Anda di halaman 1dari 37

OTOSKLEROSIS

“Paper Ini Dibuat Untuk Melengkapi Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraaan Klinik Senior Di Bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan RSUD Dr. Pirngadi Medan”

Disusun Oleh:
Febry Elisabet Lumban Gaol

214210055

PEMBIMBING :
dr. Olina Hulu, Sp.THT-KL

SMF ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini guna memenuhi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan – Kepala Leher di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan
judul “Otosclerosis”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada dr. Olin Hulu, Sp.THT - KL yang telah memberikan bimbingan
dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan ini, dan terimah kasih juga kepada semua
dokter spesialis THT - KL lainnya dan semua staff di SMF Ilmu Penyakit THT –
KL RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1. Dr. Zulkifli, Sp. THT – KL

2. Dr. Alisyahbana Siregar, Sp. THT – KL

3. Dr. Hj. Netty Hernita, Sp. THT – KL

4. Dr. Baresman Sianipar, Sp. THT – KL

5. Dr. Linda Samosir, Sp. THT – KL

6. Dr. Rehulina Surbakti, Sp. THT – KL

7. Dr. Seri Ulina, Sp. THT – KL

8. Dr. Zalfina Cora, Sp. THT – KL

9. Dr. Magdalena Hutagalung, Sp. THT – KL

10. Dr. Ita L.Roderthani, Sp. THT – KL

11. Dr. Fauziyah Henny, Sp. THT – KL

i
12. Seluruh para medis dan pegawai SMF THT – KL

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa paper ini memiliki banyak


kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
paper ini.

Penulis berharap semoga paper ini dapat memberi manfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktek di masyarakat

Medan, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………... iii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. v

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 2

2.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga ……………………………………... 2

2.1.1. Anatomi Telinga ………………………………………….. 2

2.1.2. Fisiologi Pendndengaran …………………………………..11

2.2. Otosklerosis ………………………………………………………… 11

2.2.1. Definisi……………………………………………………. 11

2.2.2. Etiologi …………………………………………………… 11

2.2.3 Epidemiologi ……………………………………………... 13

2.2.4.Klasifikasi & Patologi………………………………………14

2.2.5. Manifestasi Klinis ………………………………………… 19

2.2.6.Diagnosis ………………………………………………….. 20

2.2.7.Diagnosa Banding ................................................................ 22

2.2.8.Penatalaksanaan …………………………………………... 24

2.2.9. Komplikasi & Prognosis………………………………...… 28

iii
BAB III Penutup ………………………………………………………………. 29

3.1Kesimpulan………………………………………………………….. 29

Daftar Pustaka................................................................................................... 30

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian-bagian auricula .............................................................. 2


Gambar 2.2. Bagian telinga luar, tengah, dalam ............................................ 3
Gambar 2.3. Membran timpani ..................................................................... 4
Gambar 2.4. Ossicula auditus......................................................................... 6
Gambar 2.5. Sistem keseimbangan dan sistem pendengaran ......................... 8
Gambar 2.6. Koklea dan organ corti .............................................................. 10
Gambar 2.7. Transmisi gelombang suara ....................................................... 10
Gambar 2.8. Tipe otosclerosis........................................................................ 15
Gambar 2.9. Otosklerosis tipe klasik ............................................................. 16
Gambar 2.10. Otosklerosis tipe fibrotic ......................................................... 17
Gambar 2.11. Otosklerosi tipe osteoporotic ................................................... 18
Gambar 2.12. Otosklerosis tipe sklerotik ....................................................... 18
Gambar 2.13. Carhart’s notch ....................................................................... 21
Gambar 2.14 Hasil timpanometri ................................................................... 21
Gambar 2.15 CT Scan temporal ..................................................................... 22
Gambar 2.16 Stapedektomi dengan piston teflon .......................................... 26
Gambar 2.17 Protesis stapes .......................................................................... 27
Gambar 2.18 Teknik Stapedotomi ................................................................. 28
Gambar 2.19 Teknik stapedotomi dengan graft vena ……………………...28

v
BAB I
PENDAHULUAN

Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang


mengalami spongiosis didaerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak
dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik.1
Otosklerosis adalah salah satu dari bentuk hilangnya pendengaran pada
orang dewasa yang belum umum ditemukan, dengan prevalensi 0,3-0,4% pada
Kaukasian. Prevalensinya rendah pada orang kulit hitam, dan Asia.2 Insiden
penyakit ini paling tinggi pada bangsa kulit putih (8-10%), 1% pada bangsa jepang
dan 1% pada bangsa kulit hitam. Angka insiden di Indonesia belum pernah di
laporkan tetapi telah dibuktikan penyakit ada pada hampir semua suku bangsa di
Indonesia, termasuk warga keturunan Cina, India, dan Arab. Penyakit ini pada
bangsa kulit putih mempunyai faktor herediter tetapi dari pasien-pasien yang ada di
Indonesia belum penah ditemukan.1 Perempuan terkena dua kali lebih banyak
daripada laki-laki.2
Walaupun faktor penyebab pembentukan tulang otosklerotik tidak bisa
dipastikan, terdapat beberapa faktor ikut sebagai penyebab seperti, faktor
keturunan, dan gangguan pendarahan pada stapes.1
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di stase Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorokan- Kepala Leher, Rumah Sakit Umum Pemerintah dr. Pirngadi kota
Medan. Serta makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang
penyakit “Otosklerosis” sehingga dapat melakukan deteksi, diagnosis, dan
penatalaksanaan yang baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga


2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. 3 Bagian
luar dan tengah terutama dihubungkan dengan transferensi bunyi ke telinga dalam,
yang berisi organ-organ untuk keseimbangan serta untuk pendengaran. Mmebran
tympanica memisahkan telinga luar dari telinga tengah. Tuba auditiva
menggabungkan telinga tengah dengan nasopharynx. 3

 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari pinna (daun telinga) yang mengumpulkan suara, dan
meatus akustikus ekterna (liang telinga) yang mengonduksikan suara ke membrane
tympanica.3 Telinga luar/ auricula/ pinna merupakan gabungan dari tulang rawan
yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Auricula
memiliki beberapa depresi dan elevasi. Concha adalah bagian depresi yang paling
dalam. Pinggir auricula yang meninggi adalah helix. Lobulus nonkartilaginosa
terdiri dari jaringan fibrosa lemak, dan pembuluh darah. Tragus adalah proyeksi
menyerupai lidah yang menutupi porus acusticus externus.3

Gambar 2.1. Bagian- bagian auricula3

2
Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm.1
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam
hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1
Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan
sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar
seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan
zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen
(minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.1

Gambar 2.2 Bagian telinga luar, tengah, dalam4

3
Membran timpani, diameter kira-kira 1 cm, adalah membran semitransparan
oval yang tipis pada ujung medial meautus acusticus externus.3 Membran timpani
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida
(Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang
telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier
dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) yaitu:
- Pada pukul 7 untuk membran timpani kiri
- Pada pukul 5 untuk membran timpani kanan1
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah
yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. 1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.1

Gambar 2.3 Membran timpani 1

4
Bila melakukan miringotomi, dibuat insisi dibagian bawah belakang
membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Didaerah ini tidak
terdapat tulang pendengaran. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang
pendengaran yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.1
Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.1

 Telinga Tengah

Rongga Telinga tengah/ cavitas tympani berbentuk kubus dengan :1

 Batas luar : Membran timpani


 Batas depan : Tuba eustachius
 Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
 Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
 Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval
window),tingkap bundar (round window) dan
promontorium.

Telinga tengah berhubungan dengan nasofaring melalui saluran eustachius


(tuba auditiva), tempatnya bermuara ke posterior meatus nasi inferior. Fungsi tuba
auditiva adalah menyamakan tekanan dalam auris media dengan tekanan atmosfer,
sehingga memungkinkan gerakan membran tympanica. Tuba auditiva akan
membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi
suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva
membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga

5
menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar
membran tympani.3

Ossicula Auditus
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan
telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai tiga tulang kecil/
osikulus (malleus, incus, stapes) yang dapat bergerak dan membentang ditelinga
tengah.5
Malleus menempel pada membran timpani. Caput mallei berartikulasi
dengan incus. Malleus berfungsi sebagai pengungkit, dengan dua processusnya
lebih panjang dan manubriumnya menempel pada membran timpani.3
Incus terletak diantara malleus dan stapes dan berartikulasi dengannya. Incus
memiliki corpus dan dua crura. Stapes adalah ossicula paling kecil. Caputnya
mengarah ke lateral berartikulasi dengan incus. Basis stapedis mengarah ke dalam
fenestra vestibuli pada dinding medial cavitas timpani.3 Suara yang masuk 99,9%
mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang di transmisi/diteruskan. Pada
frekuensi kurang dari 400 Hz membran timpani bersifat “per” sedangkan pada
frekuensi 4.000 Hz membran timpani akan menegang. 6

Gambar 2.4 Ossicula auditus3

6
 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.1
Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang merupakan
bagian dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular terkurung yang berada
didalam tulang temporalis. Berdasarkan panjangnya, komponen fungsional koklea
dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklear
yang ujungnya tidak terlihat di kenal sebagai skala media, yang merupakan
kompartemen tengah. Bagian yang lebih diatasnya adalah skala vestibuli yang
mengikuti kontur dalam spiral dan skala timpani yang merupakan kompartemen
paling bawah yang mengikuti kontur luar dari spiral. 6

Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli disebut perilimfe.


Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu endolimfe.
Bagian ujung dari duktus koklearis dimana cairan dari kompartemen atas dan
bawah bergabung di sebut dengan helikotrema. Skala vestibuli terkunci dari telinga
tengah oleh oval window, tempat stapes menempel. Sementara itu, skala timpani
dikunci dari telinga tengah dengan bukaan kecil berselaput yang disebut round
window. Membran vestibular tipis membentuk langit-langit duktus koklear dan
memisahkannya dari skala vestibuli. Membran basilaris membentuk dasar duktus
koklear yang memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilaris ini sangat
penting karena di dalamnya terdapat organ korti yang merupakan organ perasa
pendengaran. 5,6

7
Gambar 2.5 Sistem keseimbangan (Vestibuli) dan sistem pendengaran (Koklea). 6

Organ corti, yang terletak di atas membran basilaris di seluruh panjangnya,


mengandung sel rambut yang merupakan reseptor suara. Sekitar 30.000 ujung saraf
dan sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing-masing koklea tersusun menjadi
empat baris sejajar di seluruh panjang membran basilaris: satu baris sel rambut
dalam dan tiga baris sel rambut luar. Dari permukaan masing-masing sel rambut
menonjol sekitar 100 rambut yang dikenal sebagai stereosilia. Sel rambut
menghasilkan sinyal saraf jika rambut permukaannya mengalami perubahan bentuk
secara mekanik akibat gerakan cairan di telinga dalam.Stereosilia ini berkontak
dengan membrane tektorium, suatu tonjolan mirip tenda yang menutupi organ corti
di seluruh panjangnya. 5,6

Gerakan stapes yang mirip piston terhadap jendela oval memicu gelombang
tekanan di kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat mengalami penekanan,
maka tekanan disebarkan melalui dua cara ketika stapes menyebabkan jendela oval
menonjol ke dalam: (1) penekanan jendela bundar dan (2) defleksi membran
basilaris.Pada bagian-bagian awal jalur ini, gelombang tekanan mendorong maju
perilimfe di kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikotrema, dan masuk
kedalam kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela
bundar menonjol keluar mengarah kerongga telingga tengah untuk
mengkompensasi peningkatan tekanan. Sewaktu stapes bergerak mundur dan

8
menarik jendela oval kearah luar ke telinga tengah, perilimfe mengalir kearah
berlawanan, menyebabkan jendela bundar menonjol ke dalam. 5,6

Gelombang tekanan frekuensi-frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan


suara mengambil “jalan pintas”. Gelombang tekanan di kompartemen atas
disalurkan melalui membran vestibularis yang tipis, menuju duktus kokhlearis, dan
kemudian melalui membran basilaris di kompartemen bawah, tempat gelombang
ini menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar masuk bergantian. Perbedaan
utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui membran
basilaris menyebabkan membran ini bergerak naik-turun, atau bergetar sesuai
gelombang tekanan. Karena organ corti berada di atas membran basilaris maka sel-
sel rambut juga bergetar naik-turun sewaktu membran basilaris bergetar. 5,6

Peran Sel rambut dalam adalah sel yang mengubah gaya mekanik suara
(getaran cairan koklea) menjadi impuls listrik pendengaran (potensial aksi yang
menyampaikan pesan pendengaran ke korteks serebri). Karena berkontak dengan
membran tektorium yang kaku dan stasioner, maka stereosilia sel-sel reseptor ini
tertekuk maju-mundur ketika membran basilaris mengubah posisi relatif terhadap
membran tektorium. Deformasi mekanis majumundur rambut-rambut ini secara
bergantian membuka dan menutup saluran ion berpintu mekanis di sel rambut
sehingga terjadi perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang
bergantian. Sel rambut dalam berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan
ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk nervus auditorius (kokhlearis).
Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju ganglion spiralis korti, saraf VIII,
nukleus koklearis. 5,6

Peran Sel Rambut Luar Sementera sel-sel rambut dalam mengirim sinyal
auditorik ke otak melalui serat aferen, sel rambut luar tidak memberi sinyal ke otak
tentang suara yang datang. Sel-sel rambut luar secara aktif dan cepat berubah
panjang sebagai respons terhadap perubahan potensial membran, suatu perilaku
yang dikenal sebagai elektromotilitas. Sel rambut luar memendek pada depolarisasi
dan memanjang pada hiperpolarisasi. 5,6

9
Gambar 2.6 Koklea dan Organ Corti. 6

Gambar 2.7 Transmisi Gelombang Suara5

10
2.1.2 Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis.1,5

2.2 Otosklerosis
2.2.1 Definisi
Otosclerosis adalah istilah yang berasal dari oto, yang berarti
"telinga," dan sklerosis, yang berarti "pengerasan jaringan tubuh yang tidak
normal".7 Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang
mengalami spongiosis didaerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku
dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik.1

2.2.2 Etiologi
Penyebab dari otosklerosis belum diketahui dengan pasti, tetapi ada
beberapa penelitian diperkirakan ada beberapa faktor ikut sebagai penyebab
atau merupakan predisposisi terjadinya otosklerosis seperti factor herediter,

11
endokrin, metabolic, infeksi measles, vaskuler autoimun, tapi semuanya
tidak bias dibuktikan dengan pasti. 8
1. Genetik
Dari beberapa penelitian genetic dinyatakan otosklerosis diturunkan
secara autosomal dominan dengan penetrasi inkomplit 20-40%. Banyak
gen telah dilaporkan, menunjukkan bahwa penyakit ini heterogen
secara genetis. Dari beberapa kasus dinyatakan gen yang berhubugan
dengan otosklerosis adalah COLIAI gen yang merupakan salah satu
dari dua gen yang mengkode type I kolagen dari tulang. Varian
otosklerosis ada di mana ada mutasi pada gen NOG (Brown et al, 2003),
8,9
serta banyak gen lain pada studi keterkaitan. Statistik juga
menunjukkan bahwa ada peluang 25 % untuk otosklerosis jika satu
orang tua memilikinya dan dua kali lipat ( 50% ) jika kedua orang tua
memilikinya. Tetapi masih ada pertanyaan: Mengapa tidak semua
orang dengan riwayat keluarga otosklerosis mendapatkannya? Dan
mengapa beberapa orang tanpa riwayat keluarga dengan kelainan itu
mengembangkannya?10

2. Virus
Diduga virus measles/campak juga merupakan predisposisi
terjadinya otosklerosis. Secara epidemiologi dibuktikan dengan
menurunnya angka kejadian otosklerosis sejak ditemukannya vaksin
measles. Infeksi virus measles diduga menyebabkan persistennya virus
measles pada kapsul otik. Dengan pemeriksaan mikroskop elektron
pada stapes penderita otosklerosis post stapedektomi didapatkan
struktur filamen pada retikulum endoplasmik dan sitosol dari osteoblas
dan preosteoblas yang merupakan gambaran morfologi dari measles
nucleocapsid. Dalam penelitian immunohistochemical juga disebutkan
adanya ribonucleic acid dari virus measles pada lesi otosklerosis. Pada
perilimf juga didapatkan peningkatan antibody terhadap virus measles.

12
Dari kenyataan tersebut ada teori yang menyatakan bahwa infeksi virus
measles menginisiasi terjadinya otosklerosis.8
Beberapa merasa bahwa infeksi campak kronis pada tulang
mempengaruhi pasien untuk otosklerosis. Material virus dapat
ditemukan dalam osteoblas dalam lesi otosklerotik dan di alas kaki
stapes orang dengan otosklerosis. Di sisi lain, sekitar 40% stapes dari
pasien otosklerosis negatif untuk measles, dan juga tidak jelas mengapa
campak harus mempengaruhi tulang temporal, tetapi tidak
mempengaruhi tulang lain dalam tubuh.9

2.2.3 Epidemiologi
Secara histologis, otosklerosis ditemukan pada 12% kulit putih,
dengan 0,3% hingga 0,4% dari pasien ini yang mengalami gejala klinis.
Prevalensinya lebih rendah pada orang kulit hitam, Asia, dan penduduk asli
Amerika. Secara klinis, rasio kejadiannya adalah 2:1 pada wanita dengan 1
pria. Rata-rata usia onset adalah 30 tahun. Otosklerosis sering dimulai di
usia pertengahan tapi bisa juga lebih awal (15-45 thn). Menurut Morison
angka kejadian 90 % pada usia 15-45 tahun, dua persen di bawah usia 2
tahun, tiga persen antara 10-15 tahun dan empat persen diatas usia 45 tahun.
Otosclerosis adalah penyakit progresif dan berbahaya yang tidak sering
terlihat dalam praktik umum. 2,8,11,12
Ditinjau dari usia, Ketulian pada penyaki otosklerosis biasanya
diawali pada usia 20 sampai 30 tahun dan jarang sebelum usia 10 dan
sesudah 40 tahun. Terdapat juga kecurigaan akan adanya pengaruh faktor-
faktor lain seperti kehamilan, menopause, kecelakaan, setelah operasi besar.
Beberapa peneliti menemukan bahwa kurang lebih 50 % dari penderita
otosklerosis keluhan gangguan pendengaran meningkat sehubungan dengan
kehamilannya.2,8

13
2.2.4 Klasifikasi dan Patologi
Remodeling tulang yang normal terjadi pada tingkat 10% per tahun
di seluruh daerah kerangka; namun, kapsul otic yang normal
hanya memiliki sedikit remodeling tulang — hanya 0,13% per
tahun. 2 Pada pasien dengan otosklerosis , remodeling tulang dalam kapsul
otic meningkat, yang mengarah pada akumulasi endapan tulang yang
merusak struktur audiologis dan memperburuk transmisi suara
normal. Tingkat remodeling tulang yang menyimpang dalam kapsul
otic berkorelasi langsung dengan temuan audiologis yang abnormal.11
Patofisiologi otosklerosis sangat kompleks. Lokasi lesi sangat
multifokal di area- area endokondral tulang temporal. Secara histologis
proses otosklerosis dibagi menjadi 3 fase: fase otospongiosis ( fase awal ),
fase transisional, dan otosklerosis ( fase lanjut ). Tapi secara klinis dibagi 2
fase otospongiosis dan otosklerosis:8,11
Pada awalnya terjadi proses spongiosis ( fase hipervaskulerisasi).
Pada fase ini terjadi aktivitas dari selsel osteosit, osteoblas dan histiosit yang
menyebabkan gambaran sponge. Aktivitas osteosit akan meresorbsi
jaringan tulang di sekitar pembuluh darah yang akan mengakibatkan
sekunder vasodilatasi. Pada pemeriksaan otoskopi akan tampak gambaran
Schwartze sign. Aktivitas osteosit yang meningkat akan mengurangi
jaringan kolagen sehingga tampak gambaran spongiosis. Pada fase
selanjutnya terjadi proses sklerosis, yang terjadi jika osteoklas secara
perlahan diganti oleh osteoblas sehingga terjadi perubahan densitas
sklerotik pada tempat-tempat yang mengalami spongiosis. Jika proses ini
terjadi pada foramen ovale di dekat kaki stapes, maka kaki stapes akan
menjadi kaku dan terjadilah tuli konduksi. Hal ini terjadi karena fiksasi kaki
stapes akan menyebabkan gangguan gerakan stapes sehingga transmisi
gelombang suara ke telinga tengah ( kopling osikule ) terganggu.Jika
foramen ovale juga mengalami sklerotik maka tekanan gelombang suara
menuju telinga dalam (akustik kopling) juga terganggu.8

14
PL. Dhingra mengklasifikasikan tipe otosklerosis sebagai berikut:8
Otosklerosis stapedial
Otosklerosis stapedial disebabkan karena fiksasi stapes dan tuli
konduktif umumnya banyak dijumpai. Lesi ini dimulai dari depan oval
window dan area ini disebut ‘fissula ante fenestram’. Lokasi ini menjadi
predileksi (fokus anterior). Lesi ini bisa juga dimulai dari belakang oval
window (fokus posterior), disekitar garis tepi footplate stapes
(circumferential), bukan di footplate tetapi di ligamentum annular yang
bebas (tipe biskuit). Kadang-kadang bisa menghilangkan relung oval
window secara lengkap (tipe obliteratif).
Otosklerosis koklear
Otosklerosis koklear melibatkan region sekitar oval window atau
area lain di dalam kapsul otik dan bisa menyebabkan tuli sensorineural.
kemungkinan disebabkan material toksik di dalam cairan telinga dalam
Otosklerosis histologi
Tipe otosklerosis ini merupakan gejala sisa dan tidak dapat
menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural.

Gambar 2.8 Tipe otosklerosis stapedial. (A) Fokus anterior. (B) Fokus posterior.
(C) Sirkumperensial. (D) tipe biskuit. (E) Obliteratif.2

Focus otosklerosis telah dilaporkan dapat mengenai seluruh bagian


kapsul labirin. Paling sering (80-90%) focus tersebut terjadi di bagian
anterior kaki di region “fissulla ante fenestram” (tempat predileksi). Tempat
tersering kedua adalah di pinggir foramen rotundum (30-50%). Pada

15
umumnya, focus otosklerosis mengandung daerah pembentukan tulang baru
yang irregular dengan banyak pembuluh darah, terjadi pada didalam tulang
kapsul labirin yang keras. Pinggir lesi berbatas tegas tetapi tidak teratur
dengan proyeksi disekitar sepanjang pembuluh tulang kapsulnya yang
normal. Pinggiran tulang yang terwarnai biru dengan pewarnaan
hematoksilin eosin tampak di sekitar beberapa saluran darah di focus
tersebut. Gambaran tersebut disebut “mantel biru” yang merupakan
gambaran khas dari lesi otosklerosis.13

Gambaran mikroskopiknya dibagi menjadi beberapa bentuk yang


dapat terlihat sendiri atau bersama-sama pada satu lesi otosklerosis, yang
mengandung matriks yang baru terbentuk dengan awal mineralisasi, atau
sebagai focus tulang matur yang inaktif dari tulang yang kompak. Wolff dan
Bellucci menguraikan bentuk-bentuk ini sebagai berikut:13

1. Tipe Klasik:
terjadi pada 3% dari specimen, ditandai dengan banyak saluran darah
yang mengalami kongesti dan stasis disertai dengan hipertropi tulang.
Terdapat banyak osteoblast dan kadang-kadang ada osteoklas.13

16
Gambar 2.9. Otosklerosis tipe klasik pada area yang terbatas di kaki
depan stapes. Perhatikan hipervaskularisasi, pelebaran saluran
pembuluh darah yang dibatasi oleh osteoblast, selubung biru dan
perkembangan tulang yang sakit. 13

2. Tipe Fibrotik:
terjadi pada 17% dari specimen, lesi ini menunjukkan hipertropi tulang
tetapi dengan perubahan fibrotic menggantikan ruang-ruang vaskuler.
Pada lesi ini tidak ditemukan osteoblast dan osteoklas.13

Gambar 2.10 Otosklerosis tipe fibrotic. Perhatikan bentuk tepi luasnya


yang tidak teratur. Sebagian dari tulang menjadi nekrotik dengan
digantikan oleh jaringan ikat yang luas.13

3. Tipe osteoporotic:
terjadi pada 11% pada specimen, pada bentuk ini tulang yang hipertropi
juga hipervaskuler, tetapi ruang vaskuler tidak berisi, menyebabkan
gambaran porosis sempurna. Disini juga terjadi nekrosis dari osteosit.13

17
Gambar 2.11 Otosklerosi tipe osteoporotic. Perhatikan pelebaran ruang
pembuluh darah yang sama sekali kosong. Gambara inset menunjukkan
sel tulang rawan yang mengeras dari bagian depan lempeng kaki
stapes.13

4. Tipe sklerotik (jarang):


beberapa kasus menunjukkan morfologi ini secara tunggal, tetapi
bentuk-bentuk yang lain sering kali mempunyai area sklerotik. Jaringan
tulang seluruhnya diganti oleh kalsium dan tidak mengandung
pembuluh darah ataupun osteosit.13

18
Gambar 2.12 Otosklerosis tipe sklerotik. Tulang kelihatan tidak
berkembang dan saluran pembuluh darah tidak berisi sesuatu apapun. 13

Wolff dan Belluci menekankan bahwa tipe-tipe ini bukan merupakan


tingkat-tingkat penyakit melainkan variasi patologi mikroskopik. Pada
kebanyakan kasus, lesi otosklerosis menunjukkan campuran berbagai tipe
tersebut diatas pada area-area yang berbeda.13

2.2.5 Manifestasi Klinis


Penyakit otosklerosis mempunyai gejala klinis sebagai berikut:
1. Penurunan pendengaran
Gejala ini timbul dan biasanya dimulai pada usia 20-an, tidak terasa sakit
dan progresif dengan onset yang lambat. Biasanya tipe konduktif dan
bilateral namun dapat pula unilateral.2,15 Pada awalnya berupa tuli
konduksi dan pada tahap selanjutnya bisa menjadi tuli campuran atau tuli
sensorineural jika proses otosklerosis sudah mengenai
koklea.8 Pasien biasanya mengeluh kehilangan pendengaran bila
mencapai tingkat 40dB atau lebih.12,14
2. Paracusis willisii
Banyak orang dengan otosklerosis pertama kali memperlihatkan bahwa
mereka tidak dapat mendengar suara bernada rendah atau mereka tidak
dapat mendengar bisikan, mendengar lebih baik di keramaian dari pada
di lingkungan yang sepi, hal ini disebabkan oleh karena orang normal
akan meningkatkan suara di lingkungan yang ramai.2,12,15
3. Tinitus seringkali dijumpai pada koklear otosklerosis dan lesi yang
aktif..2 Tinitus sering ada, biasanya nada rendah tipe konduktif, seringkali
disertai terdengar denyut nadi. Kadang-kadang terdapat tinnitus nada
tinggi sebaggai tanda terkenanya koklea.13 Tinitus kadang disertai
vertigo12
4. Gambaran membrane timpani yang kemerahan, terutama bila membrane
timpani transparan oleh karena terdapat pelebaran pembuluh darah
promontorium. Gambaran ini disebut tanda schwartze.1,13

19
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis otosklerosis berdasarkan pada riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan audiometri. Diagnosis pasti dengan
eksplorasi telinga tengah. Pendengaran terasa berkurang secara progresif
dan lebih sering terjadi bilateral. Otosklerosis khas terjadi pada usia dewasa
muda. Setelah onset, gangguan pendengaran akan berkembang dengan
lambat. Penderita perempuan lebih banyak dari laki-laki, umur penderita
antara 11-45 tahun, tidak terdapat riwayat penyakit telinga dan riwayat
trauma kepala atau telinga sebelumnya.1,
Pada pemeriksaan otoskopi, ditemukan membran timpani tampak
intak dalam batas normal, kadang-kadang tampak promontorium agak
merah jambu, terutama bila membran timpaninya transparan. Gambaran
tersebut dinamakan tanda Schwartze yang menandakan adanya fokus
otosklerosis yang sangat vaskuler.1,12,8
Pada pemeriksaan dengan garpu tala 512 Hz menunjukkan uji Rinne
negatif. Uji Weber sangat membantu dan akan positif pada telinga dengan
otosklerosis unilateral atau pada telinga dengan ketulian konduktif yang
lebih berat.14
Pemeriksaan audiometri menunjukkan tipikal tuli konduktif ringan
sampai sedang yang menunjukkan adanya penurunan hantaran udara pada
frekuensi rendah. Hantaran tulang normal. Air-bone gap lebih lebar pada
frekuensi rendah. Dalam beberapa kasus tampak adanya cekungan pada
kurva hantaran tulang. hal ini berlainan pada frekuensi yang berbeda namun
maksimal pada 2000 Hz yang disebut dengan Carhart’s notch (5 dB pada
500 Hz, 10 dB pada 1000 Hz, 15 dB pada 2000 Hz dan 5dB pad 4000 Hz)
Pada otosklerosis dapat dijumpai gambaran Carhart’s notch.2,12,13

20
Gambar 2.13 Carhart’s notch.2
Hasil Timpanometri bias menunjukkan compliance menurun (As)
atau normal. Refleks stapedial mungkin normal pada fase awal tetapi tidak
didapatkan pada fiksasi stapes. Speech reception threshold dan speech
discrimination sering normal, kecuali pada kasus dengan terlibatnya
koklea.2

Gambar 2.14 Hasil timpanometri pasien dengan otosklerosis menunjukkan


gelombang As2

CT resolusi tinggi mulai digunakan dalam diagnosis dan


perencanaan bedah otosklerosis karena peningkatan teknologi yang
memungkinkan identifikasi lesi tulang yang lebih kecil. CT resolusi tinggi
memiliki sensitivitas dan spesifisitas diagnostik yang tinggi, dan
mengungkapkan varian dalam anatomi pasien dan tingkat keparahan
penyakit. Temuan umum otosklerosis pada CT resolusi tinggi mencakup
area peningkatan radiolusen tulang dalam kapsul otic di sekitar alas kaki

21
anterior, penebalan stapes, dan pelebaran jendela oval. CT resolusi tinggi
juga dapat mengungkap keterlibatan koklea dengan menunjukkan area
demineralisasi yang menguraikan koklea (tanda dua cincin/ hallo
sign). Kerugian utama dari penggunaan tes ini adalah biayanya yang
tinggi.8,11

Gambar 2.15 CT Scan temporal potongan aksial menunjukkan area kapsul


otik yang radiolusen.11

2.2.7 Diagnosa Banding


Ada bebrapa penyakit yamg mempunyai gambaran klinis yang hampir sama
dengan otosklerosis terutama penyakit-penyakit dengan tuli konduksi dan
tuli campuran. 8
Fiksasi Tulang Osikule ( Ossicular Immobillity )
1) Fiksasi osikuler kongenital tanpa atresia meatus
Pada penyakit ini ketulian timbul sejak lahir, sehingga menimbulkan
gangguan bicara. Penyakit ini tidak progresif, lebih sering didapatkan
fiksasi maleus inkus junction.8
2) Fiksasi tulang pendengaran setelah reaksi inflamasi
Pada otitis media kronika adhesiva pemeriksaan otoskopi didapatkan
membran timpani yang adhesiv, gambaran audiogram menyerupai
otosklerosis. Pada pemeriksaan X-Ray mastoid tidak tampak adanya
gambaran udara pada mastoid dan rongga telinga tengah. Pada otitis
media sekretorika pemeriksaan otoskopi membrane timpani tampak agak

22
suram, X-Ray mastoid menunjukkan adanya kesuraman pada sel-sel
mastoid dan rongga telinga tengah.8
3) Timpanosklerosis
Pada pemeriksaan otoskopi membran timpani tampak suram seluruhnya,
proses sclerosis disini sampai pada osikule. Didapatkan riwayat OMK
berulang.8

Diskontinuitas Tulang Pendengaran

Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kelainan ini adalah:

1. Trauma kepala atau tindakan operasi (mastoidektomi)


Tuli biasanya unilateral, pada pemeriksaan sering didapatkan dislokasi
osikule yang tersering pada inkus. Bila mengenai stapes dapat
menimbulkan gangguan pada perilimf dan tuli persepsi yang progresif.
Keadaan ini dapat ditemui sebagai komplikasi tindakan operasi.8
2. Cacat kongenital
Penyakit ini jarang ditemukan, dapat diketahui dengan pemeriksaan
timpanometri complience lebih tinggi dari pada normal8

Penyakit Tulang Sistemik

1. Osteogenisis Imperfeta ( Sindroma van der Hoeve)


Didapatkan adanya tuli persepsi, dimana patologinya mengenai semua
osikule dan labirin disamping tulang- tulang lainnya. Dan sering terjadi
fraktur spontan dari osikule. Penyakit ini bersifat herediter yang
diturunkan secara otosomal dominan. Didapatkan adanya blue sclera dan
fraktur tulang multipel.8
2. Penyakit Paget
Biasanya menyebabkan ketulian seperti pada otosklerosis. Penyakit ini
dapat menyebabkan fiksasi stapes, mengumpulnya osikel pada
epitimpanum dan kekakuan rantai osikule. Pada pemeriksaan otoskopi
membrane timpani tampak normal dan bila transparan dapat dilihat

23
adanya Schwartze sign, audiogram biasanya simetris, air bone gap paling
besar pada frekuensi.8

2.2.8 Penatalaksanaan
 Medikamentosa
Walau saat ini sudah jarang dipakai tapi sodium fluoride masih bias
dipakai untuk terapi suportif. Ion-ion fluoride akan menggantikan
hydroxyl radical yang normal sehingga terbentuk fluroapatite complex
yang lebih stabil dibandingkan hidroxyapatite kristal. Fluoroapatite
complex akan menghambat aktivitas osteoklas dan hal ini dibuktikan
dengan pemeriksaan histologis . Disamping itu penggunaan fluoride juga
bisa menghambat progresifitas otosklerosis. Dosis sodium fluoride
antara 20-120 mg/hari. Evaluasi keberhasilan bisa dilihat dari hilangnya
gambaran schwartze sign, kestabilan pendengaran , perbaikan Ct-scan di
kapsul otik. Efek samping terapi sangat ringan misalnya berupa gejala
gastrointestinal seperti mual-muntah yang bisa dihindari dengan
penurunan dosis atau dengan pemberian kapsul selaput . Pada penderita
otosklerosis yang mendapatkan terapi ini 80 % didapatkan perbaikan
keluhan dan tidak memburuknya progresifitas keluhan. Saat ini, tidak ada
rekomendasi yang jelas terhadap pengobatan penyakit ini.8
Bifosfonat dan vitamin D juga sedang dipertimbangkan mungkin
pengobatan masa depan untuk pasien dengan otosklerosis; Namun,
penelitian masih dalam tahap awal. 11

 Alat Bantu Dengar


Alat bantu dengar dapat digunakan apabila pasien menolak untuk
dilakukan operasi atau keadaan umum yang tidak memungkinan untuk
dilakukan tindakan operasi. Misalnya pada otosklerosis dengan tuli
sensorineural dimana sudah didapatkan kerusakan di koklea yang
prognose keberhasilan operasinya kecil sekali. Pada kasus ini dianjurkan
untuk penggunaan alat pembantu mendengar atau penggunaan BAHA

24
(bone anchored hearing aid) bisa unilateral atau bilateral. Sedangkan
pada kasus dengan tuli sensorineural severe atau profound bilateral
dianjurkan untuk pemasangan koklear implan.11

 Bedah
Bedah stapes mengembalikan transmisi suara secara mekanis
melalui telinga tengah, mengoreksi gangguan pendengaran konduktif. Itu
tidak memperbaiki kehilangan pendengaran sensorineural sekunder
untuk ekstensi otosklerotik ke koklea. Bedah stapes adalah prosedur satu
hari minimal invasif yang dilakukan dengan anestesi umum; baru-baru
ini, beberapa ahli bedah telah mulai melakukan operasi stapes di bawah
anestesi lokal. Dua variasi operasi adalah:11
Stapedektomi, di mana stape footplate dan crura diangkat dan
diganti dengan prosthesis.
Stapedektomi merupakan operasi dengan membuang seluruh
footplate. Operasi stapedektomi pertama kali dilakukan oleh Jack
dari Boston, Massachusetts pada 1893, dengan hasil yang baik.
Operasi stapedektomi pada otosklerosis disisipkan protesis di antara
inkus dan oval window. Protesis ini dapat berupa sebuah piston
teflon, piston stainless steel, piston platinum teflon atau titanium
teflon. Piston teflon, merupakan protesis yang paling sering
digunakan saat ini. Hampir 90% pasien mengalami kemajuan
pendengaran setelah dilakukan operasi dengan stapedektomi. Ada
beberapa tehnik operasi yaitu stapedektomi total,partial.8,11

25
Gambar 2.16. (A). sebelum stapedektomi. (B). stapedektomi dan
penggantian dengan Piston Teflon.8.

Gambar 2.17 Protesis stapes. (A) piston Teflon, (B) piston platinum
Teflon, (C) piston titanium Teflon. 8

Stapedotomy , di mana lubang kecil dibuat di aspek pusat dari


footplate stapes untuk prosthesis tanpa pengangkatan struktur. 8,11
Teknik yang diperkenalkan oleh Fisch, sebuah lubang
setahap demi setahap dibesarkan dengan hand-held drill sampai
diameter 0,6 mm. Stapes digantikan dengan protesis yang dipilih
kemudian ditempatkan pada lubang dan dilekatkan ke inkus. Ukuran
protesis yang digunakan sedikit lebih panjang (0,25 mm)
dibandingkan dengan jarak antara inkus dan footplate untuk

26
memastikan kontak dengan ruang perilimf dan mencegah
pergeseran selama proses penyembuhan.8,11
Banyak ahli otologi menganjurkan penggunaan laser pada
stapedotomi. Keuntungan penggunaan laser adalah mengurangi
manipulasi terhadap suprastruktur dan footplate. Efek termalnya
dapat diabaikan. Kerugiannya adalah waktu lebih lama, mahal dan
memerlukan peralatan. Perkin dan Curto mempopulerkan kombinasi
stapedotomi laser dengan jaringan untuk menutup lubang. Graft
vena dipasang di atas lubang yang dibor pada blok teflon. Protesis
dipasang pada lubang dan graft vena dibiarkan mengering dan
melekat di protesis. Serpihan tulang yang dibuat laser secara lembut
disisihkan dengan sebuah pengait. Protesis dengan graft yang
melekat dipasang di atas fenestra dengan ujungnya menuju
vestibulum dan kemudian diletakkan di bawah inkus.8,11

Gambar 2.18. Teknik Stapedotomi (A) Fenestrasi footplate, (B)


Menempatkan protesis di fenestra. 8

27
Gambar. 2.19 Teknik stapedotomi dengan graft vena (A) Graft
dilekatkan ke protesis, (B) Laser stapedotomi, (C) Protesis dan
graft dilekatkan.8
Indikasi untuk operasi stapes termasuk gangguan pendengaran
konduktif, celah udara-tulang minimal 20 dB, skor diskriminasi bicara
60% atau lebih besar, dan kesehatan pasien yang baik.11

Kontraindikasi meliputi kondisi fisik pasien yang buruk, gangguan


pendengaran yang berfluktuasi dengan vertigo, perforasi membran
timpani, infeksi, dan gangguan pendengaran 70 dB atau lebih buruk
kecuali pasien memiliki skor diskriminasi bicara 80% atau lebih baik.11

2.2.9 Komplikasi dan Prognosis


Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi baik durante operasi
atau post operasi. Sebesar 1-2 % kasus bisa terjadi tuli sensorineural post
operasi. Paresis N VII yang permanen terjadi < 1 per 1000 kasus. Perforasi
membran timpani terjadi 1-2 % kasus yang terjadi pada waktu mengelevasi
membran timpani. Gangguan fungsi pengecapan karena lesi korda timpani
yang lokasinya melewati tulang osikule. Tapi kondisi ini akan membaik
dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Gangguan keseimbangan dan
vertigo disertai dengan keluhan mual muntah sering terjadi sesaat atau
beberapa hari paska bedah. Tapi jarang terjadi secara permanen. Keluhan
tinitus juga sering terjadi terutama pada pasien yang sebelumnya sudah
mempunyai keluhan tinnitus biasanya akan bertambah buruk. Tapi secara
keseluruhan prognosis post operasi stapedektomi sangat baik dengan angka
lebih dari 90%.8,11

28
BAB III

KESIMPULAN

Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang


mengalami spongiosis didaerah kaki stapes dan pada tahap selanjutnya mengeras
menjadi sklerotik. Secara klinis terdapat dua fase yaitu fase otospongiosis dan
otosklerosis. Etiologi otosklerosis belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa
faktor predisposisi terjadinya otosklerosis yaitu faktor herediter, endokrin,
metabolik, infeksi measles dan vaskuler autoimun.
Gejala klinis didapatkan pendengaran menurun secara progresif yang
biasanya bilateral asimetris, tinnitus, paracusiss willisii, dan vertigo. Pada otoskopi
kadang-kadang didapatkan Schwartze sign dan pemeriksaan audiometri khas
didapatkan gambaran Carhart Notch.
Penatalaksanaan otosklerosis yang utama adalah dengan tindakan
pembedahan stapes. Pada beberapa kasus yang tidak bisa dilakukan pembedahan
penggunaan alat bantu mendengar bisa menjadi alternatif terapi.

29
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, E. A,. Iskandar, N,. Bashiruddin, J., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala & Leher. Ed. 7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
2. Salima J, Imanto M, Khairani. 2016. Tuli Konduktif e.c Suspek Otosklerosis
Auris Sinistra pada Pasien Laki-laki berusia 49 Tahun. JPM Ruwa Jurai
3. Moore K, Dalley A. Anatomi Berorientasi Klinis. Ed. 5. Jakarta: Erlangga,
2013
4. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. Ed. 25. Jakarta: EGC, 2014.
5. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC,
2014
6. Irawati, L., Fisika Medik Proses Pendengaran. Available from:
http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/viewFile/123/119.
[Accessed: 1 Januari 2019.]
7. National Institute of Health. Hearing and Balance Otosclerosis. United States:
NIDCD Fact Sheet, 2014
https://www.nidcd.nih.gov/sites/default/files/Documents/health/hearing/NID
CD-Otosclerosis.pdf
8. Irawati, Wiyadi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Otosklerosis. Available from
: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkla439e9b20d2full.pdf .
[Accessed: 1 Januari 2020.]
9. Timothy C. Otosclerosis. Available from : https://www.dizziness-and-
balance.com/disorders/hearing/otoscler.html. [Accessed: 1 Januari 2020.]
10. American Hearing Research Foundation. Otosclerosis. Available from :
Available from : https://www.dizziness-and-
balance.com/disorders/hearing/otoscler.html. [Accessed: 1 Januari 2020.]
11. Batson L, Rizzolo D. Otosclerosis: An Update on Diagnosis and Treatment.
Journal of the American Academy of Physician Assistants, 2017 Feb;30(2):17-
22
12. Jack A. Otosclerosis. Medscape, 2019. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/859760-overview#a7. [Accessed: 1
Januari 2020.]

30
13. Ballenger, J, J., Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi 13. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997
14. Adam GL, Boies LC, Hilger PA. 2009. Buku Ajar Penyakit THT edisi 6.
Jakarta: EGC.
15. Nagel, Patrick. Dasar-Dasar Ilmu THT. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2012
16. George L. Adams, Lawrence R. Boeis, Peter H. Higler. Boeis. Buku Ajar
Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.

31

Anda mungkin juga menyukai