Anda di halaman 1dari 3

Dampak Omnibuslaw Cipta Kerja Terhadap Ekonomi Makro

Mungkin kita sudah tidak asing dengan kata Omnibus Law dan juga beberapa orang
belum mengetahui apa itu Omnibus Law. Omnibus Law merupakan sebuah konsep yang
menggabungkan secara resmi (amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi
satu bentuk undang-undang baru. Dengan tujuan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan
memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya termasuk pasal ketenagakerjaan
menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih sederhana.
Isi dari UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang terdiri atas 11 klaster pembahasan
dengan beberapa poin di dalamnya, diantaranya: penyederhanaan perizinan berusaha,
persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan
berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintah, pengenaan sanksi, pengadaan
lahan, investasi dan proyek pemerintah, kawasan ekonomi.
Jika dikomparasikan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Cipta Kerja ini ada
beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan. Salah satunya Upah, aturan mengenai
pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan diantaranya: Upah minimum, struktur dan skala upah,
upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan
tertentu, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah,
upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini
adalah: Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran
pesangon, upah untuk perhitungan pajak penghasilan, denda dan potongan upah. Di UU
Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi
(UMP). Artinya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral
Kabupaten/Kota (UMSK) tidak digunakan lagi.
Rumus penghitungan upah minimum dalam UU 13/2003
UMn = UMt + {UMt x (inflasi + %ΔPDBt)}
Digantikan dalam UU Cipta Kerja
UMt + 1 = UMt + (UMt x %PEt)
ket
UMn = Upah minimum yang ditetapkan
UMt = Upah minimum yang tahun berjalan
Inflasi = inflasi tahunan
PDB = Pertumbuhan Produk Domestik Bruto
PEt = Pertumbuhan ekonomi tahunan

Pada rumus UU Cipta Kerja tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan
ekonomi daerah.
Kemudian jika kita melihat dari sisi tenaga kerja, UU Ciptaker berpotensi menimbulkan
dampak yang kurang baik seperti: pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika
mengundurkan diri, mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau meninggal dunia, TKA
lebih mudah masuk ke Indonesia, batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus,
jam lembur bertambah dan cuti panjang menghilang, dan pemerintah menghapus upah
berdasarkan provinsi atau kabupaten/kota dan upah berdasarkan sektor wilayah provinsi atau
kabupaten/kota lalu diganti dengan penetapan upah minimum kabupaten/kota oleh gubernur
dengan syarat tertentu. Inilah yang memicu terjadinya banyak kontra terhadap Omnibus Law di
berbagai wilayah Indonesia oleh serikat pekerja dan mahasiswa. Sehingga mereka menilai bahwa
UU Ciptaker ini hanya akan menguntungkan pihak-pihak berkuasa yang mempunyai bisnis
besar.
Dari segi ekonomi, Omnibus Law Ciptaker diprediksi akan membantu memperbaiki
ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berpendapat bahwa
dengan adanya Omnibus Law ini akan membantu Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah
atau middle income trap. Middle income trap adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil
mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk
menjadi negara maju.  Dengan Omnibus Law, perekonomian Indonesia diharapkan dapat
ditingkatkan dan dikeluarkan dari middle income trap karena setiap urusan perizinan menjadi
lebih efisien, regulasinya tidak berbelit-belit, dan masyarakat diberi kemudahan untuk membuka
usaha.
Lalu, bagaimana cara Omnibus Law mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Dikutip pada salah satu artikel situs Direktorat Jendral Pajak, nilai pertumbuhan ekonomi
suatu negara bisa ditinjau dari tingkat konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, nilai investasi,
dan peran dalam perdagangan internasional, atau biasa dirumuskan dalam ilmu ekonomi Y =
C+I+G+NX. Lalu, untuk memberi pengaruh dan merubah kebijakan sesuai dengan kepentingan
dan kebutuhan, pemerintah akan menggunakan kebijakan fiscal. Salah satunya adalah instrument
pajak. Misalnya, untuk meningkatkan daya beli atau tingkat konsumsi dari masyarakat
pemerintah bisa meningkatkan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) agar
penerimaan untuk masyarakat menjadi semakin besar dan bisa digunakan untuk konsumsi
yang lebih besar.
Kemudian kembali lagi ke Omnibus Law. PPh pada Badan dari sisi tarif akan
mengalami penurunan berkala dari yang sekarang 25% menjadi 22% pada 2021-2022 dan
20% pada 2023. Bahkan, untuk mendorong meningkatnya perusahaan go-public,
pemerintah juga akan memberikan insentif pada perusahaan yang baru go-public dalam
kurun waktu kurang dari 5 tahun.
Tentu, lewat kebijakan-kebijakan tersebut, Badan akan menjadi lebih leluasa untuk
menggunakan hasil usaha mereka dan digunakan kembali demi kepentingan
pengembangan, sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan daya beli/ tingkat
konsumsi sebagai faktor kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seperti
Indonesia, juga meningkatkan nilai dan minat investasi di Indonesia. Pemerintah juga
mendorong pemilik modal untuk ikut serta berpartisipasi dalam meningkatkan lapangan
kerja dan pengembangan SDM lewat bentuk-bentuk insentifnya.
Prokontra terhadap suatu undang-undang merupakan sebuah hal yang sudah biasa
terjadi. Beberapa merasa diuntungkan beberapa merasa dirugikan. Namun, tetap tujuan
utama dibuatnya suatu undang-undang untuk kemajuan negara Indonesia. Maka dari itu
mari tunjukan peran positif untuk bangsa ini dan ikut serta membangun negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai