Anda di halaman 1dari 23

PEMBAHASAN

11.1 KEBIJAKAN FISKAL


11.1.1. Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintahan untuk
mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau yang
diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintahan (Rahardja P,2005). Menurut Tulus TH Tambunan, kebijakan fiskal
memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan
dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN
terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang
kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.
11.1.2. Jenis-Jenis Kebijakan Fiskal
Jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam kebijakan anggaran yaitu:
1. Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance), yaitu kebijakan
yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak
langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan
kesempatan kerja.
2. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach), yaitu kebijakan
untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk
mencapai ekonomi yang mantap.
3. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget), yaitu kebijakan
yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan
manfaat dari berbagai program.

11.2 POLA PENERIMAAN NEGARA


Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Penerimaan negara
merupakan salah satu dari sumber pendapatan negara. Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara berasal dari
penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Apabila
ditinjau dari pos APBN, penerimaan negara terdiri atas penerimaan dalam negeri
serta hibah. Adapun penerimaan dalam negeri dapat digolongkan menjadi dua jenis,
yakni penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak.

11.2.1 Penerimaan Dalam Negeri


Penerimaan dalam negeri merupakan seluruh penerimaan negara yang berasal dari
penerimaan perpajakan maupun penerimaan bukan pajak.

a. Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan
pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional. Pendapatan pajak
dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak
penghasilan (PPH), pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPN) dan
pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pendapatan pajak bumi dan bangunan
(PBB), pendapatan cukai, serta pendapatan pajak lainnya. Sedangkan, pendapatan pajak
perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Tabel 1 Realisasi Penerimaan Pajak

● Penerimaan pajak pada masa pandemi Covid-19


(Tahun 2019-2020)
Realisasi penerimaan pajak dari tabel 1 pada tahun 2020 secara umum lebih rendah
dari 2019 pada periode yang sama. Artinya jumlah tersebut lebih rendah sebesar 19,67
% atau sebesar Rp 262,08 triliun dari tahun 2019. Secara keseluruhan, penerimaan jenis
pajak seperti PPh, PPN & PPnBM, dan PBB serta Pajak Lainnya juga mengalami
penurunan bila dibandingkan tahun lalu. Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tahun
2020 mengalami penurunan bila dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama
dengan tumbuh negatif 22,91%. Penurunan penerimaan PPh terjadi baik pada sektor
migas maupun non-migas, sektor migas tumbuh negatif 43,84% dan sektor non-migas
tumbuh negatif 21,17% jika kita bandingkan dengan tahun 2019. Jika dilihat dengan
Rupiah, realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tahun 2020 mengalami
penurunan sebesar Rp 176,44 triliun jika kita bandingkan dengan tahun 2019.
Penurunan penerimaan pajak tahun 2020 juga terjadi pada kategori PPN & PPnBM dan
PBB serta Pajak Lainnya. Penerimaan PPN & PPnBM tahun 2020 menurun 15,86%
atau sebesar Rp 84,52 triliun jika kita bandingkan dengan tahun 2019. PBB dan Pajak
Lainnya juga mengalami penurunan pada tahun 2020 sebesar 3,92% atau sebesar
Rp1,13 triliun.

● Penerimaan pajak pada masa pandemi Covid-19


(Tahun 2021-Sekarang)
Melonjaknya kasus Covid-19 belakangan ini membuat pemerintah mengambil
tindakan dengan melakukan pembatasan aktivitas masyarakat dan berpengaruh
terhadap penerimaan negara pada tahun ini. Pemerintah memprediksi shortfall (selisih
kurang antara realisasi dan target) penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 53,3 triliun .
Sebagai informasi tambahan, shortfall merupakan sebuah keadaan atau kondisi ketika
realisasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Perubahan. Prediksi ini dinilai bisa semakin melebar apabila
pemerintah memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM), dikarenakan pandemi Covid-19 ini dinilai sudah menjadi
tantangan berat bagi perekonomian negara sejak tahun lalu serta membuat penerimaan
dari sisi perpajakan menurun dikarenakan penghasilan wajib pajak juga menurun.
Awalnya, pemerintah cukup optimis terkait penerimaan negara dari sisi perpajakan
pada tahun ini. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia,
memproyeksi bahwa penerimaan pajak pada sepanjang tahun ini akan mengalami
pertumbuhan hingga 9,7%. Dan secara nominal, diperkirakan untuk penerimaan pajak
akan mencapai Rp 1.176,3 triliun atau sebesar 95,7% dari target Rp 1.229,6 triliun.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan selama semester I tahun 2021, untuk
penerimaan pajak mencapai Rp 557,8 triliun. Faktanya, penerimaan pajak telah
mencapai sebesar 45,36% terhadap target dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun 2021. Realisasi dari penerimaan pajak ini tumbuh sebesar 4,89%. Dan
secara nominal, penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) masih
menjadi sumber utama dari penerimaan pajak. Kontribusi untuk masing-masing adalah
sebesar 58,35% dan 39,02% terhadap total penerimaan pajak hingga akhir Juni 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menjelaskan bahwa ada potensi di mana
target penerimaan pajak meleset dari target yang disebabkan karena melonjaknya kasus
Covid-19 dan juga penerapan PPKM darurat yang berpengaruh terhadap penerimaan
negara.
Adapun jenis-jenis pajak yang dikategorikan sebagai pajak pusat, yaitu:
1. Pajak Penghasilan (PPh). PPh merupakan pajak yang ditanggung orang pribadi
atau badan atas penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak jenis ini berlaku pada konsumsi barang
kena pajak atau jasa di dalam lingkup pabean.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pajak PPnBM berlaku pada
barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok atau tersier, dikonsumsi
masyarakat tertentu atau masyarakat berpenghasilan tinggi, barang yang
menunjukan status seseorang, atau dapat merusak kesehatan serta moral
masyarakat.
4. Bea Materai. Penarikan pajak ini berlaku atas pemanfaatan dokumen, seperti
akta notaris, surat perjanjian, surat berharga, kwitansi pembayaran, dan efek
yang menerbitkan nominal dengan jumlah tertentu.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak yang diberlakukan untuk kepemilikan
atau pemanfaatan suatu tanah atau bangunan. Walau di pusat, hampir semua
realisasi penerimaan PBB ini diserahkan ke daerah.

b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)


Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP
adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan. UU tersebut juga menyebutkan kelompok PNBP meliputi:
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Jenis PNBP menurut PP Nomor 35 Tahun
2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP adalah sebagai berikut.
1. Penerimaan Sumber Daya Alam
Penerimaan Sumber Daya Alam terdiri atas pendapatan Sumber Daya Alam (SDA)
migas yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerjasama pengelolaan sektor
hulu migas dan SDA non-migas yang diperoleh dari hasil pertambangan umum,
kehutanan, periklanan, dan panas bumi.
2. Pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Pendapatan ini merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham
BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba
bersih (pay-out ratio). Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan
dan non perbankan.
3. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya
PNBP lainnya ini meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh
Kementerian Negara/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Pungutan dilakukan oleh instansi pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian atau Lembaga tertentu.
4. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)
Pendapatan BLU diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan
kepada masyarakat. Pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU dapat
langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, jenis dan tarif PNBP
BLU tidak ditetapkan melalui PP melainkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan terhadap keuangan negara,


terutama dari sisi target penerimaan negara Indonesia. Peraturan Presiden (Perpres)
nomor 72 Tahun 2020 diterbitkan untuk merevisi target penerimaan negara. Menurut
peraturan tersebut, pandemi Covid-19 diperkirakan akan menyusutkan penerimaan
negara sebesar Rp 60,9 triliun di tahun 2020. Akibat Covid-19, target pagu PNBP
diproyeksikan berkurang Rp 3,6 triliun, sehingga target PNBP tahun 2020 menjadi
sebesar Rp 294,1 triliun. Jumlah pengurangan ini setara dengan 1,2% dari total target
awal PNBP. Namun demikian, data Kementerian Keuangan memperlihatkan realisasi
PNBP sebesar Rp 343,8 triliun pada tahun tersebut. Jumlah ini melampaui target yang
telah ditetapkan yaitu sebesar Rp 294,1 triliun (116,9%). Fakta yang menarik yaitu
bahwa realisasi PNBP tahun 2020 melebihi target, sesuai Perpres nomor 72 tahun 2020,
sebesar Rp 49,7 triliun. Realisasi PNBP tersebut nilainya jauh melebihi pemotongan
pagu target PNBP tahun 2020 yaitu Rp 3,6 triliun. Lebih jauh lagi, jumlah realisasi
PNBP mendekati jumlah total anggaran pendapatan negara yang diproyeksikan akan
terimbas pandemi Covid-19 ditahun yang sama yakni Rp 60,9 triliun. Secara sekilas,
terlihat bahwa PNBP mampu menunjukkan kinerja yang optimal di tengah Pandemi
Covid-19.
11.2.2 Penerimaan Hibah
Hibah merupakan penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan,
rupiah, barang, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah dan
tidak perlu dibayar kembali, berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Hibah dalam
negeri berasal dari lembaga keuangan dalam negeri, lembaga non-keuangan dalam
negeri, pemerintah daerah, serta perusahaan asing yang berdomisili dan melakukan
kegiatan di wilayah Indonesia. Sedangkan, hibah luar negeri bersumber dari negara
asing, lembaga di bawah naungan PBB, lembaga multilateral, lembaga keuangan asing,
dan lembaga non-keuangan asing Selanjutnya, hibah digunakan untuk mendukung
seluruh program yang telah direncanakan oleh pemerintah, termasuk pembangunan
nasional hingga penanggulangan
bencana alam dan bantuan kemanusiaan.
Adapun jenis-jenis hibah, adalah:
1. Hibah Terencana. Hibah jenis ini dijalankan melalui mekanisme perencanaan
dan dicatat dalam Daftar Rencana Kegiatan Hibah (DRKH).
2. Hibah Langsung. Hibah jenis ini juga disebut sebagai hibah non-DRKH, yaitu
hibah yang dilaksanakan tanpa melalui mekanisme perencanaan.
3. Hibah melalui KPPN. Hibah melalui KPPN, untuk proses penarikannya,
dilaksanakan di Bendahara Umum negara (BUN) atau Kantor Pelayanan
Perbendaharaan negara (KPPN).
4. Hibah tanpa melalui KPPN. Sesuai namanya, proses penarikan dana hibah jenis
ini tidak dilaksanakan di BUN maupun KPPN.
5. Hibah Dalam Negeri. Hibah ini berasal dari lembaga keuangan dan
nonkeuangan dalam negeri, pemerintah daerah, perusahaan asing yang
berdomisili dan beroperasi di Indonesia, serta lembaga lain maupun perorangan.
6. Hibah Luar Negeri. Hibah yang diberikan oleh negara asing, lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga keuangan asing, lembaga
multilateral, lembaga non keuangan asing, lembaga keuangan berdomisili dan
beroperasi di luar negeri, dan perorangan.

11.3 POLA PENGELUARAN NEGARA


Adanya pengeluaran negara karena ada kegiatan pemerintah yang akan dilakukan
berkaitan dengan fungsi yang dijalankan oleh pemerintah dan tujuan yang ingin dicapai
oleh pemerintah, yaitu kemakmuran dan keamanan dalam masyarakat, semakin banyak
kegiatan yang dilakukan pemerintah maka pengeluaran negara akan semakin besar. Untuk
mencapai tujuan tersebut pemerintah akan menggunakan barang dan jasa dengan berbagai
bentuk termasuk uang, penggunaan uang untuk melaksanakan fungsi pemerintah iniliah
yang dimaksud dengan pengeluaran.
11.3.1. Macam-macam Pengeluaran Negara
Menurut macamnya, pengeluaran negara dibedakan menjadi 2, yaitu menurut
organisasi dan menurut sifat. Menurut organisasi, pengeluaran negara digolongkan
menjadi 3, yakni :
1. Pemerintah Pusat
Dalam pemerintah pusat, terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yaitu dana yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam APBN, pengeluaran Pemerintah Pusat dibedakan menjadi 2 yang meliputi
pengeluaran untuk belanja dan pengeluaran untuk pembiayaan.

2. Pemerintah Provinsi
Jika pada pemerintah pusat terdapat APBN, maka di pemerintah provinsi
terdapat APBD yang merupakan hasil dari dana alokasi APBN dari pemerintah
pusat dan hasil dari pungutan pajak dari masyarakat. Dana APBN digunakan untuk
pengeluaran untuk belanja meliputi belanja operasi dan belanja modal. Belanja
operasi berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan,
belanja perjalanan dinas, belanja pinjaman, belanja subsidi, belanja hibah, belanja
bantuan sosial, dan belanja operasi lainnya. Sedangkan belanja modal seperti
belanja aset tetap, belanja aset lain-lain, dan belanja tak terduga.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota
APBD dalam Kabupaten/Kota digunakan antara lain untuk pengeluaran untuk
belanja, bagi hasil pendapatan ke Desa/Kelurahan, bagi hasil pendapatan ke
desa/kelurahan, terdiri dari bagi hasil pajak ke Desa/Kelurahan, bagi hasil retribusi
ke Desa/Kelurahan, bagi hasil pendapatan lainnya ke Desa/Kelurahan, pengeluaran
untuk Pembiayaan, terdiri dari, pembayaran pokok pinjaman, penyertaan modal
pemerintah, pemberian pinjaman kepada BUMD/BUMN/Pemerintah Pusat/Kepala
Daerah otonom lainnya.
Sedangkan menurut sifatnya, pengeluaran negara dibedakan menjadi 5 yaitu sebagai
berikut:
1. Pengeluaran Investasi
Pengeluaran investasi adalah pengeluaran yang ditujukan untuk menambah
kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa datang. Misalnya, pengeluaran untuk
pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, satelit, peningkatan kapasitas SDM,
dan lainnya.
2. Pengeluaran Penciptaan Lapangan Kerja
Pengeluaran untuk menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan
kegiatan perekonomian masyarakat.
3. Pengeluaran Kesejahteraan Rakyat
Pengeluaran kesejahteraan rakyat adalah pengeluaran yang mempunyai pengaruh
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, atau pengeluaran yang dan membuat
masyarakat menjadi bergembira. Misalnya pengeluaran untuk pembangunan tempat
rekreasi, subsidi, bantuan langsung tunai, dan bantuan korban bencana.
4. Pengeluaran Penghematan Masa Depan
Pengeluaran penghematan masa depan adalah pendapatan yang tidak memberikan
manfaat langsung bagi negara, namun bila dikeluarkan saat ini akan mengurangi
pengeluaran pemerintah yang lebih besar di masa yang akan datang. Misalnya
Pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat, pengeluaran untuk anak-
anak yatim, dan lainnya.
5. Pengeluaran Yang Tidak Produktif
Pengeluaran yang tidak produktif adalah pengeluaran yang tidak memberikan
manfaat secara langsung kepada masyarakat, namun diperlukan oleh pemerintah.
Misalnya pengeluaran untuk biaya perang.

11.3.2 Pengeluaran Negara


Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) Indonesia, Pengeluaran
negara atau pemerintah dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran yang
dimasukkan sebagai kelompok belanja dan pengeluaran yang dimasukkan sebagai
kelompok pengeluaran pembiayaan.
1. Belanja Negara
Menurut UU No.17 Tahun 2003, belanja negara adalah semua kewajiban
pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Jadi,
belanja negara merupakan pengeluaran kas umum negara yang dapat
mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan
yang tidak akan mendapat pembayaran kembali.
a. Belanja Pemerintah Pusat
1) Pengeluaran Rutin
Pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan, baik pusat maupun daerah, serta
untuk memenuhi kewajiban atas hutang dalam negeri dan luar
negeri. Adapun jenis-jenis belanja rutin yaitu sebagai berikut:
● Belanja pegawai
Kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan
kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan pensiunan serta sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka
mendukung fungsi dan tugas unit organisasi pemerintah.
● Belanja barang
Pengeluaran untuk pembelian barang atau jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang atau jasa yang dipasarkan maupun yang
tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk
diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria belanja
bantuan sosial serta belanja perjanjian.
● Belanja modal
Pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset atau menambah nilai
aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
● Pembiayaan bunga utang
Pembayaran kewajiban atas penggunaan pokok utang , baik dalam
negeri maupun luar negeri.
● Subsidi
Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga untuk
memproduksi , menjual, mengekspor atau mengimpor barang atau
jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa
sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
● Belanja hibah
Belanja pemerintah pusat dalam bentuk transfer uang/barang kepada
pemerintah negara lain, organisasi internasional, BUMN/D, dan
pemerintah daerah yang bersifat sukarela, tidak wajib, tidak
mengikat, dan tidak perlu dibayar kembali serta tidak terus menerus
dan dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan
penerima hibah dengan pengalihan hak dalam bentuk uang, barang,
atau jasa
● Bantuan sosial
Transfer uang atau barang yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat/Daerah kepada masyarakat guna melindungi dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial
● Belanja lain-lain
Pengeluaran negara untuk pembayaran atas kewajiban pemerintah
yang tidak masuk dalam kategori belanja pegawai, belanja barang,
belanja modal, belanja bunga utang, belanja subsidi, belanja hibah,
dan belanja bantuan sosial serta bersifat mendesak dan tidak dapat
diprediksi sebelumnya

2) Pengeluaran pembangunan
Pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembagunan.
Yang termasuk pengeluaran pembangunan,yaitu:
● Pembiayaan pembangunan rupiah
● Pembiayaan Proyek
b. Dana yang dialokasikan ke daerah (Transfer daerah)
1) Dana Perimbangan
● Dana bagi hasil
Pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah atas
penerimaan negara yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat berdasarkan besaran alokasi yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
● Dana alokasi umum
Pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk
pendanaan kebutuhan operasional rutin pemerintah daerah.
● Dana alokasi khusus
Pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk
pendanaan kegiatan-kegiatan daerah yang bersifat prioritas.
2) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Belanja Operasi dan
Belanja Modal
Belanja:
● Pelayanan umum ● Kesehatan
● Pertahanan ● Ketertiban dan
● Pariwisata, keamanan
budaya, dan ● Ekonomi
agama ● Pendidikan
● Lingkungan hidup ● Perlindungan
● Perumahan dan sosial
fasilitas umum
2. Pengeluaran Pembiayaan
a) Pengeluaran Obligasi Pemerintah
b) Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri
c) Pembayaran Lain-lain
11.3.3 Pengaruh Pengeluaran Negara Terhadap Perekonomian
Dalam pengeluaran negara, dapat menimbulkan dampak atau pengaruh terhadap
perekonomian. Ada beberapa sektor perekonomian yang umumnya terpengaruh
oleh besar atau kecilnya pengeluaran negara, antara lain :
1) Sektor Produksi
Pengeluaran negara secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap sektor produksi barang dan jasa. Dilihat secara agregat pengeluaran
negara merupakan faktor produksi (money), melengkapi faktor-faktor produksi
yang lain (man, machine, material, method, management). Pengeluaran
pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa akan berpengaruh secara langsung
terhadap produksi barang dan jasa yang dibutuhkan pemerintah. Pengeluaran
pemerintah untuk sektor pendidikan akan berpengaruh secara tidak langsung
terhadap perekonomian, karena pendidikan akan menghasilkan SDM yang lebih
berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas produksi akan meningkat.
2) Sektor Distribusi
Pengeluaran negara secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap sektor distribusi barang dan jasa. Misalnya, subsidi yang diberikan
oleh masyarakat menyebabkan masyarakat yang kurang mampu dapat
menikmati barang/jasa yang dibutuhkan, misalnya subsidi listrik dan pupuk.
Pengeluaran pemerintah untuk biaya pendidikan SD-SLTA membuat
masyarakat kurang mampu dapat menikmati pendidikan yang lebih baik (paling
tidak sampai tingkat SLTA). Dengan pendidikan yang lebih baik, diharapkan
masyarakat tersebut dapat meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan
datang. Apabila. pemerintah tidak mengeluarkan dana untuk keperluan tersebut,
maka distribusi pendapatan, barang, dan jasa akan berbeda. Hanya masyarakat
mampu saja yang akan menikmati tingkat kehidupan yang lebih baik, sementara
masyarakat kurang mampu tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
taraf hidupnya.
3) Sektor Konsumsi Masyarakat
Pengeluaran negara secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap sektor konsumsi masyarakat atas barang dan jasa. Dengan adanya
pengeluaran pemerintah untuk subsidi, tidak hanya menyebabkan masyarakat
yang kurang mampu dapat menikmati suatu barang/jasa, namun juga
menyebabkan masyarakat yang sudah mampu akan mengkonsumsi produk/jasa
lebih banyak lagi. Kebijakan pengurangan subsidi, misalnya BBM, akan
menyebabkan harga BBM naik, dan kenaikan harga BBM akan menyebabkan
konsumsi masyarakat terhadap BBM turun.
4) Sektor Keseimbangan Perekonomian
Dalam kebijakan fiskalnya pemerintah dapat memperbaiki dan memelihara
keseimbangan perekonomian dan meningkatkan pendapatan nasionalnya
melalui target peningkatan PDB, pemerintah dapat mengatur alokasi dan tingkat
pengeluaran negara. Misalnya dengan mengatur tingkat pengeluaran negara
yang tinggi (untuk sektor-sektor tertentu), pemerintah dapat mengatur tingkat
employment (menuju full employment). Apabila target penerimaan tidak
memadai untuk membiayai pengeluaran tersebut, pemerintah dapat
membiayainya dengan pola defisit anggaran.

11.3.4 Dampak Pandemi terhadap APBN dan Pengeluaran Negara


APBN menjadi salah satu instrumen utama yang memiliki dimensi dampak yang
sangat luas baik dalam melanjutkan penanganan di bidang kesehatan, melindungi
masyarakat yang rentan, dan dalam mendukung proses pemulihan perekonomian
nasional pada tahun 2021. Oleh sebab itu, APBN 2021 akan melanjutkan kebijakan
countercyclical yang ekspansif dan konsolidatif dengan memperhatika n
fleksibilitas dalam merespons kondisi perekonomian dan mendorong pengelolaan
fiskal yang prudent dan berkelanjutan. Prioritas pembangunan nasional pada 2021
tidak hanya fokus kepada bidang kesehatan, tapi juga kepada pendidikan, teknologi
informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, perlindungan sosial, infrastruktur
dan pariwisata.

Sebagai konsekuensi dari besarnya kebutuhan countercyclical pemulihan


ekonomi di tahun 2020 dan 2021 serta upaya-upaya penguatan fondasi
perekonomian, maka menjadi hal yang wajar jika defisit APBN pada 2021 masih
diperlukan hingga melebihi 3% dari PDB dengan tetap menjaga kehati-hatian,
kredibilitas, dan kesinambungan fiskal. Saat ini pemerintah dan DPR telah
menyetujui postur APBN 2021 dengan defisit anggaran terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) di angka 5,7% atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Meski demikian, defisit
anggaran APBN 2021 menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres
Nomor 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB.
Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa defisit ini sejalan
dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi
nasional ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Besaran defisit
tersebut juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara
bertahap kembali menuju batasan maksimal 3,0 persen PDB pada 2023. Hal ini
sejalan dengan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Postur APBN 2021 dari sisi kebijakan pendapatan negara, saat ini pemerintah
berupaya untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara melalui perluasan basis
pajak sekaligus mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional, melalui
pemberian insentif sejalan dengan upaya reformasi di bidang perpajakan dan PNBP.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2021 tersebut, pendapatan negara
ditetapkan sebesar Rp1.743,65 triliun yang berasal dari pendapatan dalam negeri
Rp1.742,75 triliun dan penerimaan hibah Rp 0,9 triliun. Pendapatan dalam negeri
diperoleh dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.444,54 triliun dan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp298,2 triliun. Sementara itu, alokasi belanja negara
mencapai Rp2.750,0 triliun atau 15,6% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Belanja diarahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan prioritas
pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, teknologi informasi dan
komunikasi, infrastruktur, ketahanan pangan, pariwisata, dan perlindungan sosial.
Secara umum, pemerintah tetap akan melanjutkan program pemulihan ekonomi
nasional (PEN) 2021 dengan fokus kepada dukungan penanganan kesehatan,
perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga dan pemda, UMKM,
pembiayaan korporasi, dan insentif usaha.

11.4 KEBIJAKAN PERPAJAKAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH


11.4.1 Kebijakan Perpajakan
Kebijakan pajak atau tax policy merupakan pilihan pemerintah tentang jenis
pajak yang akan dipungut, termasuk jumlah dan sasaran dari kebijakan tersebut.
Kebijakan pajak memiliki aspek mikroekonomi dan makroekonomi. Dimana, pada
aspek ekonomi makro menyangkut jumlah keseluruhan pajak yang dipungut dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi, ini adalah salah satu komponen kebijakan fiskal.
Pada aspek ekonomi mikro menyangkut masalah keadilan dan efisiensi alokasi, yaitu
pajak mana yang akan memiliki efek distorsi atau ketidaksempurnaan pasar pada
berbagai jenis kegiatan ekonomi.

11.4.2 Paket Kebijakan Perpajakan terkait Kemudahan Ekonomi Masa Pandemi


Covid-19
Ketika suatu negara mengalami kondisi krisis, maka akan serta merta mengakibatkan
perubahan signifikan pada penerimaan negara. Di waktu yang bersamaan, negara juga
perlu mengambil langkah cepat untuk mengupayakan stabilitas. Stabilisasi tersebut
dapat berupa pemberian stimulus fiskal hingga berbagai kemudahan bagi sektor
finansial (IMF, 2009). Disisi lain, pemerintah juga perlu memangkas belanja atau
mengalihkan (refocusing) anggaran kepada bidang yang terdampak baik secara
langsung, maupun tidak langsung. Ketika refocusing dilaksanakan, pekerjaan tambahan
lainnya adalah menyusun skenario pasca krisis (Tandberg & Allen, 2020). Berikut
adalah gambaran kebijakan insentif yang ditawarkan oleh berbagai lembaga
internasional. Tingkatan pada gambar berikut adalah tingkatan "favorable" suatu
kemudahan yang ditawarkan oleh pemerintah, dimana kemudahan dalam tingkat yang
less favorable menyangkut pada hal administrasi, sementara yang favorable
menyangkut lebih dari sekedar kewajiban administrasi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan insentif fiskal
sebagai instrumen relaksasi untuk mengurangi dampak pandemi, selain refocusing
anggaran. Pada 23 Maret 2020, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak
mengumumkan kepada publik berbagai kebijakan perpajakan. Hal tersebut dituangkan
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP. 156/PJ/2020 Tentang Kebijakan
Perpajakan Sehubungan dengan Penyebaran Wabah Virus Corona 2019. Kebijakan ini
mengatur berbagai perubahan kewajiban administrasi perpajakan sebagaimana
sediakala yang merupakan kewajiban rutin tahunan bagi wajib pajak. Adapun kebijakan
tersebut yang memberikan kelonggaran bagi wajib pajak baik kepada orang pribadi
maupun badan usaha mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagai dampak dari pandemi, terhitung sejak 14 Maret 2020 hingga 30 April
2020 ditetapkan sebagai masa force majeur. Dengan demikian, kewajiban
penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Orang Pribadi tahun
pajak 2019 yang sebelumnya harus disampaikan pada akhir Maret 2020
diperpanjang hingga 30 April 2020 dan diberlakukannya penghapusan sanksi
atas keterlambatan.
2. Bagi wajib pajak yang merupakan peserta tax amnesty dan memiliki kewajiban
menyampaikan laporan realisasi penambahan investasi dan harta, maka atas
pelaporan tersebut diberikan perpanjangan hingga 30 April 2020.
3. Wajib pajak yang seharusnya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
pemotongan/pemungutan masa pajak Februari 2020 yang seharusnya
disampaikan pada Maret 2020 dapat disampaikan hingga April 2020 tanpa
dikenakan saksi
4. Pengajuan upaya hukum yang batas pengajuannya pada rentang waktu 15 Maret
2020 hingga 30 April 2020 diberikan perpanjangan waktu hingga 31 Mei 2020.
Upaya hukum tersebut berupa permohonan keberatan, pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
atau surat tagihan pajak.

11.3 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah


telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran
pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah juga dapat
dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu teori makro dan teori mikro.

1. Teori Makro

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya
kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan
banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang
bersangkutan. Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos
utama yang dapat digolongkan sebagai berikut: (Boediono, 1999)

● Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa.


● Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai Perubahan gaji pegawai
mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi, di mana perubahan gaji
pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara tidak langsung
● Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment. Transfer payment bukan
pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar barang melainkan mencatat
pembayaran atau pemberian langsung kepada warganya yang meliputi misalnya
pembayaran subsīdi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan
masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untu pinjaman
pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis transfer payment mempunyai
status dan pengaruh yang sama dengan pos gaji pegawai meskipun secara
administrasi keduanya berbeda.

a) Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah


Model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap
lanjut Pada tahap awal terjadinya perkembangan ekonomi, presentase investasi
pemerintah terhadap total investasi besar karena pemerintah harus menyediakan
fasilitas dan pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, transportasi. Kemudian pada
tahap menengah terjadinya pembangunan ekonomi, investasi pemerintah masih
diperlukan untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat semakin
meningkat, tetapi pada tahap ini peranan investasi swasta juga semakin besar.
Sebenarnya peranan pemerintah juga tidak kalah besar dengan peranan swasta.
Semakin besarnya peranan swasta juga banyak menimbulkan kegagalan pasar yang
terjadi.
b) Teori Adolf Wagner

Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan


pemerintah semakin lama semakin meningkat. Tendensi ini oleh Wagner disebut
dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah. Inti teorinya yaitu makin
meningkatnya peran pemerintah dalam kegiatan dan kehidupan ekonomi masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian
apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah
pun akan meningkat terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan
yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan
sebagainya.

Berkaitan dengan hukum Wagner, dapat dilihat beberapa penyebab semakin


meningkatnya pengeluaran pemerintah, yakni meningkatnya fungsi pertahanan
keamanan dan ketertiban, meningkatnya fungsi kesejahteraan, meningkatnyan fungsi
perbankan dan meningkatnya fungsi pembangunan. Hukum Wagner dapat
diformulasikan sebagai berikut:

c) Teori Peacock dan Wiseman

Teori mereka didasarkan pada suatu analisis penerimaan pengeluaran


pemerintah. Pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan
mengandalkan memperbesar penerimaan dari pajak, padahal masyarakat tidak
menyukai pembayaran pajak yang besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah
yang semakin besar tersebut. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan
pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Dalam keadaan normal
meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu
juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa
masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana
masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari
bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga
mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat
toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak
secara semena-mena.

d) Teori batas kritis Colin Clark

Dalam teorinya, Collin Clark mengemukakan hipoteisis tentang batas kritis


perpajakan. Toleransi tingkat pajak dan pengeluaran pemerintah diperkirakan kurang
dari 25 persen dari GNP, meskipun anggaran belanja pemerintah tetap seimbang.
Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan
penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang
terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan
mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan i
ini akan mengurangi penawaran agregate. Di lain pihak, pengeluaran pemerintah yang
tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan agregat.

Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru yang timbul sebagai akibat.
adanya kesenjangan antara permintaan agregate dan penawaran agregate. Apabila batas
25 persen terlampaui maka akan timbul inflasi yang akan mempengaruhi sosial
ekonomi masyarakat.

2. Teori Mikro

Tujuan dari teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah


adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang
publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Interaksi
antara permintaan dan penawaran untuk barang publik menentukan jumlah barang
publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan
disediakan tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain.

Pengeluaran pemerintah (Government Expenditure) adalah bagian dari


kebijakan fiskal, yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) untuk daerah. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka
menstabilkan harga, tingkat output maupun kesempatan kerja dan memacu atau
mendorong pertumbuhan ekonomi (Sadino Sukirno, 2010). Sejalan dengan itu, Aries
Djaenuri (2016), mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah (publik) adalah uang
atau dana yang keluar dari kas pemerintah atau kas negara untuk membiayai aktivitas
pemerintah atau tujuan lain yang menjadi kewenangan pemerintah.

Tiga faktor yang memberikan tumbuhnya kontribusi terhadap pengeluaran


pemerintah, yakni :

1. Peningkatan kebutuhan terhadap layanan pemerintah dari masyarakat penerima


layanan;
2. Peningkatan penyediaan (supply) layanan pemerintah dari para penerima
layanan; dan
3. Meningkatnya ketidakefisienan pemberian pelayanan. Dari pemahaman ini,
Pemerintah berkewajiban memperoleh penerimaan yang cukup sebagai dasar
besarnya untuk menetapkan pengeluaran pemerintah. Kaitan dengan itu, dalam
penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN),
pemerintah sangat berhati-hati dan cermat dalam penetapan asumsi makro
ekonomi. Asumsi dasar makro ekonomi yang biasa dijadikan barometer dan
patokan penyusunan RAPBN, meliputi :
1. Pertumbuhan ekonomi;
2. Tingkat inflasi;
3. Nilai tukar rupiah terhadap US Dolar;
4. Suku bunga SBI 3 bulan kedepan;
5. Harga minyak (ICP);
6. Lifting minyak(kapasitas produksi minyak perhari); dan
7. Lifting Gas.
Sementara besarnya pengeluaran pemerintah daerah yang tercermin dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), sangat dipengaruhi oleh
Pendapatan Asli Daerah(PAD), Dana Penerimaan daerah yang berasal dari
perimbangan dan lain-lain PAD yang sah.
1) Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Penghasilan Nasional

Pengeluaran pemerintah rutin dan pembangunan dibayarkan kepada masyarakat


(pegawai dan pelaksana pembangunan). Mereka menerima tambahan pendapatan.
Dari tambahan pendapatan tersebut mereka cenderung untuk melakukan
tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Kecenderungan tambahan konsumsinya
disebut MPC (marginal propensity to consume) dan kecenderungan tambahan untuk
menabung disebut MPS (marginal propensity to save). MPC biasanya dinyatakan dalam
proporsi terhadap penghasilan (Y), demikian juga MPS dinyatakan dalam proporsi
terhadap penghasilan(Y), sehingga MPC+MPS=1 kali besarnya penghasilan.
Tambahan konsumsi yang dilakukan oleh orang pertama tadi diterima oleh orang lain
kepada siapa konsumsi tersebut dilakukan (orang kedua). Orang ke dua ini, karena
menerima tambahan pendapatan, juga cenderung melakukan tambahan konsumsi dan
tambahan tabungan. Tambahan konsumsinya merupakan tambahan pendapatan bagi
yang menerimanya (orang ke tiga), yang karena ada tambahan pendapatan, juga
cenderung untuk melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Selanjutnya
proses berjalan sampai jumlah yang tidak terhingga. Jumlah kenaikan penghasilan
masyarakat sebagai akibat dari adanya pengeluaran pemerintah adalah jumlah
pengeluaran pemerintah itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan
mengumpamakan bahwa MPC dan MPS untuk setiap orang yang dikatakan di atas
sama (orang ke 1, 2, 3,...), maka dengan memakai manipulasi aljabar dasar diperoleh
faktor pengganda sebesar k = 1 MPS. Jika setiap orang yang menerima tambahan
penghasilan mempunyai kecenderungan untuk menabung sebesar 20 persen dari
tambahan penghasilannya maka k= 1/0,20= 5.

2) Pengaruh Pajak terhadap Penghasilan Nasional

Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah menarik pajak dari rakyat. Pajak ini
memiliki sifat mengurangi pendapatan dari orang yang membayar pajak tersebut
(orang 1). Karena pendapatannya berkurang, mereka cenderung mengurangi
konsumsi (sebesar MPC kali berkurangnya penghasilan), dan mereka cenderung untuk
mengurangi menabung (sebesar MPS kali berkurangnya penghasilan), yang
mempunyai akibat lanjutan terhadap mereka yang terkena pengurangan penghasilan.
Demikian prosesnya berjalan, sama seperti logika pada pengeluaran pemerintah,
sampai pada orang yang ke tidak terhingga. jumlah penghasilan masyarakat berkurang
karena ada pajak adalah sebesar pajak itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan
perumpamaan yang sama seperti pada pengeluaran pemerintah, faktor penggandanya
dapat diperoleh dengan manipulasi aljabar dasar sebesar k=- (1/MPS-1). Kalau
setiap orang yang penghasilan berkurang sebesar tambahan pajak, mempunyai
kecenderungan untuk mengurangi menabung sebesar 20 persen dari jumlah
pengurangan penghasilannya, maka k untuk pajak = - (1/0,20-1)= - 4.

3) Pengganda untuk Anggaran Berimbang

Oleh karena dalam anggaran berimbang, contoh kita di atas, jumlah pengeluaran
pemerintah sama dengan jumlah pajak, maka akibat dari anggaran belanja yang
seimbang terhadap penghasilan nasional adalah: (Jumlah kenaikan penghasilan
nasional karena pengeluaran pemerintah) dikurangi (jumlah pengurangan penghasilan
nasional karena adanya pajak). Karena yang pertama adalah sebesar (1/MPS) kali
jumlah pengeluaran pemerintah, dan yang disebut belakangan adalah-(1MPS - 1), maka
tambahan penghasilan neto karena anggaran seimbang adalah (1/MPS)-(IMPS - 1) =I
kali anggaran berimbang tersebut. Dengan kata lain faktor pengganda untuk anggaran
berimbang adalah (+1).

4) Tabungan Pemerintah dan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi suatu negara dapat dibiayai oleh sumber-sumber dari


dalam negeri dan dari luar negeri. Sumber pembiayaan pembangunan ekonomi dari
dalam negeri dapat berupa tabungan perseorangan, tabungan perusahaan, dan tabungan
pemerintah, sedangkan yang bersumber dari Luar negeri bisa berupa bantuan dan
pinjaman luar negeri, penanaman modal langsung dari luar negeri atau penanaman
modal tidak langsung dari luar negeri. Yang dimaksud dengan tabungan pemerintah
adalah semua penerimaan dari dalam negeri dikurangi dengan semua pengeluaran rutin.
Namun untuk Indonesia masih dikurangi lagi dengan anggaran belanja untuk daerah
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Pusat tiap tahun (bersifat rutin).
KESIMPULAN

1. Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintahan untuk


mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau yang
diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintahan
2. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Penerimaan negara
merupakan salah satu dari sumber pendapatan negara. Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara berasal dari
penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.
3. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) Indonesia, Pengeluaran negara atau
pemerintah dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran yang dimasukkan sebagai
kelompok belanja dan pengeluaran yang dimasukkan sebagai kelompok pengeluaran
pembiayaan.
4. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah
telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran
pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah juga dapat
dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu teori makro dan teori mikro.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, D. (2017). Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). https://dosenekonomi.com/ilmu-


ekonomi/ekonomi-makro/penerimaan-negara-bukan-

Ferry Prasetya, S. M. (2012). Modul Ekonomi Publik Bagian V: Teori Pengeluaran


Pemerintah. Malang. . http://ferryfebub.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/Bagian-V-Teor i-
Pengeluaran-Pemerintah.pdf

Ketut, N. (2016). Perekonomian Indonesia. Denpasar.: Udayana University Press.

Keuangan, K. (n.d.). Klasifikasi Jenis Belanja. Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 101/PMK.02/2011 Tentang Klasifikasi Anggaran .

Maria, T. (Oktober 2020). Kebijakan Perpajakan di Indonesia Untuk Kemudahan Ekonomi


Saat Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. V.
Nomor 2, 180-182.

Muluk, L. A. (n.d.). Pengeluaran Negara. Diakses pada: 14 April 2022. Diakses pada:
https://www.academia.edu/9857951/Pengeluaran_Negara
Nahumuri, L. L. (2019). Esensi dan Urgensi Pengeluaran Pemerintah Untuk Pembangunan
Daerah. Jurnal Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 1-3.

Pembangunan, B. P. (2022). Penerimaan Negara Bukan Pajak.


https://www.bpkp.go.id/perekonomian/konten/263/Penerimaan-Negara-Bukan-
Pajak.bpkp

Sayadi, M. H. (n.d.). APBN 2020: Analisis Kinerja Pendapatan Negara Selama Pandemi
Covid-19. https://itrev.kemenkeu.go.id/index.php/ITRev/article/download/269/167/

Widyatama, A. (n.d.). APBN di Masa Pandemi. https://feb.ub.ac.id/id/apbn-di-masa


pandemi.html

Widyawati, D. W. (n.d.). Modul 2: Ekonomi Pemerintah. Pengeluaran Negara.


https://repository.ut.ac.id/4253/1/IPEM4428-M1.pdf

Anda mungkin juga menyukai