Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Yesika Divania

NIM : 40010417060031
MATA KULIAH : Perpajakan
PRODI : D3 Keuangan Publik

DOMINASI PAJAK DALAM APBN 2018

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 akhirnya mendapat


persetujuan DPR dan menjadi dokumen bersama melanjutkan pembangunan di berbagai
bidang. Pembiayaan dari pajak masih mendominasi penerimaan negara. Dari total pendapatan
negara sebesar Rp 1.894,7 triliun, di antaranya sebesar Rp 1.385,9 triliun atau 73,14 % masih
bersumber dari pajak.
Jika diamati dominasi pajak dalam APBN tiga tahun terakhir, 2016-2018, tampak
kenaikan pajak dari pendapatan negara semakin tinggi. Tahun 2016 hanya sekitar 68,76%,
tahun 2017 sekitar 71,52% dan tahun 2018 sebesar 73,14%. Itu menunjukkan pajak masih
amat dominan jadi sumber pendapatan untuk kelanjutan pembangunan.
Kalau begitu, institusi Ditjen Pajak mesti tetap jadi perhatian utama Presiden dengan segala
kelemahannya, termasuk pembenahan peraturan perundang-undangannya. Agenda reformasi
perpajakan mesti terus dijalankan dengan dukungan semua pemangku kepentingan, sesuai
dengan lingkungan bisnis baik nasional maupun global yang sangat dinamis.
Setelah pemerintah sukses menerapkan program tax amnesty (pengampunan pajak)
pada tahun 2016, tahun 2017 menjadi tantangan khusus karena penerimaan pajak belum
menggembirakan. Hingga September 2017 misalnya, penerimaan pajak masih 60% dari
target APBN-P sebesar Rp 1.283,5 triliun. Sisa waktu tiga bulan tentu perlu extra
effort supaya sasaran target bisa dipenuhi, tetap dalam koridor hukum (pajak) yang berlaku.
Sekalipun ada kebijakan baru dengan terbitnya UU No 9 tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, regulasi tersebut boleh jadi belum
memberi dampak bagi penerimaan tahun ini. Aturan yang menerobos norma rahasia pada
beberapa UU (seperti UU Perbankan dan UU Pasar Modal), belum memperlihatkan
dampaknya pada realisasi pajak yang diharapkan.
Aturan akses informasi perlu waktu lama. Sementara target pajak tahun 2017 semakin
dekat waktunya. Namun demikian, sikap optimisme dan langkah positif lain perlu
ditanamkan ke seluruh jajaran pegawai Ditjen Pajak. Perhatian Presiden secara serius patut
diberikan kepada institusi Ditjen Pajak karena memang seperti itu kondisinya, mengingat
pajak merupakan tanggung jawab negara.
Sekalipun pembangunan berbagai infrastruktur terus dijalankan pemerintah, Presiden
Jokowi tampaknya menghendaki pendanaannya bukan berasal dari APBN (non APBN).
Pendanaan via konsorsium adalah satu alternatif yang dimungkinkan. Jika itu terjadi berarti
dana APBN lebih banyak dialokasikan untuk keperluan yang dibutuhkan langsung untuk
kepentingan rakyat, sejalan dengan tujuan pemungutan pajak untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini wajib diwujudkan secara nyata.

Kebutuhan rakyat menjadi pemikiran yang mesti diutamakan oleh pemerintah.


Pemenuhan kebutuhan rakyat yang primer mesti dijalankan dengan seadil-adilnya.
Ketersediaan segala macam sarana pendidikan sekolah secara nyata menjadi jalan utama
mempercepat pemintaran rakyat untuk kemajuan bangsa.
Pemenuhan kebutuhan rakyat adalah tugas pokok pemerintah yang sudah dipilih rakyat
melalui pemilu. Tesis sederhananya sudah dinyatakan bahwa membentuk negara adalah
membawa kepentingan bersama. Sering disebut sebagai ‘kehendak kolektif’ atau
‘kepentingan kolektif’ (Hans Kelsen, 1971, 265-266). Kehendak kolektif itu dapat terwujud
melalui tatanan hukum yang merupakan kehendak bersama.
Pemenuhan kebutuhan rakyat hanya dapat dijalankan oleh negara yang diwakili
pemerintahnya. Kalau begitu, Presiden Jokowi mesti mengawasi pelaksanaan APBN agar
betul-betul digunakan bagi kepentingan kolektif, setiap rupiah wajib dipertanggungjawabkan
untuk kepentingan rakyat secara nyata. Ragam proyek pembangunan harus dirasakan
manfaatnya secara kolektif, bukan sekelompok tertentu.
Tidak berlebihan dan merupakan kewajiban jika penulis mengingatkan para pengguna
dana APBN di setiap lini untuk selalu fokus pada tujuan hidup bernegara seperti dinyatakan
John Locke yakni terselenggaranya hak-hak asasi manusia (Nomensen Sinamo, 2011-69).
Salah satunya adalah mendapatkan pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 28C UUD
1945. Ingat, dunia pendidikan kita sangat tertinggal jauh dari negara-negara lainnya, bahkan
dengan negara tetangga.
Begitu banyak kebutuhan hak asasi manusia yang mesti dipenuhi negara atau
pemerintahan Jokowi saat ini. Jika dirunut, ternyata pemenuhan kebutuhan tersebut
memerlukan banyak dana, yang tidak lain berasal dari pajak serta sumber pendapatan lainnya.
Dapat dipahami bahwa persoalan pemenuhan kebutuhan rakyat tidak mudah. Dana
APBN kerap jadi sasaran jika tidak tepat penggunaannya. Pajak boleh jadi bagian yang
dipersoalkan jika tidak bisa memenuhi target yang sudah ditentukan. Masih ingat di benak
rakyat Indonesia bahwa dana APBN yang notabene dari pajak disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi, kelompok seperti kasus E-KTP, kasus pengadaan Alquran pada
Kementerian Agama dan lain sebagainya. Karenanya, berbagai pihak patut melakukan
rembug dan mencari solusi bersama, sebab kepentingan kolektif adalah kepentingan yang
memiliki kebutuhan sama pada setiap orang, dan karena itulah kita bernegara.

Dalam diskusi kecil dengan sesama dosen dan para pengamat, penulis teringat satu
pendapat rekan yang menyatakan bahwa pajak adalah satu-satunya lembaga yang dapat
memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi pemenuhan kepentingan bersama. Di luar pajak,
tidak ditemukan cara lain. Lembaga koperasi maupun perbankan bahkan pasar modal, jelas
tidak dapat mewujudkannya.

Pendapat tersebut adalah tepat sebab kebutuhan APBN pun masih ditopang dengan
besaran paling besar dari pajak. Bahkan dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, pajak
tetap jadi andalan APBN. Pajak adalah kepentingan kolektif yang tidak bisa dihindarkan.
Kepentingan kolektif tidak boleh dihancurkan oleh kepentingan perseorangan atau
kepentingan kelompok tertentu. Ragam proyek yang berasal dari APBN tidak bisa dijalankan
pada tataran mementingkan sekelompok orang. Lahan korupsi dana APBN harus diawasi
ketat oleh kita semua. KPK serta penegak hukum lainnya mesti bertindak cepat agar sasaran
APBN terwujud untuk kepentingan kolektif.
Kesadaran penuh pemangku kepentingan pada tujuan bernegara hendaknya menjadi
satu langkah mulia untuk mewujudkan kepentingan itu. Pembersihan dengan cara hukum
(baik pencegahan maupun penindakan) harus dijalankan terus, tanpa pandang bulu. Negara
harus menjalankannya, karena untuk itu hakikat negara ada. Pembentukan negara sedari awal
ditujukan memberikan keadilan dan kesejahteraan. Tetapi tujuan itu tidak bisa diraih tanpa
dana. Kalau begitu, lagi-lagi mesti dipahami dana yang diperoleh dari pajak serta sumber
dana lainnya menjadi cara mudah memahami kenapa kita hidup bernegara.
Simpulan
Dari uraian di atas, tiga hal pokok perlu pemahaman lebih jauh. Pertama,
perencanaan kebutuhan dana dan penggunaannya (dalam APBN) merupakan cara agar negara
dapat melaksanakan tugasnya memberi kesejahteraan kepada rakyat. Kedua, dana pajak yang
diperoleh dari rakyat harus ada jaminan dari pemerintah bahwa digunakan penuh dan
dirasakan nyata untuk kepentingan rakyat.
Efisiensi pengeluaran negara perlu mendapat perhatian serius. Mencermati
peningkatan belanja pegawai yang terus meningkat yang tidak berbanding linear dengan
peningkatan kinerja, sungguh amat menyakiti rakyat. Dengan kata lain, terjadi pembiaran
pemborosan dana APBN. Hal ini harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, jika tidak,
tentu kepercayaan publik (public trust) akan menurun, khususnya bagi masyarakat pembayar
pajak. Ini merupakan tantangan sejak dahulu yang belum ada solusi nyata. Ketiga, diperlukan
kesadaran khususnya bagi pembayar pajak agar pemenuhan kebutuhan dapat dijalankan
sesuai amanat konstitusi yang menjadi kesepakatan bersama.

Wirawan B Ilyas, Advokat, Akuntan Publik, Dosen Magister Akuntansi Universitas Katolik
Atma Jaya, Jakarta

Sumber : https://id.beritasatu.com/home/dominasi-pajak-dalam-apbn-
2018/167744

Anda mungkin juga menyukai