Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU THT- KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020

UNIVERSITAS HALUOLEO

OZAENA

OLEH:

Andi Zilfiah Lantani, S.Ked.

K1A115159

Pembimbing

dr. Sophian Sujana, M.Kes., Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT- KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Andi Zilfiah Lantani

NIM : K1A151159

Judul referat : Ozaena

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian THT-

KL Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Agustus, 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Sophian Sujana, M.Kes., Sp. THT-KL


OZAENA

Andi Zilfiah Lantani, dr. Sophian Sujana,M.Kes., Sp. THT-KL

A. Pendahuluan

Rhinitis atropi adalah penyakit hidung kronik yang khas ditandai

dengan atropi mukosa hidung progresif, krusta, fetor dan perluasan rongga

hidung. Rhinitis atropi dibagi 2 tipe yaitu rhintis atropi primer dan rhinitis

atropi sekunder. Rinitis atropi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani

yang berarti bau busuk) (Hayati dan Dwi, 2010). Rhinitis atropi primer

dengan etiologi tidak diketahui dan rhinitis atropi sekunder di mana

penyakit ini berkembang oleh adanya beberapa penyakit utama lainnya

(Dutt dan Kameswaran, 2005).

Insiden ozaena di negara-negara Barat menurun dengan meningkatnya

pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara tropis dan

subtropis masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan

pada wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita

dan laki-laki 5,6:1 (Hayati dan Dwi, 2010).

B. Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah dengan

bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yaitu :

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Batang hidung (dorsum nasi)


3. Puncak hidung (tip)

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)

Pada bagian dalam hidung terdapat rongga yang disebut cavum nasi.

Dinding inferior cavum nasi dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

cribiformis yang memisahkan rongga tengkorak dari cavum nasi. Lamina

cribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dar os ethmoid, tulang-

tulang ini berlubang sebagai masuknya serabut saraf olfaktorius dan

dibagian posterior dibentuk oleh os sphenoid (Soepardi dkk, 2017).

Cavum nasi berupa terowongan dari depan ke belakang yang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan

dan kiri. Lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan

lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan

cavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai

dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut vestibulum.

Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea

dan rambut-rambut panjang disebut vibrise. Pada bagian tengah terdapat

septum nasi yang dibentuk oleh osteum yang dilapisi oleh periosteum dan

cartilago yang dilapisi oleh perikondrium. Bagian tulang rawan dibentuk

oleh cartilago septum (lamina quadraangularis) dan columella. Sedangkan

bagian
tulang terdiri dari lamina perpendicularis os ethmoid, os vomer, crista

nasalis os maxilla, dan crista nasalis os palatina (Soepardi dkk, 2017).

Pada dinding lateral hidung terdapat agger nasi dan dibelakang

terdapat concha yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Diantara concha terdapat rongga sempit disebut meatus yaitu meatus

inferior, meatus medius, dan meatus superior. Pada meatus inferior terdapat

muara ductus nasolacrimalis. Pada meatus medius terdapat bula ethmoid,

processus uncinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum ethmoid. Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat

muara sinus frontal, sinus maxilla, dan sinus ethmoid anterior. Pada meatus

superior terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid (Adams

dkk, 1997).

Gambar 1. Struktur pada dinding lateral hidung (Dhingra, 2014)

Adapun vaskularisasi nasal berasal dari cabang sfenopalatina dari

arteri maxillaris interna menyuplai concha, meatus, dan septum. Cabang

ethmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus

frontalis dan ethmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maxilla


diperdarahi oleh cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis

serta alveolaris dari arteri maxillaris interna. Vena-vena membentuk suatu

pleksus kavernosus yang rapat dibawah membrana mukosa. Pleksus ini

terlihat nyata diatas concha media dan inferior serta bagian bawah septum

yang membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena

oftalmika, facialis anterior dan sfenopalatina (Soepardi dkk, 2017).

Innervasi nasal berupa nervus olfaktorius untuk penghidu, divisi

oftalmikus dan maxillaris dari nervus trigeminus untuk impuls afferen

sensorik lainnya. Nervus facialis untuk gerakan motorik otot-otot pernafasan

pada hidung luar dan sistem syaraf otonom. Ganglion sfenopalatina, guna

mengontrol diameter vena dan arteri hidung dan juga produksi mukus yang

dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembapan aliran udara

(Soepardi dkk, 2017).

Gambar 2. Inervasi saraf pada hidung. A. Invervasi saraf pada dinding lateral. B.
Invervasi saraf pada dinding medial
C. Fisiologi Penghidu

Adapun fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah (Soepardi

dkk, 2017) :

1. Fungsi respirasi

Mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara

inspirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media lalu turun ke bawah ke

nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau

arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut

lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga

terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan

pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui

hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur

suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah

epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel

debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan

disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,

b) silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut

lendir dan partikel- partikel yang besar akan dikeluarkan dengan

refleks bersin.

2. Fungsi penghidu

Terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu. Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan


pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,

konka superior dan sepertiga batas atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lender atau bila

menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra

pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari

berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis stroberi, jeruk,

pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal

dari cuka dan asam jawa.

3. Fungsi fonetik

Berguna untuk resonansi udara, membantu proses bicara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi

oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang

atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung

membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,

bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (n, m, ng)

rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk

aliran udara.

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas.

5. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung

akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau


tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan

pankreas.

D. Histologi Hidung

Sistem pernapasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang

yang menghubungkan tempat pertukaran gas dengan lingkungan luar.

Secara fungsional terdapat beberapa struktur yang membentuk bagian

konduksi (rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, brokus, brokiolus dan

bronkiolus terminalis) dan juga bagian respiratorik (bronkiolus respiratorik,

duktus alveolaris dan alveoli) yang berguna untuk tempat pertukaran gas

(Junqueira dkk., 2004).

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi oleh sel epitel bertingkat

silindris bersilia yang dikenal sebagai epitel respiratorik, dimana epitel ini

sedikitnya memiliki empat jenis sel, yang seluruhnya menyentuh membrane

basal yang tebal, yaitu (Junqueira dkk., 2004):

a. Sel silindris bersilia, merupakan sel yang terbanyak. Setiap sel

memiliki kurang lebih 300 silia pada permukaan apikalnya.

b. Sel goblet mukosa, banyak dijumpai di sejumlah area epitel

respiratorik yang terisi di bagian apikalnya dengan granula

glikoprotein musin.

c. Sel sikat (brush cells), tipe sel silindris yang lebih jarang tersebar

dan lebih sulit ditemukan dengan permukaan apical kecil yang

memiliki banyak mikrofili pendek dan tumpul. Sel sikat


memperlihatkan sejumlah komponen pada sel kecap dan memiliki

ujung saraf aferen pada permukaan basalnya dan dipandang

sebagai reseptor kemosensoris.

d. Sel granul kecil, sulit ditemukan pada sediaan rutin, tetapi

memiliki banyak granul padat berdiameter 100-300.

Gambar 3. Epitel respiratorik (Junqueira dkk., 2004)

Rongga hidung terdiri atas dua struktur yaitu vestibulum dan fossa

nasalis. Vestibulum adalah bagian paling anterior dari rongga hidung.

Dipermukaan vestibulum terdapat banyak kelenjar sebasea dan kelenjar

keringat serta vibrisa. Di dalam vestibulum epitelnya tidak berlapis tanduk

lagi dan beralih menjadi epitel respirasi sebelum memasuki fossa nasalis

(Junqueira dkk., 2004).

Pada fossa nasalis terdapat tiga tonjolan bertulang yang disebut concha.

Concha superior ditutupi oleh epitel olfaktorius sementara concha media dan

concha inferior ditutupi oleh epitel penghidu khusus (Junqueira dkk., 2004).

Di dalam lamina propria concha terdapat pleksus vena besar yang dikenal

sebagai badan pengembang (swell bodies). Setiap 20- 30 menit badan


pengembang pada satu sisi fossa nasalis akan penuh terisi darah sehingga

mukosa concha membengkak dan mengurangi aliran udara (Junqueira dkk.,

2004).

Kemoreseptor olafktorius terletak di epitel olfaktorius, yaitu region

khusu membran mukosa konka superior yang terletak di atap rongga hidung.

Pada manusia, luasnya sekitar 10 cm2 dengan tebal sampai 100 mikrometer.

Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris yang terdiri atas tiga jenis sel

(Junqueira dkk., 2004):

a. Sel-sel basal, yaitu sel kecil, sferis atau berbentuk kerucut dan

membentuk suatu lapisan di lamina basalis.sel-sel ini adalah sel

punca untuk kedua tipe sel lainnya.

b. Sel penyokong, berbentuk kolumnar dengan apeks silindris dan

dasar yang sempit. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrofili,

yang terendam dalam selapis cairan.

c. Neuron olfaktorius, yaitu neuron bipolar yang berasa di seluruh

epitel ini. Neuron dibedakan dari sel-sel penyokong oleh letak

intinya, yang terletak di antara sel penyokong dan sel basal.

Lamina propia di epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar

(kelenjar Bowman), yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia

penghidu dan memudahkan akses zat pembau yang baru (Junqueira dkk.,

2004).
Gambar 4. Epitel penghidu (Junqueira dkk., 2004)

E. Definisi Ozaena

Ozaena atau rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronis yang ditandai

dengan atrofi progresif mukosa hidung yang disertai dengan pembentukan

kerak kering yang berbau busuk, dan terdapat perluasan di rongga hidung

(Nagaraj, dkk, 2012). Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret

yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau

busuk (Soepardi dkk, 2017).

F. Epidemiologi

Rhinitis atrofi atau ozaena biasanya terjadi pada kelompok umur

dekade pertama sampai dekade keenam dan sering terjadi pada wanita.

Puncak insidensi terjadi pada umur 11-30 tahun (Sreedharan, dkk., 2015).

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasamuda. Sering ditemukan

pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi

lingkungan yang buruk (Soepardi dkk, 2017).


Prevalensi ozaena bervariasi pada beberapa bagian dunia. Biasanya

terjadi pada daerah tropis seperti India. Pada negara dengan prevalensi kasus

terbanyak, ditemukan bahwa rhinitis atrofi primer bisa mengenai 0,3%-1,0%

dari total populasi (Sreedharan, dkk., 2015). Dari hasil penelitian di

Amerika, total kasus yang ditemukan 242 kasus, dimana kasus ozaena ada

sebanyak 19% (45 kasus) dari total kasus, 25 kasus diantaranya adalah

perempuan. Rata-rata usia pasien yang menderita ozaena adalah 52 tahun,

dengan rentang usia19-89 tahun. Sedangkan di Indonesia, yaitu di RS H.

Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6

penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun

(Moore dan Eugene, 2001).

G. Etiologi Ozaena

Etiologi yang tepat dari ozaena tidak diketahui meskipun banyak teori dan

hipotesis telah dirumuskan (Dutt dan Kameswaran, 2005). Beberapa teori

mengemukakan penyebab terjadinya ozaena:

1. Herediter

Ozaena bisa poligenetik maupun herediter. Rhinitistrofi primer

dilaporkan terjadi pada ssatu keluarga, dimana anggota keluarga

perempuan yang terkena diketahui melibatkan lebih dari satu anggota

keluarga pada keluarga yang sama. Hal ini terlihat memiliki warisan

poligenik di 15% -30% dari kasus sedangkan penelitian lain telah

mengungkapkan baik autosomal dominan (67%) atau autosomal resesif

penetrasi (33%) (Dutt dan Kameswaran, 2005).


2. Kelainan endokrin

Defisiensi estrogen disebutkan menjadi salah satu factor etiologi pada

wanita (Dutt dan Kameswaran, 2005). Umumnya ditemukan pada

wanita usia dewasa muda dengan tingkat ekonomi dan sanitasi yang

buruk (Soepardi dkk, 2017)

3. Defisensi nutrisi

Ozaena dapat diakibatkan oleh defisiensi vitamin A, vitamin D, dan

defisiensi Fe. Penyakit ini sering ditemukan dikalangan masyarakat

dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk serta

di negara sedang berkembang (Dutt dan Kameswaran, 2005).

4. Infeksi

Infeksi bacterial kronik pada hidung atau sinus dapat menjadi penyebab

dari rhinitis atrofi primer. Hasil kultur pada kasus ozaena di Thailand

ditemukan berbagai organisme seperti Klebsiella ozaena, organisme lain

yang dapat ditemukan seperti diphteroid, Proteus vulgaris, Escherichia

coli, Staphylococcus, dan Sreptococcus. Dari berbagai etiologi yang

diusulkan, teori infeksi persisten kronis dan autoimunitas memiliki peran

besar terhadap ozaena (Dutt dan Kameswaran, 2005).

5. Kelainan autonom seperti vasokontriksi pembuluh darah akibat dari

kelainan keseimbangan autonomy telah dideskripsikan sebagai pemicu

berkembangnya ozaena.

6. Trauma karena kecelakaan atau iatrogenik, yaitu efek lanjut dari

pembedahan
7. Terapi radiasi pada hidung dan sinus paranasal, umumnya segera

merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus

H. Patofisiologi Ozaena

Rhinitis atrofi dikarakteristikan dengan adanya perubahan atrofi pada

seluruh bagian dari hidung. Epitelium respirasi normal (epitel torak bersilia)

berubah menjadi epitel kuboid atau squamous epitelium (metaplasia) dapat

ditemukan dengan atau tanpa keratinisasi. Mukosa, silia dan kelenjar

submukosa menjadi atrofi, dimana mukosa berwarna pucat, tebal, sekret

kental yang mengering, berwarna kehijauan sampai abu kekuningan. Pada

infeksi sekunder akibat bakteri dapat menimbulkan bau. Pada lamina propia

dan submukosa terlihat infiltrasi sel kronik, granulosa dan fibrosis (Dutt dan

Kameswaran, 2005).

I. Gejala dan Diagnosis Ozaena

Gejala klinis ozaena termasuk sensasi yang hampir konstan dari

obstruksi hidung (ketidakmampuan untuk merasakan aliran udara); hidung

kering dan kadang tenggorokan kering, seringkali disertai krusta rinitis

(rinitis sicca); gangguan penciuman, mulai dari hiposmia hingga anosmia

dan cacosmia dalam kasus ozaena; epistaksis dan dispnea atipikal yang

lebih jarang; sakit di akar hidung dengan sensasi penuh di bagian tengah

wajah dan, kadang-kadang, gejala sistemik seperti kelelahan, insomnia,

kecemasan atau depresi (Braun, dkk., 2014).


Rhinitis atrofi primer hampir enam kali lebih umum di wanita dan

biasanya bilateral. Hidung biasanya mengeluarkan bau tidak sedap, karena

pengerasan kulit dan infeksi sekunder, yang merupakan penyebab utama

karakteristik penyakit ini. Pasien sendiri biasanya mengalami anosmik

karena alasan berikut: melibatkan proses atrofi epitel olfaktorius dan sel

saraf bipolar dan serabut saraf; ada yang tidak mencukupi dan

keridakseragaman aliran udara yang mungkin tidak mencapai penciuman

daerah; dan mungkin ada kerak besar yang menghalangi aliran udara ke area

olfaktorius di atap hidung. Beberapa pasien menderita cacosmia ketika

mereka mencium bau busuk. Perdarahan dan ulserasi pada mukosa dapat

terlihat apabila krusta sudah terpisah. Perforasi nasal septal dan saddle nose

deformity dapat terjadi akibat terapi yang kurang baik dan juga dapat terjadi

akibat adanya destruksi tulang hidung dan kartilago (Dutt dan Kameswaran,

2005).

Secara klinis, Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi dalam

tiga tingkatan, yaitu (Dhingra, 2014) :

1. Tingkat 1

Atrofi mukosa hidung, mkosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta

sedikit.

2. Tingkat II

Atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna

makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.


3. Tingkat III

Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,

rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di

nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan

karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan

perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi

bakteri yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur

hidung (Hayati dan Dwi, 2010).

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis

adalah transiluminasi, foto rontgen, foto sinus paranasalis, pemeriksaan

mikroorganisme, uji resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan

Fe serum, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan serologi darah

(Habibuw, dkk, 2016).

Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk diagnosis

ozaena yaitu pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia,

hitung jumlah leukosit bisa didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan

didapatkan hipokromik mikrositik yang menggambarkan anemia defisiensi

besi. Pasien malnutrisi memerlukan pemeriksaan kadar protein serum dan

vitamin plasma. Usap hidung diperlukan untuk pemeriksan pengecatan,

kultur dan sensitivitas antibotika. Pemeriksan nasal endoskopi diperlukan

untuk menunjukkan adanya krusta kehijauan dan atrofi konka, serta

membantu untuk usap hidung. Pemeriksaan CT scan juga diperlukan dengan


gambaran khas berupa penebalan mukosa sinus paranasal, hilangnya

struktur komplek osteomeatal, hipoplasia sinus maksilaris, perluasan rongga

hidung, penyerapan tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan media

(Hayati dan Dwi, 2010).

Sementara itu secara histopatologi tampak metaplasia epitel torak

bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,

lapisan submukosa menjadi lebih tipis, dan kelenjar berdegenerasi atau

atropi. (Soepardi dkk, 2017).

J. Tata Laksana

Oleh karena etiologinya multifactorial, maka pengobatannya belum

ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan

menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau

jika tidak menolong dapat dilakukan tindakan operasi (Soepardi dkk, 2017).

1. Pengobatan konservatif

Pengobatan ini diberikan antibiotic spectrum luas atau sesuai

dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Solusio dari

kemicetene antiozaena yang mengandung 90 mg kloramfenikol, 0,64

mg estradiol dipropiat, 900 IU vitamin D2 dan propilen glikol/ml

dapat digunakan setelah bilas hidung (Dutt dan Kameswaran, 2005).

Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses

infeksi serta secret purulent dan krusta, dapat dipakai obat cuci

hidung. Larutan yang dapat digunakan antara lain :


 Betadine solution dalam 100 ml air hangat, atau campuran

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc

1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat.

 Larutan garam dapur campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na dibonat 28,4 g

NaCl 56,7 g

Dicampur 9 sendok makan air hangat.

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi

dengan menghembuskan kuat-kuat melalui hidung dan air yang

masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut dilakukan dua

kali sehari. Selain itu dapat diberikan terapi berupa pemberian

vitamin A 3x50.000 unit dan preparat Fe selama 2 minggu

(Soepardi dkk, 2017).

Setelah krusta diangkat dapat diberi obat tetes hidung antara lain :

glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, estradiol

dalam minyak Arachis 10.000 u/ml, kamisetin anti ozaena solution

dan
streptomisin 1 g + NaCl 30 ml diberikan tiga kali sehari, masing-

masing 3 tetes (Dutt dan Kameswaran, 2005).

2. Tindakan operatif

Jika pengobatan konservatif tidak ada perbaikan maka dilakukan

operasi. Teknik operasi antara lain operasi penyempitan lubang hidung

dengan implantasi atau penutupan lubang hidung. Tindakan tersebut

diharapkan dapat mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret,

inflamasi mukosa berkurang sehingga mukosa akan kembali normal.

Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada

koana selama 2 tahun menggunakan flap palatum (Soepardi dkk, 2017).

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) sering dilakukan

dengan cara mengangkat sekat tulang yang mengalami osteomielitis,

sehingga diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi drainase dan ventilasi

sinus kembali normal sehingga terjadi regenerasi mukosa (Soepardi dkk,

2017). Metode operasi Young’s juga dapat digunakan dengan cara

menutup kedua lubang hidung dan akan dibuka setelah 6 bulan atau

lebih. Dalam kasus-kasus ini, mukosa bisa kembali normal dan

pengerasan kulit berkurang. Selain itu terdapat modifikasi dari operasi

Young’s untuk menghindari ketidaknyamanan akibat

obstruksi hidung bilateral, modifikasi operasi

Young’s bertujuan untuk menutup sebagian lubang hidung dimana

dilakukan penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang

terbuka Itu juga diklaim memberikan manfaat yang sama

seperti Young (Dhingra, 2014).


Cara yang lain yaitu dengan mempersempit kavitas hidung. Pada

ozaena, kavitas hidung lebar dan udara yang masuk beserta dengan

lender dapat berubah menjadi krusta. Dengan mempersempit ukuran dari

sirkulasi udara di hidung dapat membantu meringankan gejala. Beberapa

teknik yang dapat dilakukan yaitu (Dhingra, 2014):

a. Injeksi submukosa dengan pasta teflon (campuran Triosite dan

Fibrin Glue)

b. Insersi lemak, kartilago, tulang ataupun teflon strip dibawah

mukoperiosteum yang terdapat di dasar dan dinding lateral dari

hidung dan juga di mukoperikondrium dari septum

c. Lautenschlager operation. Dengan memobilisasi dinding


medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan
ke lubang hidung.

K. Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat terjadi, diantaranya (Dhingra, 2014):

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung

L. Prognosis

Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan

perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.


Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana

sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun atau dapat dilakukan

implantasi untuk menyempitkan rongga hidung. Melalui operasi diharapkan

terjadi perbaikan mukosa. Ozeana umumnya persisten selama beberapa

tahun namun ada kencenderungaan sembuh spontan pada umur pertengahan

(Dhingra, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L., Boies, L.R, Highler, P.A. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT

Edisi 6 Cetakan ke 3. EGC. Jakarta.

Braun, J.J., Christian D., Alessio I., dkk., 2014. Atrophic Rhinitis-Empty Nose

Syndrome: A Clinical, Endoscopic and Radiological Entity. Journal of

Otology-Rhinology 3(4).

Dhingra, P.L. Dhingra, S. 2014. Disease of Ear Nose and Throath and Head and

Neck Surgery Six Ed. Elsevier.

Dutt, S. N., Kameswaran, M. 2005. Review Article The Aetiology And

Management of Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol Vol 119.

Habibuw A., Steward M., Ora L.P., 2016. Kesehatan Hidung pada Siswa Sekolah

Dasar Kema III Minahasa Utara. Jurnal e-Clinic Vol 4(2).

Hayati, R., Dwi R.P., 2010. Tiga Kasus Rinitis Atrofi Primer (ozeana) Dalam Satu

Keluarga (Laporan Kasus). Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga: Surabaya.

Junqueira, L. Carlos, Carneiro, J. 2004. Histologi Dasar: Teks dan Atlas Edisi 10.

Penerbit Buku Kedokern EGC. Jakarta.

Moore, E.J., Eugene B.K., 2001. Atrophic Rhinitis: A Review of 242 Cases.

American Journal of Rhinology Vol 15(6).


Nagaraj, E., Nitin S., Nivedita M., Subramanian M.R., Sunil K.G., 2012. Nasal

Stent Fabrication for an Atrophic Rhinitis Patient: A Simplified

Technique. Journal of Clinical and Diagnostic Research Vol 6(3).

Soepardi, E. Arsyad, Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti R. Dwi. 2017. Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher

Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Sreedharan, S.S., Vishnu P., Vijendra S.S., Panduranga M.K., 2015. A Clinical

Study on Atrophic Rhinitis,Its Management and Surgical Outcome.

Journal General Medicine 3(1).

Anda mungkin juga menyukai