Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latang Belakang Masalah

Pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin stabilitas nasional,

membuat kebijakan untuk mengatur warga negaranya, dan melaksanakan

pembangunan demi pemerataan di seluruh wilayah. Dalam menjalankan

kewenangan tersebut pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sumber

pendapatan negara sendiri bersumber dari berbagai hal, mulai dari sumber daya

alam, badan usaha milik negara, hingga iuran yang dipungut pada setiap warga

negaranya. Salah satu bentuk iuran masyarakat adalah pajak.

Pajak merupakan salah satu unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran

yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan

pengeluaran pemerintahan. Pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang

dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya, berdasarkan undang-undang

yang berlaku di mana atas pungutan tersebut negara dan tidak memberikan kontra

prestasi secara langsung kepada pembayar pajak. Usaha meningkatkan

penerimaan negara disektor pajak mempunyai banyak kendala yaitu antara lain

tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, sehingga wajib pajak berusaha

untuk membayar kewajiban pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya dan juga

masih banyak wajib pajak yang tidak melaporkan dan membayarkan pajaknya.

Penerimaan pajak menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBD. Penerimaan

negara dari sektor pajak terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membuat

pemerintah sedang gencar dalam melakukan usaha untuk meningkatkan


penerimaan yang berasal dari pajak. Direktorat Jenderal Pajak merupakan

lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengurus perpajakan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan perubahan-

perubahandalam administrasi perpajakan. Sejak tahun 2001, Direktorat Jenderal

Pajak telah memulai beberapa langkah reformasi perpajakan yang modern,

efisien, danefektif. Salah satu tujuan perubahan dalam Direktorat Jenderal

Pajak yaknimemberikan pelayanan prima pada masyarakat dan Wajib Pajak

(WP). Modernisasi administrasi perpajakan dilakukan oleh Direktorat Jenderal

Pajak (DJP) sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk memenuhi

AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pendapatan pajak yaitu tingkat persentase yang sangat besar dibanding

kandengan pendapatan lainnya. Dengan adanya pajak , maka pemerintah memiliki

dana yang digunakan untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan

stabilitas suatu harga sehingga inflasi tidakterjadi dan juga dapat dikendalikan

dengan baik. Pajakyang sudah dipungut olehnegara akan digunakan untuk

membiayai semua kepentingan umum, termasukpembangunan untuk lapangan

kerja sehingga dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat.

Intansi negeri yang mempunyai wewenang untuk menerima pajak pusat

adalah direktorat Jenderal Pajak. Sebab pajak merupakan penerimaan keuangan

terbanyak untuk negara hingga pajak wajib dimaksimalkan oleh Direktorat Jendral

Pajak serta dengan aktif dari wajib pajak. Guna meningkatkan kepatuhan wajib

pajak , Direktorat Jendral Pajak senantiasa berupaya memaksimalkan pelayanan

sehingga diharapkan bisa meningkatkan pemahaman serta kemauan warga untuk


tertib, selaku Wajib Pajak adalah dengan menggunakan teknologi informasi serta

komunikasi dengan mempraktikkan e-filling adalah suatu layanan penyampaian

Surat Pemberitahuan (SPT) Secara elektronik bagi wajib pajak Orang Pribadi

(OP) maupun badan, yang menggunakan jaringan internet melalui ASP

(Application Service Provider) ataupun penyedia Jasa Aplikasi yang lain.

Tabel 1. Target Penerimaan Dan Pelapor SPT tahunan

Tahun Target Realisasi Target Realisasi Wajib

Penerimaan Penerimaan Pelaporan Pelaporan pajak

SPT SPT Terdaftar

Tahunan Tahunan

2020 670.197.202.00 527.979.921.8 34.701 37.793 166.767

2021 593.053.059.00 608.822.089.6 28.812 31.292 176.503

Sumber : KPP Pratama Kota Lhokseumawe, 2022

Dari Tabel 1 diatas menjelaskan tentang target penerimaan dan pelapor SPT

tahunan pada tahun 2020-2021. Pada tahun 2020 pada target penerimaan

berjumlah Rp 670.197.202.000, tetapi pada realisasi penerimaan yang diperoleh

lebih sedikit dari pada target penerimaan. Kemudian pada tahun 2020 untuk target

pelaporan SPT tahunan nya berjumlah 34.701 wajib pajak, tetapi pada realisasi

pelaporan SPT Tahunan mencapai37.793 wajib pajak, ini halnya realisasi

pelaporannya. Kelebihan pencapaian target yang telah dibuat. Pada Tahun 2021
target penerimaan berjumlah Rp 593.053.059.000, dan pada realisasi penerimaan

berjumlah Rp 608.822.089.671. Ini menandakan bahwa penerimaan yang

diperoleh telah melebihi pencapaian target yang telah dibuat. Pada target

pelaporan SPT tahunan tahun 2021 yaitu berjumlah 28.812 wajib pajak, dan pada

realisasi pelaporan SPT tahunan mencapai 31.292 wajib pajak yang berarti

pelaporan SPT tahunan pada tahun 2021 telah melebihi target yang telah dibuat.

Hal ini mengidentifikasikan target peneriman pada tahun 2021 mengalami

penurunan dari tahun sebelumnya, Sedangkan realisasi penerimaan

mengalami peningkatan.

Untuk dapat mencapai target penerimaan pajak, pemerintah menetapkan

kebijakan sebagai upaya perbaikan di bidang perpajakan sehingga membuat Wajib

Pajak semakin mudah dan taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan

dimulai dengan melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh pada

tahun 1983, dan pada awal tahun 1984 sistem perpajakan di Indonesia

berubah dari official assessment system menjadi self assessment system.

Official assessment system tanggung jawab pemungutan terletak sepenuhnya

pada penguasa pemerintah, sedangkan self assessment system yang

memberikan wewenang sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung,

memperhitung, membayar sendiri besar pajak yang terutang, dan melaporkannya

ke Kantor Palayanan Pajak (KPP) setelah tahun pajak terakhir. Sehingga

dengan kata lain, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib

pajak dalam proses penghitungan pajaknya. Nampak jelas disini bahwa dalam
self assessment system wajib pajak lebih dipandang sebagai subjek bukan objek

pajak. Beriringan dengan waktu berlalu, sekarang pemerintah sudah

memudahkan wajib pajak dengan modernisasi sistem pelaporan, teknologi

informasi yang berkembang semakin maju sangat berpengaruh dalam pembuatan

sistem ini. Jika dulu butuh waktu cukup lama untuk memproses data maka dengan

adanya teknologi informasi semuanya menjadi lebih cepat. Teknologi

informasi menyentuh berbagai aspek di sektor pemerintahan dan membuat

semuanya menjadi lebih mudah. Salah satu sektor pemerintahan yang

mendapatkan kemudahan dengan perkembangan teknologi informasi ini

adalah bidang perpajakan. Adanya teknologi informasi yang memadai dan

pelaporan yang lebih mudah daripada manual diharapkan semakin banyak

Wajib Pajak yang akan Membayar pajak.

Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2014

E- Filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau Surat Pemberitahuan

perpanjangan SPT Tahunan yang dilakukan secara online yang realtime melalui

website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau penyedia jasa aplikasi

atau Application Service Provider (ASP) dengan memanfaatkan jalur komunikasi

internet secara online realtime, sehingga Wajib Pajak tidak perlu lagi melakukan

pencetakan semua formulir laporan dan menungggu tanda terima secara manual.

E-filing merupakan sebuah aplikasi sistem informasi dimana pelapor pajak

berinteraksi dengan sistem Teknologi Informasi yang kompleks. Dalam kaitannya

terhadap pelayanan kepada masyarakat, e-filing memberikan dimensi penting

terhadap layanan e-government dalam bidang administrasi perpajakan, yaitu


dengan layanan yang memanfaatkan kecepatan dan keefektifan biaya melalui

internet. Secara sederhana, e-filing merupakan implementasi penerapan

government dalam bidang administrasi perpajakan khususnya dalam pelaporan

SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan).

Pengertian penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

proses, cara, perbuatan menerapkan; pemasangan; pemanfaatan. E-filling

merupakan bagian dari sistem dalam administrasi pajak yang digunakan untuk

menyampaikan SPT secara online yang realtime kepada kantor pajak. Jadi,

penerapan sistem e- filling adalah suatu proses atau cara memanfaatkan sistem

yang digunakan untuk menyampaikan SPT secara online yang realtime yang

diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Adanya sistem pelaporan pajak dengan menggunakan e-filing dapat

memudahkan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat melaporkan SPT-nya 24 jam

selama 7 hari. Sistem ini sangat bermanfaat untuk Wajib Pajak yang tidak

melaporkan SPT-nya dengan alasan sibuk. Selain itu, dengan adanya e-filing

ini dapat mengurangi biaya yang ditimbulkan dari penggunaan kertas. Selain

itu, pengeriman data Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan dimana saja

dan kapan saja baik di dalam maupun di luar negeri, tidak tergantung pada jam

kantor dan dapat pula dilakukan di hari libur dan tanpa kehadiran Petugas Pajak,

dimana data akan dikirim langsung ke database Direktorat Jenderal Pajak dengan

fasilitas internet (on-line) yang disalurkan melalui satu atau beberapa Perusahaan

PenyediaJasa Aplikasi (ASP).


Namun, faktanya masih banyak Wajib Pajak yang belum

mengerti sepenuhnya cara melaporkan SPT-nya secara elektronik, padahal banyak

manfaat yang didapatkan apabila menggunakan e-filing ini. Persepsi

kebermanfaatan, persepsi kemudahan dan kepuasan penggunaan menjadi

penentu sebuah sistem diterima atau tidak.

Oleh karena itu, didasari atas ketertarikan dan keingintahuan

mengenai dampak secara nyata dari kebijakan E-filing, dan mengambil sampel

data dari KPP Pratama Lhokseumawe, penulis melakukan tinjauan terhadap

pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama Lhokseumawe

dengan data Wajib Pajak Badan yang melakukan pelaporan SPT Tahunan

dengan menggunakan e filing. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk Proyek Akhir dengan judul

“Penerapan E-Filing Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Lhokseumawe”

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

Masalah dalam penelitian adalah bagaimanakah penerapan E-Filing dalam

meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT Wajib Pajak Badan pada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP)Pratama Lhokseumawe.

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut ialah

untuk mengetahui penerapan E-Filing dalam meningkatkan kepatuhan

pelaporan SPT Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Lhokseumawe.

1.4 Manfaat Penelitian

Bedasarkan tujuan penelitian diatas, maka manfaat yang diperoleh

dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

kemampuan berfikir mengenai penerapan teori yang telah didapat penulis

dibangku kuliah kedalam penelitian yang sebenarnya.

2. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat serta informasi

yang berguna sehingga digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi

instansi dalam menerapkan pelayanan publik serta sosialisasi mengenai e-

filing.

3. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan dan masukan serta 8

referensi bagi penelitian terkait yang dilakukan selanjutnya.

1.5 Metode Penelitian


Penelitian ini bersifat Deskriptif, yaitu menguraikan pemecahan

masalah berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan dan didasarkan data - data

yang ada. Metode penelitian yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data

sehubungan dengan penyusunan Proposal Proyek Akhir terdiri atas:

1. Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian Proposal Proyek Akhir ini dilakukan pada

Penerapan e-Filing dalam meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT Wajib Pajak

Badan Pada KPP Pratama Lhokseumawe pada Seksi Pelayanan.

2. Data yang Digunakan dan Sumber Data

Data yang digunakan dan sumber data sehubungan dengan

penyusunan Proposal Proyek Akhir ini terdiri atas:

a. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data pertama atau

tangan pertama. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada penelitian

ini penulis mendapatkan data primer yang bersumber dari

wawancara, dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan e-filing.

b. Data Sekunder

Data Sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut

dan disajikan dengan baik oleh pihak pengumpul data primer atau

pihak lain. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mendapatkan data

sekunder dengan cara melakukan studi pustaka dengan membaca buku,

artikel dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian Proposal

Proyek Akhir serta memperoleh data dari internal instansi seperti


data jumlah Wajib Pajak Badan yang terdaftar pada KPP Pratama

Lhokseumawe.

3. Cara Pengambilan Data

Cara yang digunakan untuk pengambilan data primer ialah melalui

wawancara mendalam (depth interview) dengan salah satu karyawan Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe tepatnya di Seksi Pelayanan. Sedangkan

data sekunder penulis dapatkan dengan cara mengumpulkan bahan dari buku-buku

dan sumber- sumber yang ada diperpustakaan yang berkaitan dengan judul

penelitian dalam Proyek Akhir ini dan mengolah daftar jumlah Wajib Pajak

Badan Tahun 2020-2021 yang terdaftar pada KPP Pratama Lhokseumawe.

4. Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh penulis dilakukan dengan

cara deskriptif, yaitu menguraikan data-data yang diperoleh dilapangan

kemudian dinarasikan dengan kalimat yang jelas sehingga mampu

menggambarkan permasalahan yang akan dibahas dalam Proyek Akhir ini.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk mempemudah dalam memahami penulisan Proyek Akhir, maka

penulis membuat sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa sub bab,

yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menguraikan latar belakang


masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode 10 penelitian, sistematika penulisan, ruang

lingkup penelitian, lokasi dan waktu penelitian.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Dalam bab ini, penulis mengemukakan teori - teori yang

berhubungan dengan masalah yaitu Pengertian Pajak, Fungsi

Pajak, Sistem Pemungutan Pajak, Pengertian Wajib Pajak,

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, serta Pengertian SPT e- Filing.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang gambaran umum KPP

Pratama Lhokseumawe yang meliputi sejarah singkat, visi dan

misi, struktur organisasi dan aktivitas organisasi selanjutnya

dibahas tentang Penerapan E-Filing dalam Meningkatkan

Kepatuhan Pelaporan SPT Wajib Pajak Badan Pada KPP

Pratama Lhokseumawe.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini penulis mengambil beberapa kesimpulan dan

mengemukakan sejumlah saran-saran yang menyangkut dengan

judul penelitian sebagai masukan bagi Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Lhokseumawe.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian


Untuk lebih memfokuskan hasil penelitian Proyek Akhir ini, maka penulis

hanya membatasi pada Penerapan E- Filing dalam Meningkatkan Kepatuhan

Pelaporan SPT Wajib Pajak Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Lhokseumawe.

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil objek pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Lhokseumawe yang beralamat di Jalan Merdeka No. 146, Lhokseumawe

24351. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan November 2023 sampai

dengan April 2024


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU

KUP), Pajak adalah pembayaran wajib kepada negara, yang sifatnya wajib

menurut undang-undang, tanpa balas jasa secara langsung, dan digunakan untuk

kepentingan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian Pajak

lainnya sebagaimana disampaikan oleh Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul

“Perpajakan”, pajak merupakan iuran yang wajib dibayarkan oleh rakyat kepada

negara yang sifatnya dapat dipaksakan dan diatur berdasarkan undang-undang,

dengan tidak memperoleh balas jasa secara langsung, dipergunakan negara untuk

sebesar-besarnya kepentingan rakyat (Mardiasmo, 2016)

Dalam (Riftiasari, 2019), Pajak merupakan sumber utama penerima negara

yang digunakan untuk membiayai pengeluaean negara, penggolongan pajak

berdasarkan lembaga pemungutan pajak terdiri atas pajak pusat dan pajak daerah.

Menurut undang-undang Nomor 16 tahun 2009 dalam (mardiasmo,2018)

tentang perubahan keempat atass Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 Berbunyi:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negerayang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak


mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut prof.Dr. Rochmat Soemitro,S.H., dalam (Mardiasmo, 2018)

mengemukan bahwa , “pajak adalah uiran rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat diaksakan dengan tidak mendapat jasa timbul

(kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum”.

Definisi tersebut kemudian disempurnakan menjadi:

Pajak adalah peralihan kekeyaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk

membiyai penegeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving

yang merupakan sumber utama ntuk membiayai public investment.

Menurut S.I. Djajadinigrat dalam (Resmi, 2021:1) dalam (Octovido &

Azizah,2014): Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari

kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan

yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut

peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa

timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara

umum.

Menurut Dr. N. J. Feldman dalam (Resmi, 2019) mengemukakan bahwa,

“pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutama kepada

penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya

kontrapretasi, dan semata _mata digunakan untuk menutup pengeluaran-

pengeluaran umum.
Menurut Andriani dalam Waluyo (Suharyadi, Martiwi, & Karlina, 2018)

dalam (suharyadi, 2019) menyebutkan Bahwa , “pajak adalah iuran kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutama oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat

ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.

Berdasarkan pengertian para ahli yang ada diatas, dapat kita simpulkan

bahwa pajak adalah kotribusi wajib kepada negara yang terutama oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.1.1. ciri-ciri pajak

Menurut (Resmi,2014) dalam (Suleman,2019) ciri-ciri pajak yang melekat

pada defisi pajak:

1. Pajak dipungut berdarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta

aturan pelaksanannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak ditunjukkan adanya kontraprestasi

individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara, baik penerima pusat maupun pemerintah

daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila

dari pemasukannya masih dapat surplus, digunakan untuk membiayai

public investment.

2.1.2 Fungsi pajak

Pada dasarnya pajak mempunyai peranan penting yang cukup besar dalam

kehidupan bangsa. Ada beberapa fungsi pajak dalam (putra,2017)

Diantaranya sebagai berikut:

a. Fungsi Anggaran (budgetair)

Fungsi budgetair disebut juga fungsi utama pajak atau fungsi fiscal

function), yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagi alat untuk

memasukkan dana secara optimal ke kas berdasarkan undang-undang

perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi

inilah yang secara historis pertama kalitimbul. Disini pajak merupakan

sumber pembiayaan yang terbesar.

b. Sebagai Alat Pengatur (regulerend)

fungsi ini mempunyai pengertian bahwa pajak dapat dijadikan sebagai alat

untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh, ketika pemerintahan

berkeinginan untuk melindungi kepentingan petani dalam negeri,

pemerintah dapat menetapkan pajak tambahan, seperti pajak impor atau

bea masuk, atas keinginan impor komoditas tertentu contohnya.

a. pajak yang tinggi dikenakan terhadapt minuman keras untuk

mengurangi konsumsi minuman keras.


b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk

mengurangi gaya hidup konsumtif.

c. Sebagai Alat Penjaga Stabilitas

Pemerintah dapat menggunakan sarana perpajakan untuk stabilitas

ekonomi sebaian barang-barang impor dikenakan pajak agar produksi

dalam negeri dapat bersaing. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah

dan menjaga agar eficit perdagangan tidak semakin melebar, pemerintah

dapat menetapkan kebijakan pengenaan PPnBM terhadapap impor produk

tertentu yang bersifat mewah. Upaya tersebut dilakukan untuk meredam

impor barang mewah yang berkontribusi terhadap neraca perdagangan.

d. Fungsi Restribusi pendapatan

Pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai pembangunan

infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan. Kebutuhan akan dana itu

dapat dipengaruhi melalui pajak yang hanya dibebankan kepada mereka

yang mampu membayar pajak. Namun demikian, infastruktur yang

dibangun tadi, dapat juga dimamfaatkan oleh mereka yang tidak mampu

membayar pajak.

2.1.3. Jenis-Jenis Pajak

Menurut (putra, 2017) jenis pajak banyak ragamnya. Keragaman ini

tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Pembagian pajak dapat dilihat dari

siapa yang menanggung pajak, lembaga yang memungut dan sifatnya.

1. Jenis-jenis pajak berdasarkan siapayang menanggung.


pihak yang menanggung, pajak dapat dibedakan atas pajak langsung dan

pajak tidak langsung.

a. Pajak langsung, pajak langsung adalah pajak yang dilaksanakan

secara berskala terhadap seseorang atau badan usaha berdasarkan

ketetapan pajak. Pajak langsung dipikul sendiri oleh Wajib Pajak.

b. Pajak tidak langsung: Pajak tidak langsung adalah pajak yang

dikenakan atas perbuatan atau peristiwa.

2. Jenis-jenis pajak berdasarkan lembaga pemungut

Sementara itu, berdasarkan lembaga pemungut, pajak dibedakan bersarkan

atas pajak Negara (Pemerintah pusat) dan pajak daerah (Pemerintah

Daerah).

a. Pajak Negara: Pajak negara adalah pajak yang pemungutnya

dilaksakan oleh pemerintah pusat. Pajak yang termasuk pajak

negara adalah pajak penghasilan, pajak tambahan niai barang dan

jasa dari pajak penjualan atas barang mewah.

b. Pajak Daerah : Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh

pemerintahan daerah, baik oleh daerah tingkat I maupun oleh

pemerintah daerah untuk membiayai rumah tangganya.

3. Jenis-jenis pajak berdasarkan sifatnya

Berdasarkan sifatnya pajak dibedakan atas pajak subjektif dan pajak

objektif.
a. Pajak Subjektif: Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada

subjeknya (Wajib Pajak). Contohnya pajak penghasilan dan paja

bumi dan bangunan.

b. Pajak Objektif: Pajak objektif adalah pajak yang dipungut

berdasarkan objeknya tanpa memperhatikan Wajib Pajak.

Contohnya pajak penjualan dan cukai.

Berdasarkan pengertian dari ahli diatas , dapat disimpulkan bahwa jenis-

jenis pajak dilihat dari siapa saja yang menanggung, lembaga yang memungut dan

sifatnya.

2.1.4. Sistem pemungutan pajak

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton dalam bukunya Hukum Pajak 14

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008, hal. 2.

menyatakan bahwa pada dasarnya ada 4 (empat) macam sistem pemungutan pajak

yaitu :

a) Official assessment system adalah suatu pemungutan pajak yang

memberi menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang

terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini masyarakat (Wajib Pajak)

bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak

oleh Fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah

adanya surat ketetapan pajak.

b) Semi self assessment system adalah suatu system pemungutan pajak

yang memberi wewenang pada fiskus dan Wajib Pajak untuk

menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang. Dalam sistem ini


setiap awal tahun pajak Wajib Pajak menentukan sendiri besarnya

pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran

bagi Wajib Pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir

tahun pajak Fiskus menentukan besarnya uatang pajak yang

sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak.

c) Self assessment system adalah suatu system pemungutan pajak yang

memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya

utang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak yang aktif sedangkan

Fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang

terutang seseorang, kecuali Wajib Pajak melanggar ketentuan yang

berlaku.

d) Withholding system adalah suatu system pemungutan pajak yang

memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/ memungut

besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan

tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada Fiskus. Pada

sistem ini Fiskus dan Wajib Pajak tidak aktif, Fiskus hanya bertugas

mengawasi saja pelaksanaan pemotongan/ pemungutan yang dilakukan

oleh pihak ketiga.15 Dasar hukum pemungutan pajak adalah

perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 23A. Lembaga pemerintah yang

mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal

Pajak (DJP) yang merupakan salah satu Direktorat Jenderal yang ada

di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.


2.2 Pengertian Wajib Pajak

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- undang No. 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa “Wajib

Pajakadalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundanng –

undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,

termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu”.

Wajib Pajak merupakan subjek pajak yang memenuhi syarat objektif yang

ditentukan oleh undang-undang karena memperoleh penghasilan kena pajak yaitu

penghasilan yang dalam satu tahun pajak tertentu melebihi batas Pendapatan

Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi wajib pajak dalam negeri. Jadi dapat disimpulkan

bahwa, wajib pajak adalah orang atau badan yang tidak hanya telah

memenuhi syarat- syarat subjektif tapi secara sekaligus memenuhi syarat-

syarat objektif.

Menurut Mardiasmo dalam Chairunnisa (2019:13) pengertian Wajib Pajak

dapat diartikan sebagai berikut ini “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,

meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang

mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan”

Menurut Abdul Rahman dalam Nurhidayah (2015:13) “Wajib

Pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan

kewajiban perpajakan yaitu memungut atau memotong pajak tertentu yang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.


Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

Wajib Pajak adalah subyek pajak yang terdiri dari orang pribadi atau badan

yang memenuhi syarat-syarat obyektif yang ditentukan oleh Undang-undang,

yaitu menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak yang mempunyai

hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

2.2.1 Jenis-jenis wajib pajak

Menurut Dwiarso Utamo (2011:3-4), Wajib Pajak (WP) terdiri atas:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib pajak orang pribadi adalah orang pribadi yang berada di Indonesia

lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga ) hari dan memiliki penghasilan

atas usaha sendiri atau miliki pekerjaan tidak bebas (karyawan) yang

penghasilannya diatas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP).

2. Wajib Pajak Badan

Wajib pajak Badan adalah sekumpul orang atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usha maupun yang tidak melakukan usaha

yang meliputi Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dengan nama dan dalam bentuk apapun firma,koperasi,dana

pension, persekutuan, yayasan , organisasi, lembaga atau bentuk yang

lainnya.
2.2.2 Hak dan kewajiban wajib pajak

Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 16

tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat

1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wajib pajak memiliki hak dan

kewajiban, yaitu sebagai berikut:

1. Hak Wajib Pajak

a. Hak atas kelebihan pembayaran pajak

b. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan pemeriksa.

c. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali.

d. Hak-hak wajib pajak lainnya

a) Hak kerahasiaan bagi wajib pajak

b) Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran.

c) Hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan.

d) Hak untuk pengurangan PPh Pasal 25.

e) Hak untuk pengurangan PBB.

f)Hak untuk pembebasan pajak.

g) Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

h) Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan.

2. Kewajiban Wajib Pajak:

a. Kewajiban mendaftar diri.


b. Kewajiban pembayaran, pemotongan /pemungutan / dan pelaporan

pajak.

c. Kewajiban dalam hal diperikasa.

d. Kewajiban memberi data.

2.3 Pengertian E-Filling

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 01/PJ/2017 yaitu efiling

atau aplikasi SPT elekteronik adalah “Perangkat lunak yang dapat digunakan

untuk membuat SPT elektronik baik yang disediakan oleh Direktorat Jenderal

Pajak maupun penyedia layanan SPT elektronik. Layanan E-filing melalui situs

Direktorat Jenderal Pajak telah terintegrasi dalam layanan DJP Online

(http://djponline.pajak.go.id). Untuk penyampaian laporan SPT pajak lainnya,

Efiling di DJP online menyediakan fasilitas penyampaian SPT” Menurut Casavera

(2009:4) e-filing adalah “Suatu cara penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan

SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara online dan real time

melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).” Berdasarkan seluruh pengertian diatas,

dapat disimpulkan bahwa sistem e-filing merupakan suatu sistem online dan real

time yang digunakan sebagai pelaporan SPT yang di fasilitasi oleh Direktorat

Jenderal Pajak guna memudahkan Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat

Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Berdasarkan definisi dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

PER-1/PJ/2014 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan

Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Formulir


1770S atau 1770SS secara e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak

Pasal 1 ayat 6, mendefinisikan e-filing sebagai berikut:“E-filing adalah adalah

suatu cara penyampaian SPT atau penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan

SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara on-line yang real time

melalui website Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id atau

Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service (ASP) yang telah ditunjuk oleh

Direktorat Jenderal Pajak yang terdiri dari:

1. http://www.pajakku.com

2. http://www.laporpajak.com

3. http://www.layananpajak.com

4. http://www.spt.co.id”.

Fidel dalam Akhmadi (2017:4), mengemukakan bahwa“E-filing adalah

suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan melalui sistem on-line dan real-

time”.

Menurut Hidayat dan Purwana (2018:28), “ E-filing adalah cara

penyampaian SPT atau pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan yang

dilakukan secara online dan real-time melalui website e-filing pajak DJP

Online atau aplikasi yang disediakan Application Service Provider (ASP) pajak”.

Dari seluruh pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem e-

filing merupakan suatu sistem online dan real time yang digunakan sebagai

pelaporan SPT yang di fasilitasi oleh Direktorat Jenderal Pajak guna


memudahkan Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

Tahunan.

2.3.2 Dasar hukum E-filling

Pelaksanakan E-Filling di dasarkan pada Peraturan Direktur Jenderal

Pajak Nomor Per-1/PJ/2014 Tentang tata cara penyampaian SPT Tahunan secara

elektronik yang dilakukan secara online dan real time melalui internet pada

website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi

atau Application Service Provider. Beberapa dasar hukum diberlakukannya e-

filling antara lain:

1. Undang-undang Nomor 16 Tahunan 2009 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan

2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2016 tentang Tata

Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan

3. Peraturan Direktur jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem

Pembayaran Pajak Secara Elektronik

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2011 tentang Tata

Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang

Pribadi

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER/48/PJ/2011 tentang

perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

19/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolaan Surat

Pemberitahuan.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ?2017.

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018.

E-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan melalui

sistem online dan real time. E-filling sebagai suatu layanan penyampaian SPT

secara elektronik baik orang pribadi maupun Badan melalui internet pada website

Direktorat Jenderal Pajak atau Penyedia Jasa Aplikasi kepada Kantor Pajak

dengan memanfaatkan internet, sehingga Wajib Pajak Tidak perlu mencetak

semua formulir laporan dan menunggu tanda terima secara manual. Keberhasilan

Pelaksanan E-filling sangat dipengaruhi kepercayaan wajib pajak.

2.3.3. Karakteristik E-filling

Pelaporan Pajak melalui e- filling memiliki karakteristis yang mana e-

filling memberikan kepastian hokum dan ketetapan dengan Peraturan Menteri

Keuangan nomor 9/PMK.03/2018 dan ditindak lanjuti dengan PER No.

02/PJ/2019 tentang tata cara penyampaian. Tidak hanya itu, dalam sistem

administrasi penerimaan SPT Tahunan juga ada perubahannya mulai dari

perubahan dalam kemudahan perhitungan pajak sampai dengan perubahan dalam

bentuk form pengisian yang semakin dipermudah dan disederhanakan. Wajib

pajak dapat menggunakan e-filling harus memiliki EFIN, hal ini sama dengan PIN

pada ATM.

Pelaporan pajak melalui e-filling memiliki nilai lebih jika dibandingkan

dengan inovasi yang sebelumnya, sehingga menjadi pembeda dengann yang

lainnya. Dengan e filling wajib pajak tidak lagi harus mendatangi KPP Pratama,
Sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Tidak lagi membutuhkan hardcopy

alias kertas dan tempat penyimpanan berkas. Melakukan pelaporan pajak

menggunakan e-filling ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja selama

terdapat signal internet untuk menjangkau aplikasi e-filling. Hal ini memperkuat

pendapat I Nyoman, dkk (2017) yang menyatakan dampak dari penggunaan e-

filling terhadap wajib pajak, yang mana tidak lagi menggunakan kertas serta

penyimpanan berkas. E-filling adalah kebaruan dari inovasi yang sebelumnya

yang mana dengan e-filling wajib pajak dapat melaporkan sendiri SPT

Tahunannya dengan mudah dan dapat dilakukan dimana saja dengan

menggunakan sarana pendukung seperti computer, Laptop, dan smart phone

dengan fasilitas internet. Hal ini didukung teori menurut Hanafi (1981) sifat-sifat

inovasi salah satunya keuntungan relative, artinya inovasi dianggap lebih baik

dibandingkan inovasi sebelumnya dan memberikan keuntungan kepada pengguna

inovasi tersebut.

2.3.4. Kelebihan dan kekurangan E-filling

Kelebihan pelaporan pajak dengan system e-filling bagi Wajib pajak yaitu

menjadikan pekerjaan Wajib Pajak lebih efisien karena dengan adanya e-filling,

Wajib Pajak tidak perlu mengantri lama di KPP dan menghabiskan banyak kertas

untuk keperluan melaporkan atau penyampaian SPT Tahunannya. Cukup dengan

menyampaikan secara online dan memberikan bukti penyampaiannya ke KPP

proses penyampaian SPT selesai dilakukan. Sedangkan bagi KPP Pratama

Lhokseumawe, dengan adanya pemberlakuan system e-filling akan memberikan


pelayanan terbaik, perekaman data menjadi lebih cepat dan akurat, serta mengatasi

masalah kurangnya sumber daya manusia yang kompeten pada seksi Pelayanan.

Kekurangan pada penerapan sistem e-filling yang dialami Wajib Pajak

Terutama Wajib Pajak Badan, diantaranya adalah kurangnya pengetahuan

masyarakat terhadap modernisasi perpajakan, masyarakat yang belum paham akan

kewajiban dan kepatuhan wajib pajak khususnya bagi Wajib Pajak baru yang

masih awam dengan perpajakan, serta masalah jaringan internet yang

menyebabkan proses transfer data ke server terkadang terhambat karena belum

semua daerah memiliki koneksi internet yang bagus. Selain itu, Wajib Pajak yang

menggunkan sistem e-filling juga masih diwajibkan menyampaikan Induk SPT

secara manual karena belum adanya aturan telematika tentang keabsahan tanda

tangan dijital.

2.3.5. Jenis-jenis formulir E-filing

Pengisian dan pelaporan SPT Tahunan secara elektronik melalui e-

filing yang diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor

PER-1/PJ/2014 untuk saat ini melayani dua jenis SPT Tahunan, yaitu:

1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 Sederhana

(1770 S) Formulir 1770 S digunakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

yang sumber penghasilan lain yang bukan dari kegiatan usaha dan/atau

pekerja bebas.

2. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Formulir 1770

Sangat Sederhana (1770 SS) “Formulir 1770 SS digunakan oleh dari


satu pemberi kerja dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan

jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60.000.000,00 setahun.

E- filing juga melayani penyampaian SPT berupa Leadere -SPT. SPT yang

telah dibuat melalui aplikasi e-SPT (pengisian SPT elektronik) dapat disampaikan

30 secara online melalui Leader e-SPT pada pelayanan e-filing. SPT yang

dapat disampaikan melalui e-filing Leader e-SPT DJP Online, yaitu:

1. SPT Tahunan PPh Badan Formulir 1771 digunakan bagi Wajib Pajak

Badan (PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/D, Koperasi, Yayasan),

wajib pajak orang pribadi luar negeri yang berstatus BUT, Wajib Pajak

Badan yang hanya memperoleh penghasilan yang telah dikenakan PPh

Final, dan Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif (KIK).

2. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 dan 1770 S

Formulir 1770 digunakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang

mempunyai penghasilan dari kegiatan usaha dan/atau pekerja bebas.

3. SPT Masa PPh Pasal 21/26.

4. SPT Masa PPh Pasal 4 (2).

5. SPT Masa PPN dan PPnBM.

Berdasarkan jenis-jenis formulir e-filing di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa dengan menggunakan fasilitas e-filing pelaporan SPT kini

dapat dilakukan 24 jam sehari dalam 7 hari seminggu, serta dapat dilakukan

dimana saja.
2.3.6. Pemberitahuan Perpanjangan E-filling

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2017

tentang Penyampaian E-filling yaitu:

1. Dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak surat permintaan kelengkapan

SPT Elektronik diterbitkan, Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan

SPT Elektronik ke KPP.

2. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT Elektronik

dalam jangka Waktu sebagaimana dimaksud, KPP menyampaikan surat

pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap

tidak disampaikan dengan menggunakan contoh format.

3. Dalam hal Wajib Pajak yang menyampaikan kelengkapan SPT Elektronik

dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, tanggal penyampaian SPT

Elektronik adalah tanggal pengiriman surat.

4. Dalam hal SPT elektronik disampaikan melalui saluran tertentu

sebagaimana dimaksud, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Peneriamaan

Elektronik.

5. Bukti Penerimaan Elektronik sebagaimana dimaksud, dianggap sebagai

tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang SPT elektronik tersebut telah

lengkap.

6. Atas penyampaian SPT elektronik SPT elektronik sebagaimana dimaksud

yang telah diterbitkan Bukti Penerima Elektronik , KPP dapat melakukan

penelitian kelengkapan SPT elektronik.


7. Berdasarkan penelitian sebagimana dimaksud, berlaku ketentuan sebagai

berikut:

a. Bukti Penerimaan Eektronik merupakan bukti penerimaan dalam hal

SPT elektronik dinyatakan lengkap.

b. KPP menerbitkan surat permintaan kelengkapan SPT elektronik

dengan menggunakan contoh format yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peeraturan Direktur Jenderal ini dalam hal SPT

elektronik dinyatakan tidak lengkap.

8. Dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak surat permintaan kelengkapan

SPT elektronik diterbitkan, Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapam

SPT elektronik ke KPP.

9. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT elektronik

dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, KPP menyampaikan surat

pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap

tidak disampaikan dengan menggunakan contoh format yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

10. Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan SPT elektronik adalah

tanggal Bukti Penerima Elektronik

2.4 Pengertian KepatuhanWajib Pajak

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan Wajib Pajak Dalam

Menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang

tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai


dengan kebeneranya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan

kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak (dilakukan sendiri atau

dibantu tenaga ahli) misalnya praktisi perpajakan profesional buakan fiskus selaku

pemungut pajak. Sehingga kepatuhan dilakukandenagn seft assesment sytem,

dengan tujuan meningkatkan pemerintah pajak yang optimal. Kepatuhan Wajib

Pajak terdiri dari kepatuhan pada pelaporan SPT Masa yaitu Wajib Pajak Badan

yang dilaporkan melalui KPP dan SPT Tahunan yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi

yang dilaporkan melalui KPP Pratama.

Menurut Zain dalam Avianto, dkk (2016:3), “Kepatuhan Wajib Pajak

adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan,

tercermin dalam situasi dimana Wajib Pajak paham atau berusaha untuk

memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

Aryobimo dalam Nurhidayah (2015:19), mendefinisikan bahwa

“Kepatuhan Wajib Pajak adalah dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak

dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat

Penberitahuan, kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Jadi, Kepatuhan Wajib

Pajak adalah ketika Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan

melaksanakan hak perpajakannya, Kewajiban perpajakan meliputi mendaftar diri,

menghitung, dan membayarkan pajak terutang, membayar tunggakan, dan

menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan.”

Pratama dalam suherman dan Almunawwaroh (2015: 103), mengemukan

bahwa “Wajib Pajak patuh adalah Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kembalian pembayaran pajak, setiap tahun pada akhir

bulan januari dilakukan penetapan Wajib Pajak patuh”.

Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepatuhan

Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan

kewajibaan perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

2.4.1 Kriteria Wajib Pajak Patuh

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007

tentang Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian

Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu

tersebut sebagai Wajib Pajak Patuh apabila memenuhi beberapa syarat sebagai

berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahukan Tahunan dalam 3

(tiga) tahun terakhir yaitu akhir bulan ketiga setelah tahun pajak.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali

tunngukan pajak yang belum dilunasi pada saat atau setelah tanggal

pengenakan denda.

3. Laporan keuangan harus diaudit oleh oleh Akuntansi Publik atau lembaga

Pengawas Keuangan Pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian

selama 3 (tiga) tahun berturut-berturut diberikan oleh auditor apabila tidak

ditemukan kesalahan material secara menyuluh dalam laporan keuangan

yang disajikan, dengan kata lain laporan keuangan tersebut sudah sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).


4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan berdasarkan keputusan pengauditan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Kepatuhan Wajib Pajak tidak hanya dinilai dengan apakah individu

tersebut membayar pajak atau tidak, tetapi ada hal-hal lain yang dapat dinilai

untuk mengetahui kepatuhan pajak. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan

No.544/KMK.04/2000 kriteria Wajib Pajak yang patuh adalah sebagai berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam dua

tahun terakhir.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah

memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

3. Tidak pernah dijatuhkan hukuman karenaa melakukan tindak pidana

dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

4. Dalam dua tahunan terakhir penyelenggarakan pembukuan dan dalam hal

terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada

pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak terutang paling banyak

5%.

5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terkhir diaudit oleh

akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat

pengecualian sepanjang tidak memengaruhi laba rugi fiskal.

Berdasarkan kriteria Wajib pajak patuh di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa Wajib Pajak harus memiliki suatu prestasi yakni patuh terhadapat semua

ketentuan yang sesuai dengan prosedur.

Anda mungkin juga menyukai