Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR SINONASAL DIRUANG TULIP 1AB (THT)


RSUD ULIN BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:

Eka Puspita, S. Kep

11194692110098

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL LAPORAN : Tumor Sinonasal


NAMA MAHASISWA : Eka Puspita, S. Kep
NIM : 11194692110098

Banjarmasin, November 2021

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

(Riannoor, S. Kep., Ns) (Rifa’atul Mahmudah, S.Kep., Ns., MSN)


NIP. 197612212008011008 NIK. 1166062013061
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi


1. Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasalis (SINONASAL)
a. Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari tulang, tulang rawan, dan jaringan ikat. Dari
luar berbentuk piramid, terdapat tip/apeks, dorsum nasi, pangkal
hidung, ala nasi, kolumela, dan nares anterior. Bagian atas yang
berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah berupa
sudut bebas disebut apeks serta bagian yang menghubungkan
keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut
sudut nasofasial. Bagian yang berhubungan dengan bibir atas
disebut sulkus nasolabial. Kedua ala dan septum mengapit kedua
lubang hidung luar. Bagian hidung yang berhubungan dengan luar
disebut nares anterior dan bagian yang berhubungan dengan
belakang disebut nares posterior. Ukuran nares posterior lebíh besar
dari pada nares anterior, yaitu tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm
(Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Otot hidung terdiri dari otot konstriktor yaitu m. nasalis (pars
transversa dan pars alaris), m. depresor ala nasi, m. depresor
septum nasi. Sedangkan otot dilatator terdiri dari m. proserus yang
berhubungan dengan alis mata, m. levator labialis superior ala nasi
dan m. dilatator nasi anterior dan posterior (Boesoirie, Shinta Fitri,
dkk. 2019).
Masuk lebih dalam terdapat tulang hidung, pada bagian bawah
terdapat kartilago lateral atas dan bawah, septum hidung yang
dibentuk dari perpendicular plate tulang etmoid dan tulang vomer
yang menyangga hidung bagian tengah. Septum hidung (kartilago
hialin) membagi hidung bagian dalam menjadi dua rongga, yang
terbuka dibagian anterior melalui nares yang dipisahkan oleh
kolumela (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Gambar 2. Anterolateral hidung Gambar 3. Anatomi hidung bagian


dalam

Daerah posterior rongga hidung berhubungan dengan


nasofaring melalui koana. Dinding lateral hidung terdiri dari tiga
proyeksi yaitu konka yang berfungsi membentuk turbulensi udara
melalui hidung, menjaga kelembaban hidung, membersihkan udara
yang kita hirup, juga mengubah suhu udara sesuai dengan suhu
tubuh. Konka hidung diri dari konka superior, media, dan inferior
(yang biasanya dapat kita lihat pada pemeriksaan anterior hidung).
Pada bagian posterosuperior konka superior terdapat resesus
sfenoetmoidalis tempat muara ostium sinus sfenoid. Sedikit di bawah
ujung konka media terdapat resesus frontalis sebagai muara duktus
nasofrontalis dari sunus frontalis dan ostium dari beberapa
sfenoetmoidalis anterior. Struktur penting dari meatus inferior adalah
ostium duktus nasolakrimalis. Membran mukosa hidung terdiri dari
dua jenis epitel yaitu respitatori dan olfaktori (Boesoirie, Shinta Fitri,
dkk. 2019).
b. Anatomi Sinus Paranasalis
Sinus etmoidalis memiliki bentuk dan ukuran serta jumlah
yang bervariasi, terdiri dari suatu kompleks "honeycomb" dengan
jumlah sel antara 4-17, rata-rata yang ditemukan 9, terletak lateral
pada bagian atas rongga hidung dan dinding medial tulang orbita.
Sinus etmoidalis terbagi menjadi 2 grup yaitu sel anterior dan sel
posterior (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Sinus maksilaris adalah antrum terbesar di antara sinus
paranasalis lainnya. Ukuran rata-rata untuk bayi adalah 7-8 x 4 6 x 3-
4 mm, pada umur 18 tahun adalah 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan
kapasitas sinus ini hampir 15 ml. Antrum sinus maksilaris
berhubungan dengan meatus media melalui ostium maksilaris dan
lokasinya pada bagian atas depan dinding medial sinus maksilaris,
premolar 2, molar 1, dan molar 2 (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Sinus sfenoid sebelum bayi usia 3 bulan, ukuran kecil dan
pertumbuhan maksimal terjadi pada usia 12-15 tahun, pada usia 1
tahun berukuran 2,5 x 2,5 x 1,5 mm, dan pada usia 9 tahun berukuran
15 x 12 x 10,5 mm. Sinus sfenoid memiliki bentuk yang bervariasi,
letaknya pada badan sfenoid dan behubungan dengan tulang hidung
pada meatus superior dan sinus ini dibagi menjadi beberapa bagian
oleh septum intra sinus. Nervus optikus terletak di atas permukaan
lateral superior sinus sfenoid dan arteri karotis dalam sinus kavernosa
terletak lateral, serta n. maksilaris (bagian dari N.V) pada bagian
anterior terletak inferolateral. Kompleks osteo-meatal (KOM) adalah
bagian dari sinus etmoidalis anterior (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk.
2019).

Gambar 4. Sinus Paranasal


Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM
terlihat sebagai suatu rongga diantara konka media dan lamina
papirasea. Isi dari KOM ini adalah resesus frontalis, infundibulum,
bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior lainnya. KOM celah berupa-
celah sempit yang mudah mengalami penyumbatan. Bagian anterior
dan inferior KOM membuka ke arah rongga hidung (Boesoirie, Shinta
Fitri, dkk. 2019).

c. Vaskularisasi Hidung Dan Sinus Paranasal


Vaskularisasi hidung bagian luar, terutama dari a. fasialis (a.
maksilaris eksterna). Arteri nasalis dorsalis (cabang A. oftalmika),
yang beranastomis dengan cabang nasalis a. fasial. Pembuluh
darah lainnya adalah cabang kecil a. nasalis eksterna (dari a.
etmoidalis anterior). Sedangkan pembuluh balik dialirkan melalui v.
fasialis anterior dan v. oftalmika (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).

Gambar 5. Pembuluh Darah Hidung

2. Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal


a. Fungsi hidung
1) Sebagai alat pernapasan
a) Membersihkan atau filtrasi
Salah satu fungsi dari hidung yaitu mencegah masuknya
partikel udara inspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah,
fungsi ini dapat dilakukan secara mekanik atau kimiawi. Partikel
yang berdiameter antara 5-10 µ, dapat disaring oleh bulu hidung
70%-80% atau terperangkap oleh mukosa di atas glotis. Partikel
dengan diameter kurang dari itu tidak dapat ditahan di dalam
rongga hidung. Kesanggupan hidung untuk memfiltrasi partikel-
partikel tersebut disebabkan karena morfologi hidung yang
menentukan arah aliran udara maupun turbulensi udara
(Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Benda asing, bakteri dan lain-lain yang tidak tertangkap oleh
vimbrissae biasanya disebut oleh suatu lapisan lendir yang
disebut lapisan mukus. Lapisan mukus adalah suatu lapisan tipis,
kental, dan lekat. Dihasilkan oleh sel-sel goblet dan kelenjar
mukus atau serosa, pada orang sehat mempunyai pH lebih kurang
7 atau sedikit asam dengan komposisi terdiri dari lendir musin
2,5% s/d 3%, garam 1% s/d 2% dan air 95% s/d 97%,
immunoglobulin A dan enzim lisozim (muramidase) yaitu suatu
enzim yang dapat melawan bakteri, demikian juga terhadap virus
(Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Lapisan mukus sangat penting sebagai alat pembersih dan
pelindung terhadap pengeringan mukosa hidung. Lapisan mukus
dapat ditemukan diseluruh mukosa hidung, sinus, tuba eustakius,
dan cabang bronkus, bahkan mungkin di alveoli dalam bentuk
surfaktan. Bantuan aktifitas pergerakan dari silia membuat lapisan
mukus yang mengandung benda asing akan secara kontinyu
mencapai esofagus bagian faring, sehingga dapat tertelan atau
termuntahkan (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
b) Menghangatkan
Temperatur pada udara inspirasi dapat bervariasi antara -50
s/d 50°C dan pada hidung temperatur udara ini dapat disesuaikan
dengan temperatur paru-paru. Perubahan panas ini dapat terjadi
secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Bila hanya terjadi
konduksi maka tidak akan terjadi aliran udara dan panas akan
ditransfer dengan peningkatan pergerakan molekuler. Naik
turunnya suhu udara dapat menyebabkan arus konversi yang
akan mempengaruhi aliran udara dalam rongga hidung dan
timbulnya turbulensi (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
c) Humidifikasi
Pada saat inspirasi saturasi udara dengan cepat akan diikuti
peninggian temperatur. Energi diperlukan untuk dua hal yaitu
untuk peninggian temperatur udara inspirasi dan panas laten
untuk evaporasi, untuk ini diperlukan energi lebih kurang 2100
KJ/hari. Pada orang dewasa kira-kira hanya 1/5 digunakan untuk
meninggikan temperatur udara inspirasi, tetapi ini tergantung dari
temperatur lingkungan dan humidifikasi relatif udara inspirasi.
Kurang lebih 10% dari panas tubuh dikeluarkan melalui udara
lewat hidung (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
Pada saat ekspirasi udara pada hidung sedikit di bawah
temperatur tubuh, ini akan menurun selama pasase udara
sepanjang rongga hidung dan akan membiarkan sejumlah air
berkondensasi ke dalam mukosa. Temperatur bagian anterior
hidung pada akhir ekspirasi sekitar 32°C, sedangkan pada akhir
inspirasi sekitar 30°C. Kira-kira sepertiga air di mukosa hidung
dibutuhkan untuk kelembaban udara inspirasi (Boesoirie, Shinta
Fitri, dkk. 2019).
2) Sebagai alat penciuman
Reseptor penciuman terletak pada epitel olfaktorius dalam membran
mukosa, pada manusia terletak pada atap kavum nasi, konka
superior, dan 1/3 bagian atas dari septum nasi. Membran mukosa
olfaktorius dilapisi oleh epitel silindris bertingkat tidak bersilia yang
terdiri dari tiga macam sel yaitu sel subtentakuler (sel penyokong), sel
olfaktorius (sel penciuman), dan sel basal (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk.
2019).
3) Resonansi suara
Suara yang ditimbulkan seseorang dalam keadaan sehat akan
berbeda dalam keadaan waktu menderita influenza, di mana mukosa
hidung pada saat sakit sedang mengalami edema. Suara dihasilkan
dengan mengubah getaran udara dari faring. Frekuensi suara tinggi
yang menimbulkan suara konsonan dibantu juga oleh faring, lidah,
dan gigi. Hidung menambah kualitas suara dengan cara membiarkan
sebagian udara keluar (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).
b. Fungsi Sinus Paranasal
 Berhubungan dengan proses kondisi udara sinus berfungsi
sebagai ruang tambahan untuk menghangatkan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi
 Sebagai penahan suhu
 Membantu keseimbangan kepala
 Membantu resonansi suara
 Sebagai peredam perubahan tekanan udara
 Membantu produksi mucus (Boesoirie, Shinta Fitri, dkk. 2019).

B. Tumor Sinonasal
1. Pengertian
Tumor Sinonasal adalah pertumbuhan sel abnormal yang berasal dari
dalam rongga hidung dan sinus paranasal (Riadi, A. R. K. (2020). 
2. Etiologi (Penyebab)
Etiologi tumor sinonasal sampai saat ini belum diketahui pasti. Akan
tetapi, beberapa studi epidemiologi dari beberapa negara
menunjukkan adanya hubungan paparan bahan kimia atau bahan
industri seperti nikel, debu kayu beech dan oak, kulit, formaldehid,
kromium, diisoprofil sulfat, dikloroetil sulfida dan minyak isopropil
dengan tumor sinonasal. Munculnya keganasan biasanya sekitar 40
tahun setelah kontak pertama dan berlanjut setelah berhentinya
paparan. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap
diduga menjadi salah satu faktor resiko kejadian keganasan sinonasal
utamanya jenis squamous cell carcinoma (Riadi, A. R. K. (2020). 

3. Klasifikasi Tumor
a. Tumor sinonasal Jinak
Tumor sinonasal jinak adalah pertumbuhan sel abnormal di dalam
cavitas nasi atau rongga sinus paranasal yang biasanya tumbuh
secara perlahan dan tidak menyebar ke bagian lain dari tubuh.
Tumor sinonasal jinak dapat timbul dari salah satu bagian di
dalam sinonasal, termasuk pembuluh darah, saraf, tulang, dan
tulang rawan.
Tumor sinonasal jinak antara lain (Riadi, A. R. K. (2020):
 Papiloma skuamosa
 Papiloma inversi
 Displasia Fibroma
 Angiofibroma Nasofaring Juvenile
b. Tumor Sinonasal Ganas
Tumor sinonasal ganas adalah pertumbuhan sel abnormal di
dalam rongga sinus paranasal dan atau cavum nasi yang bersifat
ganas, merusak jaringan sehat disekitarnya dan dapat menyebar
ke bagian tubuh lainnya. Tumor sinonasal ganas antara lain
(Riadi, A. R. K. (2020):
 Karsinoma sel skuamosa
 Undifferentiated Carsinoma
 Rhabdomyosarkoma
 Chondrosarcoma
 Limfoma maligna sinonasal
 Adenokarsinoma sinonasal
 Olfactory Neuroblastoma
 Mukosal Melanoma Maligna

4. Manifestasi Klinik (Tanda dan Gejala)


Gejala awal dari tumor sinonasal cenderung tidak spesifik dan
bervariasi. Gejala akan semakin jelas ketika sudah masuk ke stadium
lanjut, ketika tumor telah membesar, mendorong atau menembus
dinding tulang, meluas ke rongga mulut, pipi atau orbita. Gambaran
klinis tergantung dari lokasi primer dan arah penyebarannya, tumor
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Berdasarkan perluasan
tumor gejala dapat dikategorikan sebagai (Riadi, A. R. K. (2020):
a. Gejala nasal
 Obstruksi hidung unilateral
 Rhinorea bercampur darah/epistaksis.
 Deformitas hidung (Desakan bila tumor membesar)
 Khas pada ganas (sekret bau mengandung jar. Nekrotik)
b. Gejala orbital
Perluasan ke arah orbita dapat menimbulkan gejala:
 Diplopia
 Proptosis
 Oftalmoplegia
 Gangguan visus
 Epifora
c. Gejala oral
 Penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris,
 Sering nyeri gigi sebagai gejala awal yang membawa pasien
ke dokter.
d. Gejala Fasial
 Penyebaran tumor kearah anterior menyebabkan penonjolan
pada pipi disertai nyeri, anestesia atau parastesia
e. Gejala Intrakranial,
Perluasan ke intrakranial menyebabkan:
 Sakit kepala yang hebat
 Oftalmoplegia
 Gangguan visus.
 Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui
hidung. Apabila perluasannya sampai ke fossa kranii media
maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus
pterigoideus disertai anestesia dan parastesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis (Riadi, A. R. K.
(2020).
5. Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi
oleh multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat
individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan
karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi
dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen
yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang
memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi
(proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen).
Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker
oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan
fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan
dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat
suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah
mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya
kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan
terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker.
Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau
diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya
sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar
15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah
terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya
adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun
pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung
sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan
menembus membrane basalis dan masuk ke jaringan atau organ
sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif
yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar
limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5
tahun.
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga
menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak
(ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi,
serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.
6.
7. Pathway

Faktor resiko:
- Bahan kimia/industri
- Alkohol
- Asap rokok

Tumor Sinonasal

Pembelahan sel Pertumbuhan sel Ketidakadekuatan Terdapat massa yang


abnormal mendesak sel- tidak terkontrol pertahanan mengisi rongga hidung
sel sekitar sekunder dan sinus paranasal

Peningkatan status
Melepaskan zat mediator
metabolik Penurunan status
nyeri (histamine,
imun tubuh Bersihan jalan
bradikinin)
nafas tidak efektif
Peningkatan keperluan
Nyeri Akut pemenuhan nutrisi Pathogen dapat
dengan mudah
masuk dalam tubuh
Penurunan BB jika tidak
diimbangi dengan
peningkatan asupan nutrisi Resiko Infeksi

Gangguan pemenuhan
nutrisi

Defisit nutrisi
8. Komplikasi
Komplikasi tumor sinonasal tergantung pada keterlibatan organ
melalui ekstensi dan metastasis tumor. Organ yang sering terlibat
adalah orbita, telinga, intrakranial, dan rongga mulut. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan tajam penglihatan, lapang pandang, nyeri
kepala berat, dan gangguan makan. Sedangkan komplikasi terkait
dengan pembedahan dan rekonstruksi yang dapat terjadi, yaitu
perdarahan, kebocoran cairan otak, epifora dan diplopia (Riadi, A. R.
K. 2020).

9. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi medis
 Terapi radiasi, dapat digunakan sebagai modalitas tunggal,
sebagai tambahan untuk operasi, atau sebagai terapi paliatif.
 kemoterapi untuk pengobatan tumor pada saluran sinonasal
biasanya merupakan tambahan untuk radioterapi
(radiosensitizer) atau paliatif, menggunakan efek
sitoreduktifnya untuk menghilangkan rasa sakit, obstruksi, atau
untuk menghilangkan lesi eksternal yang masif (Riadi, A. R. K.
(2020). 
b. Pembedahan, untuk mengurangi rasa sakit yang tak terobati, atau
untuk meringankan dekompresi saraf optik atau orbita, atau untuk
mengalirkan sinus paranasal yang terhambat atau tersumbat
(Riadi, A. R. K. (2020). 

10. Penatalaksanaan keperawatan


 Pengkajian
a. Anamnesis yang teliti memiliki peran penting dalam membantu
menegakkan diagnosis tumor sinonasal. Perlu ditanyakan kepada
pasien gejala-gejala awal yang dirasakan oleh pasien. Gejala
tersebut dapat berupa epistaksis, obstruksi hidung, sinusitis
berulang, parestesia wajah, proptosis, diplopia atau massa
asimptomatik di leher. Pasien sering sekali mengacuhkan gejala-
gejala tersebut, atau dokter yang menganggap gejala-gejala
tersebut sebagai gejala infeksi. Pada saat munculnya gejala-
gejala yang lebih parah, seperti nyeri kepala terus menerus,
gangguan penglihatan, perkembangan tumor sudah telah
mencapai tahap yang lanjut dan memerlukan penanganan
kompleks.
b. Pemeriksaan fisik harus secara lengkap dilakukan, yaitu penilaian
wajah berupa ada atau tidaknya asimetri, ketajaman visus, respon
pupil, pergerakan otototot ekstraokuler, dan defisit saraf kranial.
Mandibula dinilai untuk memperkirakan ada atau tidaknya
perluasan ke ruang pterygoid yang ditandai dengan ada nya
trismus. Rongga timpani diperiksa untuk menilai disfungsi tuba
Eustachian dengan melihat ada atau tidaknya efusi. Pemeriksaan
intraoral juga perlu dilakukan untuk melihat integritas antara
palatum dan gingiva atas. Leher diperiksa untuk melihat ada atau
tidaknya perluasan kelenjar getah bening.

c. Pemeriksaan penunjang
 Biopsi, merupakan diagnosa pasti/gold standard dengan
tujuan mengetahui, sifat tumor dan tindakan pengobatan
selanjutnya
 Pemeriksaan radiologi seperti CT-can dan MRI untuk
menentukan stadium tumor dan melihat ada tidaknya
metastasis (Riadi, A. R. K. (2020).

d. Diagnosa Keperawatan
 Nyeri akut
 Bersihan jalan nafas tidak efektif
 Defisit nutrisi
 Resiko infeksi
e. Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA PERENCANAAN
No
KEPERAWATAN SLKI SIKI
1. Nyeri akut Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
selama 3 x 24 Jam diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristrik, durasi,
klien menurun dengan kriteria hasil : frekuensi, kualiats dan intensitas nyeri
- Keluhan nyeri dari skala 3 (sedang) ke 2. Identitas skala nyeri
skala 5 (menurun) 3. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
- Meringis dari skala 3 (sedang) menjadi Terapeutik
5 (menurun) 1. Berikan teknik non farmakologis dalam
- Gelisah dari skala 3 (sedang) menjadi 5 menangani nyeri
(menurun) 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
- Sikap protektif dari skala 3 (sedang) nyeri
menjadi 5 (menurun) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1. Jelaskan strategi mengurangi nyeri
2. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
3. Ajarkan tehnik non farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaboratif pemberian analgetik sesuai order

2. Defisit nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)


Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
selama 3 x 24 Jam diharapkan nutrisi klien 1. Identifikasi status nutrisi
membaik dengan kriteria hasil : 2. Monitor asupan makanan
- Nafsu makan dari skala 3 (sedang) ke 3. Monitor berat badan
skala 5 (membaik) Terapeutik
- Berat badan dari skala 3 (sedang) ke 1. Sajikan makanan secara menarik
skala 5 (membaik) 2. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
- Frekuensi makan dari skala 3 (sedang konstipasi
ke skala 5 (membaik) Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Kolaborasi
- Kolaboratif dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan, jika perlu

3. Resiko infeksi Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


diharapkan resiko infeksi menurun dengan - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
kriteria hasil: sistemik
- Kebersihan tangan skala 5 (meningkat)
- Kebersihan badan skala 5 (meningkat) Teraupetik
- Batasi jumlah pengunjung
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti - Berikan perawatan kulit pada area edema
- Demam skala 5 (menurun) - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
- Bengkak skala 5 (menurun) dengan pasien dan ligkungan pasien
- Kemerahan skala 5 (menurun) - Pertahankan teknik aseptik pada berisiko
- Nyeri skala 5 (menurun) tinggi
- Cairan bau busuk skala 5 (menurun)
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cuci tangan tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotic

4. Bersihan jalan Bersihan jalan Napas Manajemen jalan napas


nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Obersvasi
diharapkan bersihan jalan nafas meningkat - Monitor pola napas
dengan krieteria hasil : - Monitor suara napas tambahan
- Monitor sputum
- Batuk efektif dari skala 3 sedang ke skala 5 Terapeutik
meningkat - Pertahankan kepatenan jalan napas
- Produksi sputum dari skala 3 sedang ke - Posisikan semi fowler atau fowler
skala 5 menurun - Beri minum hangat
- Mengi dari skala 3 sedang ke skala 5 - Lakukan fisioterapi dada jika perlu
menurun - Berikan oksigen jika perlu
- Wheezhing dari skala 3 sedang ke skala 5 Edukasi
menurun - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak
- Dispnea dari skala 3 sedang ke skala 5 ada kontraindikasi
menurun - Ajarkan tehnik batuk efektif
- Sianosis dari skala 3 sedang ke skala 5 Kolaborasi
menurun - Kolaborasi pemberian bronkodilator,
- Frekuesni nafas dari skala 3 sedang ke espektoran dan mukolitik jika perlu
skala 5 membaik
- Pola nafas dari skala 3 sedang ke skala 5
membaik
DAFTAR PUSTAKA

Boesoirie, Shinta Fitri., Ardiella Yunard., Sally Mahdiani.,Yulia Aziza. (2019).


Crash Course Special Senses. Singapore: Elsevier Health Sciences

Riadi, Amelinda Rahayu Kustari. (2020). Karakteristik Penderita Tumor Sinonasal


Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode 1 Januari – 31 Desember 2018. Skripsi-S1 thesis. Makassar:
Universitas Hasanuddin.

PPNI (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


indicator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan


Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesiaa: Definisi Dan


Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai