* Penulis bersama PA-PA se-Kaltim telah 2 kali melakukan studi banding ke Mahkamah Syariah Tawau dan
Sabah, tahun 2010 dan 2012, serta mengikuti Lokakarya Penetapan Perkawinan WNI/TKI di Sabah, di
Kundasang, yang diadakan oleh KJRI Kota Kinabalu,. Sabah, Malaysia, tahun 2011.
sendiri-sendiri.
Malaysia memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957,
dengan nama Federasi Malaya, terdiri dari Malaya, Pulau Penang dan Melaka. Pada tanggal
16 September 1963, Federasi Malaya memperluas keanggotaannya bersama-sama dengan
Singapura, Sabah dan Serawak di Borneo (Kalimantan), dengan nama Malaysia.
Kesultanan Brunei semula akan bergabung dengan Federasi Malaya, namun di menit-menit
terakhir penggabungan, Brunei menarik diri kembali dari rencana penggabungan karena
adanya penentangan dari sebagian penduduk Brunei, juga tentang pembagian royalti
minyak dan status Sultan. Sedangkan Singapura akhirnya memisahkan diri dari Malaysia
pada tanggal 9 Agustus 1965, dan membentuk negara sendiri bernama Republik Singapura.
Bentuk pemerintahan negara Malaysia adalah Monarki Konstitusional, dengan kepala
negara
adalah Yang di-Pertuan Agong, yang biasa disebut Raja Malaysia, yang dipilih
untuk masa jabatan selama 5 tahun secara bergiliran oleh 9 Sultan Negeri-Negeri Malaya. 4
pemimpin negara bagian lainya yang bergelar Gubernur tidak diikutsertakan dalam
pemilihan Raja Malaysia ini.
Sama seperti Indonesia, Malaysia juga mengenal dan menganut, sekalipun tidak
terlalu ketat dan ekstrim, sistem pembagian kekuasaan (trias politica) ke dalam eksekutif,
legistatif dan yudikatif, dengan
Serawak dan Sabah (Malaysia Timur) pemerintahannya dipimpin oleh seorang Ketua
2
Menteri, yang kedua-duanya dipilih dari anggota majelis partai mayoritas pemenang pemilu
di dalam Dewan Undangan Negeri (DPRD)
Sekalipun Perlembagaan Malaysia menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga
negaranya, namun di negara-negara bagian yang mempunyai raja, konstitusi Malaysia
menetapkan bahwa seorang Menteri Besar haruslah seorang Suku Melayu Muslim. Ini
menjadi satu isu penting di Malaysia karena kekuasaan politik itu sangat besar pengaruhnya
dan memainkan peranan yang amat penting dalam memperjuangkan hak-hak Melayu dan
Islam sehingga sekarang Malaysia tampil menjadi negara yang cukup disegani dalam peta
percaturan politik dan ekonomi internasional.
Kekuasaan legislatif di Malaysia dibagi antara pusat (legislator persekutuan) dan
negara bagian (legislatorr negeri), yang terdiri dari Dewan Rendah, Dewan Rakyat (ini mirip
dengan DPR di Indonesia), dan Dewan Negara atau Senat (ini mirip dengan DPD di
Indonesia). Anggota Dewan Rakyat yang berjumlah 222 dipilih untuk masa jabatan 5 tahun.
Sedangkan anggota Senat (senator) dipilih untuk masa jabatan 3 tahun, dari 13 majelis
negara bagian dan 3 wilayah persekutuan, 40 diantaranya diangkat oleh Yang di-Pertuan
Agong atas nasihat Perdana Menteri, yang keseluruhan anggotanya berjumlah 70 senator.
Masing-masing negara bagian di Malaysia juga memiliki parlemen bernama Dewan
Undangan Negeri (ini semacam DPRD di Indonesia), yang anggota-anggotanya dipilih
dalam pemilu parlemen untuk masa jabatan tidak lebih dari 5 tahun. Untuk negara-negara
bagian tertentu, pemilu parlemen ini biasanya diadakan
Namun dalam masyarakat yang masih tradisional tentu saja hukum itu dilaksanakan dengan
cara-cara dan oleh lembaga-lembaga hukum yang masih sederhana.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka Malaysia yang sebelumnya terdiri dari
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kemudian dilanjutkan dengan kerajaan dan kesultanan
Islam, dapat dikatakan bahwa masyarakat pada saat itu menerapkan ajaran Hindu-Budha,
kemudian diteruskan hukum Islam dalam memutuskan suatu permasalahan yang terjadi.
Seperti diketahui dari buku-buku sejarah, Islam diperkirakan masuk ke Malaysia
melalui Terengganu pada abad ke-14. Kemudian pada masa Kesultanan Melaka dengan
rajanya Iskandar Syah, Islam dijadikan sebagai agama resmi. Otomotis
ini menjadikan
Borneo, yang masing-masingnya diketuai oleh Ketua Hakim. Mahkamah Tinggi Singapura
akhirnya tidak lagi menjadi bagian dari sistem kekuasaan kehakiman Malaysia setelah
keluar dan membentuk negara sendiri pada tahun 1965;
Sebagai negara anggota Persemakmuran (Commonwealth of Nations), Malaysia
sekalipun sudah merdeka pernah mempunyai Mahkamah Rayuan Majlis Privi, di mana
putusan Mahkamah Persekutuan dalam perkara-perkara pidana dan konstitusi bisa dikasasi
ke Judicial Commitee of the Privy Council di London, Inggris. Mahkamah ini akhirnya
dihapuskan pada 1 Januari 1978. Kemudian Mahkamah Rayuan Sivil juga dihapuskan pada
1 Januari 1985.
Pada masa-masa ini Mahkamah Persekutuan berubah nama menjadi Mahkamah
Agung Malaysia, yang kemudian ketika terjadi reformasi tahun 1994, Mahkamah Agung
Malaysia kembali kepada nama semula menjadi Mahkamah Persekutuan Malaysia. Begitu
pula dengan Mahkamah Rayuan Malaysia yang merupakan bagian dari Mahkamah Tinggi
Malaya, dan sempat dihapus tahun 1978, kembali dibentuk dengan diketuai oleh Presiden
Mahkamah Rayuan. Demikian halnya dengan Mahkamah Tinggi Borneo berubah nama
menjadi Mahkamah Tinggi Sabah dan Serawak.
Perlu diketahui bahwa hingga 1995 proses beracara sistem peradilan di Malaysia
untuk sebagian negara bagian masih menganut sistem juri yang biasanya berjumlah 7
orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di Pulau Penang dan Melaka sistem juri ini
diperbolehkan untuk semua jenis perkara pidana hingga 1978 ketika akhirnya hanya
diperbolehkan untuk perkara-perkara berat saja yang diancam hukuman mati atau seumur
hidup. Di 9 negara bagian di Malaysia Barat selain Pulau Penang dan Melaka, yang dikenal
sebagai Negeri-Negeri Melayu, sistem juri ini semula tidak diperbolehkan ketika perkaraperkara berat itu diadili oleh seorang hakim bersama 2 orang penaksir (assessor) hingga
kemudian diberlakukan oleh Tunku Abdul Rahman pasca-kemerdekaan Malaysia 1957.
Sedangkan di Sabah dan Serawak, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, sistem juri
itu tidak diberlakukan. Tanggal 1 Januari 1995 sistem juri dalam proses beracara di
peradilan dihapuskan dari seluruh Malaysia.
Pada saat ini sistem kekuasaan kehakiman (yudikatif) di Malaysia terdiri dari :
1.
Mahkamah Sivil (mirip Peradilan Umum di Indonesia) yang berada dalam kekuasaan
pemerintahan persekutuan (pusat) bernama Badan Kehakiman Malaysia, dan berlaku
untuk seluruh warga negara Malaysia, baik muslim maupun non muslim. Mahkamah
Sivil ini terdiri dari :
Mahkamah Tinggi (Superior Court), meliputi :
a.
b.
c.
2.
a.
b.
c.
d.
Mahkamah Juvenil.
presedent.
Mahkamah Rayuan adalah pengadilan tingkat banding di Malaysia (mirip Pengadilan
Tinggi di Indonesia) sebagai pemisah (intermediary) antara Mahkamah Tinggi dan
Mahkamah Persekutuan. Mahkamah Rayuan ini berwenang untuk mengadili dalam tingkat
banding semua putusan yang menjadi kewenangan Mahkamah Tinggi dalam perkara pidana
dan perdata. Juga berwenang untuk mengadili gugatan perdata yang ancaman hukumannya
sama atau melebihi RM250.000,00. Di Malaysia kini ada 10 hakim Mahkamah Rayuan
termasuk Presiden sebagai ketuanya.
6
Semua
persidangan di Mahkamah Tinggi dilakukan dengan hakim tunggal, baik oleh Hakim Besar
maupun oleh Pesuruhjaya Kehakiman (semacam hakim honor).
Mahkamah Sesyen bersama-sama dengan Mahkamah Majistret adalah termasuk
Mahkamah Rendah. Mahkamah Sesyen ini mirip dengan Mahkamah Sesyen Suku di
Inggiris. Saat ini di Malaysia terdapat 60 Mahkamah Sesyen, 52 di Semenanjung, 4 di
Sabah dan 4 di Serawak. Kewenangan Mahkamah Sesyen ini meliputi perkara-perkara
pidana yang tidak diancam hukuman mati, atau untuk perkara-perkara perdata yang
diancam denda lebih dari RM25.000,00, tapi tidak melebihi dari RM250.000,00. Kalau
ancaman hukumannya melebihi RM250.000,00,
Rayuan.
Mahkamah Majistret dibagi menjadi Mahkamah Majistret Kelas I dan Mahkamah
Majistret Kelas II. Mahkamah Majistret Kelas II saat ini sudah tidak difungsikan lagi. Saat ini
di Malaysia terdapat 118 Mahkamah Majistret di Semenanjung, 7 di Sabah, 12 di Serawak,
dan 1 di Labuan. Mahkamah Majistret ini mengadili perkara-perkara pidana dan perdata
yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 10 tahun penjara atau denda yang ancaman
hukumannya tidak lebih dari RM25.000,00. Juga dapat menjatuhkan hukuman penjara dan
denda sekaligus yang tidak boleh lebih dari 5 tahun penjara dan denda
lebih dari
yang
hingga saat sekarang ini, masih belum dan tidak akan pernah selesai. Bahkan upaya
penyatuan dan penyeragaman Mahkamah Syariah di bawah kendali pemerintahan Malaysia
masih menemui jalan buntu dan mendapatkan pertentangan dari kerajaan-kerajaan negeri
(negara bagian).
Tidak seperti Peradilan Agama di Indonesia, Mahkamah Syariah di Malaysia masih
dipandang sebelah mata oleh pemerintah persekutuan (pusat). Ini adalah sebagai akibat
dari sistem pemerintahan federal yang memberikan kekuasaan dan kewenangan lebih besar
kepada kerajaan negeri (negara bagian) dalam mengatur negaranya. Sekalipun konstitusi
Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi, maju-tidaknya Mahkamah Syariah di
Malaysia masih banyak ditentukan dan bergantung kepada kebijakan politik dan hukum
kerajaan negeri bersangkutan. Kalau di negara bagian itu pemerintahannya menjaga dan
menerapkan Islam dalam kehidupan politik bernegara, maka Mahkamah Syariah akan maju
dan berkembang dengan pesat. Begitu pula sebaliknya. Masih banyak dijumpai gedunggedung Mahkamah Syariah yang meminjam, atau menyewa dan mengontrak bangunan
gedung lain, atau menempati bangunan gedung bersama-sama dengan lembaga-lembaga
lain seperti gedung Jabatan Agama Islam (semacam Depag dan MUI) atau gedung
Urussetia (gedung pemerintahan). Apalagi Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah
Rendah Syariah, bahkan dengan Mahkamah Rayuan Syariah di ibukota negara bagian,
8
bersama-sama menempati bangunan gedung yang sama dan sempit, sehingga dapat
mengurangi martabat dan kewibawaan Mahkamah Syariah di mata masyarakat.
Sama seperti Mahkamah Sivil, Mahkamah Syariah di Malaysia juga terdiri Mahkamah
Rayuan Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah Rendah Syariah, yang
mempunyai bidang kuasa dan kewenangan
Malaysia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan federal yang masingmasing negara federal mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang besar (semacam
otonomi khusus), termasuk dalam mengatur sistem hukumnya;
2.
Sebagai negara bekas jajahan kolonial Inggris, hukum positif yang berlaku di Malaysia
banyak mengadopsi hukum yang berlaku di Inggris atau negara-negara jajahan Inggris,
seperti India dan Hongkong (Cina);
3.
Sistem kekuasaan kehakiman di Malaysia menganut sistem hukum Inggris dan dibagibagi antara Pemerintah Persekutuan Malaysia (pusat) dan Kerajaan Negeri (negara
bagian) ke dalam Mahkamah Sivil (Peradilan Umum) dan Mahkamah Syariah (Peradilan
Agama);
4.
5.
Perhatian dari pemerintah negara bagian dan pemerintah Malaysia terhadap eksistensi
Mahkamah Syariah sangat terbatas, terutama dalam hal sarana-prasarana.
1.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006;
2.
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar,
Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, 2005;
3.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasardasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusa
Media, Bandung, 2008;
4.
5.
6.
7.
Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Sabah, Sistem Kehakiman Sabah, bahan representasi
peserta studi banding jilid II Pengadilan Agama seKaltim, 2012;
8.
B. Arief Sidharta, Sebuah Catatan Tentang Hakim, dalam Buletin Komisi Yudisial Edisi
Desember 2011Januari 2012, Vol. VI No.3, Penerbit Komisi Yudisial, 2011;
9.
Perangkaan
Malaysia,
Sensus
www.statistic.gov.may;
10
Penduduk
Malaysia,
dikutip
dari