Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan yang sangat penting untuk 
pembiayaan pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang secara suka rela dan senang
untuk membayar pajak karena para Wajib Pajak merasa bahwa mereka tidak memperoleh
keuntungan timbal balik dari jumlah pajak yang mereka bayarkan.                                   
Pajak yang di bebankan pemerintah kepada  Wajib Pajak menimbulkan perbedaan
kepentingan, karena bagi wajib pajak, membayar pajak berarti mengurangi  kemampuan
ekonomis dan laba mereka. Perbedaan kepentingan ini cenderung memancing Wajib
Pajak untuk mengurangi beban pajaknya baik secara legal maupun illegal, hal ini juga di
mungkinkan oleh masih banyaknya celah peraturan perpajakan yang masih dimanfaatkan
oleh sumber daya manusia petugas pajak (fiskus) untuk melakukan praktek Korupsi,
Kolusi, Nepotisme (KKN) dengan Wajib Pajak yang tidak jujur 

Penerimaan dalam negeri mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, roda
pemerintahan dan pembangunan tidak dapat bergerak tanpa di dukung oleh dana, terutama
yang berasal dari dalam negeri. Salah satu sumber pendapatan negara yang berasal dari dalam
negeri adalah penerimaan pajak. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro (1979), pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara atau peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor
pemerintah, yang berdasarkan Undang Undang dapat di paksakan dengan tiada mendapat jasa
timbal, yang langsung dapat di tunjukkan dan di gunakan untuk membiayai pengeluaran
umum. Sedangkan menurut Ray M. Sommerfeld (1983), pajak adalah sumber dana yang di
transfer dari pihak pribadi kepada sektor publik, berdasarkan kriteria yang telah di tetapkan
sebelumnya, tanpa menerima keuntungan timbal balik, dengan tujuan untuk mewujudkan
perekonomian  negara  dan tujuan sosial.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa, ”Segala pajakuntu
keperluan negara berdasakan Undang-Undang.” Undang undang perpajakanadalah undang-
undang yang mengaturhak dan kewajiban para Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Belakangan ini muncul isu tentang pemberlakuan pajak sembako memicu adrenalin kalangan
menengah ke bawah tengah berjuang bertahan hidup di tengah kesulitan pada masa pandemi
Covid-19, hal ini sangat rasional karena sembako merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa
ditunda dan ditawar keterjangkauannya. Sebaliknya, menjadi irasional ketika masyarakat
merespon isu ini dengan emosional hanya karena bayangan kenaikan harga sembako
merasuki pikiran tanpa mengkaji lebih jauh sasaran dan objek pajak yang dimaksud.

Munculnya kecemburuan sosial menyasar ke beberapa kebijakan pemerintah lainnya yang


terkait dengan pajak, sebagai contoh adanya program pengurangan pajak penjualan atas
barang mewah (PPnBM). Pengurangan ini sebetulnya diberikan sebagai stimulus konsumsi
bagi masyarakat menengah ke atas, bertujuan meningkatkan nilai konsumsi nasional untuk
mendongkrak angka kesejahteraan masyarakat. Jadi, ini bukanlah masalah keberpihakan akan
tetapi berkaitan dengan masalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, karena di masa
sebelumnya stimulus diberikan kepada masyarakat menengah ke bawah melalui bantuan
sosial langsung dan bantuan presiden berupa cash transfer serta penundaan suku bunga bagi
pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).

B. Rumusan Masalah
Untuk Mengkaji Masalah Sensivitas Sosial Isu Pajak Sembako pada tahun 2020
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini masyarakat geger tentang pemberlakuan pajak sembao yang memicu
adrenalin kalangan menengah ke bawah yang tengah berjuang untung bertahan hidup di
tengah kesulitan padamasapandemi COVID-19, hal tsb sangat rasional karena sembako
merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda  dan ditawar keterjangkauannya.
Sebaliknya menjadi irasional ketika masyarakat mulai merespon isu ini dengan emosional
hana karena bayangan kenaikan harga sembako merasuki pikiran tanpa mengkaji lebih jauh
sasaran dan objek pajak yang dimaksud.

Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako ini tercantum dalam
rancangan revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah
Hukum Formal yang berisikan peraturanperaturan mengenai tata cara pelaksanaan
pemungutan pajak oleh negara. Dokumen yang kadung tersebar ini masih berupa Rancangan
Undang-Undang (RUU), dan masih ada beberapa langkah yang harus dilewati untuk menjadi
Undang-Undang.

Mengawali prosesnya, RUU yang diajukan pemerintah harus masuk dalam Program Legislasi
Nasional (prolegnas), diumumkan dan diparipurnakan oleh parlemen untuk mendapat
persetujuan melewati dua tingkat pembahasan, sampai akhirnya dapat disetujui atau tidak
oleh parlemen. Terlepas dari disetujui atau tidaknya RUU KUP ini, isu tersebut terlanjur
memunculkan sentimen negatif bagi pemerintah, dan secara politik ini bukanlah kebijakan
populer yang berpotensi menjadi bahan bagi oposisi untuk dikemas menjadi materi serangan
dengan berbagai cerita suplemennya.

Dokumen prematur yang seharusnya belum layak menjadi konsumsi publik, tiba-tiba bocor
secara parsial sehingga menimbulkan penafsiran yang salah. Mencari biang kerok atas
kebocoran dokumen negara ini sangatlah tidak esensial, justru saat ini yang diperlukan adalah
meredam respon masyarakat melalui edukasi informasi yang baik.

Penyusunan RUU KUP ini pasti sudah melalui kajian yang dituangkan dalam dokumen
Naskah Akademik (NA), dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis,
sehingga secara matang sudah diperhitungkan oleh pemerintah baik aspek proses maupun
kebermanfaatannya, yang tujuan akhirnya adalah menjaga penerimaan negara untuk
mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Langkah ini merupakan
bagian dari pemulihan ekonomi nasional melalui upaya peningkatan pendapatan negara yang
sedang gencar dilakukan pemerintah.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa sembako yang
menjadi objek pajak adalah sembako premium, bukan sembako lokal yang dijual di pasar
tradisional. Secara konkrit, jenis sembako dikenakan PPN adalah sembako dijual di
supermarket yang sebagian besar hanya dijangkau oleh masyarakat menengah ke atas.

Saran yang bisa diberikan dari permasalahan pajak sembako di atas adalah, dengan
meganalisa rasionalisasi dimana hal yang dimaksud adalah implementasi konsep insentif dan
disentif. Subsidi yang diberikan pemerintah pada beberapa sarana produksi pertanian yang
jumlahnya sangat besar setiap tahunnya, seperti subsidi pupuk pada tahun 2020 sebesar Rp.
29,7 triliun dan sebesar Rp. 25,3 triliun pada tahun 2021, selain bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani (insentif), tetapi juga dalam rangka menghasilkan produk
pertanian dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masayarakat, dengan demikian
pengenaan pajak atas produk sembako premium yang sebagian besar hanya dijangkau
kalangan menengah ke atas menjadi sangat rasional, karena subsidi ini layaknya hanya
diterima oleh masyarakat tidak mampu, melalui pengenaan pajak inilah proses disinsentif
secara tidak langsung dilakukan pemerintah

Anda mungkin juga menyukai