Anda di halaman 1dari 24

PAPER

ANATOMI, FISIOLOGI, DAN


PEMERIKSAAN PADA HIDUNG

Oleh:

Roni Andreas Hariyono Sembiring 150100005

Henny Nuralita 150100032

Pembimbing:
dr. Ashri Yudhistira, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan paper berjudul ”Anatomi, Fisiologi, dan Pemeriksaan Hidung”. Paper
ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan paper ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada dr. Ashri Yudhistira, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL
(K) selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis
selama proses penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan paper di kemudian hari. Akhir kata, semoga paper ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di
masa mendatang.

Medan, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal..................................................... 3
2.1.1 Hidung Luar ................................................................................. 3
2.1.2 Septum Nasi ................................................................................. 5
2.1.3 Rongga Hidung ............................................................................ 6
2.1.4 Vaskularisasi Hidung ................................................................... 7
2.1.5 Persarafan Hidung........................................................................ 8
2.1.6 Sinus Paranasal............................................................................. 10
2.2 Fisiologi Hidung dan Sistem Penghidu................................................... 12
2.3 Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal .............................................. 14
BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Hidung ............................................................................3


Gambar 2.2 Anatomi Permukaan Dorsal dan Inferior Hidung ........................4
Gambar 2.3 Anatomi Daerah Lateral Hidung ..................................................5
Gambar 2.4 Septum Nasi .................................................................................5
Gambar 2.5 Anatomi Dinding Nasal ................................................................6
Gambar 2.6 Gambaran Potongan Koronal Bagian Dalam Hidung ..................7
Gambar 2.7 Suplai Pembuluh Darah pada Septum Nasi..................................8
Gambar 2.8 Gambaran Vaskularisasi dan Inervasi Mukosa Hidung ...............9
Gambar 2.9 Gambaran Anatomi Sinus Paranasal ............................................11
Gambar 2.10 Pemeriksaan Rinoskopi Anterior .................................................15
Gambar 2.11 Pemeriksaan N. Olfaktorius .........................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan suatu organ yang berperan dalam fungsi penciuman
atau penghidu, atau sebagai indra penghidu. Hidung terletak pada daerah wajah
sebagai pintu masuk aliran udara atau jalan napas dan berperan sebagai air
conditioner dan kemosensor. Sekitar 10.000 hingga 20.000 L udara yang kita
gunakan untuk bernapas tiap hari tersusun atas campuran gas dan berbagai
partikel. Hidung merupakan penyaring udara yang efisien, dan berbagai partikel
dan gas terlarut seperti sulfur dioksida tertahan di daerah hidung. Epitel nasal
melakukan kontak langsung dengan udara luar dan terpapar langsung dengan agen
iritasi, infeksi, dan juga alergi disebabkan pada umumnya udara luar mengandung
berbagai polutan seperti ozon, virus, bakteri, dan jamur, serta alergen.1
Hidung akan melindungi saluran pernapasan bagian bawah dari berbagai
efek berbahaya dari udara luar dengan berperan sebagai air conditioner yang
efisien. Hidung akan menghangatkan, menyaring, dan melembabkan udara yang
masuk sehingga menjadi udara yang bersih dan menguap pada suhu 37°C untuk
kemudian disalurkan menuju paru-paru. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yaitu pangkal hidung (bridge), batang
hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung
(nares anterior).1,2
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung hidung. Anatomi dan fungsi fisiologis normal harus
diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologis
yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. Pada umumnya
keluhan utama penyakit atau kelainan pada hidung adalah adanya sumbatan
hidung, sekret di hidung dan tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan
kepala, perdarahan dari hidung, dan gangguan penghidu. Pemeriksaan yang
berhubungan dengan gangguan atau kelainan pada hidung atau indra penghidu
meliputi pemeriksaan hidung dan pemeriksaan sinus paranasal.2

1
2

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Dapat memahami anatomi hidung, fisiologi indra penghidu, serta cara
pemeriksaannya, baik secara teoritis maupun praktik.
2. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Makalah ini disusun untuk dapat memberikan manfaat terhadap penulis
dan pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang
anatomi hidung, fisiologi indra penghidu, serta cara pemeriksaannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Hidung merupakan suatu struktur yang bersifat kompleks, dan sangat
penting dalam fungsi penghidu dan juga estetika. Hidung disokong oleh suatu
tulang rawan atau kartilage yang terdiri dari satu pasang os nasal yang terletak
superior yang bersifat tidak fleksibel dan kompleks ala kartilage yang bersifat
mobile yang terletak inferior. Sebaliknya, kulit pada tulang nasal yang terletak
superior bersifat mobile, sedangkan kulit pada kartilage yang bersifat mobile yang
terletak inferior merupakan struktur yang tebal, berminyak, dan terikat.3

Gambar 2.1 Struktur Hidung.3

2.1.1 Hidung Luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah, yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Dari bagian
apeks, bagian hidung kemudian akan mendaki dan menuju ke arah sedikit
posterior untuk mencapai daerah frontal pada persimpangan dengan adanya
sedikit depresi yang disebut dengan radiks nasi. Di atas mata, dijumpai adanya

3
4

arkus tulang dan diantara kedua arcus dijumpai daerah tipis yang disebut sebagai
glabella.2,4

Gambar 2.2 Anatomi Permukaan Dorsal dan Inferior Hidung. 4

Membrana columella terletak diantara dua nares dan memanjang ke


posterior dari apeks nasal menuju ke bagian tengah bibir bagian atas. Philtrum,
suatu kulit yang mengalami depresi pada bibir bagian atas, berbentuk bulat,
konveks, dan secara vertikal mengalami depresi, memanjang dari bagian tengah
bibir hingga menuju dasar dari membrana columella.4 Kedua os nasal bersama
dengan kartilage superior dan inferior lateralis membentuk kerangka hidung.
Margo caudalis pada kartilage superior lateral pada umumnya bertumpang tindih
pada margo superior kartilage inferior lateralis.4
5

Gambar 2.3 Anatomi Daerah Lateral Hidung. (A), Potongan Secara Korona (B), dan Penampakan
Lateral Kartilage Nasal (C).4

2.1.2 Septum Nasi


Septum Nasi merupakan suatu garis tengah pada hidung yang terbentuk
dari beberapa tulang dan kartilage. Pada bagian superior dan posteriornya
terbentuk dari os ethmoid dan pada anterior terbentuk dari kartilage septal,
premaksila, dan membrana kolumella. Pada bagian inferiornya terbentuk dari
puncak vomer, maksila, dan os palatum, serta pada posterior juga terbentuk dari
puncak os sfenoid.4

Gambar 2.4 Septum Nasi.4


6

2.1.3 Rongga Hidung


Rongga hidung terbentuk dari beberapa kompleks tulang. Prosessus
palatum pada os maksila dan prosessus horizontal pada os palatum akan
membentuk dasar dari rongga hidung. Langit-langit hidung terbentuk dari
kartilage alar, os nasal, dan prosessus os nasal pada os frontal, dan os sfenoid dan
os ethmoid. Lamina cribrosa membentuk sebagian besar bagian langit-langit pada
lumen os nasal. Permukaan bagian dalam os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan medial, konka inferior dan os pterygoideum medial membentuk
dinding lateral. Konka atau sering disebut sebagai turbinate merupakan struktur
yang terletak pada tiap sisi hidung dan membagi lumen os nasal menjadi beberapa
meatus.4

Gambar 2.5 Anatomi Dinding Nasal. Gambaran penampang anatomi dinding nasal lateral sebelah
kanan dengan konka medial dan sepertiga depan konka inferior yang telah diangkat. 4

Meatus superior (atau fissura ethmoidalis) merupakan suatu ruang


berbentuk celah di atas konka medialis dan terletak diantara septum nasi dan os
ethmoid. Meatus medialis terletak diantara konka medialis dan konka inferior,
yang terdiri dari suatu orifisium frontal dan sinus maksilaris dan juga sel-sel
ethmoid anterior. Meatus inferior berada dibawah konka inferior. Pada permukaan
7

sebelah lateralnya, 3 hingga 5 cm dibawah naris, dijumpai orifisium duktus dari


kelenjar lakrimal.4

Gambar 2.6 Gambaran Potongan Koronal Bagian Dalam Hidung. 4

2.1.4 Vaskularisasi Hidung


Vaskularisasi hidung terdapat pada lapisan mukoperiosteal dan
mukoperikondrial. Suplai darah dari arteri berasal dari cabang oftalmika dari arteri
carotis interna dan juga cabang maksilaris dan fasialis dari arteri carotis eksterna.
Pendarahan menuju septum nasi bagian atas diperoleh dari anastomosis arteri
ethmoid anterior dan posterior, yang berasal dari cabang oftalmika. Arteri carotis
eksterna berperan melalui cabang besar arteri sfenopalatina yang memperdarahi
septum posterior dan inferior. Kolumella dan septum caudalis memperoleh suplai
darah dari cabang septal dari arteri labialis superior. Mukosa septum juga
mengandung kompleks anastomosis arteri dan vena serta sinusoid vena yang
dapat berdilatasi atau konstriksi melalui jalur neural atau ekstrinsik.5
Pada septum nasi, arteri ethmoid anterior, arteri septal posterior dan
cabang septal dari arteri labialis superior berkontribusi dan membentuk pleksus
Kisselbach yang terletak di sepanjang septum nasi pada suatu tempat yang disebut
dengan Little’s area. Daerah ini terbentuk oleh anastomosis arteri yang berakhir
sebagai dasar yang kaya akan pembuluh darah dari simpul kapiler yang panjang.
Pleksus Kisselbach merupakan lokasi yang paling sering mengalami epistaksis
dikarenakan banyaknya suplai pembuluh darah dan kerentanan terhadap
8

kerusakan yang disebabkan oleh tekanan aliran udara ataupun trauma pada daerah
ini.6
Aliran vena pada hidung luar tidak paralel dengan aliran arteri akan tetapi
tujuannya sesuai dengan teritori yang disebut dengan satuan arteriovena. Daerah
frontomedian mengalirkan darah menuju vena fasialis dan area orbitopalpebral
mengalirkannya menuju vena oftalmika. Vena fasialis berawal sebagai vena
angular yang terletak pada canthus interna. Vena angular terbentuk dengan adanya
pertemuan vena supratroklear dan supraorbital. Bibir dan hidung bagian atas
disebut sebagai daerah yang berbahaya pada wajah karena infeksi pada daerah ini
ditransmisikan hingga menuju intrakranial menuju sinus kavernosus. Keadaan ini
dapat terjadi disebabkan vena fasialis berhubungan langsung dengan sinus
kavernosus via vena oftalmika melalui sistem pembuluh vena tanpa katup.6

Gambar 2.7 Suplai Pembuluh Darah pada Septum Nasi.6

2.1.5 Persarafan Hidung


Persarafan mukosa hidung termasuk sistem saraf sensorik dan otonom.
Sistem saraf otonom mengatur derajat tonus vaskuler, kongesti konka, dan sekret
nasal yang dapat muncul pada hidung di waktu kapanpun. Serat saraf presinaptik
parasimpatis berjalan di sepanjang N. Fasialis (N.VII) dan berlanjut sebagai saraf
petrosal superfisialis yang lebih besar pada ganglion genikulata. Serat-serat saraf
9

ini kemudian bergabung dengan Nervus petrosal profunda untuk membentuk


nervus vidian. Di dalam nervus vidian, serat saraf ini akan berjalan menuju
ganglion sfenopalatina dan bersinaps dengan neuron postganglion sebelum
mempersarafi mukosa hidung. Serat saraf simpatis postsinaptik berjalan melewati
ganglion sfenopalatina dan berakhir pada mukosa hidung.5,6
Sistem saraf sensorik pada hidung secara utama diatur oleh N. Olfaktorius
(N.I) dan N. Trigeminus (N.V). N. olfaktorius memasuki hidung melalui lempeng
kribiformis dan membentuk area olfaktori yang berbeda. Area olfaktori berperan
sebagai kemoreseptor jarak jauh, menjalankan fungsi untuk merasakan bebauan
yang terkandung di dalam udara yang masuk dan memberikan persepsi baik
berupa bau makanan, minuman, bau badan, dan parfum. N. Trigeminus
memberikan sensasi sentuhan, nyeri, panas, dingin, dan juga gatal, sebagaimana
sensasi aliran udara, yang dipersepsikan sebagai sensasi dingin.1
Cabang maksilaris dan oftalmika dari N. Trigeminus bertindak sebagai
saraf sensorik pada mukosa hidung. Serat-serat N. Trigeminus juga melewati
ganglion sfenopalatina dan menghantarkan sensasi nyeri, suhu, dan sentuhan.
Dinding lateral hidung dan konka dipersarafi oleh N. nasalis posterolateral dari
cabang V2 yang keluar dari foramen sfenopalatina dan N. ethmoidalis keluar dari
V1.6

Gambar 2.8 Gambaran Vaskularisasi dan Inervasi Mukosa Hidung. 5


10

2.1.6 Sinus Paranasal


Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksilaris, sinus
ethmoidalis, sinus sfenoidalis, dan sinus frontalis. Sinus paranasal berisikan udara
dan berhubungan dengan lumen nasal melalui sebuah ostium. Ostium tulang
berukuran sedikit lebih besar dibandingkan celah pada membrane mukosa. Tiap
sinus dilapisi oleh membran mukosa bersilia dimana silia tersebut berada di atas
selaput mukosa yang tumpang tindih terhadap ostium sinus untuk bergabung
dengan selaput mukosa hidung. Silia pada membran mukosa sinus akan berjumlah
lebih banyak jika semakin dekat dengan ostium.4,7
Sinus maksilaris (antrum of Highmore) terletak pada korpus maksila.
Secara umum sinus maksilaris berbentuk seperti piramid, dengan dasar yang
dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung dan apeks yang berhadapan langsung
dengan prosessus zygomatikus. Langit-langit sinus memisahkan sinus dengan
orbit. Dasarnya dibentuk oleh prosessus alveolar maksila dan palatum durum.
Dinding anterior berhubungan dengan fossa canine dan memisahkan sinus dari
pipi. Dinding posterior terletak berlawanan dengan isi dari ruang infratemporal
dan fossa pterigomaksilaris.4
Pada sinus ethmoidalis, sel-selnya berada di depan dan di bawah (sel
ethmoid anterior) atau pada posterior dan di atas (sel ethmoid posterior) dari
attachment konka medialis menuju dinding nasal lateral. Sinus ethmoid juga
terletak pada sisi lain dari bagian superior rongga hidung dan dipisahkan dari orbit
oleh laminae papyraceae. Sel-sel ethmoid anterior terbuka menuju ke dalam
infundibulum meatus medialis dan sel posterior menuju meatus superior. Konka
medialis mungkin merupakan lokasi dari suatu sel ethmoid, yaitu konka bulosa,
yang dapat menyumbat drainase sinus yang bebas, namun pada umumnya bersifat
asimptomatik. Terdapat banyak variasi pneumatisasi dari sel ethmoid.4
11

Gambar 2.9 Gambaran Anatomi Sinus Paranasal.7

Sinus frontal terletak pada os frontal dan sinus frontal kanan dan kiri pada
umumnya bersifat tidak simetris, dimana satu lebih besar daripada yang lain dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya
infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostium-ostium yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum ethmoid. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal saja dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.2
Sinus Sfenoid terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus ethmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar
hipofisis. Batas inferior meliputi atap nasofaring, batas lateral meliputi sinus
kavernosus dan arteri carotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.2
12

2.2 Fisiologi Hidung dan Sistem Penghidu


Hidung berperan terutama sebagai tempat masuk pertama kali udara
menuju saluran pernapasan bawah. Secara klinis, mukosa hidung memiliki
kemampuan untuk menyaring udara dan membersihkan diri secara otomatis.
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal diantaranya adalah: 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2)
fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, dan 5) refleks nasal.2,4
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun kebawah
kearah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.2
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah
dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin.2
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung juga membantu proses
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada
13

pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.2
Mukosa hidung juga merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.2
Fungsi utama hidung lainnya adalah sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung
untuk membantu indra pengecap adala untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk,
pisang, atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan
asam jawa.2
Indra penghidu dikendalikan terutama oleh N. olfaktorius, dimana pada
hidung terdapat membran olfaktori di setiap sisi, yang mana pada setiap lubang
hidung memiliki membran olfaktori dengan luas permukaan sekitar 2,4 sentimeter
persegi. Sel-sel reseptor untuk sensasi penciuman adalah sel olfaktori, yang pada
dasarnya merupakan sel saraf bipolar yang berasal dari sistem saraf pusat itu
sendiri. Ada sekitar 100 juta sel seperti ini pada epitel olfaktori yang tersebar di
antara sel-sel sustentakular. Ujung mukosa dari sel olfaktori akan membentuk
tombol, dari tempat ini akan dikeluarkan 6 sampai 12 rambut atau silia olfaktori
yang berdiameter 0,3 mikrometer dan panjangnya sampai 200 mikrometer,
terproyeksi ke dalam mukus yang melapisi permukaan dalam rongga hidung.8
Sinyal-sinyal olfaktori akan dijalarkan ke dalam bulbus olfaktorius.
Bulbus olfaktorius sebenarnya adalah pertumbuhan jaringan otak dari dasar otak
ke arah anterior yang memiliki pembesaran berbentuk bulat. Pada ujungnya
terletak lempeng kribiformis yang memisahkan rongga otak dari bagian atas
rongga hidung. Lempeng kribiformis memiliki banyak lubang kecil yang
merupakan tempat dimana saraf-saraf kecil dalam jumlah yang sesuai berjalan
naik dari membran olfaktorius di rongga hidung untuk memasuki bulbus
14

olfaktorius di rongga kranial. Setiap bulbus memiliki beberapa ribu macam


glomeruli, masing-masing merupakan ujung dari sekitar 25.000 akson yang
berasal dari sel-sel olfaktori. Setiap glomerulus juga merupakan ujung untuk
dendrit yang berasal dari sekitar 25 sel-sel mitral yang besar dan sekitar 60 sel-sel
berumbai yang lebih kecil, yaitu badan sel yang juga terletak di bulbus olfaktorius
di sebelah superior glomeruli. Sel-sel ini kemudian mengirimkan akson-akson
melalui traktus olfaktorius untuk menjalarkan sensasi olfaktori ke dalam sistem
saraf pusat.8

2.3 Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal


Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, dimana untuk mengetahui
penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung
hidung. Anatomi dan fungsi fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologis yang dapat berlanjut menjadi
suatu penyakit atau kelainan. Pada umumnya keluhan utama penyakit atau
kelainan pada hidung diantaranya adalah adanya sumbatan hidung, sekret di
hidung dan tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan
dari hidung, dan gangguan penghidu. Setelah melakukan anamnesis, maka
pemeriksaan yang berhubungan dengan keluhan utama harus segera dilakukan.
Pemeriksaan yang berhubungan dengan gangguan atau kelainan pada hidung atau
indra penghidu meliputi pemeriksaan hidung dan pemeriksaan sinus paranasal.2
Inspeksi bentuk hidung merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam
pemeriksaan hidung. Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau
depresi tulang hidung. Adakah pembengkakan di daerah hidung dan sinus
paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur
os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.2
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rinoskopi
anterior, dimana pada pemeriksaan ini diperlukan spekulum hidung. Pada anak
dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan dan sebisa mungkin untuk menghindari
tindakan pada anak-anak. Otoskop dapat dipergunakan untuk melihat bagian
dalam hidung terutama untuk mencari benda asing. Spekulum dimasukkan ke
15

dalam lubang hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah spekulum berada di
dalam dan saat mengeluarkannya dalam keadaan terbuka dan tidak untuk ditutup
untuk mencegah bulu hidung agar tidak terjepit. Vestibulum hidung, septum
terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, konka superior, serta
meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung juga harus
diperhatikan.2,9

Gambar 2.10 Pemeriksaan Rinoskopi Anterior. (A) Prosedur pemeriksaan rinoskopi rnterior dan
(B) Jenis spekulum yang sering digunakan untuk pemeriksaan rinoskopi anterior, diantaranya
spekulum Thudicum (kiri) dan Killian (Kanan).9

Rongga hidung di sisi lain juga harus diperhatikan saat pemeriksaan.


Terkadang rongga hidung ini sangat sempit karena adanya edema mukosa. Pada
keadaan seperti ini untuk melihat organ-organ yang tersebut di atas lebih jelas
diperlukan untuk memasukkan tampon kapas adrenalin pantokain beberapa menit
untuk mengurangi edema mukosa dan mengecilkan ukuran konka, sehingga
rongga hidung lebih lapang.2
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi
posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan
pemeriksaan rinoskopi posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring
yang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus untuk mencegah udara
pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites
dulu dengan menempelkannya pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien
diminta untuk membuka mulut, lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula
lidah. Pasien bernapas melalui mulut agar uvula terangkat ke atas dan kaca
16

nasofaring yang menghadap ke atas dimasukkan melalui mulut, menuju ke bawah


uvula hingga nasofaring.2
Setelah kaca berada di nasofaring, pasien diminta bernapas biasa melalui
hidung, sehingga uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring terbuka. Mula-
mula diperhatikan bagian belakang septum dan koana, kemudian kaca diputar ke
lateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media, dan konka inferior serta
meatus superior dan media. Kaca diputar lebih ke lateral lagi sehingga dapat
diidentifikasi bagian seperti torus tubarius, muara tuba eustachius, dan fossa
Rossenmuler, kemudian kaca diputar ke sisi lainnya. Daerah nasofaring lebih jelas
terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan memakai nasofaringoskop.2
Udara melalui kedua lubang hidung lebih kurang sama dan untuk
mengujinya dapat dilakukan dengan cara meletakkan spatula lidah dari metal di
depan kedua lubang hidung dan membandingkan luas pengembunan udara pada
spatula kiri dan kanan.2
Persepsi penghidu dinilai dengan melakukan pemeriksaan terhadap N.
olfaktorius dimana pemeriksaan dilakukan dengan menguji lubang hidung untuk
mengenali beberapa jenis bau dengan tujuan untuk menilai ada atau tidaknya
gangguan penghidu. Pemeriksaan ini menggunakan beberapa komponen yang
memiliki bau yang sensitif terhadap indra penghidu terlebih dahulu, misalnya
jeruk atau ekstrak daun mint yang sudah diletakkan kedalam vial yang terbuka
dengan tujuan agar persepsi terhadap bau yang sangat lemah tidak terganggu.
Sebelum memulai pemeriksaan harus dipastikan jalan napas pada hidung tidak
mengalami gangguan atau penyumbatan sama sekali, dengan menutup salah satu
lubang hidung pasien dan menginstruksikan pasien untuk melakukan inspirasi dan
ekspirasi. Lakukan juga pada lubang hidung yang lainnya dengan cara yang
sama.10
Instruksikan pasien untuk menutup kedua mata dan menutup salah satu
lubang hidung, lalu pegang dan arahkan vial ke bawah lubang hidung tanpa
mengenai hidung. Instruksikan pasien untuk melakukan inspirasi sehingga bau
dapat mencapai hidung bagian atas dan merangsang sel-sel pada mukosa olfaktori
sehingga jenis bau dapat teridentifikasi. Gunakan juga jenis bau yang berbeda dan
17

lakukan pemeriksaan yang sama pada lubang hidung lainnya. Lakukan


pemeriksaan yang tidak terlalu cepat dan hindari menggunakan banyak jenis
bebauan untuk menghindari pasien akan kebingungan terhadap persepsi
penghidunya.10

Gambar 2.11 Pemeriksaan N. Olfaktorius.10


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pasien diinstruksikan untuk
dilakukan pemeriksaan indra penghidu pada kedua lubang hidung lalu dan
kemudian mengidentifikasi bau yang diberikan. Inflamasi pada membran mukosa,
rhinitis alergi, dan akibat merokok dengan tembakau yang berlebihan dapat
menyebabkan gangguan kemampuan untuk membedakan jenis bau. Persepsi
menghidu disebutkan semakin berkurang seiring bertambahnya usia. Anosmia,
yaitu kehilangan persepsi menghidu dan juga ketidakmampuan untuk
membedakan jenis bau, dapat disebabkan oleh adanya trauma pada lempeng
kribiformis atau adanya kerusakan atau lesi pada N. olfaktorius.10
Pemeriksaan sinus paranasal dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan
perkusi pada daerah sinus paranasal serta pemeriksaan rinoskopi anterior dan
posterior. Namun, hanya dengan melakukan pemeriksaan tersebut, diagnosis
kelainan sinus pada umumnya sulit untuk ditegakkan. Maka pemeriksaan yang
lebih disarankan yaitu pemeriksaan transiluminasi, yang memiliki manfaat yang
sangat terbatas dan bahkan tidak dapat menggantikan peranan pemeriksaan
radiologis.2
18

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus maksila dan sinus frontal, dipakai


lampu khusus sebagai sumber cahaya dan pemeriksaan dilakukan pada ruangan
yang gelap. Transiluminasi sinus maksila dilakukan dengan memasukkan sumber
cahaya ke rongga mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahaya tidak
tampak lagi. Setelah beberapa menit tampak daerah infra orbita terang seperti
bulan sabit. Untuk pemeriksaan sinus frontal, lampu diletakkan di daerah bawah
sinus frontal dekat kantus medius sehingga daerah sinus frontal tampak cahaya
terang.2

Gambar 2.12 Transiluminasi Sinus Paranasal. Interpretasi menunjukkan adanya kista dentis yang
mengindikasikan adanya kelainan pada sinus maksilaris.9

Pemeriksaan radiologis digunakan untuk menilai sinus maksila dengan


posisi Water, sinus frontalis dan sinus ethmoid dengan posisi postero-anterior dan
sinus sfenoid dengan posisi lateral. Untuk menilai kompleks osteomeatal dapat
dilakukan dengan pemeriksaan CT scan.2
BAB III

KESIMPULAN

Hidung merupakan suatu struktur yang bersifat kompleks, dan sangat


penting dalam fungsi penghidu dan juga estetika. Struktur anatomi hidung terdiri
dari hidung luar, rongga hidung, septum nasi, dan sinus paranasal. Bagian hidung
dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana di
posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi
tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding superior, inferior, medial, dan
lateral.
Berbagai keluhan yang dijumpai berhubungan dengan kelainan pada
hidung diantaranya yaitu, sumbatan hidung, sekret di hidung dan tenggorok,
bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan dari hidung, dan
gangguan penghidu. Setelah melakukan anamnesis, maka pemeriksaan yang
berhubungan dengan keluhan utama harus segera dilakukan. Pemeriksaan yang
berhubungan dengan gangguan atau kelainan pada hidung atau indra penghidu
meliputi pemeriksaan hidung dan pemeriksaan sinus paranasal. Pemeriksaan
hidung meliputi inspeksi, palpasi, perkusi hidung, pemeriksaan rinoskopi dan
pemeriksaan saraf kranial olfaktorius, sedangkan pemeriksaan sinus paranasal
meliputi pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi, dan perkusi) dan pemeriksaan
transiluminasi, serta pemeriksaan pencitraan seperti CT-scan.

19
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Eccles, R. 2020. The Nose and Control of Nasal Airflow. In: Middleton’s
Allergy: Principles and Practice 9th Edition. United States: Elsevier, Inc. pp:
625-35.
2. Soepardi, E.A. 2015. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hal: 1-9.
3. Salasche, S.J. and Mandy, S.H. 2018. Anatomy. In: Flaps and Grafts in
Dermatologic Surgery 2nd Edition. United States: Elsevier, Inc. pp: 1-15.
4. Snow Jr., J.B. and Ballenger, J.J. 2016. Ballenger’s Otorhinolaringology
Head and Neck Surgery 18th Edition. Spain: BC Decker. pp: 547-87.
5. Kridel, R.W.H. and Sturm, A. 2020. The Nasal Septum. In: Cummings
Otolaryngology: Head and Neck Surgery 7th Edition. pp: 439-56.
6. Watkinson, J.C. and Clarke, R.W. 2018. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery 8th Edition. United States: CRC Press. pp: 961-76.
7. Wareing, M.J. 2018. Ear, Nose, and Throat. In: Hutchison’s Clinical Methods
24th Edition. United States: Elsevier, Ltd. pp: 439-63.
8. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
Keduabelas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal: 841-6.
9. Bull, T.R. 2009. Color Atlas of ENT Diagnosis, 5th Edition. Germany:
Thieme. pp: 1-39.
10. Ball, J.W., et al. 2019. Neurologic System. In: Seidel’s Guide to Physical
Examination 9th Edition. United States: Elsevier. pp: 567-606.

Anda mungkin juga menyukai