Anda di halaman 1dari 4

Essay

PENGARUH REALISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG (OMNIBUS LAW) PADA


MASA DEPAN MASYARAKAT INDONESIA

Istilah dari Omnibus Law mungkin terdengar asing bagi masyarakat Indonesia. Namun,
Omnibus Law ini telah diterapkan oleh negara yang lain yaitu Amerika Serikat. Omnibus law
merupakan Undang-Undang yang digabungkan menjadi satu dari beberapa sektor yang dapat
diamandemen secara bersamaan dengan satu payung hukum yang sama. Omnibus law
merupakan metode atau konsep regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang memiliki
aturan yang berbeda menjadi satu peraturan. Adanya omnibus law ini bertujuan untuk dapat
merubah atau bahkan mencabut undang-undang sebelumnya agar semakin sederhana. Omnibus
ini menyasar beberapa Undang-Undang yang meliputi UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan
UMKM dan UU Perpajakan.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan rancangan undang-undang yang
dapat mencabut atau merubah beberapa pasal pada Undang-Undang No 12 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan. Setelah dikeluarkannya RUU Cipta Kerja pada tanggal 12 Februari 2020
kepada DPR Republik Indonesia. Perancangan ini dibuat dengan tujuan untuk dapat menarik
kegiatan investasi dan memberikan kekuatan pada perekonomian di Indonesia. Dikeluarkannya
rancangan ini tentu memberikan pro dan kontra bagi masyarakat. Masyarakat tidak setuju dengan
beberapa pasal-pasal baru pada RUU Cipta Kerja dikarenakan pasal-pasal tersebut dianggap
tidak adil bagi pekerja dan terdapat perbedaan dengan UU Ketenagakerjaan.
Pembaruan dan penghapusan Undang-Undang dari UU Ketenagakerjaan ini dianggap
akan berdampak negatif pada masyarakat apabila terealisasi. Berikut saya akan menjelaskan
beberapa pasal-pasal yang menurut saya akan berdampak negatif apabila disahkan. Pertama,
pasal yang menjelaskan mengenai pengupahan. Dalam RUU Cipta Kerja, terdapat pasal yang
menyatakan bahwa upah dibayarkan harus menyesuaikan dengan waktu kerja dan hasil kerja.
Jadi para pekerja diberikan upah sesuai dengan jam kerja yang diselesaikan. Hal ini sebelumnya
tidak terdapat pada UU Ketenagakerjaan dan menimbulkan banyak kritik dari masyarakat. Pasal
ini tentu dapat meminimalisir pendapatan dari pekerja apabila hanya mendapat sedikit jam kerja.
Pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam per minggunya akan mendapatkan sedikit upah, bahkan
mendapatkan upah di bawah upah minimum. Beberapa pekerja kemungkinan masih bisa
memiliki waktu kerja lebih dari 40 jam per minggu, namun apabila perusahaan tempatnya
bekerja memiliki pemikiran untuk memaksimalkan labanya untuk perusahaannya saja akan
berusaha mencari cara untuk mendapatkan keuntungan yang utuh dan lebih besar. Salah satunya
cara adalah dengan memberikan jam kerja yang sedikit untuk pekerjanya. Pasal baru yang
dirancang adalah upah minimum akan ditetapkan oleh Gubernur dan memberikan upah
minimum berupa upah minimum provinsi, bukan lagi upah minimum kabupaten/kota. Hal ini
tentu dapat meminimalisir pendapatan bagi para pekerja. Upah minimum provinsi ini diberikan
akan menyesuaikan dengan keadaan pertumbuhan ekonomi daerah setiap periodenya. Apabila
pertumbuhan ekonomi daerah mengalami penurunan, maka upah minimum akan mengalami hal
yang sama. Hal ini tentu saja akan dapat menurunkan tingkat kesejahteraan bagi para pekerja.
Kedua adalah pasal yang berkaitan dengan kontrak kerja. UU Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa terdapat perjanjian kerja dalam waktu tertentu yang hanya dapat dibuat
pada pekerjaan tertentu, yang mana disesuaikan menurut dengan jenis serta sifat dan juga
kegiatan dari pekerjaan yang akan selesai pada waktu tertentu. Pada RUU Cipta Kerja pasal
tersebut akan dihapuskan. Apabila hal tersebut terjadi, kemungkinan adanya PHK (pemutusan
hubungan kerja) akan terjadi dengan mudahnya. PHK setelah masa kontrak kerja telah habis
akan membuat semakin banyak pekerja yang akan kehilangan pekerjaan dan berstatus
pengangguran. Status kontrak kerja ini tidak memiliki batasan waktu sehingga akan dapat
dilakukan seumur hidupnya. Seumur hidup akan selalu bekerja dengan status kontrak, tidak
diangkat menjadi pekerja tetap. Kemungkinan yang terjadi lainnya adalah tidak adanya uang
pesangon. Karena biasanya kantor-kantor hanya menerapkan peraturan bahwa yang menerima
uang pesangon hanyalah pekerja yang berstatus tetap.
Berkaitan dengan hal sebelumnya, terdapat pasal yang berkaitan mengenai PHK atau
pemutusan hubungan kerja. Pada RUU Cipta Kerja terdapat pasal yaitu PHK dapat terjadi
dengan alasan bahwa perusahaan melakukan penggabungan perusahaan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan serta perusahaan melakukan efisiensi. Apabila
pasal ini direalisasikan maka perusahaan akan dengan mudah melakukan PHK tanpa memikirkan
keadaan pekerjanya dengan alasan hanya ingin melakukan efisiensi. Hal tersebut tidak akan
memberikan keadilan bagi para pekerjanya. Dengan adanya pasal ini, kemungkinan besar pada
saat itu akan terjadi PHK secara terus-menerus. Sebelum adanya pasal ini pun banyak
perusahaan yang melakukan PHK dengan alasan efisiensi dan tentu saja memberikan
ketidakadilan bagi para pekerjanya. Namun Omnibus Law ini semakin memberikan penegasan
bahwa dengan alasan efisiensi tersebut perusahaan dapat dengan mudah melakukan PHK. Tentu
saja PHK ini akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia ke depannya apabila terjadi
secara terus menerus. Karena dengan banyaknya pekerja yang mengalami PHK akan semakin
banyak tingkat pengangguran yang terjadi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
pengangguran ini merupakan sumber dari segala macam kejahatan yang terjadi di dunia ini.
Dapat disimpulkan semakin banyak terjadi PHK, semakin banyak pengangguran, semakin
rendahlah tingkat perekonomian di masa yang akan datang.
Masalah lain yang menjadi perdebatan banyak masyarakat adalah permasalahan mengenai
kerja outsourcing. Outsourcing ini merupakan suatu penyedia jasa tenaga kerja untuk para
perusahaan. Pada UU Ketenagakerjaan, terdapat pasal yang menyebutkan bahwa pekerja yang
berasal dari perusahaan outsourcing ini tidak boleh langsung terlibat dengan kegiatan pokok
perusahaan itu sendiri yang mana hanya boleh bekerja sebagai pihak yang menunjang atau tidak
berhubungan langsung dengan proses produksinya. Namun, pada RUU Cipta Kerja pasal
tersebut dihapuskan. Dengan dihapuskannya pasal tersebut maka outsourcing dapat dilakukan
dengan bebas pada semua jenis pekerjaan. Karena banyak sekali kekurangan yang didapat dari
pekerja dari adanya kerja outsourcing yang meliputi tidak adanya jenjang karir, masa kerja yang
tidak jelas, kesejahteraan yang tidak terjamin, pendapatan yang terbatas, serta potongan upah
yang tidak jelas.
Tidak adanya jenjang karir ini dimaksudkan bahwa apabila bekerja dengan sistem
outsourcing ini, pekerja harus mengikuti aturan sesuai dengan yang ditentukan dan akan
menerima sistem kontrak yang tentu saja memberikan kesulitan untuk mendapatkan posisi yang
lebih tinggi. Masa kerja yang tidak jelas ini dimaksudkan bahwa pekerja yang menggunakan
sistem ini sangat dengan mudah terkena PHK baik itu karena keadaan perusahaan yang mulai
menurun atau bahkan tanpa sebab apapun. Kesejahteraan yang tidak terjamin dimaksudkan
bahwa pekerja sistem ini tidak diperhatikan mengenai kesejahteraannya oleh pihak
perusahaannya. Pendapatan yang tidak jelas ini dimaksudkan bahwa pendapatan dengan
menggunakan sistem ini sangat terbatas dan tidak terlalu besar setiap bulannya. Yang terakhir
adalah potongan upah yang tidak jelas. Perusahaan cenderung tidak terbuka mengenai adanya
pemotongan gaji pada sistem ini. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kesejahteraan dari
pekerja tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja memberikan peluang yang besar untuk
pemilik usaha atau perusahaan untuk memaksimalkan keuntungannya tanpa memikirkan
kesejahteraan dari pekerjanya. Keadaan sebaliknya terjadi pada para pekerja yang
kesejahteraannya tidak dilindungi oleh peraturan. Namun, tentu sebagai pemerintah sudah
menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan peraturan yang adil dan merata untuk segala
kalangan, tidak hanya kalangan atas melainkan kalangan bawah harus mendapatkan hak secara
adil.

Anda mungkin juga menyukai