Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sekarang ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor
khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya
harga barang-barang, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta turunnya
daya beli masyarakat menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh
pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia berusaha untuk
meningkatkan pendapatan yang berasal dari dalam negeri, dan pajak merupakan jawaban atas
permasalahan tersebut. Pajak memberikan kontribusi pendapatan Negara Indonesia yang
terbesar.
Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar peranannya dalam mengamankan anggaran
Negara dalam APBN setiap tahunnya. Penerimaan Negara yang berkesinambungan
dimungkinkan dan layak dibangun adalah perolehan dari sektor pajak. Struktur penerimaan
Negara dalam APBN menempatkan penerimaan sektor pajak sebagai pos penerimaan
terbesar. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi yang berfluktuasi di pasar
internasional dalam kurun waktu relatif panjang pada awal dekade 1980-an.
Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk meningkatkan jumlah penerimaan Negara
dengan tidak mengandalkan pada penerimaan dari sektor migas, kemudian dilakukan
Reformasi perpajakan sebagai perubahan pada tahun 1983 mengambil kebijakan dengan
melakukan reposisi andalan bagi penerimaan Negara yakni dari migas menjadi pajak.
Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk meningkatkan jumlah penerimaan Negara
dengan tidak mengandalkan pada penerimaan dari sektor migas, kemudian dilakukan
Reformasi perpajakan sebagai perubahan peraturan lama sampai keakar-akarnya, dasar
falsafah dan sistem pemungutan diterapkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, dengan
mengandalkan sistem perpajakan yang sebelumnya akan menghalangi usaha peningkatan
efisiensi industri dalam negeri, dimana sistem perpajakan yang ada dianggap belum efektif
untuk menjangkau segala aspek perpajakan. Dan secara jelas IGGI (Inter Govermental Group
of Indonesia) menyebutkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia berada di bawah standar
sistem perpajakan nasional.
Pembaharuan sistem perpajakan nasional melalui reformasi perpajakan (tax reform)
diupayakan untuk mendukung reposisi penerimaan andalan dari sektor pajak agar berjalan
baik. Maka untuk pertama kalinya dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983, yaitu
perubahan atas sistem Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Bila
dengan Official Assessment System, maka yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak
terutang yang harus dibayar oleh masyarakat adalah pihak fiskus yakni berdasarkan data dan
informasi yang dimiliki. Sedangkan dengan Self Assessment System, maka diberikan
kepercayaan kepada masyarakat (Wajib Pajak) untuk menghitung sendiri besar pajak yakni
sesuai dengan transaksi atau kondisi yang dialami dan kemudian dibayar ke kas Negara.
Perubahan sistem pemungutan pajak tersebut memiliki tujuan penting yaitu meningkatkan
jumlah penerimaan pajak sebagai penyumbang terbesar penerimaan Negara untuk tujuan
pembangunan. Tujuan reformasi perpajakan adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada
Wajib Pajak (Tax Payer’s Service Quality) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas
Negara, menekankan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak,
meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya,
menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan
akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak sekaligus publikasi jelasnya pos
penggunaan pengeluaran dana pajak, dan meningkatkan penegakan hukum pajak,
pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun
kepada Wajib Pajak. Dengan uang yang berasal dari pungutan pajak, negara memperoleh
dukungan dana untuk melancarkan roda pemerintahan.
Tetapi disisi lain apabila pungutan pajak dilaksanakan dengan tanpa terkendali dapat
berakibat pemerasan terhadap rakyat. Untuk tetap dalam koridor yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara maka pungutan pajak harus taat asas dan
mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Untuk adanya control dari masyarakat maka
para wajib pajak perlu memahami apa yang menjadi kewajiban sebagai wajib pajak, serta
memahami apa fungsi pajak sebenarnya.
Saat ini Indonesia menganut tiga system pemungutan pajak, official assessment system, self
assessment system dan withholding system. Ketiga system diatas memiliki keistimewaan
masing-masing. Namun yang memiliki peranan yang paling dominan adalah system self
assessment yang mana wajib pajak diberikan wewenang untuk menghitung, melaporkan, dan
menyetorkan sendiri pajak yang terutang. Berdasarkan penelitian, kualitas pelayanan kepada
Wajib Pajak memberikan pengaruh terhadap tindakan penyelundupan pajak. Penyelundupan
pajak merupakan usaha aktif wajib pajak dalam memanipulasi utang pajak, hal ini dapat
terjadi karena iklim perpajakan di Indonesia mengandalkan Self Assessment System. Dengan
harapan pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak mampu memenuhi harapan dan
kebutuhan Wajib Pajak maka akan semakin baik tingkat pelaksanaan Self Assessment
System Wajib pajak. Apabila ada ketidaksesuaian dengan peraturan perpajakan yang berlaku,
maka aparat yang berfungsi mengawasi Perpajakan akan mengambil tindakan dan memberi
sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut.
Pelaksanaan kerjasama antara wajib pajak dengan aparat pajak kadang tidak terjalin dengan
baik. Bahkan, wajib pajak melakukan kerjasama dengan aparat pajak dalam memperkecil
beban pajaknya. Sehubungan dengan permasalah tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian berupa evaluasi terhadap perhitungan dan pelaporan Pajak Penghasilan
Badan dengan studi kasus di Bank Danamon. PT. Bank Danamon mempunyai jumlah
pegawai dengan spesifikasi Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap, sehingga memiliki
potensi yang besar dalam membayar pajak khususnya Pajak Penghasilan Pasal 21. Selain itu,
PT. BanknRakyat Indonesia Kantor Cabang Manado juga berpotensi terhadap penyimpangan
baik perhitungan maupun pelaporan Pajak Penghasilan yang diakibatkan oleh perbedaan
pandangan atas Undang-Undang Pajak Penghasilan. Hal ini juga berpengaruh dalam
pencatatan akuntansi, karena kekeliruan dalam perhitungan akan menyebabkan kesalahan
dalam pencatatan akuntansi.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, mendorong penulis untuk menelaah lebih
jauh perlakuan akuntansi pada karyawan dengan judul: “Perlakuan akuntansi Pajak
Penghasilan Pasal 21 pada karyawan PT. Bank Danamon yang sesuai dengan Undang-
Undang HPP Nomor 7 Tahun 2021.”
B. Rumusan Masalah
Untuk mendukung penelitian atas masalah yang dikemukakan disusun pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
“Apakah Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21 pada karyawan PT. Bank
Danamon yang sesuai dengan Undang-Undang HPP Nomor 7 Tahun 2021”.
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah :
”Untuk mengetahui perhitungan dan perlakuan akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21 pada
karyawan PT. Bank Danamonyang sesuai dengan Undang-Undang HPP Nomor 7 Tahun
2021”.
D. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan sehubungan
dengan Pajak Penghasilan Pasal 21.
2. Memberi informasi penerapan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21.
3. Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang pengelolaan pajak sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
4. Sebagai bahan referensi untuk penulisan selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pajak
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri
berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan nasional yang berguna bagi
kepentingan bersama dalam rangka memajukan kesejahteraan umum.
Menurut Rochmat Soemitro (2013:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
Menurut Edy Suprianto (2011:1) bahwa: Pajak adalah iuran atau pemungutan wajib pajak
yang dipungut oeh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran
rutin negara dan biaya pembanunan tanpa balas jasa yang dapat dtunjukan secara langsung.
Menurut Mardiasmo (2011:1) bahwa: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
Menurut P.J.A Andriani bahwa : pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-
Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
B. Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pemungutan pajak menurut Siti Resmi (2013:3), yaitu:
1. Fungsi budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai pe ngeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber
keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas
negara.
2. Fungsi regulerend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, sertai mencapai
tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
C. Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21)
Merupakan pajak peghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
subjek pajak dalam tahun pajak, berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, atau jabatan, jasa dan kegiatan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Pajak Penghasilan Pasal 21 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak yaitu
pemberi pajak, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, perusahaan dan penyelenggaraan
kegiatan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong dan disetorkan secara benar oleh
pemberi kerja atas penghasilan yang diterima dan atau diperoleh sehubungan dengan
pekerjaan dari satu pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan
D. Subjek Pajak Pengahasilan Pasal 21
Penerima Penghasilan atau Subjek pajak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah :
a. Pegawai,
b. Penerima pesangon, pensiun atau manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua,
termasuk ahli waris
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat pelukis, dan seniman lainnya;
3. Olahragawan;
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
7. Agen iklan;
8. Pengawas atau pengelola proyek;
9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. Petugas penjaja barang dagangan;
11. Petugas dinas luar asuransi;
12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
d. Anggota dewan komisaris atau pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap
pada perusahaan yang sama
e. Mantan pegawai
f. Peserta kegiatan penerima/pemeroleh penghasilan dari kepesertaannya dalam suatu
kegiatan antara lain:
1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. Peserta pendidikan dan pelatihan;
5. Peserta kegiatan lainnya
Yang tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah :
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
E. Objek Pajak PPh Pasal 21
Objek pajak penghasilan pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak
untuk dikenakan pajak penghasilan pasal 21.
a. Penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21 ini adalah :
1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3) Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekalgus yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja.
4) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
5) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa yang dilakukan.
6) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenisnya dengan nama apapun.
7) Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris, atau dewan pegawai yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
8) Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai, atau
9) Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan.
b. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk yang diberikan oleh
:
1) Wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, atau
2) Wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdaasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit)
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
 Pembayaran manfat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa,
 Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, yang diberikan Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus,
 Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau jaminan hari tua
kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja,
 Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal
zakat yang dibentuk, atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan,
kepemilikian, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan,
 Beasiswa, beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.

F. Penghitungan PPh Pasal 21


Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap M asa Pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain
Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja
b. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di
mana pegawai tetap berhenti bekerja. Penghitungan kembali ini dilakukan pada :

 Bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun


 Bulan Desember bagi pegawai tetgap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan
bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir akhir tahun
kalender

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai Tetap


a. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai Tetap, terlebih dahulu dihitung
seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperolah selama sebulan, yang meliputi seluruh
gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur
(overtime) dan pembayaran sejenisnya
b. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS Ketenagaan, premi Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK), premi Jaminan Hari Tua (JHT) dan premi
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan
penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa
yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya.
Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang
dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai
c. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran
Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai
yang yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana atau kepada BPJS
Ketenagakerjaan
d. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12
e. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun
dikurangi dengan PTKP
f. Setelah diperoleh PPh terutang terhadap Penghasilan Kena Pajak, selanjutnya dihitung PPh
Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar jumlah
PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan neto dibagi dengan 12
Cara menghitung PPh Pasal 21 :

1. Gaji Per Bulan Rp. ……………

2. Premi Rp. ……………

3. Tunjangan Rp.......................+

4. Total Penghasilan Bruto (No. 1 s.d No. 3) Rp. ……………


Pengurang Penghasilan Bruto

5. Biaya Jabatan Rp. ……………

6. Iuran pensiun atau JHT/THT Rp.......................+

7. Jumlah Pengurangan Bruto (No. 5 + No. 6) Rp..................… _

8. Jumlah Penghasilan Netto Sebulan Rp. ……………

(No. 4 – No. 7)

9. Jumlah Penghasilan Netto setahun/disetahunkan Rp. ……………

10. PTKP Rp..................… _

11. Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp. ……………

(No. 9 – No. 10)

12. PPh Paasal 21 yang terutang Rp. ……………

13. PPh Pasal 21 yang terutang sebulan Rp. ………

G. Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT

Menurut Mardiasmo (2011:38) “Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam


jangka waktu yang telah ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar”.

1. Sanksi administrasi
Berdasarkan aturan dalam pasal 7 ayat 1 UU KUP, sanksi administrasi merupakan sanksi
yang diberikan dalam bentuk denda. Besaran denda tersebut adalah Rp 100.000 bagi wajib
pajak orang pribadi, dan Rp 1.000.000 bagi wajib pajak badan yang tidak melapor SPT
Tahunan. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia.
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
tinggal lagi di Indonesia.
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia.
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi.
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. Pembayaran sanksi denda tersebut dapat dilakukan setelah Kantor
Pajak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atau keterlambatan pelaporan SPT
Tahunan.
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana diberikan bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak melapor pajak.
Sanksi pidana bisa diberikan dalam bentuk kurungan penjara dan denda sebagaimana diatur
dalam pasal 39 ayat 1 UU KUP. Berdasarkan ketentuan itu, sanksi pidana diberikan kepada
setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap.
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program
aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11).
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Adapun sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun.
Selain itu, akan didenda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar, dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Bentuk sanksi tersebut merupakan upaya terakhir yang akan dilakukan oleh pemerintah agar
wajib pajak memiliki kesadaran untuk melapor SPT Tahunan. Untuk itu, masyarakat diimbau
untuk segera melaporkan SPT Tahunan sebelum batas akhir yang telah ditentukan. Hal ini
bertujuan supaya wajib pajak tidak dikenai sanksi, baik administrasi maupun pidana. Saat ini,
untuk mempermudah akses pelaporan, lapor SPT Tahunan bisa dilakukan secara online yaitu
dengan melakukan e-filling.

H. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep penelitian merupakan operasionalisasi keterkaitan antara variabel - variabel yang
berasal dari kerangka teori dan biasanya terkonsentrasi pada satu bagian dari kerangka
teori.Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah tentang Penerapan perhitungan pajak penghasilan
pasal 21 pegawai tetap pada PT. XXX dapat digambarkan sebagai berikut :

Subjek Pajak PPh Pasal 21

Objek Pajak PPh Pasal 21

Tarif PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 sudah disetor PPh Pasal 21 belum disetor

Sesuai dengan ketentuan dan


peraturan perhitungan PPh Pasal 21

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual


(Sumber : Data yang diolah)
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Pembahasan
Hasil analisis Saat ini PT. Bank XXX memiliki 153 karyawan dengan mengklasifikasikan
karyawan ke dalam tiga kelompok, yaitu : Pegawai Tetap, Pegawai Tidak Tetap dan Pegawai
Kontrak Pihak Ketiga. Untuk pegawai tidak tetap perusahaan memperkerjakan mereka
berdasarkan sistem kontrak, dengan masa kontrak selama dua tahun. Untuk menjaga kerahasiaan
pegawai tetap pada PT. Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Manado, maka nama pegawai
diberi simbol dalam bentuk huruf. Dalam penelitian ini dibatasi pada PPh Pasal 21 atas
penghasilan pegawai tetap dan digunakan hanya 10 pegawai sebagai sampel. Selama tahun 2016
tidak terjadi kenaikan gaji. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai Tetap
pada PT. Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Manado tahun 2016, maka dapat menggunakan
daftar Penghasilan sebagai berikut:
No Nama PegawaiJenis KelaminStatus Penghasilan per bulanPenghasilan yang disetahunkan
1 Aini Putri P K/2 Rp 15.240.000 Rp 182.880.000
2 Daniel Omas L K/0 Rp 12.166.000 Rp. 145.992.000
3 Ika Purwanti P TK Rp 9.807.000 Rp 117.684.000
4 Ryan Anggara L TK Rp 8.267.000 Rp 103.524.000

Bedasarkan daftar penghasilan pada tabel 4, maka dapat dihitung PPh Pasal 21 per bulan
untuk pegawai tetap A sebagai berikut :

1. Gaji Setahun Rp 182.880.000

2. Insentive (15% X Rp 182.880.000) Rp 27.432.000 +

3. Total Penghasilan Bruto (No. 1 s.d No. 2) Rp. 210.312.000


Pengurang Penghasilan Bruto
Jumlah Penghasilan Bruto:

4. PTKP setahun Rp 54.000.000

5. Untuk Wajib Pajak Sendiri + Kawin + 2 Anak..........................Rp 13.500.000 +

6. Jumlah Pengurangan Bruto (No. 4 + No. 5) Rp 67.500.000-

7. Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 133.688.000

PPh Pasal 21 terutang:


Lapisan I = 5 % X Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
Lapisan II = 15% X Rp 83.668.000 Rp 12.550.200+
Jumlah Pengurangan Bruto (No. 4 + No. 5) Rp 15.050.200
8. Jumlah PPh 21 sebulan = Rp 15.050.200 : 12 Rp 1.254.183

Maka, jurnal akuntansi untuk pegawai tetap A adalah sebagai berikut :


Biaya Gaji Rp 15.240.000
Hutang PPh Pasal 21 Rp 1.254.183
Kas Rp 13.985.817

Dan pada saat akan disetorkan ke kas negara, jurnal dicatat sebagai berikut :
Hutang PPh Pasal 21 Rp 1.254.183
Kas Rp 1.254.183

Pencatatan ayat jurnal di atas adalah pencatatan terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah
dipotong dan disetorkan oleh pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan dari satu pemberi kerja yang merupakan pelunasan pajak yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pembahasan
Perusahaan dalam hal ini PT. Bank xx mengimplementasikan perhitungan PPh Pasal 21 terhadap
Penghasilan pegawai tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan
hasil penelitian, ditemukan bahwa terdapat kesalahan dalam penentuan status wajib pajak.
Kesalahan tersebut diakibatkan karena kurangnya ketelitian dari manajemen dalam
memperbaharui status karyawannya, setelah di wawancara dimana ada satu pegawai yang
mempunyai suami/istri yang bekerja sebagai pegawai tetap dengan status 3 anak/tanggungan,
namun dalam perhitungan PPh Pasal 21 terdaftar sebagai pegawai dengan status 2 anak. Selain
itu, perusahaan juga tidak melakukan pendataan ulang terhadap status pegawai yang
mengakibatkan adanya tambahan tanggungan yang dimiliki oleh karyawan. Sehingga
perhitungan PPh Pasal 21 yang seharusnya adalah sebagai berikut :
Pegawai tetap A bekerja pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Manado dengan status sudah
menikah dan memiliki 2 anak, menerima penghasilan bruto sebulan sebesar Rp 15.240.000
Akan tetapi setelah diteliti ternyata Pegawai A memiliki 3 orang anak, sehingga status
perpajakannya yaitu Kawin anak 3 (K/3)

1. Gaji Setahun Rp 182.880.000

2. Insentive (15% X Rp 182.880.000) Rp 27.432.000 +

3. Total Penghasilan Bruto (No. 1 s.d No. 2) Rp. 210.312.000


Pengurang Penghasilan Bruto
Jumlah Penghasilan Bruto:

4. PTKP setahun Rp 54.000.000

5. Untuk Wajib Pajak Sendiri + Kawin + 2 Anak..........................Rp 18.000.000 +

6. Jumlah Pengurangan Bruto (No. 4 + No. 5) Rp 72.000.000-

7. Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 138.312.000

PPh Pasal 21 terutang:


Lapisan I = 5 % X Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
Lapisan II = 15% X Rp 79.168.000 Rp 11.875.200+
Jumlah Pengurangan Bruto (No. 4 + No. 5) Rp 14.375.200

8. Jumlah PPh 21 sebulan = Rp 14.375.200 : 12 Rp 1.197.933

Maka, jurnal akuntansi untuk pegawai tetap A adalah sebagai berikut :


Biaya Gaji Rp. 15.240.000,-
Hutang PPh Pasal 21 Rp. 1.197.933,-
Kas Rp. 14.042.067,-
Dan pada saat akan disetorkan ke kas negara, jurnal dicatat sebagai berikut :
Hutang PPh Pasal 21 Rp. 1.197.933,-
Kas
Rp. 1.197.933,-

Dari analisa perhitungan di atas, terdapat kesalahan dalam perhitungan pajak. Perhitungan PPh
Pasal 21 terhadap gaji pegawai tetap pada PT. Bank Rakyat Indonesia untuk pegawai A lebih
tinggi dari perhitungan aturan perpajakan, sehingga dapat merugikan pegawai yang
bersangkutan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh penulis dengan membandingkan
jumlah PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya disetor dengan yang telah disetor perusahaan,
maka diperoleh kewajiban PPh pasal 21 terutang untuk karyawan tetap A yang seharusnya
dibayar adalah Rp 1.197.933. Penyebabnya yaitu karena bagian manajemen perusahaan tidak
secara berkala melakukan pendataan ulang para karyawannya, sehingga data yang digunakan
oleh perusahaan dalam menghitung PPh pasal 21 adalah data dimana karyawan pertama kali
bekerja.
Jika perusahaan selama tahun pajak tidak meminta data terbaru dari para karyawan, maka
jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari karyawan tidak sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya. Dalam hal ini karyawan akan dirugikan, namun karena PPh pasal 21 terutang
yang seharusnya dibayar perusahaan sebesar Rp 1.197.933,- untuk pegawai A. Sehingga terjadi
selisih lebih bayar yang mengakibatkan pegawai mengalami kerugian kas sebesar Rp 56.250.
Oleh sebab itu, perusahaan secara berkala harus mendata ulang setiap data diri dan status
karyawan sehingga jumlah PPh pasal 21 terutang yang dibayarkan perusahaan sesuai dengan
data yang sebenarnya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Penerapan PPh Pasal 21 dalam menerapkan UU HPP dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. PT. Bank Danamon kurang teliti dalam memperhatikan status pegawai untuk
perhitungan PPh Pasal 21 terhadap gaji pegawai tetap.
2. Penerapan Self Assessment System pajak di PT. Bank Danamon secara umum sudah
cukup baik, tetapi masih terdapat wajib pajak orang pribadi yang tidak melaporkan
SPT dan hal tersebut setiap tahunnya mengalami peningkatan. Selain wajib pajak yang
tidak melaporkan SPT, masih ada juga wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT
dan setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Pelaksanaan Self Asessment System
menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak agar penerimaan pajak lebih optimal. Pajak
dianggap membebani dan memaksa, belum dianggapnsebagai bentuk pengabdian,
dukungan atau partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan nasional yang
adil dan merata.

B. Saran
1. Bagian administrasi akuntansi perlu memperbaharui setiap peraturan perundangan yang
baru mengenai perpajakan dan mengikuti setiap sosialisasi peraturan perundangan
perpajakan yang dilakukan oleh kantor pajak sehingga tidak terjadi kesalahan potong
baik lebih bayar atau kurang bayar yang mengakibatkan kesalahan pembayaran gaji
pegawai.
2. Perlunya pengetahuan tentang perpajakan minimal tentang pph Pasal 21 agar
pegawai dapat mengecek kembali apakah potongan atas pajak yang tercantum
dalam daftar gajinya telah sesuai dengan ketentuan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai