Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

HIPERTENSI

Oleh :
Astri Yustina Kambu, S.Ked
K1B1 20 078

Pembimbing :
dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Astri Yustina Kambu, S.Ked

NIM : K1B1 20 078

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Hipertensi

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp.PD, FINASIM


HIPERTENSI
Astri Yustina Kambu, Tety Yuniarti Sudiro

A. PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling umum ditemukan

dalam praktik kedokteran primer, hipertensi menyebabkan masalah kesehatan

masyarakat dunia yang menimbulkan kesakitan, kecacatan, dan kematian yang

tinggi, serta menimbulkan beban pembiayaan kesehatan, yang sampai saat ini

masih menjadi tantangan terbesar di Indonesia. Hipertensi juga disebut

sebagai pembunuh senyap karena penderita tidak merasakan keluhan sehingga

penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi dan baru diketahui

setelah terjadi komplikasi. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai

organ target seperti jantung, otak, ginjal, mata dan arteri perifer. Hipertensi

telah diidentifikasi oleh WHO sebagai salah satu faktor risiko paling

signifikan untuk morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dan bertanggung

jawab atas kematian sekitar sembilan juta orang setiap tahun 1,2, 18

Hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik ≥140

mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi karena jantung memompa darah

melalui pembuluh darah secara konstan dengan kekuatan berlebih. Tekanan

darah sistolik terjadi saat jantung memompa darah ke sirkulasi sistemik,

sedangkan tekanan darah diastolik terjadi saat pengisian darah ke jantung.3

Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan

sekitar 1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3

orang di dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus


meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar

orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 10,44 juta

orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya.4

Penyakit hipertensi dapat menimbulkan risiko terjadinya penyakit

kardiovaskular, setiap peningkatan 20 mmHg tekanan sistolik dan 10 mmHg

tekanan diastolik dapat meningkatkan risiko kematian. Penanganan hipertensi

di negara-negara Asia sangat penting, karena prevalensi hipertensi terus

meningkat, termasuk di Indonesia. Di sebagian besar negara Asia Timur,

penyakit kardiovaskular sebagai komplikasi hipertensi terus meningkat.

Karakteristik spesifik untuk populasi Asia yang berbeda dengan ras lain di

dunia yaitu kejadian stroke, terutama stroke hemoragik, dan gagal jantung

non-iskemik lebih sering ditemukan sebagai luaran dari hipertensi-terkait

penyakit kadiovaskular.5,13

B. DEFINISI
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg

dan/atau tekanan darah diastolik (TTD) ≥90 mmHg pada pengukuran di

klinik, pengukuran dilakukan 2 kali atau lebih dengan posisi duduk,

kemudian diambil reratanya pada 2 kali atau lebih kunjungan.6,8

Di Inggris, National Institute for Health and Care Excellence (NICE)

mendefinisikan tekanan darah tinggi (BP), juga dikenal sebagai hipertensi,

sebagai tekanan darah klinik 140/90 mmHg atau lebih tinggi dikonfirmasi

oleh pemantauan tekanan darah rawat jalan berikutnya rata-rata siang hari

(atau rata-rata pemantauan tekanan darah di rumah) 135/85 mmHg atau lebih

tinggi. 18
C. EPIDEMIOLOGI

Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO)

mengestimasikan saat ini prevalensi hipertensi secara global sebesar 22% dari

total penduduk dunia. Dari sejumlah penderita tersebut, hanya kurang dari

seperlima yang melakukan upaya pengendalian terhadap tekanan darah yang

dimiliki. Wilayah Afrika memiliki prevalensi hipertensi tertinggi sebesar

27%. Asia Tenggara berada di posisi ke 3 tertinggi dengan prevalensi sebesar

25% terhadap total penduduk. WHO juga memperkirakan 1 diantara 5 orang

perempuan di seluruh dunia memiliki hipertensi. Jumlah ini lebih besar

diantara kelompok laki laki yaitu 1 diantara 4.7

Riset Kesehatan Data (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan bahwa

prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 34,1% dibandingkan 25,8%

pada Riskesdas tahun 2013. Hasil tertinggi pada provinsi Kalimantan Selatan

sebesar 44,13% dan Papua memiliki prevalensi terendah sebesar 22,2% serta

untuk Sulawesi Tenggara sendiri prevalensi kejadian hipertensi sebesar

29,75%.7

Data Riskesdas tahun 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan usia

yaitu 18-24 tahun (13,22%), 25-34 tahun (20,13%), 35-44 tahun (31,61%),

45-54 tahun (45,31%), 55-64 tahun (55,32%), 65-74 tahun (63,22%) dan ≥ 75

tahun (69,53%). Pada umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertensi

sebesar 2,28 kali.7

Peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan cara pengukuran juga

terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Peningkatan prevalensi


tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 13,4%, Kalimantan Selatan

sebesar 13,3%, dan Sulawesi Barat sebesar 12,3%.7

Proporsi penderita hipertensi pada penduduk di wilayah perkotaan

lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan. Pada tahun 2013 proprosi di

kedua wilayah tersebut sebesar 26,1% dan 25,5% yang meningkat menjadi

34,4% dan 33,7% di tahun 2018. Pola ini dapat diasumsikan terjadi karena

faktor risiko perilaku yang berpotensi menyebabkan hipertensi lebih banyak

ditemukan di wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah perdesaan.7

D. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibagi menjadi 2

kelompok besar yaitu hipertensi primer atau hipertensi esensial dan hipertensi

sekunder.

1. Hipertensi Primer/Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun

dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak

(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita

hipertensi.9

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10%

penderita hipertensi, hipertensi sekunder penyebabnya antara lain:

a) Penyakit: penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta,

obstuctive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma,

aldesteronism primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid


b) Obat-obatan : prednison, fludrokortison, triamsinolon, amfetamin,

antivascular endothelin growth factor agents, estrogen (kontrasepsi

oral), dekongestan.

c) Makanan: sodium, etanol, licorice.8

E. FAKTOR RISIKO

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a) Usia

Pada umumnya, semakin bertambahnya usia maka semakin

besar pula risiko terjadinya hipertensi. Hal tersebut disebabkan oleh

perubahan struktur pembuluh darah seperti penyempitan lumen serta

dinding pembuluh darah yang menjadi kaku dan elastisitasnya

berkurang sehingga meningkatkan tekanan darah.10

b) Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan

wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler

sebelum menopause salah satunya adalah penyakit jantung coroner.

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan

faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis.

Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya

imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause

wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang


selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini

terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah

kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang

umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.11

c) Genetik

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan

menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal

ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan

rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan

orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar

untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai

keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%

kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.11

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:

a) Obesitas

Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah

pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National

Institutes for Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi

pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah

38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan

prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki

IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional). Menurut

Hall (1994) perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara


kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi

insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem

reninangiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.11

b) Stres

Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon

adrenalin akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa

mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat sehingga tekanan

darah pun meningkat.11

c) Merokok

merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok

berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi

maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami

ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr Thomas S

Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts

terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi,

51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5%

subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang

merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam

median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu

kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan

kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari.11


d) Pola konsumsi garam berlebih

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization

(WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat

mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram

sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih

menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler

meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,

sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya

volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya

volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.11

e) Kurang aktivitas fisik

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit

tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan

tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk

hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila

jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya

kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan

darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-

orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat

dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap

kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin

besar pula kekuaan yang mendesak arteri.11


F. KLASIFIKASI

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII12

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 And <80
Prehipertensi 120-139 Or 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 Or 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 Or ≥100

G. PATOMEKANISME

Penyebab-penyebab hipertensi sangatlah banyak. Tidak bisa diterangkan

hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya kesemuanya

itu akan menyangkut kendali natrium (Na) diginjal sehingga tekanan darah

meningkat.

Ada 4 faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi:

1. Volume Intravaskular

Tekanan darah tinggi adalah hasil interkasi antara cardiac otput

(CO) atau curah jantung (CJ) dan total peripheral resisten (TPR) yang

masing-masing dipengaruhi beberapa faktor. Volume intravaskluar

merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan darah dari waktu

ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau

vasokonstriksi. Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons

agar ekskresi garam keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi

bila upaya mengekskresi NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal,

maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular

meningkat.8
Pada gilirannya CO dan CJ akan meningkat. Akibatnya terjadi

ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat.

Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara

berangsur CO dan CJ akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi.

Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR

vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.8

2. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme

(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan

darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah

menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan

kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.11

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik

(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari)

dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar

tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.

Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan

dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume

darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.11


Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks

adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan

penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan

diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler

yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.11

3. Sistem saraf otonom

Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah saraf

sistem saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf

viseral (termasuk ginjal) melalui neurotransmiter : katekolamin, epinefrin,

maupun dopamin. Sedang saraf parasimpatis adalah yang menghambat

stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para simpatis berlangsung

independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi

secara otomatis sesuai siklus sikardian.8

Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal,

otak serta dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1 dan

β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau

dihambat dengan beta bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan

memicu terjadinya vasodilatasi malalui peningkatan nitrit oksida (NO).8

Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres,

rokok dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa

kenaikan katekolamin dan sebagainya. Selanjutnya neurotransmiter ini


akan meningkatkan denyut jantung (Heart Rate) lalu di ikuti kenaikan CO

atau CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan

mengalami agregasi platelet. Peningkatan neurotransmiter NE ini

mempunyai efek negatif terhadap jantung, sebab dijantung ada reseptor α1,

β1, β2, yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan

aritmia dengan akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis.8

Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor α1, maka

bila NE meningkatkan hal tersebut akan memicu vasokonstriksi (melalui

reseptor α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga makin progresif. Pada

ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada reseptor α1 dan β1 yang

akan memicu terjadinya retensi natrium, mengaktivasi sitem RAA, memicu

vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga

makin progresif.8

4. Peran dinding vaskular pembuluh darah

Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit

yang berlanjut terus menerus sepanjang umur. Hipertensi hanyalah salah

satu gejala dari sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut

sebagai sindroma hipertensi aterosklerosis (bukan merupakan penyakit

tersendiri), kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai

terjadi kerusakan terget organ terkait. Awalnya memang hanya berupa

faktor risiko. Tetapi bila faktor risiko ini tidak diobati maka akan memicu

gangguan hemodinamik dan gangguan vaskular biologi.8


H. GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut

Elizabeth J. Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah

mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat

berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah

akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat

kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan

saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan

aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan

tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke

atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara

pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain

yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung,

rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang kunang.11

I. DIAGNOSIS

Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.

Hipertensi adalah the silent killer. Penderita baru mempunyai keluhan setelah

mengalami komplikasi di TOD. Setelah seseorang telah diskrining dan

ditemukan memiliki tekanan darah tinggi, pemantauan tekanan darah

ambulatory (ABPM) dianggap sebagai cara yang paling akurat untuk

mendiagnosis hipertensi dan direkomendasikan oleh pedoman untuk secara

rutin mengkonfirmasi pembacaan tekanan darah. Secara sistematik anamnesa

dapat dilaksanakan sebagai berikut:18


1. Anamnesis

a) Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

b) Indikasi adanya hipertensi sekunder

1) Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

2) Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian

obat obat analgesik dan obat bahan lain

3) Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

(feokromositoma)

4) Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

c) Faktor faktor risiko

1) Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga

pasien

2) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga pasien

3) Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya

4) Kebiasaan merokok

5) Pola makan

6) Kegemukan, intensitas olahraga

7) Kepribadian

d) Gejala kerusakan organ

1) Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transiet

ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris

2) Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak, kaki, tidur dengan

bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)


3) Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuria, hipertensi yang disertai

kulit pucat anemis

4) Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten

e) Pengobatan anti hipertensi sebelumnya

f) Faktor faktor pribadi, keluarga dan lingkungan.8

2. Pemeriksaan Fisik

Tabel 2. Pemeriksaan Pada Hipertensi14


Habitus Tubuh
Tinggi dan berat badan, penggunaan indeks massa tubuh
Lingkar pinggang
Tanda HMOD (Hypertension Mediated Organ Damage)
Pemeriksaan neurologis dan status kognitif
Pemeriksaan funduskopi untuk retinoskopi hipertensi
Palpasi dan auskultasi jantung serta arteri karotis
Palpasi arteri perifer
Perbandingan tekanan darah kedua lengan (paling tidak sekali)
Hipertensi Sekunder
Inspeksi kulit : bercak café au-lait pada neurofibromatosis
Palpasi ginjal untuk meraba pembesaran pada penyakit ginjal
polikistik
Auskultasi jantung dan arteri renalis untuk murmur yang
menunjukkan koarktasio aorta atau hipertensi renovaskuler
Perbandingan pulsasi radial dan femoral
Tanda penyakit chusing atau akromegali
Tanda penyakit tiroid

3. Pemeriksaan Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan di klinik (atau fasilitas

kesehatan) atau di luar klinik (HBPM atau ABPM). Patut menjadi

perhatian, bahwa tekanan darah diukur secara hati-hati menggunakan alat

ukur yang tervalidasi.


a) Persiapan Pasien

1) Pasien harus tenang, tidak dalam keadaan cemas atau gelisah,

maupun kesakitan. Dianjurkan istirahat 5 menit sebelum

pemeriksaan.

2) Pasien tidak mengkonsumsi kafein maupun merokok, ataupun

melakukan aktivitas olahraga minimal 30 menit sebelum

pemeriksaan. Pasien tidak menggunakan obat-obatan yang

mengandung stimulan adrenergik seperti fenilefrin atau

pseudoefedrin (misalnya obat flu, obat tetes mata).

3) Pasien tidak sedang menahan buang air kecil maupun buang air

besar.

4) Pasien tidak mengenakan pakaian ketat terutama di bagian lengan.

5) Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan nyaman.

6) Pasien dalam keadaan diam, tidak berbicara saat pemeriksan

(Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, 2019).

b) Spigmomanometer

1) Pilihan spigmomanometer non air raksa: aneroid atau digital.

2) Gunakan spigmomanometer yang telah divalidasi setiap 6-12

bulan.

3) Gunakan ukuran manset yang sesuai dengan lingkar lengan atas

(LLA). Ukuran manset standar: panjang 35 cm dan lebar 12-13

cm.
4) Gunakan ukuran yang lebih besar untuk LLA >32 cm, dan ukuran

lebih kecil untuk anak.

5) Ukuran ideal: panjang balon manset 80-100% LLA, dan lebar 40%

LLA (Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, 2019).

c) Posisi

1) Posisi pasien: duduk, berdiri, atau berbaring (sesuai kondisi

klinik).

2) Pada posisi duduk: Gunakan meja untuk menopang lengan dan

kursi bersandar untuk meminimalisasi kontraksi otot isometrik,

posisi fleksi lengan bawah dengan siku setinggi jantung dan kedua

kaki menyentuh lantai dan tidak disilangkan (Perhimpunan Dokter

Hipertensi Indonesia, 2019).

d) Prosedur

1) Letakkan spigmomanometer sedemikian rupa sehingga skala

sejajar dengan mata pemeriksa, dan tidak dapat dilihat oleh pasien.

2) Gunakan ukuran manset yang sesuai.

3) Pasang manset sekitar 2,5 cm di atas fossa antecubital.

4) Hindari pemasangan manset di atas pakaian.

5) Letakan bagian bell stetoskop di atas arteri brakialis yang terletak

tepat di batas bawah manset. Bagian diafragma stetoskop juga

dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah sebagai alternatif

bell stetoskop.
6) Pompa manset sampai 180 mmHg atau 30 mmmHg setelah suara

nadi menghilang. Lepaskan udara dari manset dengan kecepatan

sedang (3mmHg/detik).

7) Ukur tekanan darah 3 kali dengan selang waktu 1-2 menit.

Lakukan pengukuran tambahan bila hasil pengukuran pertama dan

kedua berbeda >10 mmHg. Catat rerata tekanan darah, minimal

dua dari hasil pengukuran terakhir.13

Gambar 1. Pemeriksaan Tekanan Darah6

4. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri atas: tes darah

rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol

LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum,

kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis

(uji carik celup serta sedimen urin), elektrokardiogram.8

Beberapa pedoman hipertensi menganjurkan tes lain seperti:

okokardiogram, USG karotis dan femoral, C reactive protein,


mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria

kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada hipertensi berat).8

J. TATALAKSANA

1. Terapi Farmakologis

Data kontemporer dari lebih dari 100 negara menunjukkan bahwa

rata-rata, kurang dari 50% orang dewasa dengan hipertensi menerima obat

penurun tekanan darah, dengan beberapa negara berkinerja lebih baik dari

ini dan jauh lebih buruk. Ini terlepas dari kenyataan bahwa perbedaan

tekanan darah 20/10 mmHg dikaitkan dengan 50% perbedaan risiko

kardiovaskular.17

Dalam penanganan hipertensi mengacu pada guideline yang sudah

ada salah satunya menurut Joint National Committee (JNC) 8, guideline

hipertensi evidence-based ini berfokus pada 3 pertanyaan ranking paling

tinggi dari panel yang diidentifikasi melalui teknik modifikasi Delphi

yaitu:

a) Pada pasien hipertensi dewasa apakah memulai terapi farmakologis

antihipertensi pada batas tekanan darah spesifik memperbaiki

outcome kesehatan

b) Pada pasien hipertensi dewasa apakah terapi farmakologis

antihipertensi dengan target tekanan darah spesifik memperbaiki

outcome
c) Pada pasien hipertensi dewasa apakah pemberian obat hipertensi dari

kelas dan jenis berbeda mempunyai outcome manfaat dan risiko yang

berbeda.1

Rekomendasi 1 sampai 5 menjawab pertanyaan 1 dan 2 tentang

ambang batas dan tujuan pengobatan BP. Rekomendasi 6, 7, dan 8

membahas pertanyaan 3 tentang pemilihan obat

antihipertensi. Rekomendasi 9 adalah ringkasan strategi berdasarkan

pendapat ahli untuk memulai dan menambahkan obat antihipertensi.

Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi

(berdasarkan refleksi tiga pertanyaan di atas):

a) Pada populasi umum berusia ≥60 tahun terapi farmakologis untuk

menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target sistolik

<150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg. (Strong

Recommendation Grade A).

Pada populasi umum berusia ≥60 tahun jika terapi farmakologis

hipertensi menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah

(misalnya <140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpa efek samping

kesehatan dan kualitas hidup dosis tidak perlu disesuaikan. (Expert

Opinion Grade E).

b) Pada populasi umum <60 tahun terapi farmakologis untuk

menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90

mmHg dengan target tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk usia
30-59 tahun Strong Recommendation Grade A, untuk usia 18-29

tahun Expert Opinion Grade E).

c) Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk

menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140

mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg (Expert

Opinion Grade E).

d) Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginal kronik, terapi

farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan

darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg

dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan

darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion Grade E).

e) Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis

untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik

≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target

tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik

<90 mmHg (Expert Opinion Grade E).

f) Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan

diabetes, terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe

thiazide, calcium channel blocker (CCB), angiotensin-converting

enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB).

(Moderate Recommendation Grade B).

g) Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes,

terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide


atau CCB. (Untuk populasi kulit hitam: Moderate Recommendation

Grade B, untuk kulit hitam dengan diabetes: Weak Recommendation

Grade C).

h) Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik,

terapi antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup

ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome ginal. Hal ini berlaku

untuk semua pasien penakit ginal kronik dengan hipertensi terlepas

dari ras atau status diabetes. (Moderate Recommendation Grade B).

i) Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan

mempertahankan target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak

tercapai dalam 1 bulan perawatan tingkatkan dosis obat awal atau

tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang direkomendasikan

dalam rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic, CCB, ACEI atau ARB).

Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen

perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan

darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat

ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB

bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat

dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi 6 karena

kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat

antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis

hipertensi mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak

dapat tercapai dengan strategi di atas atau untuk penanganan pasien


komplikasi yang membutuhkan konsultasi klinis tambahan. (Expert

Opinion Grade E).1

Dari 9 rekomendasi yang dibahas diatas ada bersama dengan bukti

pendukung, bukti diambil dari penelitian terkontrol secara acak dan

diklasifikasikan menjadi:

Gambar 2. Kekuatan dari rekomendasi JNC 815


Gambar 3. Algoritma penanganan hipertensi JNC 815
Untuk terapi farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta dosis

yang dapat digunakan.

Gambar 4. Obat antihipertensi beserta dosisnya15

Gambar 5. Strategi penggunaan obat antihipertensi15


Gambar 6. Pengobatan farmakologis hipertensi: skema umum17

Gambar 7. Target tekanan darah untuk hipertensi yang diobati.17


Gambar 8. Strategi inti terapi obat International Society of Hypertension.17

2. Terapi Non Farmakologis

Pilihan gaya hidup sehat dapat mencegah atau menunda

timbulnya tekanan darah tinggi dan dapat mengurangi risiko

kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup juga merupakan pengobatan

antihipertensi lini pertama. Modifikasi gaya hidup juga dapat

meningkatkan efek pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup

harus mencakup hal-hal berikut:1, 17

a. Reduksi Garam

Ada bukti kuat untuk hubungan antara asupan garam yang tinggi dan

peningkatan tekanan darah. Kurangi garam yang ditambahkan saat

menyiapkan makanan, dan di meja. Hindari atau batasi konsumsi

makanan tinggi garam seperti kecap, makanan cepat saji, dan


makanan olahan termasukroti dan sereal tinggi garam. Restriksi

garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.

Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100 mmol sodium/hari).

b. Diet Sehat

Mengonsumsi makanan yang kaya biji-bijian, buah-buahan, sayuran,

lemak tak jenuh ganda, dan produk susu dan mengurangi makanan

tinggi gula, lemak jenuh, dan lemak trans. Tingkatkan asupan

sayuran tinggi nitrat yang diketahui untuk mengurangi BP, seperti

sayuran hijau. Makanan dan nutrisi bermanfaat lainnya termasuk

yang tinggi magnesium, kalsium, dan potasium seperti alpukat,

kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan tahu.

c. Mengonsumsi Minuman Sehat

Konsumsi kopi, teh hijau dan teh hitam dalam jumlah sedang.

Minuman lain yang dapat bermanfaat termasuk teh karkadé

(kembang sepatu), jus delima, jus bit, dan kakao.

d. Moderasi Konsumsi Alkohol

Ada hubungan linier positif antara konsumsi alkohol, tekanan darah,

prevalensi hipertensi, dan risiko penyakit cardiovaskuler. Batas

harian yang direkomendasikan untuk konsumsi alkohol adalah 2

minuman standar untuk pria dan 1,5 untuk wanita (10 g

alkohol/minuman standar). Menghindari pesta minuman keras.

e. Mengurangi Berat Badan


Kontrol berat badan diindikasikan untuk menghindari obesitas..

Sebagai alternatif, rasio pinggang-ke-tinggi <0,5 direkomendasikan

untuk semua populasi. Penurunan berat badan dapat mengurangi

tekanan darah sistolik 5-20 mmHg/penurunan 10 kg. Rekomendasi

ukuran pinggang <94 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita, indeks

massa tubuh <25 kg/m2. Rekomendasi penurunan berat badan

meliputi nasihat mengurangi asupan kalori dan juga meningkatkan

aktivitas fisik.

f. Berhenti Merokok

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk penyakit

kardiovaskuler, PPOK, dan kanker. Berhenti merokok dan rujukan

ke program berhenti merokok disarankan.

g. Aktivitas Fisik Teratur

Studi menunjukkan bahwa latihan aerobik secara teratur mungkin

bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi. Latihan

aerobik intensitas sedang (berjalan, jogging, bersepeda, yoga, atau

berenang) selama 30 menit dalam 5-7 hari per minggu atau HIIT

(pelatihan interval intensitas tinggi) yang melibatkan semburan

singkat aktivitas intens secara bergantian dengan pemulihan

berikutnya periode aktivitas yang lebih ringan. Latihan kekuatan

juga dapat membantu menurunkan tekanan darah. Performa latihan

resistensi/kekuatan pada 2-3 hari per minggu. Aktivitas fisik dapat

menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg.


h. Mengurangi stres dan menginduksi perhatian

Stres kronis telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi di kemudian

hari. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan

efek dari stres kronis pada tekanan darah, uji klinis acak yang

memeriksa efek meditasi/perhatian transendental pada darah tekanan

menunjukkan bahwa praktik ini menurunkan tekanan darah. Stres

harus dikurangi dan perhatian atau meditasi diperkenalkan ke dalam

rutinitas harian.

i. Pelengkap, alternatif atau obat tradisional

Sebagian besar pasien hipertensi menggunakan pengobatan

komplementer, alternatif, atau tradisional (di wilayah seperti Afrika

dan) China) namun uji klinis skala besar dan tepat diperlukan untuk

mengevaluasi kemanjuran dan keamanan obat-obatan ini. Jadi,

penggunaan pengobatan tersebut belum didukung.

j. Kurangi paparan polusi udara dan suhu dingin

Bukti dari penelitian mendukung efek negatif polusi udara pada

tekanan darah dalam jangka panjang.

K. KOMPLIKASI

Komplikasi karena hipertensi dapat mengenai berbagai organ vital

tubuh, seperti : penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit hipertensi

serebrovaskular, hipertensi ensefalopati dan hipertensi retinopati.

1. Penyakit jantung dan pembuluh darah Hipertensi merupakan penyebab

paling umum dari hipertrofi ventrikel kiri. Dua bentuk utama penyakit
jantung yang timbul pada penderita hipertensi yaitu penyakit jantung

koroner dan penyakit jantung hipertensi.16

2. Penyakit hipertensi serebrovaskular Hipertensi adalah faktor resiko paling

penting untuk timbulnya stroke pendarahan atau ateroemboli. Pendarahan

kecil atau penyumbatan dari pembuluh-pembuluh kecil dapat menyebabkan

infark pada daerah-daerah kecil.16

3. Ensefalopati hipertensi yaitu sindroma yang ditandai dengan perubahan-

perubahan neurologis mendadak atau sub akut yang timbul akibat tekanan

arteri yang meningkat, dan kembali normal apabila tekanan darah

diturunkan. Sindroma ini dapat timbul pada setiap macam hipertensi, tapi

jarang pada aldosteronisme primer dan koarktasio aorta. Ensefalopati

hipertensi biasanya ditandai oleh sakit kepala hebat, bingung, sering

muntah-muntah, mual dan gangguan penglihatan.16

4. Kelainan pada mata akibat hipertensi juga memiliki komplikasi pada mata

yaitu:

a) Oklusi vena retina, penyumbatan suplai darah dalam vena ke retina yang

dapat terjadi karena pengerasan pembuluh darah dalam mata.

b) Oklusi arteri retina, penyumbatan suplai darah dalam arteri ke retina.

Arteri retina dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau zat-zat (seperti

lemak) yang terjebak dalam arteri. Sumbatan ini dapat terjadi karena

pengerasan pembuluh darah di mata.

c) Makroaneurisma arteri retina, makroaneurisma pada arteri retina yang

merupakan gejala akibat tekanan daerah di sekitarnya.


d) Iskemik neuropati optik anterior, defisiensi aliran darah pada bagian saraf

optik anterior sehingga terjadi neuropati pada saraf tersebut.

e) Ocular motor nerve palsy, kelumpuhan nervus okulomotor yang

mengakibatkan gerakan bola mata terganggu.

f) Retinopati hipertensi.16

L. PROGNOSIS

Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan

berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target

organ (TOD). Berawal dari setiap kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg

risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskukar akan meningkat dua

kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati meningkatkan : 35 % semua kematian

kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25% kematian PJK, 50% penyakit

jantung kongstif, 25% semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi

penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal

ginjal terminal.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-Based Guideline Penanganan Pasien


Hipertensi Dewasa. CKD-236 43(1)
2. Kementrian Kesehatan RI. 2018. Hipertensi Membunuh Diam-Diam, Ketahui
Tekanan Darah Anda. http://www.depkes.go.id/article/view/18051600004/
hipertensi-membunuh-diam-diam-ketahui-tekanan-darah-anda.html. 29
Januari 2022
3. Sriani, K.I., Fakhriadi, R., Rosadi, D. 2016. Hubungan Antara Perilaku
Merokok dan Kebiasaan Olahraga dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-
Laki Usia 18-44 Tahun. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia
3(1): 1-6.
4. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Hari Hipertensi Dunia 2019 : Know Your
Number, Kendalikan Tekanan Darahmu dengan CERDIK.
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/dki-jakarta/hari-hipertensi-dunia-
2019-know-your-number-kendalikan-tekanan-darahmu-dengan-cerdik.
Diakses 29 Januari 2022 11.24 WITA
5. Sudarsono, E.K.R., Sasmita, J.F.A., Handyasto, A.B., Arissaputra, S.S.,
Kuswantiningsih, N. 2017. Peningkatan Pengetahuan tentang Hipertensi
guna Perbaikan Tekanan Darah pada Anak Muda di Dusun Japanan,
Margodadi, Sayegan, Sleman, Yogyakarta. Jurnal Pengapdian kepada
Masyarakat 3(1): 26-38
6. Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N.A., Poulter, N.R., Prabhakaran,
D., et all. 2020. Clinical Practice Guidelines 2020 International Society Of
Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. AHA Journal.
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Infodatin Pusat Data dan
Infromasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta
8. Yogiantoro, M. 2014. Pendekatan Klinis Hipertensi dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 6 Jilid II. Interna Publishing. Jakarta
9. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Infodatin Hipertensi. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta
10. Sari. 2017 . Berdamai Dengan Hipertensi. Bumi Medika. Jakarta.
11. Nuraini, B. 2015. Risk Factors of Hypertension. Jurnal Majority 4(5)
12. Bell. K., Twiggs. J., Olin. B.R., 2015. Hypertension: The Silent Killer:
Update JNC 8 Guideline Recommendations. Alabama Pharmacy Association
13. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019. Konsensus
Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta
14. Andrian, S.J. Tommy. 2019. Hipertensi esensial: Diagnosis dan tatalaksana
terbaru pada dewasa. CKD-274 46(3).
15. James. P.A., Oparil. S., Carter. B.L., Chusman. W.C., Himmerlfarb. C.D.,
Handler. J. Et all. 2014. 2014 Evidence Based Guideline For The
Management Of High Blood Pressure In Adults Report From The Panel
Members Appointed To The Eighth Joint National Committee (JNC 8).
American Medical Association 311(5) 507 520
16. Sylvestris, A. 2014. Hipertensi dan retinopati hipertensi. Saintika Medika.
10(1).
17. Unger T., dkk. 2020. 2020 International Society of Hypertension Global
Hypertension Practice Guidelines. American Heart Association.

18. Kitt J., dkk. 2019. New Approaches in Hypertension Management: a Review
of Current and Developing Technologies and Their Potential Impact on
Hypertension Care. Springer 21(44) 2-8

Anda mungkin juga menyukai