Anda di halaman 1dari 4

Analisa kebijakan di sector pajak era SBY dan JOKOWI

reformasi pajak pernah di lakukan sri mulyani indrawati saat menjabat sebagai mentri keuangan
di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005-2010 silam.

Kini, saat kembali menduduki kursi nomor satu dikementrian keuangan (kemkeu) tersebut, sri
mulyani kembali mencanangkan reformasi di sector perpajakan, lalu apa bedanya reformasi
perpajakan di era SBY dan JOKOWI?

Dalam acara stake holder gathering di gedung dhanapala kemkeu , selasa (14/3) malam, ibu sri
mulyani menjelaskan, reformasi perpajaka tahun 2006 di era kepemimpinan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di lakukannya melaluipembentukan kantor pajak besar atau kantor
pelayanan pajak (KPP) wajib pajak besar (large tax office atau LTO) dan kantor pajak primer
medium atau KPP madya (medium tax office atau MTO).

Sedangkan di era kepemimpinan presiden Jokowi caranya, melalui reformasi di bidang


perpajakan dengan memperbaiki system teknologi informasi. Hal ini dilakukan bai direktorat
jendral ( ditjen) pajak maupun di ditjen bea dan cukai.

Salah satu kebijakan dalam paket penyelamatan ekonomi nasional adalah fasilitas keringanan
pajak atau tax allowance. Kebijakan ini untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di
Indonesia.
Kebijakan ini bukan hal baru, sebelumnya pernah diterapkan di era pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Bedanya, pemerintahan Jokowi-JK tidak memberikan syarat ketat
seperti yang diterapkan di era SBY-Boediono.
"Kriterianya dibuat lebih longgar, tidak ketat dan terlalu detail seperti yang sebelumnya. 
poin kebijakan SBY dan Jokowi, keduanya sama-sama memberikan keringanan pajak untuk
menggenjot perekonomian.
SBY menghapus pajak penghasilan (PPn) untuk buku, menghapus pajak penghasilan barang
mewah (PPn BM) untuk produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah,
mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi, mengoptimalkan
penggunaan tax allowance untuk insentif investasi.
Sementara paket keringanan pajak ala Jokowi, insentif pajak bagi perusahaan Indonesia yang
produknya minimal 30% untuk pasar ekspor, industri galangan kapal nasional tidak dipungut
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di
Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100 persen ke perusahaan induk di
negara asal.

penetapan besaran kebijakan PTKP mengalami pengubahan atau penyesuaian secara


cepat, dari pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) dan era Presiden Joko
Widodo (Jokowi).

Pengubahan yang secara cepat khususnya di masa akhir jabatan SBY sebagai orang
nomor satu di Indonesia. Tepatnya pada awal 2015, di mana pemerintah kala itu
menetapkan besaran PTKP Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per, bulan dari yang
sebelumnya Rp 24,3 juta atau Rp 2,02 juta per bulan.

Pada saat itu, Menteri Keuangan masih dijabat oleh Bambang Brodjonegoro, yang saat
ini menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala
Bappenas).

Di November 2015, pemerintahan mengalami transisi setelah hasil pemilihan presiden


(Pilpres) menetapkan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) menjadi pemimpin
pemerintahan.

Jajaran menteri Jokowi-JK yang disebut Kabinet Kerja ini juga masih mempercayai
Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan. Tidak butuh lama, pemerintahan
Jokowi-JK kembali melakukan penyesuaian besaran PTKP.

Di pertengahan 2016, Bambang Brodjonegoro menandatangi aturan kenaikan PTKP.


Pemerintah mengumumkan, besaran PTKP dinaikkan dari Rp 36 juta per tahun menjadi
Rp 54 juta per tahun, atau Rp 4,5 juta per bulan, dan berlaku surut sejak Januari 2016.

Kenaikan besaran gaji bebas pajak ini diakui oleh Kabinet Kerja akan menurunkan
penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dibandingkan proyeksi penerimaan
sebelum dilakukan penyesuaian.

Namun dari sisi ekonomi makro, pemerintah berharap kenaikan PTKP memberikan
dampak positif, terutama dalam meningkatkan daya beli masyarakat.

Penyesuaian PTKP akan mendorong naiknya pendapatan siap belanja (disposable


income), yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan agregat baik melalui
konsumsi rumah tangga maupun investasi.

Di samping itu, diharapkan kebijakan ini akan memberikan tambahan serapan tenaga
kerja dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Berjalan kurang lebih hampir 2 tahun, kursi Menteri Kuangan sekarang ditempati Sri
Mulyani Indrawati, yang akan melakukan kajian penyesuaian terhadap besaran PTKP.
Asal tahu saja, dalam sejarahnya penyesuaian PTKP selalu mengalami kenaikan dan
belum pernah ditetapkan menurun.

Permintaan kajian penyesuaian PTKP berawal dari anggapan Sri Mulyani, terkait
besaran gaji bebas pajak yang ditetapkan Indonesia menjadi salah satu yang paling
tinggi di Asia Tenggara.

Bahkan, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, besaran PTKP Rp 4,5 juta
per bulan menggerus basis pajak dan berujung pada terganggunya realisasi
penerimaan.
Selanjutnya, kajian penyesuaian besaran gaji bebas pajak masih belum ditentukan
berdasarkan apa. Namun, belakangan ini muncul bahwa PTKP akan disesuaikan
dengan UMP/UMR di masing-masing daerah se Indonesia. Pasalnya, kebijakan PTKP
yang saat ini berlaku secara nasional.

Anda mungkin juga menyukai