Anda di halaman 1dari 15

PERPAJAKAN

Disusun Oleh :
Dwina Nur Dinda
64220976

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS BINA SARANA INFORMATIKA
1. Data pajak APBN terbaru:
Data pajak terbaru pada periode tahun 14 Desember 2022 menurut Menteri keuangan
Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak hingga 14 Desember 2022 telah mencapai
110,06% dari target yang ditetapkan sepanjang 2022. Penerimaan pajak pada APBN
2022 telah mencapai Rp1.634,36 triliun. Jumlahnya tumbuh 41,9% (year-on-year/yoy)
dan atau setara dengan 110,06% dari target penerimaan pajak tahun ini. Sri Mulyani
menjabarkan bahwa realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas mencapai Rp900
triliun atau sudah 120,2% dari target APBN. PPh migas yang telah terkumpul Rp75,4
triliun pun sudah melampaui target, yakni 116,6%. Selama periode Januari-14
Desember 2022 realisasi penerimaan PPh Non-Migas sudah mencapai Rp900 triliun
atau 120,2% dari target. Kemudian realisasi PPh Migas mencapai Rp75,4 triliun
(116,6% dari target), PPN dan PPnBM Rp629,8 triliun (98,6% dari target), sedangkan
PBB dan Pajak Lainnya Rp29,2 triliun (90,4% dari target). Kendati kinerja perpajakan
tahun ini dalam kondisi baik, Sri Mulyani menyatakan pemerintah perlu waspada di
tahun depan. Dari mulai April 2022 sampai hari ini pertumbuhan kumulatif penerimaan
pajak selalu di atas 40%. Namun, kita lihat tidak akan mungkin growth-nya terus-
menerus tinggi. Jadi kita juga harus mengkalibrasi target penerimaan pajak kita," kata
Sri Mulyani.

2. Data realisasi penerimaan pajak terbaru


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak pada Januari
2022 mencapai Rp 109,1 triliun atau sekitar 8,23 persen dari target sebesar Rp 1.265
triliun di tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pencapaian
itu membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami surplus Rp
49,4 triliun. “Penerimaan pajak sangat kuat di Januari, total penerimaan kita mencapai
Rp 109,1 triliun atau tumbuh mendekati 59,4 persen. Kinerja kesimbangan primer yang
mencatat surplus Rp 49,4 triliun, dibandingkan defisit Rp 20,8 triliun pada Januari
2021. Ini adalah situasi di mana APBN mengalami pembalikan yang sangat baik,”
jelasnya dalam Konferensi Pers APBN Kinerja dan Fakta. Sri Mulyani pun
mengelaborasi kinerja penerimaan pajak berdasarkan beberapa
komponen. Pertama pajak penghasilan (PPh) nonmigas (minyak dan gas) mencatat
realisasi sebesar Rp 61,14 triliun pada Januari 2022. Kinerja ini mengalami kenaikan
56,7 persen dibandingkan tahun lalu di periode yang sama, yakni sebesar Rp 39,02
triliun atau mengalami kontraksi 15,75 persen. “Kenaikan sebanyak 56,7 persen ini juga
dikarenakan kenaikan aktivitas ekonomi yang cukup kuat yang menggambarkan
momentum pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani. Kedua, pajak pertambahan nilai
(PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) juga mengalami kenaikan
yang cukup tinggi, yakni sebesar Rp 38,43 triliun atau tumbuh 45,86 persen. Jika
dibandingkan tahun lalu di periode yang sama, PPN dan PPnBM mengalami kontraksi
sebesar 14,88 persen atau Rp 26,35 triliun.

3. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban negara dan peran wajib
pajak untuk secara langsung dan Bersama-sama melaksankan kewajiban perpajakan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir, hanya 2 kali target penerimaan target tercapai. Apabila target pajak selalu
meleset. Puncaknya terjadi pada tahun 2015, Ketika hanya 81,5 persen dari target
penerimaan pajak. Segala upaya dikerahkan untuk mencapai target perpajakan. Salah
satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan perpajakn yaitu: pemerintah
menacangkan program-program pengampunan pajak pada tahun 2016. Berbeda dengan
tahun 2021, semua target berhasil dilakukan, namun kita juga membutuhkan
pengampunan pajak dan komponen UU harmonisasi peraturan perpajakan.

4. Data perusahaan yang bayar pajak terbaru:


Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan pajak
mencapai Rp1.171,8 triliun. Menurut Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, kinerja
penerimaan pajak yang sangat baik pada periode Januari-Agustus ini dipengaruhi oleh
tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis yang
rendah pada tahun 2021 akibat pemberian insentif fiskal, dan adanya dampak
implementasi Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. “Jadi
tumbuhnya penerimaan pajak sampai dengan Agustus di angka 58,1%, capaian
Rp1.171 triliun pada waktu target APBN (sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun
2022) Rp1.485 triliun,” Jika dirinci, total penerimaan pajak tersebut berasal dari
Rp661,5 triliun PPh non migas (88,3% target), Rp441,6 triliun PPN dan PpnBM (69,1%
target), Rp55,4 triliun PPh migas (85,6% target), dan Rp13,2 triliun PBB dan pajak
lainnya (40% target) Sementara itu, seluruh jenis pajak mengalami pertumbuhan neto
kumulatif dominan positif. PPh 21 tumbuh 21,4%, PPh 22 impor tumbuh 149,2%, PPh
Orang Pribadi 11,2%, PPh Badan tumbuh 131,5%, PPh 26 tumbuh 17,2%, PPh Final
tumbuh 77,1%, PPN Dalam Negeri tumbuh 41,2%, dan PPN Impor tumbuh 48,9%.
Untuk penerimaan sektoral, seluruh sektor utama tumbuh positif ditopang oleh
kenaikan harga komoditas, pemulihan ekonomi, serta bauran kebijakan antara lain
phasing-out insentif fiskal, pelaksanaan UU HPP, dan kompensasi bahan bakar minyak.
Beberapa sektor dengan kontribusi terbesar yaitu industri pengolahan 29,7% tumbuh
49,4%, perdagangan 23,7% tumbuh 66,3%, jasa keuangan dan asuransi 10,9% tumbuh
15,2%, pertambagan 8,9% tumbuh 233,8%, dan sektor konstruksi dan real estate 4,1%
tumbuh 10%. “Kemudian lanjut dengan update UU HPP, beberapa tadi ini adalah
bagian dari reform regulasi atau reform kebijakan yang kita letakkan di UU HPP, bahwa
ada beberapa yang terus menerus menjadi salah satu perluasan basis kita di tahun
2022,” Pertama, PPN Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pelaku usaha
PMSE yang sudah ditunjuk sebagai pemungut sebanyak 127 perusahaan dan berhasil
mengumpulkan penerimaan PPN sebesar Rp8,17 triliun. Jumlah tersebut berasal dari
setoran tahun 2020 Rp730 miliar, setoran tahun 2021 Rp3,9 triliun, dan setoran tahun
2022 Rp3,54 triliun.Kedua, Pajak Fintech yang mulai berlaku 1 Mei 2022 dan mulai
dibayarkan di bulan Juni 2022. PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp74,44 miliar dan PPh 26 yang
diterima wajib pajak luar negeri atau BUT sebesar Rp32,81 miliar.Ketiga, Pajak Kripto
yang berlaku mulai 1 Mei 2022 dan dibayarkan di bulan Juni 2022. PPh 22 atas
transaksi aset kripto melalui penyelenggara PMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri
sebesar Rp60,76 miliar dan PPN dalam negeri atas pemungutan oleh nonbendahara
sebesar Rp65,99 miliar. Terakhir, dari dampak penyesuaian tarif PPN mulai 1 April
2022 terdapat penambahan penerimaan PPN sebesar Rp1,96 triliun pada April 2022,
Rp5,74 triliun pada Mei 2022, Rp6,25 triliun pada Juni 2022, Rp7,15 triliun pada Juli
2022, dan Rp7,28 triliun pada Agustus

5. Free rider dapat diartikan sebagai tindakan atau praktik mengambil


manfaat atau mencari keuntungan dari upaya, pengorbanan, atau pengeluaran
keuangan orang lain, tanpa membuat kontribusi serupa. Sesuai dengan artikel bertajuk
free riding. Sejalan dengan itu, OECD Glossary Tax Statistical Term mengartikan, free
rider menjadi masalah yang muncul ketika suatu perusahaan atau individu mendapat
manfaat dari tindakan dan upaya orang lain tanpa membayar atau berbagi biaya (sharing
the cost). Pemerintah memperoleh sumber pembiayaan dalam pengadaan barang publik
lewat beberapa sumber salah satu di antaranya pajak. Malahan, pajak sekarang menjadi
tulang punggung keuangan negara karena menyumbang lebih dari 80% dari seluruh
pendapatan negara. Artinya jika pajak mempunyai peran besar untuk membiayai
pengadaan barang publik. Oleh karena itu, pada beberapa literasi atau sosialisasi, istilah
free rider juga seringkali disematkan untuk pihak yang ikut menikmati manfaat publik,
tetapi tidak membayar pajak. Contohnya, setiap lapisan masyarakat membutuhkan jalan
raya dan pertahanan nasional. Kedua barang publik itu dibiayai lewat penerimaan
negara meliputi pajak. Oleh sebab itu, jika seorang ikut memanfaatkannya, namun tidak
membayar pajak akan timbul masalah
UNDANG UNDANG HARMONISASI PERPAJAKAN

Pada Mata Kuliah Perpajakan Progam studi manajemen Semester 2


Tahun 2023

Disusun Oleh:
Dwina Nur Dinda
NIM.64220976

Dosen Pengajar:
Andi Sanmasri Bangun,MM

PROGAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


BINA SARANA INFORMATIKA 2023
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak berperan penting dalam kehidupan bernegara. Beberapa tahun belakang, pajak
merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Kewajiban membayar pajak tellah
tercantum dalam pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lai yang bersifat
memaksa untu keperluan negara diatur dengan undang-undang”.1 Bedasarkan data yang
diperoleh dari website Kementrian Keuangan Republik Indonesia, penerima pajak di tahun
2023 tumbuh besar 48,6% dan 9,44% dari target APBN atau sebesar Rp.162,23 triliun.
Capaian ini meningkat dari penerimaan pajak pada tahun 2021, yang hanya
sebesarRp.1.547,8 triliun (107,15%) dari target APBN.2
Memasuki era modernisasi, system pemungutan pajak yang lama, ternyata sudah tidak lagi
sesuai. Baik dari segi pemungutan, maupun dari laju pembangunan. Hal ini terlihat dari
jumlah pembayar pajak yang masih sangat sedikit dibandingkan dengan potensi pendapatan
yang seharusnya dapat tercapai. Jumlah wajib pajak (WP) yang memiliki Nomer Pokok
Wajib Pajak atau NPWP hanya 53 juta Nomer Induk Kependudukan (NIK) per 8 Januari
2023. Jumlah itu mencakup 76,8% dari total 69 juta NIK. Jumlah tersebut sedikit bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai hingga 273,52 juta jiwa per 31
Januari 2023.3 Oleh karena itu pemerintah menciptakan suatu trobosan melalui reformasi
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Undang-Undang ini terdiri dari sembilan bab, serta memiliki enam ruang lingkup pengaturan.
Salah satunya, menambahkan ketentuan baru mengenai pengaturan penggunaan NIK sebagai
NPWP. Pemberlakuan ketentuan ini akan mengintegrasikan data perpajakan dengan basis
data kependudukan. Dengan adanya pengintegrasian tersebut, diharapkan akan memudahkan
dan menyederhanakan sistem administrasi perpajakan yang saat ini masih terbagi-bagi
menjadi beberapa pintu. Adapun tujuan lainnya adalah untuk memperkuat reformasi
administrasi perpajakan dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan
untuk mengoptimalkan penerimaan negara untuk pembangunan nasional, dengan
mewujudkan sebuah sistem perpajakan yang mudah dan berkepastian sesuai dengan landasan
pembentukkan UU ini dibuat.
Sebelumnya, pemberlakuan NIK menjadi NPWP resmi disahkan pada 29 Oktober 2021.
Pajak ini juga sesuai dengan progam negara yang termuat di dalam Peraturan Presiden
(PerPres) Republik Indonesia No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data atau SDI . Progam
keterbukaan dta yang berfokus pada penguatan manajemen dan tata Kelola data. Melalui UU
HPP, khusunya terkait pengaturan NIK yang akan dijadikan sebagai data pajak, diharpakan
mampu memperbaiki dan membantu sarana administrasi perpajakan dalam menyediakan data
yang bersifat akuntabel. Maka pemerintah melakukan integrasi basis data pajak khususnya
NPWP dengan basis data kependudukan yaitu NIK. Dengan system ini, akan membentuk
profil bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).4
Namun muncul persoalan terkait pemaknaan fungsi NPWP dengan NIK. Apabila NPWP
hanya wajib dimiliki oleh orang yang aktif bekerja dengan dengan menghasilkan pendapatan
di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan juga sebagai identitas wajin pajak,
sedangkan dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan,
bahwa NIK adalah nomer khas dan tunggal yang akan merekat seumur hidup sebagai
penduduk Indonesia,5 memunculkan celah mengenai pemaknaan pengaturan NIK sebagai
NPWP. Khususya dalam Pasal 2 ayat 1a yang berbunyi, “Nomer Pokok Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan
penduduk Indonesia menggunakan nomer induk kependudukan”.6
Bila melihat pada penjelasan diatas, NPWP merupakan tanda pengenal bagi warga negara
yng sudah tergolong menajdi wajib pajak (WP). Sedangkan NIK merupakan data
kependudukan sebagai warga negara Indonesia yang tidak hanya dimiliki orang dewasa dan
cukup umur. NIK juga dapat dimiliki oleh anak yang baru lahir.
Dalam rumusan Pasal 2 ayat 1a UU HPP ini menimbulkan cukup celah, dalam tahapan
pengintegrasian, pertanyaan yang muncul diantara lain, bagi semua warga Indonesia yang
mana kemudian secara tidak langsung akan menjadi golongan Wajib Pajak karena telah
terintegrasi dengan NIK atau pemerintah memiliki pemaknaan lain perihal pengintegrasian
NIK sebagai NPWP.
Persoalan lain yang mucul kemudian, jika dibenturkan dengan fungsi dari penggunaan NIK,
yang tidak perlu diubah saat seseorang berpindah domisili, sedangkan NPWP harus
disesuaikan dengan tempat bagi Wajib Pajak berdomisili.Bedasarkan dengan hal ini
mengenai pemaknaan NIK sebagai NPWP, aturan serta konsep mengenai pengintegrasian
tersebut yang akan menyatukan antara 2 (dua) komponen, yaitu basis data kependudukan dari
pencatatan sipil dengan Menteri Keuangan yang akan diintegrasikan menajadi data pajak.
Dalam penelitian ini, di dalam jurnal yang berjudul Harmonisasi UU HPP dengan Tax Center
Jilid 2 mengatakan bahwa UU tersebut merupakan produk hukum baru, guna meningkatkan
pendaptan negara saat masa pandemi. Di UU tersebut mengatur terkait beberapa perubahan
yang diubah, diantara lain: NPWP, PPH,PPN dan pajak karbon. Ketentuan perubahaan terkait
peraturan diatas menajadi perhatian pemerintah dalam meningkatkan pendaptan negara.
BAB II
TINJAUAN

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah yuridis pengaturan NIK sebagai NPWP dalam sistem perpajakan di
Indonesia ?
2. Bagaimanakah implikasi hukum dari adanya pengintegrasian NIK sebagai NPWP dalam
sistem perpajakan di Indonesia ?
3. Bagaimanakah konsep ideal pengintegrasian NIK sebagai NPWP dalam sistem perpajakan
di Indonesia ?
B. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah berikut :
1. Mengetahui yuridis terkait pengaturan NIK sebagai NPWP dalam sistem perpajakan di
Indonesia.
2. Mengetahui implikasi hukum terkait dengan adanya pengintegrasian NIK sebagai NPWP
dalam sistem perpajakan di Indonesia.
3. Mengetahui konsep ideal terkait dengan pengintegrasian NIK sebagai NPWP dalam sistem
perpajakan di Indonesia
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan


bahwa:
1. Berdasakan rumusan masalah pertama, maka dapat disimpulkan:
mengenai Analisis Yuridis Penggunaan NIK Sebagai NPWP Dalam Sistem Perpajakan di
Indonesia. Terlebih peraturan ini merupakan peraturan baru, yang masih perlu untuk ditelaah
lebih lanjut. Selain itu, penelitian ini juga merupakan penelitian yang berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya, karena belum ada penelitian yang membahas dan menganalisis terkait
dengan pengaturan penggunaan NIK sebagai NPWP khususnya dalam sistem perpajakan di
Indonesia.
2. Bedasarkan rumusan masalah kedua, maka dapat disimpulkan:
Dengan implikasi hukum diharapkan akan memudahkan dan menyederhanakan sistem
administrasi perpajakan yang saat ini masih terbagi-bagi menjadi beberapa pintu. Adapun
tujuan lainnya adalah untuk memperkuat reformasi administrasi perpajakan dan
meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan
penerimaan negara untuk pembangunan nasional, dengan mewujudkan sebuah sistem
perpajakan yang mudah dan berkepastian sesuai dengan landasan pembentukkan UU ini
dibuat.
3. Bedasarkan rumusan masalah ketiga, maka dapat disimpulkan:
Pada pengaruh hukum serta konsep ideal pengintegrasian tersebut, karena dalam
pengintegrasian akan melibatkan dua instansi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Keuangan. Hal lainnya yang berkaitan dengan pengaturan ini, bahwa NPWP sebagai Identitas
Wajib Pajak yang mencangkup identitas Wajib Pajak tersebut bertempat tinggal atau
berkedudukan,
DAFTAR PUSTAKA

1Lihat Undang Undang 1945. 2https://kemenkeu.kemenkeu.go.id/informasi-


publik/publikasi/berita-utama/Awali-Tahun-2023,- Pertumbuhan-Pajak-Sangat-Baik
3https://www.bps.go.id/indicator/12/1886/1/jumlah-penduduk-hasil-proyeksi-menurut-
provinsi- dan-jenis-kelamin.html
4Sri Mulyani, 2021. Website Resmi Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kembali-tegaskan-menkeu-sebut-nik-jadi-
npwpuntuk-penyederhanaan/
5Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Kependudukan.
6Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan.
7Setiadi, 2022. Harmonisasi UU HPP Perpajakan Indonesia Dengan Tax Center Jilid 2.
Jurnal Bisnis dan Akuntansi Unsurya. Vol. 7, No. 1
TUGAS PRTEMUAN KE 2 PERPAJAKAN

Disusun oleh
Dwina Nur Dinda
64220976
2. Data Realisasi Penerimaan Pajak
Pada Bulan Januari 2023, penerimaan pajak mencapai Rp162,23 triliun,
tumbuh 48,6% (yoy) dan 9,44% dari target APBN 2023 sebesar Rp.1.718
triliun. Kinerja penerimaan pajak yang sangat baik ini dipengaruhi oleh
aktivitas ekonomi yang meningkat pada Bulan Desember sejalan dengan
libur Natal dan Tahun Baru, juga dampak implementasi Undang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, capaian itu
merupakan indikasi ekonomi Indonesia terus bertumbuh. Pasalnya,
menurut dia, penerimaan pajak pada Januari 2022 hanya sebesar Rp109,2
triliun atau bertumbuh 59,5% (yoy) dibanding Januari 2021 sebesar
Rp68,5 triliun. realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas merupakan
penyumbang terbesar yakni Rp78,29 triliun, dengan capaian 8,96% dari
target sektor sektor keseluruhan tahun. Menurut Sri Mulyani, penerimaan
PPh nonmigas bertumbuh 28,03% secara tahunan (yoy).
Realisasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang
mewah (PPnBM) mencapai Rp74,64 triliun atau 10,04% dari target pajak
keseluruhan tahun. Per Januari 2023, realisasi PPN dan PPnBM bertumbuh
93,86% dari Januari 2022, Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
mencapai Rp1,29 triliun pada Januari 2023 atau 3,21% dari target pajak
keseluruhan tahun. Realisasi PBB pada periode tersebut melonjak
118,72% secara tahunan (yoy). Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) migas
sebesar Rp8,03 triliun atau 13,07% dari target pajak keseluruhan tahun.
Meski demikian, realisasi PPh migas mengalami kontraksi 10,09% dari
tahun sebelumnya (yoy).“PPh migas menurun, sebagaimana terlihat pada
penurunan harga komoditas,”
3. Data Total OP Usahawan Dan Perusahaan Yang Bayar Pajak
Terbaru
Bedasarkan data Ditjen Pajaapai 15,9 k (DJP), per 31 Desember
2021tercatat SPT Tahunan 2020 mencapai 15,97 Juta. Jumlah wajib pajak
wajib SPT sendiri mencapai 19 Juta, total SPT Tahunan wajib
pajak badan yang masuk mencapai 1,01 Juta SPT. Adapun SPT tahunan
wajib pajak orang pribadi yang masuk mencapai 14,77 atas SPT Tahunan
2021 yang disampaikan pada 2022, DJP menargetkan kepatuhan wajib
pajak sebesar 80%, masih sama dengan target pada tahun tahun
sebelumnya. Tahun lalu rasio kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan menyentuh angka 84%. Data milik
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengatakan, per 31 Desember 2021, SPT
Tahunan 2020 tercatat mencapai 15,97 juta dari 19 juta wajib pajak yang
wajib melaporkan SPT.
1. PT Adaro Indonesia
2. PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk
3. PT Astra Daihatsu Motor
4. PT Bio Farma
5. PT Bukit Asam Tbk
6. PT Bank Mandiri Tbk
7. PT Bukit Asam Tbk
8. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk

Anda mungkin juga menyukai