Anda di halaman 1dari 20

NOTULENSI FOCUS GROUP DISCUSSION Hari, : Kamis, 1 April 2021

(FGD) tanggal
Waktu : 13.30 – selesai
Tempat : Virtual (Aplikasi Zoom
Meeting)
a. AGENDA:
Penyajian Tax Expenditure dalam LKPP dan LK BA 015

b. MODERATOR FGD
Bapak Amin Adab Bangun (Kepala Auditorat II.A)
c. PESERTA FGD
No. Nama (Jabatan)
1. Laode Nusriadi ( Tortama KN II)
2. Pande Putu Oka Kusumardani (Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara)
3. Ihsan Priyawibawa (Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP)
4. Rofyanto Kurniawan (Direktur Penyusunan APBN DJA)
5. Amin Adab Bangun (Kepala Auditorat II.B AKN II)
6. Untung Basuki (Direktur) Fasilitas Kepabeanan DJBC
7. Winarno (Kepala Auditorat II.A AKN II)
8. Ayu Suryani (Pemeriksa Subauditorat II.B.2), sebagai Pembawa Acara
9. Para Peserta (sesuai daftar hadir)
Daftar hadir dan dokumentasi selengkapnya disajikan pada lampiran.
d. TUJUAN:
FGD ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai:
1. Implementasi Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020
2. Isu-isu akuntansi yang relevan
3. Bentuk pengendalian yang dilakukan terkait insentif fiskal

e. SAMBUTAN PELAKSANAAN FGD


Sambutan disampaikan oleh Bapak Laode Nusriadi (Auditor Utama KN II)
FGD ini dilatarbelakangi oleh adanya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 dimana
pemerintah diberikan keleluasaan untuk melakukan perubahan UU APBN tahun 2020 serta
penyesuaian-penyesuaian untuk mitigasi dampak pandemic covid -19 serta dalam rangka
program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal yang cukup penting diungkapkan pemerintah
melalui publikasi adalah adanya belanja Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan
Ekonomi Nasional (PC-PEN) sejumlah Rp659 T terkait dengan insentif fiskal yang
merupakan bagian dari Tax Expenditure. Fokus dan tujuan dalam diskusi ini adalah:
1) Implementasi Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020;
pemerintah harus mempertanggungjawabkan anggaran yang terkait dengan PC-
PEN dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020.
Penyajian dan pengungkapan insentif fiskal dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat; akun-akun yang disajikan pada face laporan keuangan. Untuk
tahun 2020 BPK akan lebih mendalami bagaimana pemerintah mengungkapkan
isentif fiskal berdasarkan pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 hingga
pengujian ke dokumen sumbernya.
2) Isu-Isu Akuntansi yang relevan dengan insentif fiskal; pengungkapan tax expenditure
pada IPSAS 23 Revenue from Non Exchange Transactions (Taxes and Transfers).

Halaman 1 dari 20
3) Adanya isu mengenai pengendalian insentif fiskal; yaitu seberapa jauh dan seberapa luas
skema/bentuk pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah
Kementerian Keuangan. Dalam laporan tax expenditure yang diterbitkan Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) terdapat beberapa alternative atau metodologi dalam
melaporkan tax expenditure. BPK menguji bagaimana bentuk pengendalian yang
dilakukan pemerintah terkait tax expenditure, termasuk pendapatan forgone, target,
penerima manfaat dan bentuk persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi serta
dokumen sumber yang mendukung atas penyajian angka-angka dalam laporan
keuangan. Pada tahun-tahun sebelumnya tax expenditure tidak di-asersikan dalam
LKPP, tahun ini di asersikan dalam LKPP oleh karena itu BPK melakukan pengujian lebih
lanjut terhadap asersi tersebut dalam konteks pemberian opini atas laporan keuangan
pemerintah pusat.

f. PENYAMPAIAN MATERI
FGD dilaksanakan dengan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut.
1. Narasumber 1: Ibu Pande Putu Oka Kusumardani (Plt. Kepala Pusat Kebijakan
Pendapatan Negara, BKF)
• Materi: Laporan Belanja Perpajakan
• Peran Perpajakan dalam Tatanan Kebijakan Fiskal
Pajak memiliki peran ganda dalam perekonomian. Peran ganda tersebut terdiri atas:
a) Peran/fungsi sumber penerimaan untuk pembiayaan negara; dan
b) peran/fungsi instrument fiskal yaitu dapat berupa insentif dan disinsentif.
Berbicara mengenai laporan belanja perpajakan, bahwa memang benar pada
periode sebelumnya belum ada pengungkapan dan penyajian laporan belanja
perpajakan. Laporan Belanja Perpajakan dipublikasikan pada tahun 2018 dengan
tahun pelaporan pajaknya adalah tahun 2016 dan tahun 2017. Sampai dengan saat
ini laporan belanja perpajakan telah diterbitkan sebanyak tiga kali publikasi, tahun
2018, 2019 dan tahun 2020 untuk tahun pajak yang sifatnya satu tahun
sebelumnya.
Mengapa di tahun-tahun sebelumnya belum ada publikasi terkait belanja
perpajakan? Karena memang inisatif atas laporan belanja perpajakan baru ada pada
tahun 2018. Pemberian insentif telah lama dilakukan oleh pemerintah untuk
mendukung perekonomian namun untuk dokumentasinya baru dilakukan pada
tahun 2018 karena memang dibutuhkan waktu untuk menyiapkan data-data
laporan belanja perpajakan.
Berbicara mengenai insentif perpajakan, beragam bentuknya yang diberikan oleh
pemerintah. Insentif perpajakan dan belanja perpajakan tidak selalu sama. Belanja
perpajakan tidak dikumpulkan/di-collect karena memang pemerintah mempunyai
tujuan-tujuan tertentu untuk mendukung perekonomian, tapi kemudian dukungan
dari pemerintah tersebut tidak melulu berupa revenue forgone. Untuk belanja
perpajakan sifatnya adalah penerimaan negara yang tidak di-collect artinya adalah
penerimaan tersebut sudah merupakan forgone revenue. Dukungan pemerintah
terhadap ekonomi tidak semata-mata hanya berupa belanja perpajakan, juga
termasuk insentif perpajakan/dukungan perpajakan yang tidak termasuk kategori
belanja perpajakan.
Bicara mengenai dukungan dalam bentuk perpajakan tidak hanya terbatas dalam
dukungan terhadap pemulihan ekonomi (PC – PEN), dalam program PC – PEN itu

Halaman 2 dari 20
sendiri ada yang berupa belanja perpajakan dan non-belanja perpajakan. Untuk
menentukan mana yang termasuk belanja perpajakan/tidak ada kriteria tertentu
yang digunakan untuk mengkategorikan hal tersebut (tax benchmark). Tax
benchmark yang menentukan karakterisktik utama jenis pajak. Karakteristik utama
itulah yang menjadi benchmark tapi deviasi-nya yang akan menjadi kriteria belanja
perpajakan.
Bicara mengenai UU Nomor 2 tahun tahun 2020 di dalamnya ada yang masuk
menjadi belanja perpajakan, contohnya adalah PPh 21 yang ditanggung pemerintah,
PPh final UMKM yang ditanggung pemerintah, dimana yang ditanggung pemerintah
tersebut termasuk dalam kategori belanja perpajakan (sifatnya sudah merupakan
pengeluaran dari pemerintah tapi kemudian ia akan menjadi penerimaan
kembali/akan disajikan dalam laporan APBN).
• Belanja Perpajakan
Belanja perpajakan merupakan penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan
atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem
pemajakan secara umum (benchmark tax system) yang menyasar kepada hanya
sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.
Bicara mengenai belanja perpajakan, tujuan utama dari laporan belanja perpajakan
adalah memberikan dokumentasi yang bisa dijadikan informasi bagi publik dan
meningkatkatkan transaparansi bagi pengguna dan juga dengan adanya belanja
perpajakan ini diharapkan akuntabilitas dari kebijakan pemerintah bisa
ditingkatkan sekaligus dengan adanya laporan belanja perpajakan ini kita berharap
bahwa pengawasan atau evaluasi tidak hanya dari internal pemerintah tapi juga
dari publik. Dengan adanya laporan belanja perpajakan ini pemerintah
menunjukkan bahwa pemerintah mendukung kegiatan perekonomian di Indonesia.
Terkait laporan belanja pemerintah, bagaimana kita menyiapkannya? Laporan
belanja perpajakan disiapkan dengan alur sebagai berikut:
1) Menentukan cakupan TE; belanja perpajakan yang diterbitkan pemerintah
Indonesia lebih ke arah jenis-jenis pajak pusat yang terdiri dari PPh, PPN,
PPnBM, PBB dan juga Bea Materai.
2) Menentukan tax benchmark; tax benchmark Indonesia mencakup sistem
pemajakan umum, yang mengacu pada basis pajak, tariff, cara perhitungan,
serta mekanisme pemungutan setiap jenis pajak.
3) Mengidentifikasi deviasi; jumlah deviasi di Indonesia terdiri dari PPh
sebanyaks 32, PPN dan PPnBM sebanyak 32, Bea Materai dan Cukai 23, PBB P3
2, dan Bea Materai 0.
4) Memilih metode perhitungan TE; metode yang dipilih Indonesia yaitu Initial
revenue loss/ Revenue Forgone.
5) Identifikasi Data; sumber data yang dipakai Indonesia berupa Primary Data
(DJP, DJBC, BKF) dan secondary data (data stastistik ekonomi individu dan
rumah tangga di Indonesia (Survey Sosial Ekonomi Nasional/Susenas).
6) Menghitung TE; dan
7) Pelaporan TE.
Peraturan yang telah di estimasi dalam Laporan Belanja Perpajakan yaitu:

Halaman 3 dari 20
Indonesia telah berhasil melakukan perhitungan untuk 65 pos peraturan belanja
perpajakan dari total 89 peraturan.
Laporan belanja perpajakan diperkenalkan oleh negara maju dan/atau OECD. Di
kawasan Asean hanya ada dua negara yang telah mempublikasikan lapporan belanja
perpajakan yaitu Indonesia dan Filipina.
Perbandingan presentasi nilai belanja perpajakan terhadap GDP di berbagai dunia:

Tidak ada rule of thumb tertentu yang menjadi kesepakatan global, berapa besaran
tax expenditure yang ideal bagi suatu perekonomian.
Nilai presentasi TE/GDP tidak dapat disimpulkan lebih baik atau tidak
dibandingkan negara lain, karena setiap negara memiliki tax benchmark, metode
penghitungan, dan cakupan yang berbeda dalam pelaporan belanja perpajakannya.
Telah diterbitkan peraturan sebagai dasar hukum penyusunan laporan belanja
perpajakan yaitu KMK Nomor 619/KMK.010/2020 tentang Penyusunan Laporan
Belanja Perpajakan, dengan pokok pengaturan sebagai berikut:
Kementrian Keuangan menyusun laporan atas belanja perpajakan, yang selanjutnya
disebut laporan belanja perpajakan, setiap tahunnya
Penyusunan laporan belanja perpajakan dilaksanakan oleh Kepala Badan Kebijakan
Fiskal setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Pajak dan DIrektur Jenderal
Bea dan Cukai
Laporan belanja perpajakan yang telah disusun harus dipublikasikan secara luas.

• Nilai Belanja Perpajakan 2019


Nilai estimasi belanja perpajakan tahun 2019 adalah sebesar Rp257,2 triliun dengan
persentase terhadap PDB sebesar 1,62%.
Belanja perpajakan selain dilaporkan berdasarkan jenis pajak, juga dilaporkan
berdasarkan kategori lainnya untuk memudahkan pembaca untuk memahami
benefit dan fungsi dari insentif perpajakan. 5 kategori pelaporan belanja perpajakan
yaitu:
1) Dilaporkan berdasarkan jenis pajak
2) Dilaporkan berdasarkan subjek

Halaman 4 dari 20
3) Berdasarkan sektor perekonomian
4) Berdasarkan tujuan, dan
5) Berdasarkan fungsi belanja APBN.
Belanja perpajakan ditujukan terutama untuk kesejahteraan masyarakat dan
UMKM. Nilai belanja perpajakan 2019 berdasarkan tujuan yaitu:
1) Mendukung dunia bisnis sebesar Rp23,9 triliun
2) Meningkatkan iklim investasi sebesar Rp26,3 triliun
3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebesar Rp42,4 triliun
4) Mengembangkan UMKM sebesar Rp64,7 triliun
Rencana laporan belanja perpajakan tahun 2020 mencakup:
1) Publikasi tahunan laporan belanja perpajakan (sesuai KMK Nomor
619/KMK.10/2020)
2) Sosialisasi kebijakan; siaran pers, infografis dan publikasi pada media massa dan
media sosial.
Rencana penyempurnaan dalam laporan belanja perpajakan tahun 2020, antara
lain:
Penyempurnaan benchmark sesuai perkembangan terkini
Memasukkan nilai insentif dalam program PEN
Sebagai evaluasi atas pelaksanaan transparansi fiskal, setiap tahun BPK melakukan
reviu transparansi fiskal terhadap Laporan Belanja Perpajakan. Reviu transaparansi
fiskal tersebut mengacu pada IMF’s Fiscal Tranparency Code (FTC). Hasil reviu BPK
atas Laporan Belanja Perpajakan dua tahun terakhir
No Laporan Tingkatan Hasil Reviu
1 Laporan Belanja Perpajakan Tahun 2016-2017 Basic
2 Laporan Belanja Perpajakan Tahun 2018 Good

2. Narasumber 2: Bapak Ihsan Priyawibawa (Direktur Potensi, Kepatuhan, dan


Penerimaan, DJP)
• Materi: Jenis Fasilitas Perpajakan yang Diterapkan Tahun 2020 dan Pengaruh
Pemberian Fasilitas Perpajakan terhadap Penerimaan Perpajakan Tahun 2020
• Jenis fasilitas pajak yang ada di tahun 2020:
a. Fasilitas PPh: Tax Holiday, Tax Allowance, Super Deduction Vokasi, Super
Deduction Kegiatan Penelitian dan Pengembangan, Investment Allowance Padat
Karya, Fasilitas Kawasan, Fasilitas pengurangan 50% tarif PPh Badan, Fasilitas
Kegiatan CSR (sumbangan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto),
Fasilitas Penggunaan Nilai Sisa Buku, Fasilitas Perusahaan Modal Ventura,
Fasilitas Sektor Hulu Migas, Penurunan Tarif PPh Bunga Obligasi (DIRE, DINFRA,
dan EBA), Deposito Devisa Hasil Ekspor (DHE).
b. Fasilitas PPN: PPN Tidak Dikenakan, PPN Tidak Dipungut, dan PPN Dibebaskan
c. Fasilitas PBB Sektor P3: Pengurangan PBB sektor pertambangan minyak dan
gas tahap eksplorasi dan pertambangan/pengusahaan panas bumi tahap
ekslorasi.

Halaman 5 dari 20
d. Fasilitas Pajak COVID-19: Insentif untuk WP yang terdampak COVID-19,
Fasilitas Barang/Jasa yang diperlukan dalam penanganan COVD-19, dan Fasilitas
PPh dalam rangka penanganan COVID-19.
• Fasilitas perpajakan mencakup berbagai kemudahan perpajakan bagi seluruh Wajib
Pajak (berlaku umum) seperti pembebasan PPN atas kebutuhan pokok dan
pengaturan batasan PTKP yang relatif tinggi, pengaturan pemajakan khusus yang
berbeda dari ketentuan umum perpajakan seperti PPh final 05% bagi WP UMKM,
dan insentif khusus (sektoral) seperti tax allowance dan tax holiday bagi
industri/sektor tertentu. Selain itu di tahun 2020 terdapat insentif tambahan bagi
WP terdampak COVID dan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.
• Besaran estimasi belanja perpajakan sektoral menunjukan gambaran seberapa
besar fasilitas perpajakan digunakan sebagai dukungan dalam pengembangan
sektor tertentu seperti sektor pertanian, perikanan, pendidikan, UMKM, dan tenaga
kerja.
• Bentuk fasilitas dan wajib pajak yang berhak secara lebih detail diatur sebagai
berikut.
a. Fasilitas Pajak Penghasilan
1) Tax Holiday (PMK 130/PMK.010/2020)
2) Tax Allowance (PMK 11/PMK.10/2020 jo PMK 96/PMK.010/2020)
3) Super Deduction Vokasi (PP 45/2019 jo PMK 128/PMK10/2019)
4) Super Deduction Kegiatan Penelitian dan Pengembangan (PMK
153/PMK.010/2020)
5) Investment Allowance Padat Karya (PMK 16/PMK.10/2020)
6) Fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (PMK 104/PMK.010/2016), Fasilitas
Kawasan Industri (PMK 105/PMK.010/2016)
7) Fasilitas pengurangan 50% tarif PPh Badan (Pasal 31E UU PPh, SE-
02/PJ/2015)
8) Fasilitas Kegiatan CSR (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, PP-
93/2010, PMK 76/2011)
9) Fasilitas Penggunaan Nilai Sisa Buku (Pasal 10 ayat (3) UU PPh, PMK 52/2017
stdd PMK 205/2018, PER-28/2008)
10) Fasilitas Perusahaan Modal Ventura (PMK 48/PMK.010/2018)
11) Fasilitas Sektor Hulu Migas (PP 27 Tahun 2017)
12) Penurunan Tarif PPh Bunga Obligasi (PP 55 Tahun 2019)
13) Deposito Devisa Hasil Ekspor (PMK 212/2018)
b. Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai
1) Fasilitas PPN Tidak Dikenakan seperti barang kebutuhan pokok, jasa
pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa
pendidikan, dll (pasal 4A UU PPN dan PPnBM) serta PPN tidak wajib dipungut,
disetor, dan dilaporkan oleh pengusaha kecil (omzet < Rp4,8 M per tahun)
2) Fasilitas PPN Tidak Dipungut (Pasal 16B UU PPN) seperti proyek pemerintah
yang dananya dari bantuan LN, kawasan bebas, avtur untuk angkutan luar
negeri, Kawasan Ekonomi Khusus, dll.

Halaman 6 dari 20
3) Fasilitas PPN Dibebaskan (Pasal 16B UU PPN) seperti impor dan/atau
penyerahan BKP tertentu/JKP tertentu, penyerahan air bersih, dll.
c. Fasilitas Pajak COVID-19
1) Insentif Pajak untuk WP terdampak COVID-19 diatur dalam PMK-
86/PMK.03/2020 jo PMK-110/PMK.03/2020. Bentuknya berupa PPh Pasal
21 DTP dari pegawai dengan penghasilan bruto tidak lebih dari 200 juta,
Pembebasan PPh Pasal 22 Impor, Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25
sebesar 50%, Percepatan Restitusi PPN dengan nilai hingga Rp5 Miliar,
Penurunan Tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22%, PPh Final UMKM DTP,
PPh Final DTP untuk program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi
(P3-TGAI), dan PPN DTP kertas koran/majalah perusahaan pers.
2) Fasilitas Pajak terhadap Barang/Jasa yang diperlukan dalam rangka
penanganan COVID-19 diatur dalam PMK-28/PMK.03/2020 jo PMK-
143/PMK.03/2020. Bentuknya PPN Tidak Dipungut (DTP), Pembebasan PPh
Pasal 22 & Pasal 22 Impor, Pembebasan PPh Pasal 22, dan Pembebasan PPh
Pasal 21 dan 23.
3) Fasilitas PPh dalam rangka penanganan COVID diatur dalam PMK-
86/PMK.03/2020 jo PMK-110/PMK.03/2020. Bentuknya berupa tambahan
pengurang penghasilan netto, sumbangan sebagai pengurang penghasilan,
tambahan penghasilan bagi SDM di bidang kesehatan, kompensasi &
penggantian penggunaan harta, dan pembelian kembali saham di bursa.
3. Narasumber 3: Bapak Rofyanto Kurniawan (Direktur Penyusunan APBN, DJA)
• Materi: “Anggaran Belanja Perpajakan dalam Postur APBN”
a. Bentuk belanja perpajakan terdiri dari potential revenue losses (economic
incentives) dan subsidi pajak/pajak ditanggung pemerintah.
b. Potential revenue/tax loss terdiri dari:
1) Insentif perjakan umum antara lain PPN tidak terutang atas pengusaha kecil
(omzet s.d. 4,8 M), PPN tidak terutang atas barang kebutuhan pokok, jasa
pendidikan dan kesehatan, tax holiday and tax allowance, pengurangan 50%
tariff PPH bagi WP Badan (omzet s.d. 50 M), Free Trade Zone (dibebaskan PPN,
PPnBM, BM, dan Cukai).
2) Insentif Perpajakan PEN antara lain BM dan PDRI pembelian vaksin dan alkes;
PPh 0% untuk tambahan insentif Nakes, penyewaan untuk fasilitas kesehatan;
penurunan tariff PPh Badan; pengurangan angsuran PPh Pasal 25; Pembebasan
PPh 22 Impor; restitusi PPN dipercepat.
c. Subsidi pajak/pajak ditanggung pemerintah terdiri dari:
1) Insentif perpajakan umum antara lain PPh DTP recurrent Cost SPAN; PPh DTP
Panas Bumi, PPh DTP atas penghapusan piutang Negara dari PDAM tertentu; PPh
DTP atas bunga atau imbalan SBN yang diterbitkan di pasar internasional dan
penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada pemerintah dalam
transaksi SBN di pasar international; BM DTP
2) Insentif perpajakan PEN terdiri dari PPh 21 DTP; PPh Final UMKM DTP; BM DTP
industry terdampak covid-19
d. Belanja perpajakan bersifat potential loss berupa pemberlakuan tax exclusion,
exemption, maupun deduction, untuk mendukung perekonomian dilaporkan pada
Laporan Belanja Perpajakan;
e. Belanja perpajakan dalam bentuk subsidi/DTP selain dilaporkan dalam laporan
belanja perpajakan juga dicatat dalam postur APBN sebagai belanja Negara dan
menjadi bagian dari target penerimaan perpajakan;

Halaman 7 dari 20
f. Penerimaan perpajakan dalam postur APBN merupakan penerimaan pajak dan
kepabeanan cukai yang diterima Negara (mengacu pada UU 17 Tahun 2003 pasal 1
dan 11);
g. Di dalam penerimaan perpajakan, termasuk di dalamnya penerimaan dari
pengeluaran Negara dalam bentuk subsidi pajak/pajak ditanggung pemerintah,
dicantumkan dalam UU APBN dan Perpres Rincian APBN;
h. Alokasi belanja subsidi pajak/pajak DTP dicatat dalam pos subsidi pada Belanja
Pemerintah Pusat (mekanisme pengalokasian mengikuti mekanisme pengalokasian
subsidi pada BA BUN)
i. Bentuk alokasi di subsidi terdiri dari subsidi harga, subsidi bunga, dan subsisi
pungutan.
j. Subsidi harga adalah subsidi atas harga jual barang/jasa yang disediakan untuk
masyarakat yang merupakan selisih antara harga barang/jasa yang ditetapkan
pemerintah dan harga barang/jasa perusahaan (dengan tata cara perhitungan yang
ditetapkan pemerintah) yang dibayar oleh pemerintah
k. Subsidi bunga atas subsidi atas bunga pinjaman perbankan yang merupakan selisih
antara tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah dengan tingkat bunga bank yang
ditetapkan perbankan yang dibayar oleh pemerintah, termasuk penjaminan;
l. Subsidi pungutan (pajak dan bea masuk) adalah pajak terutang wajib pajak atau
fasilitas bea masuk atas barang impor yang dibayar oleh pemerintah;
m. Mekanisme pengusulan dan penetapan subsidi pajak DTP dalam APBN untuk
dimasukkan dalam DIPA BUN yaitu:
1) Usulan dilakukan oleh KPA berupa RKA BUN, KK Satker, Hasil reviu, dan
dokumen pendukung
2) Usulan direviu oleh APIP selanjutnya diteruskan ke PPA
3) PPA melakukan penelitian dokumen dan menyusun RDP BUN lewat aplikasi
SAKTI. Selanjutnya RDP BUN dan dokumen pendukung disampaikan ke DJA
selaku pemimpin PPA BUN BA 999.07 dan BA 999.08 untuk ditetapkan
4) DJA selaku mitra PPA BUN melakukan penelaahan dokumen dan menyusun DHP
RDP BUN lewat aplikasi SAKTI. DHP RDP BUN disampaikan ke direktur jenderal
anggaran untuk ditetapkan. Melakui aplikasi SPAN, DJA menyiapkan konsep
DIPA, dan selanjutnya meminta PPA menyampaikan konsep DIPA yang telah
diparaf KPA dan ditandatangani PPA. DJA atas nama Menteri Keuangan
memberikan pengesahan DIPA BUN.
n. Peran Unit Perencanaan Anggaran Subsidi Pajak DTP,
Pejabat yang terlibat Unit Tugas Dokumen Yang
dalam Perencanaan Dihasilkan
Anggaran
PPA DJA menelaah dan DIPA/Revisi DIPA
menetapkan alokasi
anggaran serta
mengesahkan
DIPA/Revisi DIPA
KPA Pajak DTP: Menyampaikan usulan - KAK/TOR
- Pendapatan DTP (DJP anggaran dan/atau - RAB
c.q. Ses DJP) penerbitan DIPA BUN - Hasil reviu APIP pada
- Belanja Subsidi P DTP kepada Dir Jend Kementerian Teknis
(DJP c.q. Dir Potensi Anggaran selaku - Data dukung lainnya
Kepatuhan dan pemimpin PPA 999.07 yang relevan dan dapat
Penerimaan) dipertanggungjawabkan
BM DTP:
- Dir Jend Industri Agro,
Dir Jend Industri Kecil &
Menengah dan Aneka,
Dir Jend Industri Kimia,
Farmasi, dan Tekstil,

Halaman 8 dari 20
Dir Jend Industri
Logam, Mesin, Alat
Transportasi, dan
Elektronika Kemenperin
APIP Itjen Unit KPA Memberikan reviu atas Hasil reviu atas usulan
Contoh: BM DTP usulan anggaran subsidi anggaran subsidi
merupakan pajak/BM ditanggung pajak/BM ditanggung
kewenangan APIP pemerintah pemerintah
Kemenperin
Kebijakan Pendapatan BKF Mengeluarkan kebijakan PMK
Negara terkait insentif Tax
Expenditure dan
perumusan aturan
pelaksanaan

o. Perencanaan dan alokasi subsidi pajak DTP mengikuti ketentuan peraturan


perundangp-undangan di bidang penganggaran, yaitu:
1) UU No. 17/2003 tentang keuangan Negara, UU 2/2020 tentang Penetapan Perpu
1/2020, UU APBN/P (ditetapkan setahun sekali)
2) PP 90/2020 tentang Penyusunan RKAKL
3) Perpres Rincian APBN/P (ditetapkan setiap tahun)
4) Peraturan Teknis: PMK 91/2020, Surat Menkeu atau KMK tentang Anggaran BA
BUN, PMK tentang Pelaksanaan APBN, PMK tentang tata cara revisi anggaran,
PMK Teknis Pelaksanaan Pajak dan BM DTP
p. Belanja Perpajakan dan Subsidi Pajak DTP 2016 s.d. 2019
Uraian 2016 2017 2018 2019
Belanja Perpajakan 192,6 T 196,8 T 225,2 T 257,2 T
% PDB 1,55% 1,45% 1,52% 1,62%
Termasuk
Subdisi Pajak DTP 9,3 T 9,2 T 10,5 T 11,5 T
- Pajak DTP 9,0 T 8,9 T 10,1 T 11,2 T
- BM DTP 0,3 T 0,3 T 0,4 T 0,4 T

q. Realisasi PPh DTP pada tahun 2016 sampai dengan 2019 digunakan terutama untuk
1) pajak penghasilan komoditas panas bumi, bunga, imbal hasil, dan penghasilan
atas SBNdi pasar internasional, penghapusan piutang Negara non pokok atas PDAM
serta recurrent Cost SPAN, serta 2) fasilitas bea masuk
r. Pada tahun 2020, DTP juga digunakan sebagai dukungan penanganan pandemic
covid-19 dan PEN terutama pada PPh 21, PPh Final UMKM, dan BM DTP Industri.

4. Narasumber 4: Bapak Untung Basuki (Direktur Fasilitas Kepabeanan, DJBC)


Materi: Penyajian Belanja Perpajakan DJBC pada Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat 2020
a. DJBC pada prinsipnya memiliki 3 misi: 1) bagaimana menghimpun penerimaan
negara, 2) asistensi industri dan fasilitasi perdagangan, dan 3) perlindungan
masyarakat. Terkait Tax Expenditure maka harapannya optimalisasi PN dan industri
dapat melakukan kegiatannya/berkembang secara baik dan perdagangan dapat
berjalan lancar.
b. Dasar ketentuan Tax Expenditure di atur dalam pasal 25 dan 26 (terkait dengan
penangguhan dan pembebasan bea masuk) dan pasal 115 ayat a (terkait kawasan

Halaman 9 dari 20
perdagangan bebas) UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 10
Tahun 1995 Kepabeanan.
c. Pemberian fasilitas pembebasan tentu berdampak pada berkurang atau hilangnya
sebagian penerimaan negara dari sektor pajak. Tetapi di sisi lain, ini terkait
bagaimana DJBC bisa memberikan asistensi kepada industri dan sekaligus
memfasilitasi perdagangan sehingga insentif fiskal dapat memberikan dampak yang
kita harapkan. Harapan juga fasilitas ini dapat menguatkan cash flow perusahaan
sehingga menjadi stimulus dalam peningkatan produksi dan dapat meningkatkan
pertumbuhan domestik brutto.
d. Mekanisme pelaporan Tax Expenditure dimulai dari: 1) penetapan Tim Penyusunan
TER (terdiri dari BKF, DJP, DJA, dan DJBC), 2) permintaan data dari BKF (23 jenis
Bea Masuk dan 8 PPN Impor), 3) penyediaan data Tax Expenditure Kepabeanan dan
Cukai, 4) penyusunan draft Laporan Belanja Perpajakan, dan 5) Penyampaian
Laporan Tax Expenditure ke Publik.
e. Proses Perhitungan Tax Expenditure di DJBC: 1) mengambil raw data dari CEISA di
Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai, 2) dilakukan penelitian data
(pengolahan data dan kebijakan akuntansi), dan 3) penyerahan draft Tax
Expenditure.
f. Manfaat pemberian fasilitas perpajakan.
a) Bagi Penerima Fasilitas BM dan PDRI, dapat meringankan biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang yang diperlukan yang pada akhirnya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b) Bagi Perekonomian, dapat mendukung dunia bisnis dan meningkatkan iklim
investasi.
c) Bagi pemerintah, dapat meningkatkan perekonomian yang mendukung
kesejahteraan sosial, peningkatan kegiatan penelitian dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, insentif pencegahan pencemaran lingkungan
yang membantu menjaga kelestarian lingkungan, dan biasa sosial yang rendah
membantu pemerataan dan keadilan sosial.
g. Insentif perpajakan dan tax expenditure di DJBC berupa pembebasan Bea Masuk
(berdasarkan pasal 25 dan 26 UU Kepabeanan) juga diberikan fasilitas tidak
dipungut PPN dan PPnBM (KMK 231/KMK.03/2001 jo. PMK 137/PMK.010/2018),
serta dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22 Impor (PMK 34/PMK.010/2017
jo. PMK 110/PMK.010/2018).
h. Fasilitas yang termasuk Tax Expenditure beserta dasarnya di DJBC:
1) Badan Internasional di Indonesia (PMK 148/PMK.04/2020 jo. PMK
20/PMK.04/2018)
2) Buku Ilmu Pengetahuan (PMK 103/PMK.04/2007)
3) Hadiah/Hibah Penangulangan Bencana Alam (PMK 69/PMK.04/2012)
4) Hadiah/Hibah untuk Ibadah, Amal, Sosial, Kebudayaan (PMK
70/PMK.04/2012)
5) Museum, Kebun Binatang, Tempat Lain Semacamnya (PMK 70/PMK.04/2012)
6) Penelitian dan Penegembangan Pengetahuan (PMK 200/PMK.04/2019)
7) Keperluan Khusus Penyandang Cacat (KMK 142/KMK.05/1997)

Halaman 10 dari 20
8) Impor Barang Contoh (KMK 140/KMK.05/1997)
9) Bahan Terapi Manusia (KMK 145/KMK.05/1997)
10) Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam Rangka Penanaman Modal
(PMK 176/PMK.011/ 2009 jo PMK 76/PMK.011/2012 jo PMK
188/PMK.010/2015)
11) Pembangunan atau Pengembangan Industri Pembangkitan Tenaga Listrik
(PMK 66/PMK.010/2015)
12) Pencemaran Lingkungan (PMK 101/PMK.04/2007)
13) Bibit dan Benih (PMK 105/PMK.04/2007)
14) Hasil Laut (PMK 113/PMK.04/2007)
15) Keperluan Olahraga (PMK 256/PMK.04/2016)
16) Barang Kegiatan Usaha Hulu Migas (PMK 217/PMK.04/2019)
17) Barang Kegiatan Panas Bumi (PMK 218/PMK.04/2019)
18) Fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (PMK 237/PMK.010/2020)
19) Fasilitas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (PMK
47/PMK.04/2012 jo PMK 120/PMK.04/2017 jo PMK 84/PMK.04/2019)
20) Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (PMK 248/PMK.011/2014 jo PMK
14/PMK.010/2018)
21) Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu (PMK No. 199/PMK.010/2019)
i. Fasilitas yang ditambahkan untuk Tax Expenditure Report (TER) 2020:
1) Alkes untuk penanganan pandemi covid19 (PMK 34/PMK.04/2020 jo PMK
83/PMK.04/2020 jo PMK 149/PMK.04/2020)
2) BMDTP khusus Industri terdampak Covid19 (PMK 134/PMK.04/2020)
3) Impor Vaksin Covid19 (PMK 188/PMK.04/2020)

G. Tanya Jawab
1. Bapak Yusuf Suryadin – AKN II
Tanya:
Bagaimana perhitungan dampak stimulus-stimulus pajak yg diberikan? Bagaimana
mekanisme evaluasi pemberian keringanan pajak yang diberikan terhadap tujuan yang
ditetapkan sebelumnya.
Jawab:
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani
Laporan Belanja Perpajakan tujuan utamanya adalah menyajikan informasi atas berapa
besar dukungan pemerintah dalam mendukung kegiatan ekonomi. Penyajian informasi
dilakukan secara terurut, teratur dan berkelanjutan dengan mengutamakan prinsip
trasparansi. Belum ada publikasi atau standar yang menyatakan bagaimana evaluasi
dilakukan. Bentuk evaluasi dikembalikan kepada masing-masing unit kerja.
2. Bapak Winarno – AKN II
Tanya:

Halaman 11 dari 20
a) Mengapa BKF menyajikan laporan belanja perpajakan berdasarkan estimasi, bukan
berdasarkan data/transaksi riil (data historis)? Bagaimana praktik penyajian
laporan ini di dunia lain, apakah basisnya juga estimasi?
b) Apakah memungkinkan jika laporan belanja perpajakan disajikan secara current
year? Mengingat publikasi yang ada sejauh ini masih tertinggal dengan periode
penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Jawab:
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani
a) Pendekatan yang digunakan oleh mayoritas negara di dunia adalah pendekatan
revenue forgone. Revenue forgone punya beberapa karakterisktik yaitu statis (tidak
memperhitungkan kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan). Pada saat
insentif tidak diberikan berapa potensi penerimaan negara? misal apabila
pemerintah menghapus fasilitas tax holiday, tuntutan atau dampak yang tidak
diasumsikan terjadi dalam menghitung belanja perpajakan (behavior impact dan
kemungkinan regulasi lanjutan bisa jadi dilaporkan lebih besar atau lebih kecil
dalam laporan revenue forgone).
b) Ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian, misal PPh dilaporkan dalam SPT
tahunan WP Pribadi/badan, jangka waktu pelaporan bulan ketiga atau bulan
keempat tahun berlalu. Apabila menggunakan data current year ada beberapa jenis
data pajak yang tidak visible untuk digunakan. Oleh karena itu data perpajakan
menggunakan data perpajakan periode sebelumnya.
3. Bapak Prastiyo – Ditama Revbang
Tanya:
Apakah terdapat target jumlah dan batasan atas belanja perpajakan dan bila ada
bagaimana mengetahui kinerja belanja perpajakan dengan target jumlah dan batasan
yang ditetapkan?
Jawab:
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani
Belanja Pemerintah DTP memiliki estimasi awal yang dimasukkan dalam APBN dan
dialokasikan dalam APBN. Dari alokasi dan anggaran dapat dilakukan pemantauan
sehingga pada akhir tahun dapat dilakukan analisis berapa anggaran yang
terpakai/tidak. Untuk insentif yang tidak ditanggung pemerintah belum ada target atau
estimasinya.
4. Ibu Leny Anggraini – AKN II
Tanya:
Bagaimana mekanisme atau indikator proses evaluasi atas dampak ekonomi belanja
perpajakan (misalnya yang berkaitan dengan biaya, efek penerimaan, serta distribusi
kelompok/sektor penerima manfaat) yang diuraikan dalam TER agar dapat
ditindaklanjuti oleh masing-masing pihak yang berwenang.
Jawab:
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani
Fokus belanja perpajakan adalah pelaporan dan penyajian informasi bagi para
stakeholder. Evaluasi merupakan proses tahap selanjutnya. Evaluasi dilakukan oleh
masing-masing unit eselon I terkait yang terlibat atau menyusun ketentuan tersebut
sehingga disesuaikan dengan konteks kebutuhannya. Saat ini mekanisme standar yang
dilakukan yaitu diserahkan kepada masing-masing unit kerja dengan

Halaman 12 dari 20
mempertimbangkan masing-masing kebutuhan. Evaluasi dilakukan menurut konteks
dan kebutuhan masing-masing unit kerja.
5. Bapak Imamudin Achmad
Tanya:
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Siapa yang berwenang
atas mengeluarkan SKB ini? Targetnya siapa? Utk temuan yang pernah ada: terdapat
vendor yang mendapatkan SKB. Dari permintaan keterangan SKB diberikan kepada WP
UMKM /vendor <4,8M tetapi nyatanya nilai kontrak 28M untuk vendor tersebut. SKB
yang mengeluarkan satu KPP di wilayah Jakarta. Kami konfirmasi dan menyatakan
bahwa hal tersebut adalah domainnya DJP. Bagaimana penjelasan atas hal ini dan
pengendalian/pengawasan pelaksanaan belanja perpajakan—tax losses-insentif
perpajakan umum PPh 22-SKB?
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Pada prinsipnya PPh Pasal 22 dipungut oleh misalnya instansi pemerintah berkaitan
dengan pembayaran atas pembelian barang. Ada juga badan usaha tertentu seperti juga
bidang industri farmasi terkait penjualan hasil produksinya. Barang-barang terkait
COVID ini bisa bermacam-macam seperti obat, vaksin, alat lab, juga alat pendeteksi, dst.
Pada prinsipnya WP yang memenuhi syarat tadi mengajukan permohonan SKB melalui
website www.pajak.go.id. Contoh lampirannya ada di PMK 143. Kepala KPP melakukan
verifikasi apakah WP berhak/tidak sesuai ketentuan. Kaitannya dengan omzet,
sebetulnya PPh Pasal 22 ini tidak ada kaitannya dengan omzet tertentu. Untuk case ini
perlu dilihat lebih detail. Secara umum, mekanisme permohohonan PPh Pasal 22 seperti
tadi.
6. Bapak Agung Setiyono – AKN II
Tanya:
a. Salah satu pertimbangan pemberian fasilitas/insentif Pajak Covid-19 adalah dengan
dasar Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak. Bagaimana proses tahapan
penentuan KLU penerima, siapa yang terlibat dan kategori atau kriteria apa saja yang
digunakan (Untuk BKF dan DJP)
b. Mekanisme pengajuan insentif/fasilitas Pajak Covid-19 mayoritas adalah melalui
sistem online berdasarkan perhitungan WP atau self assestment. Bagaimana
mekanisme pengawasan atau tindakan selanjutnya yang akan dilakukan DJP dalam
rangka memastikan kesesuaian pemberian insentif/fasilitas pajak PC PEN yang
sudah diberikan dan kapan hal tersebut akan mulai dilaksanakan? (Untuk DJP)
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Berkaitan dengan penentuan KLU, pada prinsipnya pemberian fasilitas merupakan
program pemerintah secara umum. Bisa saja usulannya dari WP melalui asosiasi yang
disampaikan melalui K/Lnya. Biasanya yang kami terima sudah hasil rapat-rapat di
kabinet, setkab, termasuk rapat-rapat di menko, keluar keputusan di tahun 2020
misalnya ada kebijakan pemberian fasilitas pada industri tertentu. Di tahun 2020 ada
perkembangan yang sangat pesat dari tadinya hanya sekitar 400-an di awal (industri
pengolahan tertentu) akhirnya meluas ke hampir seluruh kelompok lapangan usaha,
berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan

Halaman 13 dari 20
penanganan pandemi COVID. Intinya pemerintah secara keseluruhan melalui sidang
kabinet, rapat menko, memutuskan hal tsb. Di Kementerian Keuangan, lintas eselon 1
dilakukan pembahasan. Sektoralnya sebetulnya sudah ada, kami hanya menentukan,
mengestimasi kira-kira sebetulnya kebutuhan anggarannya seperti apa untuk
pemberian fasilitas tersebut.
Untuk menilai apakah pemberian fasilitas diberikan kepada pihak yang eligible. Pada
prinsipnya pemberian insentif ini seperti juga sistem pajak kita adalah self assessment,
artinya WP sesuai ketentuan yang ada, mereka melaporkan pemanfaatan insentif
tersebut meskipun eligibility misal apakah dia termasuk KLU yang berhak, DJP
mengembangkan sistem yang memungkinkan deteksi apakah dia ada di KLU
eligible/tidak. Apabila ada disana bisa lanjut ke proses berikutnya, kalau tidak ditolak.
Pada saat mengajukan fasilitas tadi, ada sebagian yang melalui penelitian kesesuaian
persyaratan formal. Apabila memenuhi, sebagai contoh PPh Pasal 22 tadi, akan disetujui
dan apabila tidak sesuai akan ditolak. Pada saat laporan realisasi disampaikan WP, kami
sebetulnya juga melakukan penelitian kembali untuk termasuk eligibility-nya, termasuk
apakah dia berhak, terhadap satu-satu permohonan WP. Jadi hanya permohonan yang
clean dan clear yang akan kami buatkan tagihan ke DJPB terkait misalnya pencairan
pajak DTP. Apabila dia tidak sesuai, setiap bulan kami melakukan evaluasi, kami juga
punya tim khusus berkaitan dengan evaluasi/review pemanfaatan fasilitas tsb. Melalui
mekanisme pengawasan normal di unit vertikal, kami memberikan informasi ke mereka
semua WP yang mengajukan insentif termasuk WP yang belum memenuhi persyaratan
secara penuh seperti misalnya laporannya belum masuk. Diharapkan mereka segera
memenuhi kewajibannya sehingga laporan WP lebih valid. Apabila ditemukan ada WP
yang tidak eligible, tentunya kami akan melakukan tindakan lanjutan seperti ketika kita
mekanisme pengawasan dan pengujian kepatuhan WP yang lain.
7. Bapak Winarno – AKN II
Tanya:
Apakah DJP memiliki mekanisme/sistem yang dapat menyediakan data/informasi nilai
pengorbanan pajak yang secara riil terjadi/diberikan selama periode tahun tertentu atas
seluruh fasilitas/insentif perpajakan?
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Untuk insentif seperti pajak PEN kami punya informasinya melalui aplikasi MANDOR
(Managerial Dashboard) dimana WP melaporkan realisasi insentifnya secara online. Ada
juga hal-hal yang memerlukan waktu seperti besaran fasilitas tax holiday/tax allowance
karena kita harus menunggu seperti SPT Tahunan dari WP masuk, juga menunggu
Laporan Keuangan dari WP masuk. Jadi, ada situasi yang tidak memungkinkan kita untuk
secara real time menggambarkan seluruh insentif perpajakan yang sudah diberikan
secara keseluruhan.
8. Bapak Jarot
Tanya:
Apakah dalam LK dapat ditelusuri Belanja perpajakan yang sifatnya cash (masuk dlm
LRA), akrual (tidak cash di sajikan dalam LO), dan tidak keduanya namun di disclose
saja?
Jawab:
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani

Halaman 14 dari 20
Bicara mengenai belanja perpajakan sifatnya adalah revenue forgone yaitu kurun
waktunya satu tahun pajak yang sifatnya accrual dibandingkan cash basis. Jenis pajak
yang sifatnya angsuran pajak tujuannya adalah membantu cashflow Wajib Pajak seperti
pemberian angsuran PPh Pasal 25 yang sifatnya kredit pajak (yang bisa dikreditkan di
akhir tahun). Berbicara mengenai cash dan non-cash adalah hal yang berbeda karena
belanja perpajakan pendekatan yang digunakan adalah accrual basis. Pemberian fasilitas
yang sifatnya kredit pajak mempengaruhi shortfall tapi tidak dalam konteks belanja
perpajakan.
9. Ibu Wirda Hayati – AKN II
Tanya:
Untuk pemberian tax holiday yang telah diberikan sebelum tahun 2020 apakah sudah
dilakukan evaluasi atas Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas tersebut? Kalau sudah
bagaimana hasilnya?
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Pada prinsipnya semua fasilitas kita melakukan pengawasan. Sumber penerimaan kita
sebetulnya dibagi 2, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan tahun berjalan dan berkaitan
dengan tahun-tahun yang lalu. Berkaitan dengan fasilitas, kalau berkaitan dengan tahun
berjalan kita mengembangkan pengawasan dari penerimaan yang berkaitan dengan
pemberian fasilitas tersebut. Kalau berkaitan dengan tahun lalu, kita juga melakuan
pengujian. Jadi ada fungsi pengawasan (misalnya ada Account Representative di KPP)
yang melakukan pengawasan terhadap semua fasilitas-fasilitas yang diberikan.
Berkaitan dengan tax holiday, kita juga sebetulnya melakukan kerja sama juga untuk
melakukan evaluasi atas semua belanja perpajakan yang sudah diberikan oleh
pemerintah sebagai tahap berikutnya setelah membuat laporan belanja perpajakan,
tidak hanya fasilitas tax holiday.
10. Ibu Nazikah – AKN II
Tanya:
Dokumen/data pendukung apa yang digunakan untuk memperkirakan kebutuhan
anggaran pajak DTP? Bagaimana mekanisme untuk memastikan pajak DTP telah
diberikan kepada yang berhak?
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Untuk memperkirakan kebutuhan anggaran ada 2, yaitu pertama kita melakukan
estimasi seperti menggunakan basis data tahun sebelumnya (2019) untuk
memperkirakan kira-kira kebutuhan insentif tahun 2020 sebesar apa. Berkaitan dengan
PPh 21 DTP misalnya tahun lalu atas WP di sektor usaha yang mendapatkan fasilitas,
kira-kira PPh Pasal 21 sebesar apa dan tahun 2020 kita melakukan estimasi. Karena
kondisinya sangat tidak pasti. Artinya, apa yang diperkirakan bisa jadi sangat berbeda
dengan apa yang terjadi di lapangan karena dalam kondisi pandemi yang tidak diketahui
kapan akan berhenti pada saat itu. Selain itu, sebetulnya juga ada usulan-usulan dari
Kementerian/Lembaga berkaitan dengan misalnya PPh DTP saluran irigasi. Kami dapat
informasi dari Kementerian PU berapa sebenarnya kebutuhan dari PPh DTP
pembangunan saluran irigasi. Jadi pada prinsipnya ada 2, estimasi internal berdasarkan
basis tertentu dan usulan K/L yang mengusulkan fasilitas tersebut.
11. Bapak Winarno – AKN II

Halaman 15 dari 20
Tanya:
Tadi dijelaskan bahwa TE kategori DTP disajikan dalam APBN, yakni sebagai penerimaan
dan belanja (in out). Namun, untuk fasilitas pembebasan pajak misalnya, TE jenis ini tdk
dikelola melalui mekanisme APBN (in out). Padahal keduanya masuk dalam kategori TE,
yakni sama-sama pengorbanan negara dalam bentuk tidak menerima pendapatan pajak.
Selain itu, pembebasan pajak tersebut juga dihasilkan melalui proses administrasi oleh
petugas pajak/cukai yang seharusnya merupakan transaksi keuangan negara. Mengapa
ada perbedaan perlakuan?
Jawab:
Bapak Rofyanto Kurniawan
Belanja perpajakan ada yang di sisi belanja dan ada yang di sisi pendapatan. Di sisi
pendapatan ada yang DTP. Kalau DTP sifatnya in dan out, yaitu dicatat di pendapatan dan
di belanja. Bagaimana dengan insentif-insentif perpajakan yang lain yang berupa tax
shortfall? Sebenarnya target penerimaan perpajakan yang ada di APBN sudah
memperhitungkan berbagai insentif yang diberikan termasuk tax shortfall karena
adanya insentif PPh, PPN, dsb. Ketika menyusun target penerimaan perpajakan, DJP,
BKF, DJBC, menggunakan perhitungan-perhitungan berdasarkan asumsi-asumsi yang
ada di APBN kita, seperti target pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, yang mana ini
mempengaruhi demand (permintaan) masyarakat dan juga nilai perputaran
ekonominya.

Kemudian harus diakui juga bahwa ekonomi dan APBN kita masih sangat tergantung
pada harga komoditas, makanya ada asumsi untuk ICP, kemudian lifting minyak, dsb.
Selain itu ada asumsi untuk Kurs karena memang target penerimaan perpajakan juga
dipengaruhi oleh nilai kurs kita, terutama penerimaan-penerimaan yang berasal dari
minyak dan pertambangan yang bentuknya USD. Tentunya perhitungan berdasarkan
asumsi ini, kemudian dihitung menggunakan base line tahun sebelumnya dan itulah
kemudian didapat pencapaian target yang bisa dicapai, misalkan sekarang kita akan
menghitung untuk tahun 2022.

Jadi berapa kira-kira penerimaan pajak yang bisa dicapai tahun 2022 dari sisi PPh dan
PPN. Dalam menghitung target pajak akan dihitung lebih detil untuk per jenis pajaknya,
berapa target PPh Pasal 25, PPh Pasal 23, PPh Pasal 21, Pasal 22, dsb, termasuk PPN-nya.
Kemudian setelah didapat perhitungan-perhitungan tersebut, kita melihat insentif-
insentif pajak yang akan diberikan, misal untuk tahun 2022, apakah insentif yang
sifatnya lanjutan dari tahun 2020, 2021, kemudian dilanjutkan tahun 2022. Atau sifatnya
insentif yang baru ada tahun 2022. Kalau lanjutan, otomatis perhitungan insentif pajak
dengan base line 2021. Kalau ada insentif baru tahun 2022, akan diperhitungkan sebagai
penambah Tax Shortfall tahun 2022.

Berbagai perhitungan tersebut dihubungkan dengan berbagai kebijakan yang akan


dijalankan misalkan kebijakan ada diskon untuk PPh, otomatis di tahun 2021 ini ketika
kita memberikan diskon kepada cicilan PPh, itu otomatis penerimaan PPh-nya tidak
masuk di tahun 2021 tetapi masuk di tahun 2022. SPT disampaikan bulan Maret/April,
otomatis dihitung pembayaran PPh secara keseluruhannya apakah terjadi lebih bayar
atau kurang bayar. Demikian juga ketika kita akan menjalankan kebijakan restitusi PPN
yang dipercepat. Untuk transaksi-transaksi di bulan desember, karena reviu atas
pengajuan restitusi PPN satu bulan, maka itu akan jadi bagian penerimaan di tahun

Halaman 16 dari 20
berikutnya. Karena dipercepat maka mau tidak mau restitusinya harus dibayarkan tahun
ini sehingga menjadi tax shortfall di tahun ini.

Intinya, ketika kita menghitung target penerimaan perpajakan, yang disiapkan oleh DJP
dan direviu oleh BKF, angkanya sudah memperhitungkan berbagai insentif perpajakan
atau juga belanja perpajakan termasuk shortfall nya di angka-angka itu. Namun, angka-
angka itu tidak disampaikan secara detil.

Kemudian terkait dengan transaksinya, tidak semuanya bisa diadministrasikan.


Misalnya Tax holiday yang dapat dihitung, realisasinya dapat dihitung dan transaksinya
dapat diketahui. Misal perusahaan masih untung di tahun 2021, meskipun untung
perusahaan tidak membayar pajak. Semua data perpajakan bisa diketahui dan dihitung.
Namun, untuk beberapa insentif, misal PPN dibebaskan untuk komoditas pokok seperti
beras, sayuran, buah, DJP tidak memantau transaksi dan tidak mengadministrasikan.
Kita bisa mengetahui realisanya pajaknya setelah ada laporan realisasi PDB di tahun
2020. Konsumsi masyarakat di sector pertanian nilainya sekian, dst, dapat dihitung PPN
yang hilang berdasarkan asumsi/proksi untuk dimasukkan dalam laporan belanja
perpajakan.
12. Bapak Wahyudi Bahtiar – AKN II
Tanya:
Pemberian fasilitas perpajakan ada yang bersifat dapat dikoreksi dalam artian dapat
dicabut apabila melanggar ketentuan yang diatur dalam PMK terkait. Misalnya objek
pajak dipindahtangankan tanpa sepengetahuan DJP/DJBC pada periode tertentu atau
objek pajak digunakan untuk kegiatan diluar yang ditetapkan dalam Surat Ketetapan.
Salah satu konsekuensi pencabutan tersebut adalah dengan penagihan (Official
Assessment). Apakah pencabutan fasilitas tersebut diungkapkan juga di Tax Expenditure
Report? Apabila belum, apakah hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan? Mohon
dijelaskan mekanisme pengawasan/monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh DJP
dan DJBC atas subjek dan/atau objek yang mendapat fasilitas perpajakan. Apakah dari
hasil Monev tersebut pernah terjadi pencabutan pemberian fasilitas? Terima kasih.
Jawab:
Bapak Untung Basuki
Di dalam proses bisnis DJBC, terkait dengan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk
sudah ada dasarnya dari peraturan menteri keuangan. Yang bersangkutan mengajukan
permohonan, ini merupakan saringan pertama apakah dipenuhi persyaratan-
persyaratannya atau tidak. Kalau tidak memenuhi persyaratan, maka permohonan akan
dikembalikan. Dalam hal permohonan telah lengkap dan memenuhi persayaratan
tentunya akan dikeluarkan Surat KMK yang menjadi dasar kapan ybs mendapatkan
fasilitas dhi pembebasan bea masuk. Atas Surat KMK ini nanti ybs di dalam melakukan
impor barang dia tetap wajib melakukan penyampaian pemberian impor barang (BC
2.0). Yang membedakan barang tsb mendapat fasilitas/tdk adalah adanya elemen data
ybs mengisi kolom fasilitas termasuk Surat KMK nya. Ini merupakan saringan kedua
yang dilakukan untuk melihat apakah barang yang diimpor oleh penerima fasilitas
memenuhi persyaratan. Dalam hal ternyata tidak sesuai dengan Surat KMK, maka
Kantor BC Pelabuhan Pemasukan dapat menolak/tidak memberikan fasilitas
pembeasan bea masuk. Bila barang impor tsb memang sesuai dengan Surat KMK, maka
akan diberikan ijin/surat persetujuan pengeluaran barang.

Halaman 17 dari 20
Monev yang dilakukan oleh DJBC, ketika sudah dilakukan importasi adalah bisa
dilakukan adanya penelitian ulang ataupun audit oleh DJBC. Bila ditemukan ada
penyimpangan atas penggunaan fasilitas, tentu berlaku sesuai ketentuan yang diatur
dalam PMK itu, artinya adanya kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda yang
harus dilakukan.
Penelitian/audit bisa dilakukan, ada jangka waktunya. Dalam pencatatan memang dari
DJBC ketika misal untuk 2020 maka kita akan mengambil raw data di CEISA per ending
31 Desember 2020. Kemudian kita akan melakukan analisis, validasi, ketika ada data-
data perubahan. Namun dalam hal audit dilakukan setelah itu, karena yang ter-report
ending 31 Desember tentunya tidak dimasukkan. Artinya masih ada di laporan
sebelumnya. Namun, kami memiliki catatan terhadap seandainya ybs melakukan
penyalahgunaan. Diatur dalam PMK tersebut ybs akan dikenakan sanksi dan/atau
denda.
Bapak Ihsan Priyawibawa
Pada prinsipnya, berkaitan dengan pengujian/pengawasan atas WP yang menerima
fasilitas merupakan bagian dari stategi penerimaan kita. Dalam strategi optimalisasi
penerimaan perpajakan itu, salah satunya berkaitan dengan pengawasan pembayaran
masa yang di dalamnya salah satu tugasnya adalah, AR misalnya di KPP, harus
melakukan penelitan terhadap WP yang menerima fasilitas. Tidak hanya terhadap yang
terkait PEN, tetapi semua fasilitas yang pernah diberikan kepada WP. Misalnya tadi ada
objek pajak yang dipindahtangankan. Sebetulnya, setiap KPP memiliki program untuk
meneliti yang dicontohkan ini, baik melalui mekanisme pengawasan yang bersumber
dari sistem informasi kami (Approweb misalnya) maupun yang dilakukan melalui
penelitian lapangan (visit) ke WP bersangkutan. Maka disebut normal dalam fungsi
pengawasan yang kami lakukan.
Apabila ditemukan, tentunya akan kami tindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.
Apakah nanti misalnya mesti ditagih kembali, diterbitkan surat ketetapan pajak, dst.
Aktivitas pengawasan juga bisa dilanjutkan ke fungsi berikutnya seperti baik
pemeriksaan, penagihan, penegakan hukum, dst. Kalau yang berkaitan dengan
pengungkapannya dalam laporan belanja perpajakan. Ini mungkin belum bisa kami
jawab. Apakah ada koreksi kalau ditemukan dalam Laporan Belanja Perpajakan,
mungkin bu Oka bisa menambahkan.
Ibu Pande Putu Oka Kusumardani
Berkaitan dengan pengungkapan di laporan belanja perpajakan, BKF melakukan
pembaharuan daftar dari peraturan-peraturan yang masuk kategori belanja perpajakan
yang masih berlaku dan yang tidak termasuk dalam kategori belanja perpajakan. Jadi
pelaporannya ada, perubahan peraturan, konteks perubahan peraturan, serta
perubahan peraturan (peraturan yang dicabut dan diganti dengan peraturan baru).
13. Bapak Yusuf Dwiantoro
Tanya:
Praktek penganggaran belanja perpajakan di negara lain, ada yang mensyaratkan
pemerintahnya untuk mengestimasi belanja perpajakan tahun bersangkutan dalam
anggaran tahun yang bersangkutan, dan juga mensyaratkan untuk
mengestimasi/proyeksi belanja perpajakan untuk beberapa tahun ke depan dalam
kerangka penganggaran jangka menengah, bagaimanakah praktek di Indonesia?
Jawab:
Bapak Rofyanto Kurniawan

Halaman 18 dari 20
LKPP merupakan realisasi sampai dengan 31 Desember, sebagian bisa
dipertanggungjawabkan sampai dengan Januari, Februari, bahkan Maret. Untuk belanja
perpajakan kita harus menunggu realisasi PDB yang datanya belum ada pada 31
Desember, keluar sekitar 5 Februari dan perlu waktu satu dua bulan kemudian baru
angka-angka PDB keluar. Potensi tax loss untuk PPN dan sebagainya yang berdasarkan
kinerja perekonomian di tahun 2020, baru bisa dihitung setelah ada realisasi PDB.
Selanjutnya terkait SPT, perusahaan baru melaporkan di bulan Maret dan April. Setelah
data-data itu masuk, teman-teman BKF maupun DJP baru bisa menghitung belanja
perpajakannya. Laporan belanja perpajakan baru bisa terbit ketika Pemerintah
menyampaikan nota keuangan atau RUU APBN untuk tahun berikutnya (sekitar bulan
Agustus).
Terkait forecast belanja perpajakan, kita juga sudah mempertimbangkan ini. Dalam
menetapkan target perpajakan, realisasinya ada deviasi. PDB kita juga ada deviasi. Itu
baru tataran globalnya. Bagaimana pada tataran detilnya? Katakanlah deviasi
pertumbuhan ekonomi 5%, namun kalau kita breakdown detilnya dari komponen-
komponen pertumbuhan ekonomi, katakanlah konsumsinya berapa, investasinya
berapa, ekspor impor berapa, deviasinya ada yang lebih tinggi, bisa 10%, tetapi ada juga
1%. Semakin detil datanya, deviasinya semakin besar. Meskipun di nota keuangan
Pemerintah tidak menyajikan belanja perpajakan beberapa tahun ke depan. Saat
menyampaikan nota keuangan, pemerintah akan menyampaikan kinerja belanja
perpajakan di tahun 2020.
Untuk forecast belanja perpajakan di tahun 2021, 2022, dst bisa saja teman-teman
menyiapkan datanya yang tentunya berdasarkan forecast. Itu bisa menjadi bagian dari
kajian atau laporan yang lain. Atau menjadi komplemen dari tax expenditure yang
disampaikan oleh pemerintah.
14. Bapak Safri Ichsan – AKN II
Tanya:
Terkait dengan pemberian fasiltas pajak berupa pembebasan dan pengurangan pajak.
a. Bagaimana metode penyajian nilai tax expenditure terkait dengan fasilitas tersebut.
Dokumen sumber apa yang bisa digunakan untuk menguji nilai yang disajikan dalam
laporan tax expenditure.
b. Apakah ada mekanisme pelaporan penggunaan fasilitas pajak tersebut oleh WP dan
plafon fasilitas pajak yang bisa digunakan oleh WP? Misal pembebasan pajak selama
n tahun dengan nilai pajak yang dibebaskan maksimal RpX.
c. Terkait dengan tax holiday, bagaimana upaya DJP dalam memitigasi risiko adanya
transfer pricing dengan perusahaan afiliasi termasuk yang di dalam negeri.
Terima kasih sebelumnya.
Jawab:
Bapak Ihsan Priyawibawa
Ini bagian dari evaluasi. Prosesnya sebetulnya barengan tidak hanya DJP. Artinya kami
dengan BKF, dengan Kementerian, bahkan kami mendapatkan bantuan juga dari negara
donor misalnya untuk bisa sama-sama membantu melakukan evaluasi tax expenditure
yang telah diberikan.

Halaman 19 dari 20
H. KESIMPULAN RAPAT OLEH MODERATOR
1. Belanja perpajakan terdiri dari potential revenue losses dan subsidi pajak/pajak
ditanggung pemerintah;
2. Belanja perpajakan bersifat potential loss dilaporkan pada Laporan Belanja Perpajakan.
Belanja perpajakan dalam bentuk subsidi/DTP selain dilaporkan dalam laporan belanja
perpajakan juga dicatat dalam postur APBN sebagai belanja Negara dan menjadi bagian
dari target penerimaan perpajakan.
3. Pembebasan pajak belum dapat dimuat dalam laporan belanja perpajakan karena datanya
tidak diadministrasikan oleh DJP, misalnya tidak ada data berapa PPN yang tidak
dikenakan kepada bahan kebutuhan pokok.
4. Forecast belanja perpajakan untuk tahun-tahun ke berikutnya belum disajikan ke dalam
laporan belanja perpajakan mengingat belum cukup tersedia datanya. Namun, bisa saja
dibuatkan forecast belanja perpajakan pada kajian atau laporan yang lain atau sebagai
komplemen dari laporan tax expenditure.

Mengetahui,

Notulen, Plt. Kepala Subauditorat II.B.2


Koordinator

Safri Ichsan
Fahruddin Latif
Anggota,

Esha Najitama

Anggota

Dara Muliyani

Anggota

I Putu Hatesa Twenta Zoja/

Halaman 20 dari 20

Anda mungkin juga menyukai