Disusun Oleh :
PEMBIMBING :
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat yang berjudul “Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Nasofaring”.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Dalam proses penyusunan referat ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada dr. Lia Restimulia, Sp.T.H.T.B.K.L selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses
penyusunan referat.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Penguji
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan................................................................................................1
1.3. Manfaat Penelitian..............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2
2.1. Anatomi Hidung......................................................................................................2
2.1.1. Hidung Bagian Luar.........................................................................................2
2.1.2. Hidung Bagian Dalam......................................................................................3
2.1.3. Perdarahan Hidung...........................................................................................5
2.1.4. Persarafan Hidung............................................................................................6
2.1.5. Sinus Paranasal.................................................................................................6
2.1.6. Sistem Transpor Mukosilier.............................................................................8
2.2. Fisiologi Hidung........................................................................................................10
2.3. Anatomi Nasofaring..................................................................................................14
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempikan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus
frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Bagian kartilago terletak di
bagian bawah hidung, yang terdiri atas sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis inferior, kartilago alar mayor, dan tepi anterior
kartilago septum (Soetjipto et al, 2012).
2
Gambar 2.2. Kerangka tulang dan kartilago hidung ((Dhingra PL, 2017).
(A)Tampak lateral (B)Tampak Basal
3
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Ada 3 buah meatus tergantung dari letaknya yaitu, meatus
inferior, medius, dan superior.. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2012).
4
Gambar 2.4. Potongan koronal meatus media menunjukkan kompleks osteomeatal
(Dhingra PL, 2017).
5
2.1.4. Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
N.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang darai n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari n. maksila (N.V-2) , serabut parasimpatis dari n. petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media (Soetjipto et al, 2012)..
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada
sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
6
Ga
mbar 2.6. Sinus Paranasalis (Medscape, 2017).
7
2.1.6. Sistem Transpor Mukosilier
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histopatologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (respiratori) dan mukosa penghidu
(olfaktorius).
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga atas septum, permukaannya dilapisi oleh epitel kolumnar berlapis semu
tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. (Soetjipto et al,
2012).
Di bagian vestibulum nasal, epitel yang melapisinya adalah epitel skuamos
sel. Di bagian pinggir depan konka inferior epitel tadi bertransisi menjadi epitel
kubus dan kemudian dilapisi mukosa respiratori epitel kolumnar silia berlapis
semu (pseudostratified columnar ciliated epithelium). Sedangkan di bagian paling
belakang nasofaring, epitel mukosa kembali menjadi epitel skuamos non keratin
(Snow, 2009).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia mencapai
200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm.
Stuktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan
satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di bawah permukaan sel
(Kurniawan P dan Pawarti DR, 2012).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakkan lapisan ini, kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1 : 3, dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya
8
sama, menyebabkan pola gerak silia dengan frekuensi denyut (ciliary beat
frequency) sebesar 1000 getaran per menit. Gerakan silia terjadi karena
mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang
berasal dari mitokondria. (Kurniawan P dan Pawarti DR, 2012).
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucose blanket) pada permukaanya.
Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel, kelenjar seromukosa, dan
kelenjar lakrimal. dari palut lendir menyelimuti mikrovili atau disebut lapisan
perisilisar (sol layer) terdiri dari cairan serosa yang mengandung
laktoferin,lisozim , inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik(s-IgA).
Bagian permukaan palut lendir menyelimuti silia (gel layer) terdiri dari mukus
yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG,
IgM, dan faktor komplemen . (Soetjipto et al, 2012).
Kedalaman lapisan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi
antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi
mukosiliar hidung. Pada lapisan perisiliar yang sangat dangkal, maka lapisan
superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada
keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan
superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau
terhenti sama sekali (Kurniawan P dan Pawarti DR, 2012).
Lisozim (muramidase) yang dihasilkan mucus dapat merusak beberapa
bakteri. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan
mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas. Glikoprotein yang
dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan local yang bersifat
antimicrobial.. Sedangkan IgG bereaksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi
inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri (Soetjipto et al, 2012).
Sistem transport mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, dan jamur atau partikel berbahaya lain yang
terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transport mukosilier dipengaruhi oleh
kualitas silia dan palut lendir. Transport mukosiliar hidung terdiri dari dua sistem
yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara
9
simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan
mucus (Kurniawan P dan Pawarti DR, 2012).
Ujung silia dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus,
kemudian menggerakkannya ke arah di bawahnya akan dialirkan ke arah posterior
oleh aktivitas silia. Transport mukosiliar hidung yang bergerak secara aktif ini
sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara
sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menimbulkan
penyakit. Pergerakan silia lebih aktif pada meatus medius dan inferior yang
menyebabkan gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia
cenderung akan menarik lapisan mukus dari kavum nasi ke dalam celah-celah ini.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute
pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka
inferior menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba
eustachius..
Rute kedua, merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
postero-superior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertical kearah bawah terlebih
dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.
Dari nasofaring, sekret selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi
dan proses menelan (Soetjipto et al, 2012).
10
2) Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik, yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4) Fungsi static dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma, dan pelindung panas
5) Refleks nasal
a. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kea
rah nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37c
oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring oleh rambut pada vestibulum nasi , silia, dan palut
lendir, Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,
seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk pisang, atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa (Soetjipto et al,
2012).
11
Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum superior
pada struktur yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf penghidu yang
berkaitan langsung dengan odoran, molekul penghidu, yaitu silia dari sel olfaktori.
Saat melakukan inspirasi yang dalam, lebih banyak molekul udara yang
masuk menyentuh mukosa olfaktorius sehingga sensasi penghidu dapat dirasakan.
Kemudian aroma dan bau-bauan dapat mencapai neuroepithelium yang mengubah
molekul ikatan odoran oleh reseptor menjadi impuls listrik yang nantinya akan
dibawa hingga ke otak. Neuroepithelium olfaktori tersebar ke dalam 3 area besar:
septum superior, bagian superior dari konka superior dan sedikit di bawah dari
bagian superior konka media. Ketiga struktur ini didefinisikan sebagai “olfactory
cleft (celah olfaktorius). Area celah olfaktori ini dapat diakses baik dari aliran
udara orthonasal (inspirasi langsung ke dalam kavum nasi) dan retronasal (jalur
molekulodoran melalui mulut dan area postnasal) (Snow & Wackym, 2009)..
Sebelum dapat menempel dengan silia sel olfaktori, odoran tersebut harus
dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut. Odoran yang hidrofilik
dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan reseptor pada silia tersebut, yaitu
12
pada protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Terdapat tiga syarat dari
odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori, yaitu:
Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung
Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam
mukus dan berinteraksi dengan silia sel olfaktorius
Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan
dengan reseptor silia sel oflaktorius
Pengikatan antara reseptor dengan odoran menyebabkan aktivasi dari protein
G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase dan mengaktifkan cAMP.
Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga terjadi influks natrium dan
menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian
menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan ditransmisikan hingga
sampai ke korteks serebri.
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf
trigeminus yang menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran
yang bersifat iritan, seperti peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung
saraf bebas ini menyebabkan bersin, lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks
respons lain terhadap iritan hidung.
Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar -55mV.
Sedangkan, pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu
sebesar -30mV. Graded potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi
pada sel mitral dan tufted yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Sinyal pada sel
mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus olfaktorius.
Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius primer pada korteks
serebral, yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada
area ini menyebabkan adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup
(Guyton, 2006).
c. Fungsi fonetik.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
13
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung juga membantu proses
pembentukan kata-kata selain lidah, bibir, dan palatum mole.
d. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan
sekresi air liur, lambung, dan pankreas (Soetjipto et al, 2012).
14
Daerah nasofaring mendapat persarafan dari saraf sensorik yang terdiri
dari n.glossofaringeus (N.IX) serta cabang maxilla dari n. trigerminus (N.V-2)
menuju ke bagian anterior nasofaring (Snow, 2009).
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Dhingra PL. 2017. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery
seventh edition. Elsevier
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11.
Philadelphia: Saunders Elsevier. p663-670.
Hansen JT. 2010. Netter’s Clinical Anatomy 2nd Edition. Canada :Elsevier
Moore KL, Dalley AF, dan Agur AM. 2018. Clinically Oriented Anatomy.
Wolters Kluwer Health.
Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: BP FKUI
Singh A, 2017. Paranasal Sinus Anatomy. Medscape. Tersedia pada :
https://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview. [Diakses
pada : 14 Februari 2023]
Snow, J., & Wackym, P. A. 2009. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery (Centennial). People’s Medical Publishing House.
Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. USA: John Wiley & Sons. p.601
17