Anda di halaman 1dari 4

Kepatuhan pajak (tax compliance) dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku di mana Wajib

Pajak (WP) memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak


perpajakannya. Terdapat dua macam kepatuhan, yakni kepatuhan formal dan kepatuhan
materiil.

Kepatuhan wajib pajak merupakan sebuah tindakan yang mencerminkan patuh dan sadar
terhadap ketertiban dalam kewajiban perpajakan wajib pajak dengan melakukan pembayaran dan
pelaporan atas perpajakan masa dan tahunan dari wajib pajak yang bersangkutan baik untuk
kelompok orang atau modal sendiri sebagai modal usaha sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku.

Dalam hal ini, kepatuhan wajib pajak sangat dijunjung tinggi karena pada dasarnya Direktorat
Jenderal Pajak ataupun instansi pemerintah akan selalu memberikan penghargaan bagi wajib
pajak yang melakukan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar. Pemberian penghargaan
kepada wajib pajak ini dilakukan oleh DJP atau pemerintah guna untuk mendorong dan
meningkatkan penerimaan negara khususnya di sektor perpajakan.

Hal ini pun menjadi tujuan dari DJP dan pemerintah untuk mengapresiasi wajib pajak orang
pribadi maupun badan untuk segala keikutsertaan dalam mencapai target penerimaan pajak demi
kemajuan ekonomi di wilayah Indonesia. Namun, selain itu penghargaan tersebut juga akan
diberikan atas dasar pertimbangan dalam kepatuhan perpajakan setiap wajib pajak terhadap
peraturan perpajakan yang ada.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa keberhasilan dalam pelaksanaan perpajakan pastinya
didukung dengan adanya kepatuhan setiap wajib pajak dalam melakukan kewajiban
perpajakannya. Di Indonesia sendiri yang memang menerapkan sistem self assessment yaitu
dimana aspek terpenting yang mempengaruhi kepatuhan perpajakan adalah kewajiban
perpajakan itu sendiri, maka dari itu setiap wajib pajak mempunyai tanggung jawab sendiri untuk
memenuhi segala kewajiban perpajakannya dalam pembayaran ataupun pelaporan secara akurat
dan tepat waktu.

Tidak hanya di Indonesia, kepatuhan perpajakan juga menjadi aspek terpenting dalam perpajakan
di semua negara baik pada negara maju maupun negara berkembang sekalipun. Kenapa begitu?
Karena jika setiap wajib pajak tidak melakukan kewajiban perpajakannya atau tidak patuh untuk
menaati setiap peraturan perpajakan yang ada, maka pasti akan memunculkan keinginan wajib
pajak untuk melakukan setiap tindakan-tindakan yang akan menyebabkan berkurang dan
menurunnya penerimaan pajak negara yaitu seperti melakukan tindakan penghindaran,
pengelakan,serta penyelundupan. 

umlah tersebut setara 40,05% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2023. Jika dirinci, capaian Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas tercatat Rp 410,92 triliun atau
47,04% dari target. Pajak ini tumbuh 20,11% jika dibandingkan dengan periode yang sama di
tahun sebelumnya. Selanjutnya, penerimaan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM) hingga akhir April 2023 tercatat sebesar Rp 239,98 triliun atau 32,30%
dari target. Angka capaian ini juga tumbuh 24,91%.

Sementara itu, raihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya mencapai Rp4,92
triliun atau 12,30% dari target. Capaian ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 102,62%.
Demikian juga, PPh Migas tercatat Rp 32,33 triliun atau 52,62%  dari target. Ini juga tumbuh
5,44%.umlah tersebut setara 40,05% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2023. Jika dirinci, capaian Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas tercatat Rp 410,92
triliun atau 47,04% dari target. Pajak ini tumbuh 20,11% jika dibandingkan dengan periode yang
sama di tahun sebelumnya.

Selanjutnya, penerimaan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM) hingga akhir April 2023 tercatat sebesar Rp 239,98 triliun atau 32,30% dari target.
Angka capaian ini juga tumbuh 24,91%. Sementara itu, raihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dan pajak lainnya mencapai Rp4,92 triliun atau 12,30% dari target. Capaian ini juga mengalami
pertumbuhan sebesar 102,62%. Demikian juga, PPh Migas tercatat Rp 32,33 triliun atau 52,62% 
dari target. Ini juga tumbuh 5,44%.Komponen perpajakan merupakan penyumbang terbesar
pendapatan negara.

Dalam Tiga tahun terakhir total penerimaan perpajakan menyumbang rata-rata 68,6% dari total
penerimaan negara. Adapun komponen terbesar dalam total penerimaan perpajakan berasal dari
pajak dalam negeri atau 66,0% selebihnya berasal dari pajak perdagangan internasional.
Secara nominal dalam dua tahun terakhir penerimaan perpajakan mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Dalam tahun 2005, total penerimaan perpajakan mencapai Rp347,0 triliun,
dalam tahun 2006 meningkat menajdi 409,2 triliun atau meningkat sebesar 17,9%. Dalam tahun
2007 penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai sebesar Rp489,9 triliun atau mengalami
peningkatan sebesar 19,7%. Namun pencapaian atau realisasi penerimaan perpajakan tersebut
masih dibawah target yang ditetapkan dalam APBN.

Walaupun secara nominal penerimaan perpajakan mengalami peningkatan namun tax ratio nya
justru mengalami penurunan. Berdasarkan PDB dengan basis cakupan perhitungan tahun 2000,
tax ratio tahun 2005 mencapai 12,3% sedangkan dalam tahun 2006 menurun menjadi 12,3%.
Begitu pula apabila tax ratio dihitung dengan basis cakupan tahun sebelumnya tetap mengalami
penurunan yaitu 13,7% pada tahun 2005 menjadi 13,5% pada tahun 2006 Tanda-tanda
melambatnya penerimaan pajak sudah terlihat sejak awal tahun ini. Kementerian Keuangan
mencatat, penerimaan pajak pada Januari 2023 tumbuh 48,6 persen, kemudian menurun menjadi
40,35 persen pada Februari 2023, 33,78 persen pada Maret 2023, dan menyentuh 21,29 persen
pada April 2023.

Pada April 2023, penerimaan negara dari pajak mencapai Rp 688,15 triliun, setara dengan 40,05
persen dari target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Meski masih
tumbuh 21,29 persen, laju pertumbuhannya melambat dibandingkan periode yang sama tahun
lalu ketika penerimaan pajak pada April 2022 masih mampu tumbuh 51,49 persen.

Perlambatan pertumbuhan pada periode tersebut disebabkan oleh menurunnya harga mayoritas
komoditas utama serta penurunan aktivitas ekspor dan impor. Dalam konferensi pers APBN Kita
edisi Mei 2023, Senin (22/5/2023) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah
mulai mewaspadai normalisasi basis penerimaan akibat kondisi ekonomi global yang volatil itu.

Di tengah penerimaan negara yang semakin moderat itu, pemerintah dihadapkan pada tantangan
menurunkan rasio utang dan defisit fiskal setelah sebelumnya sempat membengkak akibat
pandemi Covid-19. Sampai 30 April 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.849,8
triliun dengan rasio utang 38,15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Rasio utang pemerintah sempat meningkat hingga menyentuh 41 persen terhadap PDB, tertinggi
sejak reformasi, pada tahun 2021. Namun, pada 2022, angka rasio utang telah diturunkan
menjadi 38,65 persen terhadap PDB.

Anda mungkin juga menyukai