan nervus fasialis: raut wajah kiri
lebih datar, menggerakkan dahi: kiri tertinggal, menutup mata: kelopak mata kiri

lebih lemah, bersiul: tidak bisa, memperlihatkan gigi: kiri lebih lemah (asimetris).

Tidak ditemukan hiperakusis karena jika nervus fasialis terjepit di foramen

stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda timpani dan serabut

yang mempernervusi muskulus stapedius. Tidak adanya kelumpuhan anggota

gerak dapat menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapat menyebabkan

paralisis N.VII yang lesinya bersifat sentral.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis

klinis Paralisis Nervus VII sinistra tipe perifer (Bell’s Palsy), dengan diagnosis

topik Nervus VII, dan etiologi infeksi HSV-1.

Pasien diberikan terapi neurodex 3x1 tab/hari per oral untuk membantu

proses regenerasi nervus, cendo lyter untuk perawatan mata, prednisone 3x15 mg

digunakan untuk meningkatkan fungsi Nervus VII dan mengurangi kerusakan

pada neuron, Asiklovir 5x800 mg untuk mengatasi infeksi HSV-1 sebagai etiologi,

candesartan 1x8 mg digunakan sebagai obat anti hipertensi dan lansoprazole

digunakan untuk mengurangi produksi asam lambung yang dapat mengiritasi

mukosa lambung pada keadaan proteksi saluran cerna yang berkurang akibat

produksi prostaglandin yang menurun akibat pemakaian kortikosteroid.

Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi. Hal ini dapat dilakukan dengan

melatih sisi wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan

dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat

juga dilakukan massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk

mempertahankan tonus otot yang lumpuh.

Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam. Factor yang mendukung

prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut, pemberian

kortikosteroid dini. Bell’s Palsy dapat pulih dalam waktu 3 minggu dan sembuh

sempurna dalam waktu 3-6 bulan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Potterton. 2015. Bell’s Palsy: A Review. British Journal of Family Medicine. p.


23

2. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1146903

3. Mardjono M, Sidharta P, 2004. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis

Dasar. Jakarta : Dian Rakyat

4. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. 2007. Kelumpuhan Nervus Fasialis

Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

5. Maisel R, Levine S. 1997. Gangguan Nervus Fasialis. Dalam Boies Buku

Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC.

6. Balakhrishnan A. 2015. Bell’s Palsy: Causes, Symptoms, Diagnosis, and

Treatment. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. p.1004-6

7. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta

Kedokteran. Ed. Ke-4. Jakarta. Media Aesculapius. p. 957

8. Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth

Edition, Mcgraw-Hill.

9. Ropper, AH., Brown, Robert H. 2005. Adams & Victors’ Principles of

Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill.

10. SM. Lumbantobing. 2006. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

11. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat

kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC. 2009. p.166-290.

12. Dewanto, G dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Nervus. Jakarta:

penerbit Buku Kedokteran EGC.

13. Cormier JE. 2012. Bell’s Palsy: a common cause of facial paralysis. Texas

EMS Magazine.
14. De Almeida, JR. et al., 2014. Management Of Bell Palsy: Clinical Practice

Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), p. 917– 922.

15. De Diego-Sastre JI, Prim-Espada MP, Fernandez-Garcia F. 2005. The

epidemiology of Bell’s Palsy. p. 287-90.

16. Sunaryo,U. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy. Bagian

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher.

17. Sullivan, Frank M., Iain R. C. Swan, Peter T. Donnan, Jillian M. Morrison, et

al. 2007. Early treatment of prednisolone or acyclovir in Bell’s Palsy. The

New England Journal of Medicine. p. 16.

18. Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik pada Bell’s Palsy.

Dalam: Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu

Kedokteran Fisik dan Rehabilitas BLU RSUP Prof dr. R. D. Kandou/FK

UNSRAT, 20016: 42-9.

Anda mungkin juga menyukai