LAKESPRA SARYANTO
Oleh
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara adalah salah satu cabang angkatan
perang dan merupakan bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertanggung jawab
atas operasi pertahanan negara Republik Indonesia di udara serta menjaga kedaulatannya di
udara. Sebagai unsur TNI dengan alutsista berbasis teknologi tinggi yang menyelenggarakan
tugas utamanya di angkasa dengan kondisi lingkungan yang berpengaruh khas pada manusia,
maka dibutuhkan personel yang memiliki kualitas dan sumber daya yang prima. Dengan
demikian, derajat kesehatan personel TNI-AU harus dipelihara dan dipantau dengan baik agar
mampu mengatasi berbagai pengaruh kondisi lingkungan di udara. Seorang penerbang
dituntut untuk dapat melakukan manuver taktis dan strategis untuk mendukung tugas dan
misinya, dimana manuver pada saat terbang dapat berpengaruh pada fisiologi tubuh manusia.
Pengaruh negatif terhadap kesehatan seorang penerbang akan berdampak pada kinerja dan
performa terbangnya, sejatinya seorang penerbang militer memiliki kewajiban besar untuk
dapat menerbangkan pesawat dalam melaksanakan tugas dan misinya dalam situasi dan
kondisi apapun.
Dalam menjalankan tugas sebagai penerbang TNI-AU, baik dalam tugas operasional
maupun latihan akan menghadapi perubahan altitude (ketinggian) yang dapat menyebabkan
perubahan tekanan gas dalam rongga-rongga tubuh termasuk rongga sinus. Apabila
perubahan tersebut tidak disertai dengan ventilasi dan aliran sinus yang baik akan
mengakibatnya rasa nyeri di bagian sinus yang disebut dengan peradangan pada sinus atau
sinusitis. Gangguan ventilasi pada sinus ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomi hidung
antara lain deviasi septum. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisa apakah
terdapat pengaruh perubahan tekanan udara pada saat terbang terhadap prevalensi sinusitis
pada penerbang yang memiliki deviasi septum.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah ada perbedaan prevalensi sinusitis pada penerbang tempur dan non tempur
yang mengalami deviasi septum.
b. Faktor predisposisi apa yang dapat menyebabkan sinusitis pada penerbang dengan
deviasi septum.
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara deviasi septum dengan kejadian
sinusitis.
b. Tujuan Khusus
(1). Untuk mengetahui kondisi sinus paranasal para penerbang tahun 2018 terutama
yang disertai dengan kelainan anatomi deviasi septum.
(2) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan angka prevalensi sinusitis pada
penerbang tempur dan non tempur.
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi TNI AU
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi informasi tentang
kondisi septum nasi dan sinus paranasal pada penerbang TNI AU
c. Bagi Peneliti
a. Pendahuluan
b. Tinjauan pustaka
c. Bahan Dan metode penelitian
d. Hasil penelitian
e. Pembahasan
f. Penutup
6. Hipotesis
Hipotesis nol (H0) : Tidak terdapat hubungan antara deviasi septum dengan
prevalensi sinusitis pada penerbang tempur dan non tempur yang melaksanakan medex di
Lakespra Saryanto tahun 2018
Hipotesis alternatif (Ha) : terdapat hubungan antara deviasi septum dengan prevalensi
sinusitis pada penerbang tempur dan non tempur yang melaksanakan medex di Lakespra
Saryanto tahun 2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir
atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang paling atas berupa
kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang
sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan.4
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
a. Tulang hidung (os nasal),
b. Prosesus frontalis os maksila, dan
c. Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor,
c. Beberapa pasang kartilago alar minor, dan
d. Tepi anterior kartilago septum.5
Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang yang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan nasofaring. 4,5
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 4,5
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Sedangkan bagian tulang adalah :
a. lamina perpendikularis os etmoid,
b. os vomer,
c. krista nasalis os maksila, dan
d. krista nasalis os palatina.5
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Gambar 3. Septum Nasi
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah
konka superior, dan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini bersifat
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus inferior, medianus dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 5
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior
merupakan ruang di antara konka superior dan kona media. Pada meatus superior terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 4,5
Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi
Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. 5
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa janin). Sinus
maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto,
2010). Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam
maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga
kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus
berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior.
Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan
kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah
bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian
dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah
proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran
maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang
dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar
piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah
resesus zigomatikus (Stammberger, 2008).
Sinus Etmoid
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian dinding
lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu dengan yang lain
sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4
puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending'
(ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari
puncak tersebut (Stammberger, 2008).
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior
terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal.
Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto,
2010).
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau
lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula
etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh,
2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid (Soetjipto, 2010).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Stankiewicz,
2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah
evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2
x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid
berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm
(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto,
2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan
menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior
di daerah pons (Soetjipto, 2010).
Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara
embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya
tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya
dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan,
perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang
paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara
berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya
bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid
anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses
pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya
akan tampak jelas pada gambaran CT-scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun,
pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar.
Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal
merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum
ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa
sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai
fungsi sinus paranasal antara lain adalah :
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus
yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan
berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang
paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan
lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada
dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring
di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior
bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior
muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip),
tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).
3. Klasifikasi Sinusitis
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai
empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari
tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis
(Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe
rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau
masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta
yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre
molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
4. Patofisiologi Sinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. 2
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak
dapat dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Maka terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus terjadinya transudasi, yang mula-mua cairan serosa. Gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Kondisi inilah yang disebut rhinosinusitis non-bacterial.
5. Gejala Klinis
American Academy of Otolaryngology membagi kategori gejala untuk menegakan sinusitis,
yaitu kategori gejala mayor dan minor. Menurut durasi gejala, rinosinusitis didefinisikan
sebagai akut bila gejala berlangsung 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala hadir selama 4
sampai 12 minggu, atau kronis untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12 minggu.
a. Sinusitis akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang
melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut
dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari
atau memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan interval
bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai memburuknya gejala
pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara tiba-tiba, dengan kembali ke gejala
awal setelah perawatan. Untuk mendiagnosis rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1
faktor mayor 2 faktor minor. Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus
dimasukkan dalam diagnosis diferensial.
b. Sinusitis kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama eksaserbasi
akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala berupa suatu perasaan penuh pada
wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu
atau dua dari gejala-gejala dibawah ini yaitu : sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi,
seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Pasien dengan
sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami hiposmia dan lebih sedikit
mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak memiliki polip nasi. Bakteri yang
memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial.
Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus,
bakteri anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu :hidung tersumbat,
ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (postnasal drip), halitosis,
sakit kepala yang lebih berat pada pagihari, nyeri di daerahsinus yang terkena, serta
kadang nyeri alih ke tempat lain
b. Pemeriksaan fisik
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang
timbul pembengkakan kecuali jika terdapat komplikasi.
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema, pada
sinusitismaksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak nanah di meatus
medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan dansinusitis sphenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior.( Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor
maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harusmelakukan
penatalaksanaan yang sesuai). i suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh
Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada posisional
test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit, dan provokasi
test, yakn menelan ludan dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis
maksilaris, maka akan keluar pus dari hidung.
c. Pemeriksaan penunjang
(1) Foto Rontgen
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai
macam posisi antara lain:
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum
diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai
apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.
Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus maxillaris
merupakan gambaran sinusitis akut
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus
membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat
dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup.
Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan
baik.
(d) Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah
sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam
bidang midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat
sinus frontalis dan dinding posterior sinus maxillaris.
Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 300-600 ke
arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto
polos kepala dalam bidang midsagital.proyeksi ini paling baik untuk menganalisis
dinding posterior sinus maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan
arkus zigomatikus posterior.
(2) CT scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul
untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-
tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan axial merupakan standar
pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM).
Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan
palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis.
Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla dengan penebalan dinding mukosa di
sinus maxilla kanan
(3) MRI
MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan struktur jaringan
lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek tumor dan sinusitis fungal.
Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan CT Scan dalam
mengevaluasi sinusitis. MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran
tulang yang kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam
penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat dan sulit
dilakukan pada pasien klaustrofobia. 16
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan mengenali mukokel.
MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk mendeteksi empiema subdural
atau epidural.
a. Antibiotik
Terapi antibiotic harud diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Lama
terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu
mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif
kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase dan
pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan irigasi sinus,
sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan
pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau
6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan
bedah radikal.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami komplikasi seperti
komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak.
Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua bakteri terkait
penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan metronidazole
atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya
diberikan pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat
dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat.
Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi
rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis.
b. Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa adrenergik.
Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor
lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa.
b. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II mempunyai
keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan menghilangkan obstruksi,
serta tidak memiliki efek samping menembus sawar darah otak
c. Kortikosteroid
Dapat diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral yaitu metil
prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal, begitupula dengan efek terhadap
lambung juga minimal
d. Pembedahan
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah nasoantrostomi atau
pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan pada sinusitis etmoidalis.
Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan
pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus endoskopik merupakan suatu teknik yang
memungkinkan visualisasi yang baik dan magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal
bagi ahli bedah.
8. Komplikasi
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan. Pengobatan
rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada komplikasi dari sinusitis
itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan
sangat rendah. Salah satu studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan
adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang
mengalami komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan
oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan yang
tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami kontaminasi.
Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain 20
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi
berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intracranial
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Dalam pembuatan karya ilmiah perorangan ini dipergunakan desain deskriptif analitik
dengan studi kasus secara cross sectional yang bersifat prospektif. Berdasarkan data
sekunder yang berupa catatan medik di Lakespra Saryanto untuk menentukan gambaran
deviasi septum dan sinusitis.
a. Populasi
b. Sampel
Penerbang TNI AU yang melakukan ILA/medex di Lakespra Saryanto tahun 2018 yang
memenuhi kriteria inklusi
3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
a. Kriteria inklusi
b. Kriteria Ekslusi
Waktu penelitian yang diambil adalah Februari 2019 sampai dengan Mei 2019 di
Lakespra Saryanto
5. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data : Seleksi data sampel ( Penerbang TNI-AU dengan deviasi
septum) yang ada, melalui hasil pemeriksaan di poli THT dicatat nama, umur, NRP, tanggal
pemeriksaan kemudian berkoordinasi dengan bagian arsip rekam medik untuk penggalian
data lebih lanjut. Dari hasil tersebut dibuat tabulasi menurut deviasi septum dengan ada atau
tidak sinusitis serta kelainan lain. Data yang dikumpulkan terdiri dari variabel terikat
( dependent) dan variabel bebas (independent)
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil pemeriksaan
kesehatan (ILA/Medex) selama tahun 2018.
7. Pengolahan Data
8. Definisi operasional
a. Analisis Univariat
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
Normal
30.00% Sinusitis
20.00%
10.00%
0.00%
Deviasi Septum
Gambar 4.1 menunjukkan prevalensi sinusitis pada penerbang tempur dan non tempur yang melakukan
pemeriksaan kesehatan di Lakespra Saryanto tahun 2018 dengan deviasi septum yaitu 14 orang (36,8%),
terdiagnosa sinusitis sedangkan 24 orang tidak mengalami sinusitis (63,2%).
Dari presentase pada grafik di atas menunjukkan bahwa deviasi septum tidak terkait
dengan prevalensi sinusitis baik pada penerbang tempur maupun non tempur. Hal ini
disebabkan oleh penyebab sinusitis dapat berbagai macam selain dari kelainan anatomis yaitu
: infeksi (rhinitis kronis), hipertrofi konka, polip nasal, dan penyakit lain yang mengakibatkan
gangguan aliran udara pada rongga sinus.
b. Analisis Bivariat
Hubungan Sinusitis dengan jenis pesawat yang diterbangkan disajikan dalam tabel
berikut
Non 5 18 23
tempur
Total 14 24 38
Tabel 4.1 Analisis hubungan sinusitis pada penerbang tempur dan non tempur dengan deviasi
septum
Dari tabel analiss di atas menunjukkan bahwa prevalensi sinusitis yang lebih besar
pada penerbang tempur (64,3%) dibandingkan penerbang non tempur (35,7%), akan tetapi
hasil ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna pada analisis perhitungan statistik
karena nilai P di dapatkan > 0,05.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa para penerbang tempur memiliki prevalensi sinusitis
yang lebih tinggi dibandingkan penerbang non tempur. Kondisi ini dapat disebabkan oleh :
(1) latihan manuver taktis dan strategis lebih sering dilakukan oleh penerbang tempur.
(2) Freuensi paparan barotrauma terhadap rongga sinus pada penerbang tempur menjadi
lebih sering
(3) Penerbang tempur terpapar gaya G yang lebih besar dengan frekuensi yang lebih
sering.
(4) Walaupun sering terpapar kondisi tersebut derajat kemiringan septum ternyata tidak
terlalu berpengaruh terhadap ventilasi dan pasase rongga sinus sehingga tidak semua
penerbang dengan deviasi septum mengalami sinusitis.
BAB V
1. Kesimpulan
2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan terkait dengan penelitian ini adalah :
a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak
b. Memberikan informasi yang jelas pada para personel TNI-AU baik tenaga kesehatan
maupun awak pesawat mengenai gejala-gejala sinusitis dan akibat yang ditimbulkan
c. Mengutamakan keselamatan terbang dan kerja dengan memprioritaskan tindakan
preventif dengan diagnosis dini sinusitis untuk mengantisipasi terjadinya barotrauma
dalam penerbangan