Anda di halaman 1dari 4

PANCASILA ketika dirumuskan dilandasi pemikiran mendasar pentingnya kolektivisme,

kebersamaan, dan kemanusiaan. Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan dasar negara
dengan lima sila, yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat
atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Lima sila tersebut dapat menjadi socio-nationalism, socio-democratie, dan ketuhanan. Yang tiga
ini, diperas menjadi gotong royong. Inilah identitas dan karakter bangsa Indonesia.

Gagasan tersebut disepakati para tokoh bangsa menjadi Pancasila pada 18 Agustus 1945
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip gotong royong yang menjadi spirit
pembentukan Indonesia modern sejatinya tetap menjadi bagian dari praktik politik kebangsaan.

Gotong royong secara fundamental melekat di dalamnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,


keadilan, kebersamaan, dan demokrasi.

Implementasi nilai gotong royong dalam kehidupan bernegara tecermin dari upaya pemerintah
mewujudkan amanah konstitusi, yakni menyejahterakan seluruh warga negara melalui kebijakan
yang berpihak pada kepentingan bersama. Sebab itu, pemerintah dalam pengambilan keputusan
selalu melibatkan partisipasi warga negara yang setara, mandiri dan adil, mengacu prinsip
keadilan, dan gotong royong yang diderivasi dari seluruh sila dalam Pancasila.

Representasi Hak

Saat ini masih ada yang beranggapan pungutan pajak merupakan kewajiban warga negara semata.
Perspektif seperti ini sudah tidak relevan dan perlu disempurnakan karena sejatinya pajak ialah
representasi hak politik, tanggung jawab, dan kepedulian sosial warga negara dalam upaya
mengimplentasikan nilai-nilai luhur Pancasila.

Bukan hanya sila ke-5, melainkan seluruh sila Pancasila. Pajak merupakan implementasi nilai-
nilai Pancasila, yakni kegotong-royongan masyarakat di satu sisi sekaligus instrumen negara
dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di sisi lain.

Dalam teori ekonomi, pajak sebagai peralihan sumber daya ekonomi dari sektor privat ke sektor
publik. Artinya, pajak berfungsi sebagai alat distribusi pendapatan dari sumber daya ekonomi
yang kuat ke kelompok masyarakat ekonomi lemah. Maka itu, negara diminta menyediakan
regulasi yang dapat melahirkan ketertiban dalam pungutan pajak.

Terlihat jelas bentuk kegotong-royongan antarwarga. Secara politik kebangsaan, kesadaran


membayar pajak dimaknai sebagai bentuk komitmen semua elemen bangsa dalam memberikan
dukungan politik ekonomi guna memastikan negara berdaulat secara politik, budaya, dan
ekonomi.

Dari aspek spiritual, pendistribusian pajak dalam bentuk pemerataan hasil-hasil pembangunan
juga mencerminkan kepedulian sosial dari masyarakat mampu ke yang kurang mampu dalam
mewujudkan persatuan Indonesia. Alhasil, pungutan dan pemanfaatan pajak secara adil pada
dasarnya merupakan implementasi sila-sila Pancasila.

Lalu, bagaimana negara melakukan skema penarikan dan pengadministrasian pajak secara adil
dan demokratis?

John Rawls mengajukan dua prinsip keadilan. Pertama, setiap orang harus mempunyai hak yang
sama atas kebebasan dasar sesuai sistem kebebasan yang berlaku untuk orang lain. Kedua,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga kedua ketidaksamaan
itu dapat menguntungkan setiap orang.

Prinsip keadilan menempati posisi tertinggi sebagai nilai utama dari gotong royong sebagai roh
pendirian bangsa. Kebijakan pemerintah harus memperhatikan kepentingan publik sebagai
manifestasi nilai-nilai keadilan. Negara perlu regulasi yang kuat agar memberikan kepastian
hukum dan berkeadilan. Negara mendistribusikan beban pajak secara proporsional sesuai
kapasitas ekonomi warga dalam skema penarikan pajak.

Hal ini perlu karena negara harus menciptakan kehidupan sosial ekonomi yang kondusif agar
warga negara yang memenuhi persyaratan untuk membayar pajak dapat melaksanakan kewajiban
sosialnya dengan tertib dan merasa mendapatkan keadilan.

Untuk menjaga kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, negara dalam
hal ini pemerintah harus mampu membuktikan manfaat membayar pajak bahwa pajak telah
dikelola dan di alokasikan secara transparan, akuntabel, kredibel, dan tepat sasaran.

Untuk menjamin kepastian hukum perpajakan, negara telah membuat UU perpajakan dengan
memisahkan antara ketentuan formal yang tersusun dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan ketentuan materiel, di antaranya UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Namun, dalam praktiknya masih dijumpai banyaknya sengketa perpajakan yang disebabkan
perbedaan pandangan atau interpretasi antara petugas pajak dan wajib pajak. Kondisi ini
memperlihatkan masih terdapat masalah serius yang perlu menjadi diskursus dan penyikapan
bersama. Paling tidak, terdapat tiga masalah penting.
Pertama, narasi UU yang belum jelas bahkan terdapat kerancuan dengan UU lainnya sehingga
menimbulkan multitafsir. Kedua, materi UU yang masih konvensional dan berorientasi pada
pendekatan sanksi sehingga tidak mampu menjawab perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat
yang menuntut efi siensi ekonomi.

Ketiga, otoritas pajak yang masih berpikir sektoral sehingga tidak mampu memahami dinamika
lingkungan politik perpajakan yang berkembang. Beberapa waktu lalu, Perppu No 1/2020 telah
disahkan DPR RI menjadi UU No 2/2020. UU ini terbit lebih disebabkan respons pemerintah
terhadap penanggulangan pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi masyarakat pascapandemi
covid-19.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa pandemi covid-19 telah merusak tatanan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat di Indonesia. Diakui, meskipun pandemi covid-19 baru berlangsung
beberapa bulan di Indonesia, ekonomi nasional memiliki daya rusak yang sangat hebat.

Terbukti, pemerintah telah merilis potensi defisit anggaran mencapai Rp1.042 triliun, atau di atas
5% pagu UU No 20/2020. Langkah-langkah telah diambil pemerintah dalam mengatasi kondisi
ekonomi terpuruk, yaitu banyaknya pemunculan peraturan menteri, seperti Peraturan Menteri
Keuangan yang memberikan sejumlah insentif perpajakan.

Insentif perpajakan di antaranya pembebasan bea masuk, PPN Impor dan PPh Impor untuk
komoditas alat kesehatan dan obat-obatan, pengurangan beban setoran pajak, seperti pengurangan
tarif PPh badan menjadi 22% dan tambahan pengurangan 3% menjadi 19% bagi perusahaan
masuk bursa, pembebasan pajak bagi kelompok UMKM, pemberian pajak ditanggung pemerintah
bagi penghasilan karyawan yang tidak melebihi Rp200 juta per tahun untuk kelompok usaha
tertentu, termasuk KITE dan insentif pajak lainnya.

Tanggung jawab Hal penting yang seyogianya mendapatkan perhatian serius ialah negara
memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar terhadap keberlangsungan kesehatan, sosial, dan
ekonomi seluruh warga negara, tak terkecuali warga negara yang berada di luar Indonesia.

Oleh karena itu, kapasitas keuangan negara menjadi kunci penentu keberhasilan negara keluar
dari krisis multidimensi yang disebabkan pandemi covid-19. Dalam hal ini, negara sangat
memerlukan kontribusi warga negara bergotong-royong, berikhtiar membebaskan beban
kehidupan sosial dan ekonomi yang sangat berat.

Artinya, salah satu kontribusi penting yang diharapkan ialah pembayaran pajak. Melalui pajak
yang diterima, negara akan memiliki kemampuan membantu kelompok masyarakat rentan
ekonomi, seperti bantuan program keluarga harapan, sembako, pelayanan kesehatan, dll.
Kebijakan insentif pajak sebaiknya tidak menghentikan aliran uang masuk ke kas negara di satu
sisi. Di sisi lain, dapat mengurangi beban masyarakat dengan mengakomodasi wajib pajak.

Model kebijakan jalan tengah ini diharapkan dapat mempercepat pengentasan permasalahan
bangsa karena beban dipikul bersama dengan langkah yang sama antara pemerintah dan warga
negara.

Pada tahap inilah, pajak memperlihatkan jati dirinya sebagai kontribusi sosial dan bentuk nyata
kegotong-royongan sebagai instrumen keadilan sosial sebagaimana dimaksudkan dalam makna
Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai